Tingkat peradaban politik kita masih rendah dan kumuh. Kotor. Ya politik uang, ya moral. Setelah reformasi, relatif demokrasi kita ada, dipuji, meski berada di tangan mereka yang tidak bertanggung jawab, yang wawasannya picik. Kualitas demokrasi kita di bawah standar.
Ini pernyataan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif: bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan karena politik menjadi ajang kompetisi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, bukan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat, seperti dicita-citakan para pendiri negeri ini.
Tokoh intelektual, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005) dan pendiri Maarif Institute itu ditemui suatu pagi, di Jakarta.
Monday, 21 June 2010
HAK PILIH TNI
Laporan: A. Rapiudin
Wacana Penggunaan hak politik prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali mencuat ke permukaan. Wacana ini bergulir seiring kajian yang dilakukan internal TNI.
Sejak era reformasi bergulir, tiga kali pemilu, yakni Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009, anggota TNI tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Ketidakikutsertaan TNI dalam tiga pemilu bukan tanpa alasan. Ada kekhawatiran jika prajurit TNI ikut memilih, akan terjadi pengkotak-kotakan atau perpecahan di tubuh militer. Apalagi mereka punya senjata. Kondisi itu dinilai bisa menganggu kekompakan, keutuhan, dan keamanan ketika harus mengawal pemilu itu.
Pemberian hak pilih bagi anggota TNI juga dikhawatirkan akan memecah belah soliditas internal dan mengakibatkan politisasi TNI. Kondisi ini dibaca elit-elit nasional. Melalui konsensus bersama di awal reformasi akhirnya disepakati untuk sementara tidak memberikan hak memilih bagi prajurit TNI.
Ada dua hal yang menjadi catatan kita soal wacana ini.Pertama, penataan sistem politik dan kesiapan politisi sipil menerima penggunaan hak pilih prajurit TNI.
Wacana Penggunaan hak politik prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali mencuat ke permukaan. Wacana ini bergulir seiring kajian yang dilakukan internal TNI.
Sejak era reformasi bergulir, tiga kali pemilu, yakni Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009, anggota TNI tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Ketidakikutsertaan TNI dalam tiga pemilu bukan tanpa alasan. Ada kekhawatiran jika prajurit TNI ikut memilih, akan terjadi pengkotak-kotakan atau perpecahan di tubuh militer. Apalagi mereka punya senjata. Kondisi itu dinilai bisa menganggu kekompakan, keutuhan, dan keamanan ketika harus mengawal pemilu itu.
Pemberian hak pilih bagi anggota TNI juga dikhawatirkan akan memecah belah soliditas internal dan mengakibatkan politisasi TNI. Kondisi ini dibaca elit-elit nasional. Melalui konsensus bersama di awal reformasi akhirnya disepakati untuk sementara tidak memberikan hak memilih bagi prajurit TNI.
Ada dua hal yang menjadi catatan kita soal wacana ini.Pertama, penataan sistem politik dan kesiapan politisi sipil menerima penggunaan hak pilih prajurit TNI.