Sunday, 6 January 2013
Setelah 7 Terduga Teroris Tewas Ditembak. Mereka terduga teroris. Ditembak mati karena melawan
Detasemen Khusus 88 kembali menembak mati tujuh orang terduga teroris yang berusaha ditangkap di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Kemudian empat orang lainnya ditangkap.
Dua terduga teroris yakni Hasan alias Kholik dan Syamsuddin alias Asmar alias Buswah tewas di Makassar pada Jumat 4 Januari 2013. Kemudian, sejumlah orang lainnya yakni Thamrin, Arbain Yusuf, Syarifudin dan Fadli ditangkap di Makassar pada pukul 10 pagi, keesokan harinya.
"Mereka kelompok Abu Ruswa, jaringan Poso yang sedang melakukan teror di Makassar," kata Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar di kantornya, Jakarta, Sabtu 4 Januari 2012.
Dalam penelusuran jaringan Poso ini, petunjuk kemudiah mengarah ke Bima. Di perbatasan Bima dan Dompu, polisi menemukan empat lokasi pelatihan merakit bom. "Kami sudah intai dua bulan," katanya.
Di Bima dan Dompu
Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, Brigadir Jenderal Polisi Mochamad Irawan, mengatakan penangkapan lima terduga teroris di Dompu dan Bima, Jumat 4 Januari 2013, dilakukan di dua tempat kejadian berbeda, yakni di Bima dan Dompu.
Penangkapan terduga teroris di Bima, tepatnya perbatasan antara Dompu dan Bima, dilakukan terhadap dua orang, yaitu Roy yang merupakan warga Makassar, dan Bachtiar yang merupakan warga Bima. Keduanya ditembak mati karena melawan saat ditangkap. “Petugas terpaksa melakukan tindakan tegas karena mereka berusaha melawan,” kata Kapolda di Mataram, Sabtu 5 Januari 2013.
Roy dan Bachtiar pun tewas. Mereka merupakan jaringan teroris Poso. Dari tangan keduanya, Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri menyita satu unit sepeda motor serta dua senjata api laras pendek jenis revolver dan FN.
Sementara di Dompu, tepatnya Dusun Kandai Gintei Kecamatan Woja Kabupaten Dompu, polisi menembak mati tiga terduga teroris. Irawan mengatakan, identitas ketiga teroris tersebut belum diketahui karena petugas tidak menemukan identitas dari ketiga teroris. Seorang terduga teroris lainnya berhasil melarikan diri dari sergapan petugas.
Kapolda mengatakan, polisi terpaksa menembak mati ketiga teroris tersebut karena mereka juga melawan petugas dengan senjata api saat ditangkap. Ketiganya bahkan memasang bom siap ledak di tubuh mereka. Akibatnya mereka langsung dilumpuhkan.
Dari ketiganya, polisi menyita barang bukti berupa tiga bom siap ledak, serta bahan-bahan merakit bom seperti pipa paralon dan paku. “Petugas gegana sudah melakukan disposal terhadap tiga bom yang berdaya ledak tinggi itu,” kata Kapolda NTB.
Dan hasilnya, "Selama 2x24 jam Densus 88 sudah menangkap 11 orang di Makassar dan Dompu," kata Boy.
Dalam penggerebekan ini polisi menyita bom pipa 1,5 inci yang siap digunakan, 4 bom pipa masih dalam penyelesaian perakitan, bahan pendukung campuran yang lazim digunakan di bom rakitan, pupuk urea, asam nitrat, dan beberapa paku besi yang diduga kuat bahan campuran peledak.
Eksodus dari Poso
Boy mengisahkan, beberapa minggu sebelumnya, tim fokus di Sulawesi. Terduga teroris kemudian berlarian meninggalkan Poso, bergabung di Sulsel, kemudian sebagian di Makasar dan yang lain menuju ke Dompu. Kelompok itu, kata Boy, terkait dengan penembakan dua anggota Polri di Poso pada akhir tahun 2012 lalu. Pasca penembakan ada semacam eksodus yang signifikan dari tim ini.
"Sudah dipantau sejak 1,5 bulan lalu, November pertengahan," katanya.
Boy menuturkan, anggota kelompok itu asalnya dari beragam daerah. "Campur-campur," katanya.
Kini jenazah para terduga teroris itu berada di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta, untuk dilakukan identifikasi. Menurut keterangan petugas Instalasi Forensik dan Kamar Jenazah RS Polri Sukanto yang enggan disebutkan namanya, total terduga teroris yang sudah berada di ruang forensik ada 5 jenazah, dua dari Bima dan tiga dari Dompu.
"Semalam tiba pukul 20.30 WIB dan saat ini semuanya masih dalam proses identifikasi," kata dia kepada VIVAnews, Minggu, 6 Januari 2012.
Ia menjelaskan untuk melakukan identifikasi butuh waktu, ada data-data yang harus dilengkapi untuk mengetahui identitas jenazah-jenazah tersebut.
"Teman-teman di wilayah masih mengumpulkan data antemortem. Ada dua data penting, ada primer dan sekunder. Primer berupa DNA, sidik jari, dan gigi. Sementara data sekunder seperti pakaian dan ciri-ciri fisik berupa cacat tubuh dan tahi lalat," ujarnya.
Jika data-data sekunder sudah pas, pihaknya harus memastikan lagi dengan data primer untuk ketepatannya. "Saat ini belum ada pihak keluarga yang dihubungi untuk mencari data-data tersebut," katanya.
REVOLUSI PERANCIS
Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah
Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di
mana parademokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani
restrukturisasi yang radikal.
Meski Perancis kemudian akan berganti sistem antara republik, kekaisaran, dan monarki selama 1 bulan setelah Republik Pertama Perancis jatuh dalam kudeta yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte,
revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien régime (bahasa Indonesia: Rezim Lama; merujuk
kepada kekuasaan dinasti seperti Valois dan Bourbon) dan menjadi lebih penting daripada
revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis.
Penyebab
Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini. Salah
satu di antaranya adalah karena sikap orde yang lama terlalu kaku dalam
menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang
berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan
individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung
dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-kepentingan yang
berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian menjadi
sumber konflik dan pertumpahan darah.
Sebab-sebab Revolusi Perancis mencakup hal-hal di
bawah ini:
·
Kemarahan
terhadap absolutisme kerajaan.
·
Kemarahan
terhadap sistem
seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan—sampai
batas tertentu—kaum borjuis.
·
Bangkitnya
gagasan-gagasan Pencerahan
·
Utang nasional
yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang
tak seimbang.
·
Situasi
ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan
terhadap Revolusi Amerika.
·
Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang
revolusi.
·
Kemarahan
terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik
oleh kelas profesional yang ambisius.
·
Kebencian
terhadap intoleransi agama.
·
Kegagalan
Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.
Aktivitas proto-revolusioner bermula ketika raja
Perancis Louis XVI (memerintah 1774-1792)
menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara keuangan
sama dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774)
dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776)
dan Jacques
Necker(Direktur-Jenderal Keuangan 1777-1781),
mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam, namun gagal.
Langkah-langkah itu mendapatkan tantangan terus-menerus dari parlement
(pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para Bangsawan", yang
menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang
sewenang-wenang, dan juga dari fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya, kedua
menteri itu akhirnya diberhentikan. Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi
Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan
strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur
tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan Perancis.
Namun, setelah Callone melakukan peninjauan yang
mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, menetapkan bahwa hal itu tidak
mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan pajak
tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan
Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan
dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja akan mengembalikan kepercayaan akan
keuangan Perancis, dan dapat memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai
memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali dari utang tersebut.
Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya
pembaharuannya, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya, dan
berkeras bahwa hanya lembaga yang betul-betul representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil
berbagai golongan) Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat
bahwa Callone akan menjadi masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya
dengan Étienne Charles de Loménie de Brienne,
Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan. Brienne
sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil
(termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan
pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, tetapi sementara
itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini
ditentang di Parlement Paris (sebagian karena Raja tidak
bijaksana), Brienne mulai menyerang, mencoba membubarkan seluruh
"parlement" dan mengumpulkan pajak baru tanpa peduli terhadap mereka.
Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di banyak bagian di Perancis, termasuk
"Day of the Tiles" yang terkenal diGrenoble. Yang lebih penting lagi,
kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan para kreditor jangka-pendek. Keuangan
Prancis sangat tergantung pada mereka untuk mempertahankan kegiatannya
sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka, menyebabkan negara hampir bangkrut,
dan memaksa Louis dan Brienne untuk menyerah.
Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk
mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789 untuk
pertama kalinya sejak 1614. Brienne mengundurkan
diri pada 25 Agustus 1788,
dan Necker kembali bertanggung jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan
posisinya bukan untuk mengusulkan langkah-langkah pembaruan yang baru,
melainkan untuk menyiapkan pertemuan wakil-wakil nasional.
Sejarah
Etats-Généraux
1789
Pembentukan Etats-Généraux menyebabkan
berkembangnya keprihatinan pada pihak oposisi bahwa pemerintah akan berusaha
seenaknya membentuk sebuah Dewan sesuai keinginannya. Untuk menghindarinya, Parlement Paris,
setelah kembali ke kota dengan kemenangan, mengumumkan bahwa Etats-Généraux harus
dibentuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam
pertemuan sebelumnya. Meskipun kelihatannya para politikus tidak memahami
"ketentuan-ketentuan 1614" ketika mereka membuat keputusan ini, hal
ini membangkitkan kehebohan. Estates1614 terdiri dari
jumlah wakil yang sama dari setiap kelompok dan pemberian suara dilakukan
menurut urutan, yaitu Kelompok
Pertama (para rohaniwan), Kelompok
Kedua (para bangsawan), dan Kelompok
Ketiga (lain-lain), masing-masing mendapatkan satu suara.
Segera setelah itu, "Komite Tiga Puluh",
sebuah badan yang terdiri atas penduduk Paris yang liberal, mulai melakukan
agitasi melawannya, menuntut agar Kelompok Ketiga digandakan dan pemungutan
suara dilakukan per kepala (seperti yang telah dilakukan dalam berbagai dewan
perwakilan daerah). Necker, yang berbicara untuk pemerintah, mengakui lebih
jauh bahwa Kelompok Ketiga harus digandakan, tetapi masalah pemungutan suara
per kepala harus diserahkan kepada pertemuan Etats sendiri. Namun kemarahan
yang dihasilkan oleh pertikaian itu tetap mendalam, dan pamflet-pamflet,
seperti tulisan Abbé
Sieyès Apakah Kelompok Ketiga itu? yang berpendapat
bahwa ordo-ordo yang memiliki hak-hak istimewa adalah parasit, dan Kelompok
Ketiga adalah bangsa itu sendiri, membuat kemarahan itu tetap bertahan.
Ketika Etats-Généraux bertemu di Versailles pada 5 Mei 1789, pidato-pidato
panjang oleh Necker dan Lamoignon, yang bertugas menyimpan meterai, tidak
banyak membantu untuk memberikan bimbingan kepada para wakil, yang dikembalikan
ke tempat-tempat pertemuan terpisah untuk membuktikan kredensi para anggotanya.
Pertanyaan tentang apakah pemilihan suara akhirnya akan dilakukan per kepala
atau diambil dari setiap orde sekali lagi disingkirkan untuk sementara waktu,
namun Kelompok Ketiga kini menuntut agar pembuktian kredensi itu sendiri harus
dilakukan sebagai kelompok. Namun, perundingan-perundingan dengan
kelompok-kelompok lain untuk mencapai hal ini tidak berhasil, karena kebanyakan
rohaniwan dan kaum bangsawan tetap mendukung pemungutan suara yang diwakili
oleh setiap orde.
Majelis
Nasional
Pada tanggal 28 Mei 1789, Romo Sieyès memindahkan
Estate Ketiga itu, kini bertemu sebagaiCommunes (bahasa Indonesia:
"Majelis Perwakilan Rendah"), memulai pembuktian kekuasaannya sendiri
dan mengundang 2 estate lainnya untuk ambil bagian, namun bukan untuk menunggu
mereka. Mereka memulai untuk berbuat demikian, menyelesaikan proses itu pada
tanggal 17 Juni. Lalu mereka mengusulkan langkah
yang jauh lebih radikal, menyatakan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan dari
estate namun dari "rakyat". Mereka mengundang golongan lain untuk
bergabung dengan mereka, namun kemudian nampak jelas bahwa mereka cenderung
memimpin urusan luar negeri dengan atau tanpa mereka.
Louis XVI menutup Salle des États di mana majelis
itu bertemu. Majelis itu memindahkan pertemuan ke lapangan tenis raja, di mana
mereka mereka mulai mengucapkan Sumpah
Lapangan Tenis (20 Juni1789), di mana
mereka setuju untuk tidak berpisah hingga bisa memberikan sebuah konstitusi untuk Perancis. Mayoritas
perwakilan dari pendeta segera bergabung dengan mereka, begitupun 57 anggota
bangsawan. Dari tanggal 27 Juni kumpulan
kerajaan telah menyerah pada lahirnya, meski militer mulai tiba dalam jumlah
besar di sekeliling Paris dan
Versailles. Pesan dukungan untuk majelis itu mengalir dari Paris dan kota
lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali sebagaiMajelis Konstituante Nasional.
Serbuan
ke Bastille.
Pada tanggal 11 Juli 1789, Raja Louis, yang
bertindak di bawah pengaruh bangsawan konservatif dari dewan
kakus umumnya, begitupun permaisurinya Marie Antoinette, dan saudaranya Comte
d'Artois, membuang menteri reformis Necker dan merekonstruksi
kementerian secara keseluruhan. Kebanyakan rakyat Paris, yang mengira inilah
mulainya kup kerajaan, turut ke huru-hara terbuka. Beberapa anggota militer
bergabung dengan khalayak; lainnya tetap netral.
Pada tanggal 14 Juli 1789, setelah pertempuran 4
jam, massa menduduki penjara Bastille, membunuh gubernur, Marquis Bernard
de Launay, dan beberapa pengawalnya. Walaupun orang Paris hanya
membebaskan 7 tahanan; 4 pemalsu, 2 orang gila, dan seorang penjahat seks yang
berbahaya, Bastille menjadi simbol potensial bagi segala sesuatu yang dibenci
pada masa ancien
régime. Kembali ke Hôtel de Ville (balai
kota), massa mendakwa prévôtdes
marchands (seperti wali kota) Jacques
de Flesselles atas pengkhianatan; pembunuhan terhadapnya terjadi dalam
perjalanan ke sebuah pengadilan pura-pura di Palais
Royal.
Raja dan pendukung militernya mundur turun, setidaknya
sejak beberapa waktu yang lalu. Lafayette
menerima komando Garda Nasional di Paris; Jean-Sylvain
Bailly, presiden Majelis Nasional pada masa Sumpah
Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah struktur baru
pemerintahan yang dikenal sebagai commune. Raja mengunjungi Paris,
di mana, pada tanggal 27 Juli, ia menerima
kokadetriwarna,
begitupun pekikan vive la Nation "Hidup Negara"
diubah menjadi vive le Roi "Hidup Raja".
Namun, setelah kekacauan ini, para bangsawan, yang
sedikit terjamin oleh rekonsiliasi antara raja dan rakyat yang nyata dan,
seperti yang terbukti, sementara, mulai pergi dari negeri itu sebagai émigré,
beberapa dari mereka mulai merencanakan perang saudara di kerajaan itu dan
menghasut koalisi Eropa menghadapi Perancis.
Necker, yang dipanggil kembali ke jabatannya,
mendapatkan kemenangan yang tak berlangsung lama. Sebagai seorang pemodal yang
cerdik namun bukan politikus yang lihai, ia terlalu banyak meminta dan
menghasilkan amnesti umum, kehilangan sebagian besar dukungan rakyat dalam masa
kemenangannya yang nyata.
Menjelang akhir Juli huru-hara dan jiwa kedaulatan
rakyat menyebar ke seluruh Perancis. Di daerah pedesaan, hal
ini ada di tengah-tengah mereka: beberapa orang membakar akta gelar dan tak
sedikit pun terdapat châteaux,
sebagai bagian pemberontakan petani umum yang dikenal sebagai "la Grande
Peur" (Ketakutan
Besar).
Penghapusan
feodalisme
Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Nasional
menghapuskan feodalisme, hak
ketuanan Estate Kedua dan sedekah yang didapatkan oleh Estate Pertama. Dalam
waktu beberapa jam, sejumlah bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan
kehilangan hak istimewanya.
Sementara akan ada tanda mundur,
penyesalan, dan banyak argumen atas rachat au denier 30 ("penebusan
pada pembelian 30 tahun") yang dikhususkan dalam legislasi 4 Agustus, masalah masih mandek, meski
proses penuh akan terjadi di 4 tahun yang lain.
Dekristenisasi
Revolusi membawa perubahan
besar-besaran pada kekuasaan dari Gereja Katolik Roma kepada
negara. Legislasi yang berlaku pada tahun 1790 menghapuskan
otoritas gereja untuk menarik pajak hasil bumi yang
dikenal sebagai dîme (sedekah), menghapuskan hak khusus untuk
pendeta, dan menyita kekayaan geraja; di bawah ancien régime,
gereja telah menjadi pemilik tanah terbesar di negeri ini. Legislasi
berikutnya mencoba menempatkan pendeta di bawah negara,
menjadikannya pekerja negeri. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan penindasan
penuh kekerasan terhadap para pendeta, termasuk penahanan dan pembantaian para pendeta di seluruh Perancis. Concordat
1801antara Napoleon dan gereja mengakhiri masa dekristenisasi dan
mendirikan aturan untuk hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Perancis yang
berlangsung hingga dicabut oleh Republik Ketiga pada pemisahan gereja dan agama pada
tanggal 11 Desember 1905.
Kemunculan berbagai faksi
Faksi-faksi dalam majelis
tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalèsdan pendeta Jean-Sifrein
Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang
menentang revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien,
bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir Perancis sejajar garis yang
mirip dengan model Konstitusi
Inggris: mereka termasuk Jean
Joseph Mounier, Comte
de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre
Victor Malouet, Comte de Virieu.
"Partai Nasional" yang
mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré
Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien
Duport, Barnave dan Alexander
Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir
sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien
Robespierre.
Sieyès memimpin
pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama
beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.
Di Paris, sejumlah komite, wali
kota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan mengklaim otoritas
yang bebas dari yang Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik pamornya di bawah
Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri,
begitupun majelis yang didirikan sendiri lainnya.
Melihat model Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara.
Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.
Ke arah konstitusi
Majelis Konsituante Nasional tak
hanya berfungsi sebagai legislatur, namun
juga sebagai badan untuk mengusulkan konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal,
dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat,
yang anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar
bangsawan mengusulkan majelis tinggi
aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan di hari
itu: Perancis akan memiliki majelis tunggal dan uni kameral. Raja hanya
memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda implementasi hukum, namun
tidak bisa mencabutnya sama sekali.
Rakyat Paris menghalangi usaha
kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka berbaris di Versailles
pada tanggal 5 Oktober 1789.
Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga kerajaan merelakan
diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.
Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan
83 département,
yang diperintah secara seragam dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan
populasi.
Awalnya dipanggil untuk mengurusi
krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan perhatian pada masalah
lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan itu
untuk memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan
kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.
Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta
Ke tingkatan yang tidak lebih
sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada krisis keuangan ini dengan
meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran
gereja) melalui hukum tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter
sejumlah besar harta benda itu dengan cepat, pemerintah meluncurkan mata uang
kertas baru, assignat,
diongkosi dari tanah gereja yang disita.
Legislasi lebih lanjut pada
tanggal 13 Februari 1790
menghapuskan janji
biara. Konstitusi
Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani
oleh raja pada tanggal26 Desember 1790),
mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta mereka
bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi
Sipil Pendeta juga membuat gereja Katolik sebagai tangan negara
sekuler.
Menanggapi legislasi ini, uskup
agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan pendeta dari Majelis
Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana
baru itu, dan hal ini menimbulkan perpecahan antara pendeta yang mengucapkan
sumpah yang diminta dan menerima rencana baru itu ("anggota juri"
atau "pendeta konstitusi") dan "bukan anggota juri" atau
"pendeta yang keras hati" yang menolak berbuat demikian.
Dari peringatan Bonjour ke
kematian Mirabeau
Majelis itu menghapuskan
perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll.,
yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan
menambahkan pangkat émigré.
Pada tanggal 14 Juli 1790,
dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Marsmemperingati
jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada
negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut serta secara aktif.
Para pemilih awalnya memilih
anggota Dewan
Jenderal untuk bertugas dalam setahun, namun denganSumpah
Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat
bertemu terus menerus hingga Perancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan
kini mengusulkan pemilu baru, namun Mirabeau menang, menegaskan bahwa status
majelis itu telah berubah secara fundamental, dan tiada pemilu baru yang
terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.
Pada akhir 1790, beberapa
huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha terjadi untuk
mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap revolusi yang
semuanya gagal. Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François
Mignet, "mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak diakui
lagi."
Militer menghadapi sejumlah
kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah
pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk
simpatisan kontrarevolusi.
Kode militer baru, yang dengannya
kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti kompetensi (daripada
kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada, yang yang bergabung
dengan pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.
Masa ini menyaksikan kebangkitan
sejumlah "klub" politik dalam politik Perancis, yang paling menonjol
di antaranya adalah Klub
Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub
berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi
organisasi terkenal, beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89.
Para royalis awalnya mendirikanClub
des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club
Monarchique. Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan
rakyat untuk mencari nama dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering
menjadi sasaran protes dan malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris
akhirnya menutup Club Monarchique pada bulan Januari 1791.
Di tengah-tengah intrik itu,
majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi. Sebuah organisasi
yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator
menghapuskan jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri
dimulai untuk kasus-kasus kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk
mengusulkan perang, kemudian legislator memutuskan apakah perang diumumkan atau
tidak. Majelis itu menghapuskan semua penghalang perdagangan dan menghapuskan
gilda, ketuanan, dan organisasi pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui
pembelian surat izin; pemogokan menjadi ilegal.
Di musim dingin 1791, untuk
pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi terhadap émigré.
Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk pergi.
Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di
kode Drako."
Namun, Mirabeau meninggal pada
tanggal 2 Maret 1791.
Mignet berkata, "Tak seorang pun yang menyamainya dalam hal kekuatan dan
popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang baru akan
mengadopsi ukuran "drako" ini.
Pelarian ke Varennes
Louis XVI, yang ditentang pada
masa revolusi, namun menolak bantuan yang kemungkinan berbahaya ke penguasa
Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang menyalahkan
emigrasi dan majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan dukungan di
kampnya di Montmedy.
Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari
ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang Raja yang terlalu yakin itu dengan
sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan ditangkap di Varennes (didépartement Meuse)
di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.
Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang
mewakili majelis, bertemu anggota kerajaan itu di Épernay dan
kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave became penasihat dan pendukung
keluarga raja.
Saat mencapai Paris, kerumunan
itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan sang raja. Ia dan
Ratu Marie Antoinette tetap
ditempatkan di bawah pengawalan.
Hari-hari terakhir Majelis
Konstituante Nasional
Dengan sebagian besar anggota
majelis yang masih menginginkan monarki
konstitusional daripadarepublik, sejumlah kelompok itu mencapai
kompromi yang membiarkan Louis XVI tidak lebih dari penguasa boneka: ia
terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekrit menyatakan bahwa
mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas bangsa, atau
mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta
secara de facto.
Jacques
Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di
mata bangsa Louis XVI dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar
berkumpul di Champ-de-Mars untuk
menandatangani petisi itu. Georges
Danton dan Camille
Desmoulins memberikan pidato berapi-api. Majelis menyerukan
pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan masyarakat". Garda
Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu. Pertama kali para
prajurit membalas serangan batu dengan menembak ke udara; kerumunan tidak
bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan,
menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.
Segera setelah pembantaian itu
pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar radikal seperti L'Ami
du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris;
Desmoulins dan Marat lari bersembunyi.
Sementara itu, ancaman baru dari
luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm II dari Prusia, dan
saudara raja Charles-Phillipe,
comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi
Pilnitz yang menganggap perkara Louis XVI seperti perkara
mereka sendiri, meminta pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu,
dan menjanjikan serangan ke Perancis atas namanya jika pemerintah revolusi
menolak syarat tersebut.
Jika tidak, pernyataan itu secara
langsung membahayakan Louis. Orang Perancis tidak mengindahkan perintah
penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan militerisasi
perbatasan.
Malahan sebelum "Pelarian ke
Varennes", para anggota majelis telah menentukan untuk menghalangi diri
dari legislatur yang akan menggantikan mereka, Majelis Legislatif. Kini mereka
mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke dalam
konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan yang luar biasa dalam memilih untuk
tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk revisi utama, dan
mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu, yang menyetujuinya, menulis
"Saya mengajak mempertahankannya di dalam negeri, mempertahankannya dari
semua serangan luar; dan menyebabkan pengesahannya yang tentu saja ditempatkan
di penyelesaian saya". Raja memuji majelis dan menerima tepukan tangan
penuh antusias dari para anggota dan penonton. Majelis mengakhiri masa
jabatannya pada tanggal 29 September 1791.
Mignet menulis, "Konstitusi
1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat; seperti yang
diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan
lembaga itu... Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, namun tak
melaksanakan apapun."
Majelis Legislatif
Di bawah Konstitusi 1791,
Perancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus berbagi kekuasaan
dengan Majelis Legislatif yang terpilih,
namun ia masih bisa mempertahankan vetonya dan kemampuan memilih menteri.
Majelis Legislatif pertama kali
bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791,
dan jatuh dalam keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam
kata-kata 1911 Encyclopædia Britannica: "Dalam
mencoba memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan
kekosongan keuangan, ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat
yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman dan berhasil."
Majelis Legislatif terdiri atas
sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis
konstitusional) di sisi kanan,
sekitar 330 Girondin (republikan
liberal) dan Jacobin (revolusioner
radikal) di sisi kiri,
dan sekitar 250 wakil yang tak berafiliasi dengan faksi apapun.
Sejak awal, raja memveto
legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu
menyatakan bahwa pendeta
non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah
sipil yang diamanatkan oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun,
ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis
konstitusi.
Perang
Politik masa itu membawa Perancis
secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan sekutu-sekutunya. Sang
Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan perang. Sang Raja
(dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan
popularitasnya; ia juga meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap
kekalahan: yang hasilnya akan membuatnya lebih kuat. Kelompok Girondin ingin
menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal yang
menentang perang, lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam
negeri. Kaisar Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette, berharap menghindari
perang, namun meninggal pada tanggal 1 Maret 1792.
Perancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792)
dan Prusia bergabung di pihak Austria
beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi
Perancis telah dimulai.
Setelah pertempuran kecil awal
berlangsung sengit untuk Perancis, pertempuran militer yang berarti atas perang
itu terjadi dengan Pertempuran
Valmy yang terjadi antara Perancis dan Prusia (20 September 1792). Meski hujan lebat
menghambat resolusi yang menentukan, artileri Perancis membuktikan
keunggulannya. Namun, dari masa ini, Perancis menghadapi huru-hara dan monarki
telah menjapada masa lalu.
Krisis konstitusi
Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang
didukung oleh kelompok revolusioner baru Komuni Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan
ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang muktamar Majelis Legislatif menunda
monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir semuanya Jacobin.
Akhirnya pemerintahan nasional
bergabung pada dukungan commune. Saat commune mengirimkan sejumlah kelompok
pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan mengalamatkan surat edaran
ke kota lain di Perancis untuk mengikuti conth mereka, majelis itu hanya bisa
melancarkan perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta menulis konstitusi
baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi
pemerintahan de facto baru di Perancis. Di hari berikutnya
konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik. Tanggal ini
kemudian diadopsi sebagai awal Tahun
Satu dari Kalender
Revolusi Perancis.
Konvensi
Kuasa legislatif di republik baru
jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya di Komite
Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh
dalam konvensi dan komite itu.
Dalam Manifesto
Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke
penduduk Perancis jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya
monarki. Sebagai akibatnya, Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan
musuh-musuh Perancis. 17 Januari 1793 menyaksikan
tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap kebebasan
publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di konvensi. Eksekusi
tanggal 21 Januari menimbulkan
banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis yang kelahiran
Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada tanggal 16 Oktober.
Saat perang bertambah sengit,
harga naik dan sans-culottes (buruh
miskin dan Jacobin radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai
bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong kelompok Jacobin merebut
kekuasaan melalui kup parlemen,
yang ditunggangi oleh kekuatan yang didapatkan dengan menggerakkan dukungan
publik terhadap faksi Girondin, dan dengan memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris.
Kemudian persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-culottes menjadi
pusat yang efektif bagi pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih
radikal.
Komite
Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien
Robespierre, dan Jacobin melepaskan tali Pemerintahan Teror (1793-1794).
Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine dsb; setelah tuduhan
kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran atau kegiatan
kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques
Hébert, semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa
menyebabkan seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.
Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan
tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat dieksekusi; namun, sebagai
akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama sekali. Pada tanggal 27 Juli 1794,
orang-orang Perancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah
kelewatan dalam Reaksi
Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat
menjatuhkan hukuman mati buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka
lainnya di Komite Keamanan Publik. Pemerintahan baru itu sebagian besar
tersusun atas Girondis yang lolos dari teror, dan setelah mengambil kekuasaan
menuntut balas dengan penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang
telah membantu menjatuhkan Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum
mati sejumlah besar bekas anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror
Putih.
Konvensi menyetujui
"Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795;
sebuah plebisit meratifikasinya
pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26 September 1795.
Direktorat
Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat)
dan menciptakan legislatur
bikameral pertama dalam sejarah Perancis. Parlemen ini terdiri
atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250
senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan
ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari
daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-Cents.
Régime baru
bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam
pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan
jenderalnya yang berhasil, Napoleon
Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.
Pada tanggal 9 November 1799 (18
Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup yang
melantik Konsulat;
secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804)
pernyataannya sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik
pada masa Revolusi Perancis.