Pemilu legislatif 9 April kemarin berhasil memenangkan wajah-wajah baru
untuk menjadi wakil rakyat. Kehadiran mereka bahkan mendominasi
kursi-kursi di Senayan, baik untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Para wajah baru itu bersiap
menggusur sejumlah politisi kelas kakap, bahkan termasuk Ketua DPR, yang
tak cukup dukungan pada Pemilu lalu. Setelah memilih mereka, rakyat
kini menunggu apakah para wajah baru itu mampu membawa perubahan positif
di Senayan selama lima tahun berikut dengan benar-benar mewujudkan apa
yang mereka janjikan selama kampanye kemarin, atau justru malah
terjangkit penyakit kronis yang bisa membuat mereka bakal dijauhi rakyat
dengan gejala-gejala berikut: korupsi, malas bekerja, bolos rapat,
hanya suka pelesir, dan lain-lain.
Di antara mereka, ada
wajah-wajah yang tidak asing lagi, baik karena telah mendulang prestasi
mengagumkan, sudah berstatus selebritas maupun yang pernah menjadi
sorotan masyarakat karena kelakuannya yang kontroversial. Ada pula yang
latar belakangnya jauh dari dunia politik. Yang pasti, jabatan
penyelenggara negara dan wewenang membuat hukum di tanah air selama lima
tahun ke depan ada di tangan mereka.
Publik tentu masih ingat
dengan sosok Aceng Fikri. Mantan bupati Garut ini memang penuh
kontroversi. Ia dipecat dari jabatannya sebagai bupati lantaran
tersandung kasus nikah kilat dengan seorang remaja asal Kecamatan
Limbangan Garut, Fany Octora, tahun lalu.
Walaupun banyak orang
mencibir saat mendengar nama Aceng Fikri, namun ternyata masyarakat Jawa
Barat masih memberikan suaranya. Aceng pun melenggang ke Senayan dengan
hasil perolehan suara 1.139.556. Peringkatnya mencengangkan. Tiga besar
di Jawa Barat dan 10 besar di seluruh Indonesia.
Aceng malah
mengaku sempat kaget karena ternyata raihan suaranya begitu tinggi. Ia
sudah hampir hilang harapan bisa lolos ke Senayan, karena dari puluhan
pesan singkat yang diterimanya paska pencoblosan, melaporkan bahwa hasil
perolehan suara di TPS sangat sedikit.
"Ya, waktu itu ada yang
melaporkan hanya dapat 14 suara, 8 suara, 30 suara, dan lain-lain,
sehingga saya jadi ciut bahkan enggan mengangkat telepon maupun SMS
karena sudah memastikan kalah dalam pemilihan," ujar Aceng, Jumat 16 Mei
2014.
Tiga hari paska pencoblosan, Aceng memaksakan diri untuk
menghubungi tim suksesnya. Apapun hasilnya, saat itu, mau tak mau harus
dia terima. Siapa sangka ternyata dewi fortuna berada di pihaknya."Sejak
saat itu barulah saya mencoba berkomunikasi dengan tim dan hasilnya
Alhamdulillah sangat memuaskan," ucapnya.
Setelah mengetahui
hasil rekapitulasi, Kamis sore, 24 April 2014, Aceng langsung kembali ke
kampung halamannya di Bojong Larang Copong. Wajah Aceng tampak
sumringah.
"Banyak orang yang mengasumsikan, siapa yang akan
memilih Aceng? Namun kenyataannya, masyarakat masih mempercayai saya
untuk mengabdi kepada negara," Aceng menambahkan.
Keberhasilan
Aceng memperoleh suara yang cukup signifikan di Jawa Barat, diakuinya
merupakan buah kerja keras para tim sukses yang tersebar di 26 Kabupaten
dan Kota di Jawa Barat. Modal kampanye Rp285 juta mampu menghantarkan
Aceng jadi senator.
Sembari menunggu waktu pelantikan sebagai
anggota DPD RI tiba, Aceng lebih banyak menghabiskan waktu untuk bertemu
dengan para tim suksesnya. Selain berterimakasih, Aceng juga mencoba
menyerap aspirasi yang dibawa para tim sukses dari seluruh Kabupaten dan
Kota di Jawa Barat. Sehingga kini ia sering tak berada di rumah.
Aceng
berharap dengan terpilihnya menjadi anggota DPD RI, ia bisa memberikan
warna bagi pembangunan Jawa Barat terutama Kabupaten Garut yang saat ini
masih menyandang sebagai daerah tertinggal di Jawa Barat.
Perempuan Kuat
Akun
Twitter @fahiraidris banjir ucapan selamat sesaat setelah Komisi
Pemilihan Umum menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang akan mewakili Provinsi DKI
Jakarta periode 2014-2019, 6 Mei 2014 lalu.
Dari 35 calon
anggota DPD yang bersaing di Jakarta, hanya empat orang berhak melaju ke
Senayan. Salah satu wajah baru itu adalah Fahira Idris yang berhasil
mengantongi 511.323 suara. Pengusaha sekaligus aktivis sosial itu maju
lewat jalur independen dengan menyerahkan bukti dukungan 6.500 KTP.
Belum
lagi resmi menjejakkan kaki di Senayan, putri mantan menteri
perindustrian dan politikus senior Fahmi Idris itu sudah beraksi. Rumah
Aspirasi Fahira Idris (RAFI) dan blog fahiraidris.com sekaligus
diresmikannya.
Rupanya Fahira ingin bisa bergerak cepat menyerap
aspirasi masyarakat Jakarta. Harapannya, nanti setelah dilantik dia
sudah mulai bisa bekerja.
Dunia keaktivisan memang sudah jadi
bagian dari keseharian Fahira. Ia dikenal telah mensosialisasikan
gerakan moralnya lewat social media sejak 2009. Berkat itu pula, pemilik
150 ribu lebih followers dalam akunnya di Twitter itu mendapat
penghargaan sebagai The Most Inspiring Twitter.
Dia dikenal
karena keberaniannya mendatangi langsung markas Front Pembela Islam
(FPI) dan bertemu dengan Ketua Umumnya Habieb Riziq Shihab untuk
menyampaikan aspirasi cinta damai dari masyarakat saat itu.
Sebagai
aktivis perempuan, Fahira menargetkan revisi UU perempuan dan anak
dapat dirampungkan. Ibu dua orang anak ini cemas. Bencana kejahatan
seksual dewasa ini sudah berada diambang batas yang sangat
mengkhawatirkan.
"Saat ini kan UU yang ada memberikan hukuman
terhadap penjahat seks anak dan perempuan sangat minimal sekali. Yang
kami kejar adalah agar bisa seperti di Korea Selatan dan beberapa negara
lain, pelaku kejahatan seksual itu bisa dihukum dikebiri secara
kimiawi. Kedua, kami menuntut hukuman seumur hidup bahkan sampai hukuman
mati," ujarnya saat ditemui VIVAnews, Kamis 15 Mei 2014.
Ia tak
gentar bila nantinya misi itu dihadang anggapan melanggar hak asasi
manusia (HAM). Maju menjadi senator, Fahira mengeluarkan kocek sekitar
Rp700 juta. Ia mengaku uang itu berasal dari kantong pribadinya, bukan
pinjaman. "Saya punya floris, saya punya toko parsel, saya punya club
menembak dan tabungan juga," kata dia.
Fahira pun menggandeng
orang-orang terdekatnya sebagai tim sukses. Suaminya, Aldwin Rahadian
alias Oki, menjadi ketua tim sukses. Sementara ayahnya, Fahmi Idris,
didaulat jadi pembina tim pemenangan. Kedua orang tersayang Fahira
itulah yang mendukungnya maju ke kancah politik.
Selama
kampanye, Fahira fokus mengunjungi para konstituen. Yang berbeda, saat
kampanye terbuka, Fahira hanya mengundang para relawan TPS. Itupun tak
semua. Karena dana terbatas, ia pun hanya memiliki 18 koordinator di 5
wilayah Jakarta.
"Menurut saya apapun strateginya yang paling
baik itu kita harus bertemu dengan konstituen, karena mereka nanti akan
memilih orang yang sudah pernah ketemu. Belajar dari pengalaman
orang-orang yang tidak lolos, mereka mengakui bahwa mereka itu kurang
turun ke lapangan," ujarnya.
Selain Fahira, Sri Rahayu Basuki
atau Yayuk Basuki, juga akan melangkah ke Senayan. Mantan atlet tenis
Indonesia era 90-an itu terpilih menjadi anggota DPR dari Partai Amanat
Nasional untuk Daerah Pemilihan Jateng 1 yang meliputi kota dan
kabupaten Semarang, Kendal dan Salatiga.
Figurnya sebagai pemain
tenis kelas dunia membuatnya dikenal masyarakat. Tak bisa dipungkiri,
kepopulerannya inilah yang mengantarkannya ke parlemen.
Yayuk
menganggap keterpilihannya sebagai amanah yang tak perlu disikapi
berlebihan. Ia tidak menggelar pesta syukuran dengan meriah. Hanya
menemui beberapa konstituennya di Semarang jelang pelantikan nanti
sebagai ucapan terima kasih.
Yayuk mengatakan, sejak awal
memasuki dunia politik dirinya tidak menjanjikan apapun kepada para
konstituennya. "Terlalu berat jika harus berjanji. Karena Janji akan
ditagih sampai kapanpun. Saya ini atlet dan boleh dibilang agak ekstrem
jadi saya maunya bukti," kata Yayuk kepada VIVAnews.
Blusukan
dipilih Yayuk sebagai salah satu upayanya menarik simpati para pemilih
saat kampanye. Menurut dia, hampir seluruh pelosok di daerah
pemilihannya sudah didatangi dengan merogoh kocek hingga Rp1,5 miliar
untuk berkampanye.
Banyak pengalaman yang didapat Yayuk selama
kampanye ke plosok-plosok daerah. Salah satu tempat yang membekas di
hatinya yakni perkampungan nelayan di pesisir Kendal dan Semarang.
"Di
perkampungan Tambak lorok Semarang itu ada ribuan kepala keluarga yang
tidak masuk dalam peta, saya merasa tersentuh sekali," tuturnya.
Mengenai
citra parlemen yang buruk, Yayuk tak ingin ngoyo. Ia memilih mengubah
setidaknya dirinya sendiri dulu untuk menjadi lebih baik dan menghapus
citra buruk itu. "Syukur-syukur bisa merangkul dan mengajak mereka yang
tidak bener itu untuk menjadi baik. Namun saya yakin itu tak mudah dan
butuh perjuangan tersendiri," ucapnya.
Darah Muda
Mata
rakyat Indonesia juga akan tertuju pada pemuda yang baru menginjak 28
tahun ini. Calon peraih gelar Doktor dari Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta yang sudah siap 'mengemudikan' nasib bangsa dari balik kursi
anggota dewan.
Dia adalah Andika Pandu Puragabaya, S.Psi, M.Sc.,
M.Si, putra sulung dari Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) H. Djoko
Santoso. Pria lajang ini merupakan satu-satunya caleg dari Partai
Gerindra yang melenggang ke Senayan dari Dapil DIY dengan perolehan
suara lebih dari 78 ribu. Pandu bahkan mengalahkan caleg yang lebih
senior seperti Ketua Umum Gerindra Prof. Suhardi dan menantu Raja
Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X yang tak lain KPH Wironegoro, suami
dari GKR Pembayun.
Saat berbincang dengan VIVAnews di
Rumah Palagan yang berada di Desa Lempongsari, Kecamatan Ngaglik,
Kabupaten Sleman--sekaligus rumah dari guru politik Andika, yaitu Broto
Seno-- ia mengaku tak punya target untuk mengalahkan para politisi
senior tersebut.
"Saya tidak punya target mengalahkan para senior
saya, namun kita target mendapatkan suara untuk dapat melenggang ke
Senayan. Kita menggunakan jaringan-jaringan yang kita miliki sampai ke
tingkat bawah sehingga sosialisasi lebih efektif," kata dia.
Pandu
mengaku intensif terjun langsung ke masyarakat sejak September 2013.
Siang malam ia dan timnya bertemu langsung dengan masyarakat. Meminta
masukan apa saja yang bisa dikerjakan untuk membantu masyarakat.
Maka
itu, ketika pertama kali terjun ke masyarakat, sasarannya adalah
masyarakat yang tinggal di pinggiran dan pelosok yang belum tersentuh
pembangunan. "Ibaratnya kita mencari simpati masyarakat dengan strategi
desa mengepung kota. Ternyata pandangan masyarakat saat ini pragmatis
dengan pemilu, namun sedikit demi sedikit bisa luntur dengan pendekatan
dari hati ke hati," ungkapnya.
Pandu tak menampik, nama besar
ayahnya sebagai mantan Panglima TNI turut mempengaruhi simpati
masyarakat kepada dirinya. Untuk itu, ia berharap dapat ditempatkan di
komisi I DPR yang membidangi hubungan luar negeri, TNI, pertahanan dan
keamanan. Sebab, menurutnya bidang tersebut sesuai dengan pendidikan
yang dikuasainya.
"Saya ingin masyarakat di perbatasan itu
mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. TNI dapat menjaga NKRI
dengan pembaharuan alutsista yang ada," ujarnya.
Masih banyaknya
para incumbent yang kembali duduk di parlemen, tak membuat Pandu
khawatir. Ia optimistis dengan keberadaan caleg-caleg muda yang terpilih
dapat mengubah citra parlemen yang saat ini dinilai korup dan buruk.
"Kita
akan melihat bagaimana kualitas para wakil rakyat dalam membangun
negara ini kedepannya. Apakah benar-benar buruk karena masuk ke Senayan
dengan cara yang tidak baik seperti melakukan money politik. Itu nanti
akan terlihat ketika sudah bekerja di parlemen," kata Pandu.
Dituntut Profesional
Pengamat
Politik LIPI, Siti Zuhro, berharap para wajah baru anggota DPR harus
siap menjalankan tugasnya di parlemen. Tidak ada alasan lagi untuk
belajar dalam jangka waktu 100 hari. Mereka dituntut profesional dan
siap sejak awal.
Ia pun menilai, para anggota dewan harus
disiapkan staf ahli yang kompeten menunjang tugasnya. “Ini yang jadi
masalah. Staf ahli biasanya cuma tukang angkat koper sama terima tamu.
Itu bukan tugas staf ahli. Negara sudah memfasilitasi itu. Staf ahli
dibayar untuk memberi masukan bukan disuruh-suruh,” kata Siti.
Lebih lanjut ia mengatakan, setiap anggota dewan memiliki tiga staf ahli yang dibiayai negara. Namun, itu belum ideal.
“Jadi
harus jelas tugas staf ahli ini. Harus orang kompeten. Mereka harus
diseleksi sesuai kebutuhan dari anggota dewan. Supaya mereka profesional
dan mampu merepresentasikan kehendak rakyat. Staf ahli dibayar untuk
diskusi dengan anggota DPR agar menghasilkan tugas yang berkualitas.” (
Saturday, 17 May 2014
Antiklimaks Konvensi Capres Demokrat. Suara partai merosot tajam, sulit mengusung capres sendiri
Konvensi
calon presiden dari Partai Demokrat berakhir antiklimaks. Niat partai
penguasa mengusung capres sendiri dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014
nanti, kandas. Apa daya, perolehan suara Demokrat jauh dari cukup untuk
mengusung capres sendiri. Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono ini
hanya mampu mengantungi suara 10,19 persen.
Konvensi yang diikuti
sebelas peserta ini: Ali Masykur Musa, Anies Rasyid, Anis Baswedan,
Dahlan Iskan, Dino Patti Jalal, Endriartono Sutanto, Gita Wirjawan,
Hayono Isman, Irman Gusman, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo, dan
Sinyo Harry Sarundajang, dimenangi Dahlan Iskan yang kini menjabat
sebagai menteri BUMN.
Namun masalahnya, suara
Dahlan pun dari survei internal yang dilakukan Demokrat belum mampu
menyaingi elektabilitas dan kepopuleran dua capres lain yang diusung PDI
Perjuangan dan Partai Gerindra, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Komite konvensi melakukan
survei dengan menggandeng tiga lembaga survei. Ketua Komite Konvensi
Partai Demokrat Maftuh Basyuni mengatakan, dari hasil survei tiga
lembaga itu nama Dahlan Iskan yang memiliki tingkat elektabilitas
paling tinggi.
Maftuh mengatakan, Partai Demokrat telah melakukan survei sebanyak dua kali. Terakhir dilakukan pada 29 April sampai 8 Mei 2014. Tiga lembaga survei itu mensurvei 3.000 responden.
Berdasarkan Lembaga Survei Indonesia, elektabilitas Dahlan tercatat 15,5 persen; berdasarkan Populi dia mendapat 21,4 persen, dan Markplus Inside sebesar 23 persen.
Hasil survei menempatkan Pramono Edhie di posisi kedua, Marzuki Ali di posisi ketiga, Gita Wirjawan di posisi keempat, dan Anies Baswedan di posisi kelima.
Setelah hasil akhir survei peserta konvensi itu diketahui, ketiga lembaga survei itu juga menyandingkan Dahlan Iskan dan calon presiden dari partai lain, yaitu dari PDIP Joko Widodo dan Prabowo Subianto dari Gerindra, serta Aburizal Bakrie dari Partai Golkar.
Dari hasil survei itu, elektabilitas Jokowi melejit ke angka 45 persen, Prabowo Subianto 35 persen, Aburizal Bakrie 8 persen, dan Dahlan hanya 2 persen. "Kalau disandingkan dengan capres lain, maka elektabilitas Dahlan Iskan masih jauh di bawah dari kalangan eksternal," ujar Maftuh.
Maftuh mengatakan, Partai Demokrat telah melakukan survei sebanyak dua kali. Terakhir dilakukan pada 29 April sampai 8 Mei 2014. Tiga lembaga survei itu mensurvei 3.000 responden.
Berdasarkan Lembaga Survei Indonesia, elektabilitas Dahlan tercatat 15,5 persen; berdasarkan Populi dia mendapat 21,4 persen, dan Markplus Inside sebesar 23 persen.
Hasil survei menempatkan Pramono Edhie di posisi kedua, Marzuki Ali di posisi ketiga, Gita Wirjawan di posisi keempat, dan Anies Baswedan di posisi kelima.
Setelah hasil akhir survei peserta konvensi itu diketahui, ketiga lembaga survei itu juga menyandingkan Dahlan Iskan dan calon presiden dari partai lain, yaitu dari PDIP Joko Widodo dan Prabowo Subianto dari Gerindra, serta Aburizal Bakrie dari Partai Golkar.
Dari hasil survei itu, elektabilitas Jokowi melejit ke angka 45 persen, Prabowo Subianto 35 persen, Aburizal Bakrie 8 persen, dan Dahlan hanya 2 persen. "Kalau disandingkan dengan capres lain, maka elektabilitas Dahlan Iskan masih jauh di bawah dari kalangan eksternal," ujar Maftuh.
Dalam pernyataannya di
Kantor Pusat Partai Demokrat, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat
petang 16 Mei 2014, Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono
menyadari rendahnya elektabilitas 11 calon presiden peserta konvensi.
Bahkan elektabilitas peserta calon presiden konvensi masih jauh di
bawah capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto. "Saya tidak mengecilkan
kemampuan capres konvensi," kata SBY.
Diakuinya suara yang terbatas dan elektabilitas calon yang rendah membuat langkah Demokrat makin terbatas. "Dengan elektabilitas yang belum setinggi capres papan atas, ini membatasi opsi Partai Demokrat," katanya.
Meski begitu, SBY menilai 11 capres konvensi ini memiliki kemampuan untuk berkompetisi pada Pemilu Presiden. Namun kemampuan mereka bukan untuk Pilpres tahun ini, tapi untuk masa yang akan mendatang. "Tidak pernah ada waktu yang sia-sia. Cara inilah cara demokrasi," ujar SBY.
SBY mengapresiasi model konvensi capres yang dilakukan Demokrat. Menurutnya model konvensi ini merupakan konsep demokrasi yang sesungguhnya. Dimana para capres menyampaikan visi misinya, solusi dan menawarkan kebijakan yang akan dijalankan untuk menjawab permasalahan bangsa.
"Saya katakan bahwa kemampuan peserta konvesi, visinya Insya Allah akan bisa digunakan di waktu yang akan datang," imbuhnya.
Diakuinya suara yang terbatas dan elektabilitas calon yang rendah membuat langkah Demokrat makin terbatas. "Dengan elektabilitas yang belum setinggi capres papan atas, ini membatasi opsi Partai Demokrat," katanya.
Meski begitu, SBY menilai 11 capres konvensi ini memiliki kemampuan untuk berkompetisi pada Pemilu Presiden. Namun kemampuan mereka bukan untuk Pilpres tahun ini, tapi untuk masa yang akan mendatang. "Tidak pernah ada waktu yang sia-sia. Cara inilah cara demokrasi," ujar SBY.
SBY mengapresiasi model konvensi capres yang dilakukan Demokrat. Menurutnya model konvensi ini merupakan konsep demokrasi yang sesungguhnya. Dimana para capres menyampaikan visi misinya, solusi dan menawarkan kebijakan yang akan dijalankan untuk menjawab permasalahan bangsa.
"Saya katakan bahwa kemampuan peserta konvesi, visinya Insya Allah akan bisa digunakan di waktu yang akan datang," imbuhnya.
Hitung Strategi
SBY menuturkan, partainya tak bisa berbuat banyak dengan perolehan suara
yang hanya 10,19 persen. Dengan perolehan sebesar itu, Demokrat tidak
mungkin mengusulkan calon presiden sendiri.
SBY mengatakan,
Undang-undang telah membatasi Demokrat untuk mencalonkan presiden, meski
punya calon sendiri. "Itu fakta dan realitas yang perlu disadari rakyat
Indonesia," kata SBY.
Pernyataan SBY ini sekaligus menjawab pertanyaan sejumlah pihak yang mempertanyakan sikap Demokrat di Pilpres 2014. "Suara kami hanya 10 persen, barangkali rakyat mengharapkan partai lain maju sebagai capres, pemimpin lima tahun mendatang," ujarnya.
Atas dasar itu, hingga kini Demokrat masih cermat menghitung strategi hingga sisa waktu berakhir 20 Mei: apakah akan berkoalisi, membuat poros koalisi baru, atau malah netral dan membentuk partai oposisi.
SBY mengatakan, pembentukan poros baru juga tidak telalu mudah. Banyak kepentingan yang harus disatukan dengan Demokrat. Membangun koalisi tentu terbangun dari kehendak, tidak mungkin bila partai itu tidak punya kehendak. "Kalau itu tidak mungkin, kami menuju kepada kekuatan lain," katanya.
Kemudian, bila harus mendukung partai lain juga tidak mudah. Harus ada keyakinan yang dibangun, karena Demokrat tak bisa asal dukung tanpa tahu kepentingan partai yang didukung. Tentu saja, bila tidak sesuai, Demokrat tidak bisa mendukung begitu saja.
Yang jelas, kata SBY, langkah Demokrat tak bisa dijawab kali ini. Demokrat akan menentukan arah melalui Rapat Pimpinan Nasional pada 20 Mei. "Kami sedang bekerja, segala sesuatu akan gamblang, kami akan melakukan Rapimnas," katanya.
Pernyataan SBY ini sekaligus menjawab pertanyaan sejumlah pihak yang mempertanyakan sikap Demokrat di Pilpres 2014. "Suara kami hanya 10 persen, barangkali rakyat mengharapkan partai lain maju sebagai capres, pemimpin lima tahun mendatang," ujarnya.
Atas dasar itu, hingga kini Demokrat masih cermat menghitung strategi hingga sisa waktu berakhir 20 Mei: apakah akan berkoalisi, membuat poros koalisi baru, atau malah netral dan membentuk partai oposisi.
SBY mengatakan, pembentukan poros baru juga tidak telalu mudah. Banyak kepentingan yang harus disatukan dengan Demokrat. Membangun koalisi tentu terbangun dari kehendak, tidak mungkin bila partai itu tidak punya kehendak. "Kalau itu tidak mungkin, kami menuju kepada kekuatan lain," katanya.
Kemudian, bila harus mendukung partai lain juga tidak mudah. Harus ada keyakinan yang dibangun, karena Demokrat tak bisa asal dukung tanpa tahu kepentingan partai yang didukung. Tentu saja, bila tidak sesuai, Demokrat tidak bisa mendukung begitu saja.
Yang jelas, kata SBY, langkah Demokrat tak bisa dijawab kali ini. Demokrat akan menentukan arah melalui Rapat Pimpinan Nasional pada 20 Mei. "Kami sedang bekerja, segala sesuatu akan gamblang, kami akan melakukan Rapimnas," katanya.