JAKARTA, KOMPAS.com — Nasib tragis menimpa Ferdiansyah (14). Dalam keadaan tubuh terikat di pagar rumah, ABG yang dituduh mencuri handphone ini menjadi bulan-bulanan massa. Ferdi tewas hari Kamis (8/10) dini hari tanpa secuil bukti pun bahwa dia mencuri.
Warga Kampung Jerorante, Bendungan, Ciawi, Kabupaten Bogor, ini hari Senin (6/10) ditangkap warga karena dituding mencuri sebuah telepon seluler dan uang Rp 1,3 juta milik Cecep Zulkifli alias Encep (54), warga Pabuaran, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Meski Ferdiansyah berusaha meyakinkan warga bahwa dia tidak melakukan apa yang dituduhkan, Cecep bersama beberapa warga lain tidak percaya. Ferdiansyah pun digebuki.
Tak tahan dengan siksaan yang bertubi-tubi, Ferdi memenuhi anjuran seorang warga untuk mengaku dengan harapan pemukulan bisa dihentikan. "Korban mengaku mencuri hanya karena ingin agar penyiksaan terhadap dirinya dihentikan," ujar Kapolsek Megamendung AKP Suharto.
Namun, penyiksaan malah semakin gencar. Tidak tahan dengan penganiayaan yang dialaminya, Senin malam Ferdi melarikan diri dan pulang ke Jerorante. Namun, kemerdekaannya tidak berlangsung lama karena sekitar puku107.00 keesokan harinya dia dijemput Cecep dan beberapa orang lainnya.
Ferdi digelandang ke rumah Cecep. Tubuhnya diikat di pagar rumah. Dalam keadaan tak berdaya, dia kembali disiksa oleh Cecep dan beberapa orang lainnya sambil dipaksa agar menunjukkan HP dan uang yang telah dicurinya. Ferdi pun kebingungan menyebut tempat HP dan uang yang dimaksud karena dia tidak mencurinya.
Menurut AKP Suharto, karena Ferdi tidak bisa menyebutkan tempat HP dan uang milik Cecep, tubuhnya kembali dijadikan sansak hidup. Erangan kesakitan dan permohonan ampun agar penyiksaan dihentikan sama sekali tidak digubris.
Beberapa warga yang merasa iba dengan kondisi ABG itu sempat meminta agar penyiksaan dihentikan. Namun, Cecep dan kawan-kawannya tidak menggubris. Mereka terus-menerus memaksa Ferdi menunjukkan tempat HP dan uang yang telah dicurinya. Setelah benar-benar tak berdaya dengan darah bercucuran serta tubuh penuh memar, barulah Ferdi diserahkan kepada keluarganya.
"Dalam kondisi penuh luka, korban dibawa keluarganya ke Rumah Sakit Ciawi dan kemudian ke Rumah Sakit PMI. Mungkin karena pihak keluarga tidak punya biaya, korban tidak sempat dirawat. Barulah setelah orangtuanya melapor ke polisi, korban dirawat di RS PMI, namun tadi pagi meninggal dunia," ujar Suharto, kemarin.
Polisi akhirnya menangkap lima orang, termasuk Cecep. Kelima orang yang diamankan itu, kata Suharto, dianggap bertanggung jawab dalam aksi penganiayaan yang menyebabkan orang lain meninggal dunia. Seorang lagi yang terlibat dalam penganiayaan itu, yakni JA, kabur dan hingga kemarin petang masih dicari polisi.
"Salah satu pelaku adalah ketua RT setempat," ujar Suharto. Kelima orang yang ditangkap polisi adalah Cecep, Aman Supriono (36), Fahmi Haryanto (31), Muhammad Idris (47), dan Asep Saefudin (17). Mereka dijerat dengan pasal-pasal pada KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan korbannya tewas dan Undang-Undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
"Korbannya kan masih di bawah umur," kata Suharto. Menurut dia, peristiwa tragis itu berawal kettka Cecep kehilangan HP dan uang Rp 1,3 juta pada Minggu (5/10) malam. Tidak jelas alasannya, keesokan harinya Cecep bersama Fahmi menuding Ferdiansyah pencurinya. Mereka kemudian mencari Ferdi di rumahnya di kawasan Bendungan, Ciawi. Tapi akhirnya bertemu di daerah Gadog. Ferdi lalu dibawa ke rumah Cecep di Pabuaran," katanya.
Suharto menyesalkan tindakan Cecep dan kawan-kawan yang memilih main hakim sendiri ketimbang melaporkan kepada polisi.
Dia mengatakan, setelah mendapat laporan dari keluarga Ferdi, pihaknya langsung memeriksa sejumlah orang yang mengetahui kejadian tersebut. Hasilnya, Cecep dan beberapa warga lainnya terbukti melakukan penganiayaan. "Menurut dokter di Rumah Sakit PMI yang melakukan visum, terdapat perdarahan di bagian belakang kepala korban," katanya.
Hukum berat
Mimi (35) dan Taufik (45), ibu dan ayah Ferdiansyah, tak mampu menahan tangis tatkala melihat anaknya sudah terbujur kaku dengan kondisi memilukan.
Mimi membantah putranya melakukan pencurian. Dia mengaku mengetahui betul sifat anaknya itu. "Saya yang melahirkan dia. Saya pula yang membesarkannya. Hanya karena miskin, saya tidak bisa menyekolahkan anak saya sampai SMP, apalagi sampai SMA," katanya.
Mimi menuding orang-orang yang menyiksa anakya tidak berperikemanusiaan. Seharusnya, kata dia, mereka menghentikan penyiksaan pada saat Ferdi kebingungan menunjukkan tempat HP dan uang yang katanya dicuri itu karena itu menandakan bahwa Ferdi tahu. "Saking bingungnya anak saya sampai dibawa ke Masjid At-Taawun di Puncak," ujarnya dengan mimik sedih.
Baik Mimi maupun Taufik meminta polisi agar menghukum para pelaku penyiksaan dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya."Mereka harus dihukum seberat mungkin," kata Mimi.
Sementara itu, Sekjen Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait meminta agar pihak kepolisian mengusut tuntas kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian ABG tersebut. "Buktikan apa yang telah mereka tuduhkan itu. Jangan main hakim sendiri. Belum tentu dia bersalah, apalagi jika tidak ada barang bukti," kata Arist saat dihubungi semalam.
Bagaimanapun, kata Arist, perbuatan Cecep dkk tidak bisa dibenarkan karena seharusnya mereka tidak main hakim sendiri, melainkan menyerahkan sepenuhnya pengusutan kasus kehilangan barang dan uang itu kepada polisi. (Warta Kota/wid/kin)
No comments:
Post a Comment