Thursday, 10 March 2011

ULILL ABSHAR ABDALLA TENTANG HIZBUT TAHRIR DI INDONESIA

MUNGKIN sebagian teman-teman heran, kenapa saya seperti terobsesi untuk melakukan kritik terhadap kelompok bernama Hizbut Tahrir (HT), kelompok yang didirikan oleh .
Ketika masih di Jakarta dulu, saya sering sekali melakukan “tour” ke sejumlah kampus untuk menghadiri sejumlah diskusi yang diadakan oleh beberapa kelompok mahasiswa. Selain ke kampus, saya juga sering mendatangi forum-forum diskusi di tingkat kabupaten.
Sungguh di luar dugaan saya, bahwa Hizbut Tahrir cukup mendapatkan pengaruh yang lumayan di sejumlah kampus. Kalau saya katakan “lumayan” bukan berarti besar sekali. Tetapi sebagai pemain baru, gerakan ini cukup sukses menanamkan pengarus di sejumlah kampus, seperti IPB di Bogor, misalnya.
Yang mengherankan, saat diundang diskusi ke sebuah pesantren kecil di kota Tuban, saya bertemu juga dengan beberapa aktivis HT di sana. Sepanjang diskusi, mereka membuat “onar” dengan cara bertanya yang sangat agresif. Saya tak menduga bahwa mereka bisa mempunyai pengaruh hingga ke wilayah kabupaten.
Suatu saat saya pernah diundang ke Universitas Muhammadiyah Malang dalam sebuah diskusi yang juga menghadirkan salah seorang cendekiawan Muhammadiyah, Dr. Syafiq Mughni. Dalam diskusi itu ada sejumlah aktivis HT yang hadir dan, sekali lagi, membuat “onar” dengan cara mereka sendiri, antara lain dengan teriakan-terakan Allahu Akbar dan meneriaki seseorang yang berpendapat berbeda. Pak Syafiq sampai terheran dan berujar, kok Universitas Muhammadiyah jadi begini.
Memang secara umum, pengalaman berdiskusi dengan kalangan fundamentalis di beberapa tempat sangat tidak menyenangkan, karena mereka sama sekali tak mengikuti cara-cara berdiskusi yang beradab.
Pemandangan yang sangat lucu terjadi pada sebuah diskusi yang diadakan oleh Kedutaan Amerika di Hotel Hilton (sekarang berubah menjadi Hotel Sultan [untung bukan Hotel Khalifah]) beberapa tahun lalu. Saat itu, saya menjadi moderator, dan diskusi dilangsungkan dalam bahasa Inggris. Seorang aktivis HT “ngacung” dan bertanya dalam bahasa Arab. Ketika saya peringatkan bahwa sebaiknya dia memakai bahasa Inggris atau Indonesia saja, dia ngotot. Pertanyaannya sama sekali tak berkenaan dengan isi diskusi. Pokoknya meracau saja.
Rupanya, kelompok HT memang memakai strategi yang unik, yaitu dengan cara mengirim aktivis mereka ke sejumlah diskusi publik untuk mengampanyekan ide mereka tentang “khilafah”. Walaupun diskusinya tidak berkaitan dengan tema itu, mereka paksakan saja saat sesi tanya-jawab untuk melontarkan isu tersebut.
Strategi ini ternyata merupakan metode yang sengaja mereka praktekkan di mana-mana. Kalau anda membaca buku karangan mantan aktivis HT di Inggris yang “sadar” dan keluar dari organisasi itu, yaitu Ed Husein yang menulis buku “The Islamist” itu (buku ini sudah terbit baru-baru ini dalam edisi Indonesia oleh Penerbit Alvabet, Jakarta, dengan judul Matinya Semangat Jihad), anda akan tahu bahwa cara serupa juga mereka terapkan di Inggris di sejumlah kampus.
Strategi lain yang baru saya sadari belakangan adalah dengan cara memakai literatur fikih dan ushul fikih klasik untuk mendukung ide-ide mereka. Strategi ini saya kira mereka tempuh untuk menghadapi kalangan pesantren di Indonesia yang akrab dengan khazanah fikih dan ushul fikih itu. Saya senang dengan strategi mereka yang satu ini, karena dengan demikian mereka akan dengan mudah dipatahkan melalui tradisi fikih dan ushul fikih sendiri yang sangat kaya itu.
Meski mereka memakai fikih dan ushul fikih, cara mereka mendekati kedua disiplin itu adalah dengan melakukan “ideologisasi”, yakni mengunci fikih dan ushul fikih pada perspektif tertentu secara kaku, mengabaikan watak “polifonik” atau “polisemik” dari keduanya. Cara mereka seperti ini akan menjadi “boomerang” bagi mereka sendiri. Fikih dan ushul fikih sama sekali tak bisa di-fiksasi, karena wataknya yang sejak awal sangat lentur dan “fluid“.
Menurut saya, meski kelompok HT sama sekali tak besar, tetapi ini adalah kelompok yang sangat mengancam di masa mendatang. Kelompok ini memang tidak memakai metode kekerasan, tetapi cara-cara indoktrinasi mereka sangat kondusif untuk lahirnya kekerasan. Mereka memakai metode konfrontasi dengan membagi dunia secara hitam putih, dunia Islam dan dunia kafir.
Kalau anda baca pamflet-pamflet mereka yang secara agresif mereka sebarkan, entah melalui majalah bulanan atau buletin mingguan pada hari Jumat, mereka dengan “ngoyo” –tetapi kadang-kadang lucu dan menggelikan– mencoba menganalisa peristiwa-peristiwa politik, baik domestik atau internasional, dengan cara yang sangat klise, yaitu mengembalikan seluruh masalah di dunia ini kepada kapitalisme, sekularisme, dan demokrasi, seraya mengajukan alternatif sistem khilafah sebagai solusi.
Dalam pandangan mereka, semua hal bisa diselesaikan dengan syari’ah Islam, mulai dari problem WC rusak (maaf, jangan terkecoh, ini hanya ungkapan yang saya pakai secara metaforis saja!) hingga ke sistem perdagangan dunia yang tak adil.
Saya sedang membaca kembali semua literatur HT yang ditulis oleh Taqiyyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum. Seluruh karangan mereka lengkap saya temukan di perpustakaan Universitas Harvard. Tidak mudah membaca buku kedua pengarang ini. Bukan karena sulit, tetapi karena isinya membosankan dan penuh dengan “non-sense“. Saya heran, bagaimana mungkin anak-anak muda bisa tergoda dengan ideologi yang non-sense seperti ini.
Saya kira, salah satu penjelasannya adalah bahwa ideologi HT ingin tampil sebagai ideologi revolusioner yang hendak menjadi alternatif atas kapitalisme dan demokrasi. Anak-anak muda yang sedang mengalami fase “sturm und drang“, fase pubertas intelektual dan mencari “bentuk”, mungkin mudah tertarik dengan ideologi yang hendak menampilkan diri sebagai “Che Guevara” dengan baju Islam ini.
Saya tak menyalahkan anak-anak muda itu. Tugas kaum intelektual Muslim lah untuk membongkar kepalsuan ideologi HT dengan menampilkan interpretasi yang beragam mengenai Islam, terutama interpretasi sejarah Islam yang hendak dimanipulas oleh kalangan HT. Beberapa kalangan terpelajar Muslim yang belajar di universitas Barat, tetapi tidak terdidik dalam studi Islam yang sistematis, juga ada yang jatuh kedalam “perangkap” kelompok ini. Saya sungguh heran, bagaimana kaum terpelajar yang berpikir secara rasional bisa percaya pada “non-sense” seperti dikemukakan oleh HT itu.
Beberapa kalangan pesantren di Jawa Timur, saya dengar, juga ada yang sudah mulai terpengaruh. Saya kira, taktik HT yang juga memakai literatur fiqh al-siyasah (fikih politik) klasik seperti al-Ahkam al-Sulthaniyya wa al-Wilayat al-Diniyya karangan Imam al-Mawardi (w. 1058 M), dalam beberapa kasus, membuahkan hasil. Sejumlah kiai dan santri yang tak mengerti peta perkembangan ideologi Islam internasional, dengan gampang “ditipu” oleh kelompok ini dengan retorika yang sengaja dibuat begitu rupa sehingga seolah-olah berbau fikih.
Kelompok ini dilarang di sejumlah negeri Arab dan Eropa, tetapi menikmati kebebasan yang penuh di Indonesia, bahkan berhasil mengadakan konferensi khilafah internasional pada 12 Agustus 2007 di Senayan. Tak kurang dari Ketua Umum Muhammadiyah, Dr. Din Syamsuddin, ikut menghadiri konfrensi itu dan memberikan sambutan. Isu Ahmadiyah yang menghangat di tanah air beberapa waktu lalu merupakan “lahan basah” yang dengan cerdik dipakai oleh sejumlah tokoh HT untuk menghimpun “credit points” di mata umat.
Bersama kelompok-kelompok lain seperti FUI dan FPI, HT dengan agresif melancarkan kampanye pembubaran Ahmadiyah di Indonesia. Salah satu tokoh mereka, Muhammad Al-Khaththath yang berhasil “menyusup” menjadi pengurus MUI Pusat, tampil sebagai salah satu figur sentral dalam kampanye ini. Isu Ahmadiyah memang isu yang sangat murah untuk meraih “credit points” di mata umat, tanpa resiko apapun.
Menurut saya, harus ada usaha yang sistematis untuk melawan secara intelektual ideologi HT. Ada kecenderungan yang sangat kuat ke arah totalitarianisme dan fasisme dalam ideologi ini yang sangat berbahaya bagi umat Islam.
Kelompok ini jauh lebih berbahaya ketimbang kelomopok salafi yang umumnya hanya menekankan “puritanisme dan kesalehan individual”. Mereka juga berbahaya persis karena sikapnya yang “konfrontatif” terhadap sistem politik yang ada di Indonesia: mereka menolak menjadi partai politik dan ikut pemilu karena menganggap demokrasi sebagai sistem kafir, padahal mereka sendiri adalah sebuah partai (terbukti dengan nama mereka, “hizb”). Karena berada di luar sistem, mereka bisa bertindak di luar kontrol.
Yang mengherankan adalah sikap pemerintah Indonesia yang bertindak secara kurang tepat dalam dua kasus berikut ini. Sementara dalam kasus Ahmadiyah, pemerintah takluk pada tekanan kaum Islam fundamentalis, termasuk Hizbut Tahrir, untuk membubarkannya, pada kasus Hizbut Tahrir pemerintah justru memperlihatkan kelonggaran yang luar biasa. Memang SKB Ahmadiyah tidak membubarkan kelompok itu, tetapi hanya sebatas membatasi kegiatannya. Karena tidak puas, kelompok-kelompok fundamentalis ini, di masa mendatang, tentu akan terus melakukan tekanan agar membubarkan Ahmadiyah.
Padahal jelas sekali tujuan akhir HT bertentangan sama sekali dengan tujuan negara Indonesia. HT ingin menggantikan Indonesia sebagai negara plural berdasarkan Pancasila dengan negara khilafah atau negara Islam universal. Sementara tujuan kelompok Ahmadiyah sama sekali tak ada yang bertentangan dengan tujuan negara Indonesia.
Meskipun saya sendiri bersikap bahwa setiap kelompok, aliran, sekte, dan mazhab apapun harus diberikan kebebasan untuk berserikat dan menyatakan pendapat di Indonesia sesuai dengan mandat konstitusi kita. Baik Ahmadiyah, Hizbut Tahrir, dan kelompok-kelompok lain haruslah diberikan kebebasan yang sama. Saya hanya mau menunjukkan paradoks kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Meskipun saya menganjurkan agar semua kelompok diberikan kebebasan berpendapat, tetapi kita, terutama masyarakat sipil, harus terus-menerus melakukan kritik atas ideologi atau paham yang menyebarkan kebencian pada kelompok atau aliran yang berbeda, yang tujuan akhirnya berlawanan dengan tujuan negara Indonesia, seperti kelompok HT ini.
Dalam beberapa “note” mendatang, insyaallah saya akan berusaha menulis sejumlah kritik atas ideologi negara khilafah yang dilontarkan oleh HT

1 comment:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    ReplyDelete