Saturday, 30 April 2011

LASKAR JIHAD, FPI DAN MUJAHIDIN


Oleh Denny JA, PhD
Indonesia selalu punya cara menghalau gerakan Islam garis keras. Di era Orde Baru, gerakan itu ditolak secara represi dan otoritarian. Di era reformasi yang penuh kebebasan, gerakan itu menjadi surut justru karena manuver yang dibuatnya sendiri. Impresi ini muncul secara spontan mengamati persoalan yang timbul secara serentak di tiga organisasi Islam garis keras: Laskar Jihad, FPI (Front Pembela Islam) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia).
Indonesia selalu punya cara menghalau gerakan Islam garis keras. Di era Orde Baru, gerakan itu ditolak secara represi dan otoritarian. Di era reformasi yang penuh kebebasan, gerakan itu menjadi surut justru karena manuver yang dibuatnya sendiri. Impresi ini muncul secara spontan mengamati persoalan yang timbul secara serentak di tiga organisasi Islam garis keras: Laskar Jihad, FPI (Front Pembela Islam) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). 
Di sela-sela hiruk pikuk berita mengenai Tragedi Bali, Laskar Jihad, organisasi yang terlibat dalam konflik di Ambon dan Poso, membubarkan diri. Sementara panglima tertingginya, Jafar Umar Thalib masih terus diproses di pengadilan dengan tuduhan provokasi dan hasutan. Habib Rieziq, ketua FPI juga ditahan. Pimpinan dan aktivis FPI terancam dipenjara, menyusul penghancuran tempat hiburan yang dilakukannya.
Perkembangan yang paling hot adalah ditahannya Abu Bakar Baasyir, pimpinan MMI. Penangkapan Baasyir adalah selaku pemimpin spritual Jemaah Islamiyah, dengan tuduhan jauh lebih seram, yaitu terlibat dalam upaya pembunuhan presiden RI, Megawati Soekarnoputri. Walau ditahannya Abu Bakar Baasyir memang tidak berhubungan dengan MMI, namun akan ada dampak politis yang besar atas MMI sendiri.
Di bidang hukum, sebelum ada vonis pengadilan, tentu ketiga tokoh di atas harus tetap diasumsikan belum tentu bersalah. Namun di bidang politik sudah dapat diambil kesimpulan bahwa memang ada ketidak sesuaian antara prinsip demokrasi dan Islam garis keras sebagaimana yang dipraktekan oleh tiga tokoh dan tiga organisasi di atas.   
Demokrasi yang tumbuh sejak gerakan reformasi memberikan kebebasan buat semua tanpa diskriminasi. Justru karena demokrasi, organisasi Islam garis keras seperti Laskar Jihad, FPI dan MMI dapat tumbuh dengan subur. Namun melalui perjalanan waktu, Laskar Jihad, FPI dan MMI berkembang menjadi ancaman terhadap lembaga dan kultur demokrasi itu sendiri. Tindak tanduk tiga organisasi Islam di atas bertentangan dengan prinsip penting demokrasi seperti tindakan nonkekerasan dan penghormatan atas pluralisme.
Tak ada yang salah dengan tujuan dasar FPI dan orientasi politiknya yang menentang tempat hiburan atau tempat maksiat. Orientasi dan gaya hidup yang ingin diperjuangkan FPI tidak secara otomatis membahayakan demokrasi. Dalam pluralisme demokrasi, gaya hidup dan orientasi FPI itu diberikan tempat untuk tumbuh.
Namun demokrasi juga harus memberikan tempat yang sama kepada gaya hidup yang berbeda dengan pilihan FPI. Kebebasan yang diberikan demokrasi termasuk kebebasan untuk memilih gaya hidup dan mencari kesenangan di tempat hiburan, sejauh ia tidak melakukan pemaksaan dan tidak melanggar hukum formal yang berlaku. Bahkan di Malaysia, yang tak sepenuhnya demokratis, dan pemerintahannya lebih Islami, juga ada tempat yang legal bagi perjudian.
FPI menjadi tidak sesuai dengan demokrasi karena ia kemudian melakukan pemaksaan cara berpikir dengan kekerasan. FPI merasa hanya pilihan gaya hidupnya sendiri yang boleh dipraktekkan. Organisasi ini tiba-tiba merasa punya hak menjadi polisi swasta dan menghancurkan dengan kekerasan berbagai tempat hiburan. Atas nama agama Islam yang suci, lengkap dengan atribut pakaian dan slogannya, FPI seolah menjadi tentara Tuhan yang ingin membersihkan dunia.
Celakanya maksud yang suci di dunia yang tak sempurna justru melihatkan sosok FPI yang sebenarnya. Aneka media memberitakan betapa oknum FPI terlibat dalam kasus pemerasan. Aneka tempat hiburan itu mereka sodorkan permintaan sumbangan untuk peringatan hari agama. Melalui oknum itu, agama Islam yang suci telah “dijual” sang oknum dengan harga yang sangat murah hanya untuk mencari uang, di tempat hiburan yang justru mereka haramkan. Ini sebuah kemunafikan yang sempurna.
Laskar Jihad mempunyai persoalan yang berbeda. Organisasi itu tumbuh dengan misi yang begitu agung dan suci, yaitu melindungi sesama pemuluk agama dari kemungkinan dibunuh atau terbunuh dalam konflik horizontal yang ganas. Secara sukarela dan dimobilisasi, ratusan aktivis Laskar Jihad menyebrang lautan, dengan resiko mati, menjalankan misi suci di atas.
Misi Laskar Jihad itu sama sucinya dengan Martin Luther King ketika ia memobilisasi kulit hitam Protestan untuk membela hak-hak sosial kulit hitam. Dan sama sucinya dengan upaya Mahatma Gandhi menginspirasikan warga India berkorban demi kemerdekaan negara. Bedanya, Gandhi dan Martin Luther King mengembangkan metode perjuangan yang sesuai dengan demokrasi. Sementara Jafar Umar Thalib dan laskar Jihad memilih metode yang justru dapat membunuh demokrasi.
Gandhi dan Martin mengembangkan semangat non-kekerasan dan cinta kasih. Menghadapi represi pihak lawan yang keras dan tak jarang dengan senjata, Gandhi dan Martin tak henti-henti meminta pengikutnya untuk tidak membalas dengan kekerasan. Bahkan Gandhi mengatakan bahwa jika kalian melawan musuh dengan rasa marah, kalian sudah gagal. Ujar Gandhi kepada pengikutnya, kalian hanya menjadi pejuang jika sudah dapat melawan tanpa rasa benci. Sejarah kemudian mencatat justru metode Gandhi dan Martin Luther King berhasil mendapatkan simpati dunia.
Sementara Jafar Umar Thalib dan laskar Jihad justru terjebak dalam provokasi berdarah. Dalam pidatonya, Jafar bahkan dianggap memprovokasi kebencian tak hanya kepada kelompok Kristen namun juga kepada pemerintah RI. Simbol Islam justru digunakan untuk memobilisasi pengikutnya dalam bentrokan berdarah dan kemarahan. Ujung dari metode itu menyeret sang panglima laskar ke pengadilan.
Berbeda dengan dua organisasi di atas, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) tak pernah terdengar menggunakan kekerasan fisik. Abu Bakar Baasyir juga ditahan tidak berhubungan dengan MMI yang dipimpinnya. Namun MMI terjebak dalam perangkap yang sama. Organisasi ini menggunakan Islam untuk tidak toleran terhadap pluralisme dan keberagaman ruang publik.
Atas nama Islam dan Tuhan, MMI mengancam mass media secara hukum untuk tidak menyiarkan kepercayaan atau gaya hidup yang berbeda dengan yang diyakini oleh MMI. Karena MMI percaya Islam itu satu, maka MMI merasa berhak melarang media mengiklankan “Islam Warna-Warni.” Karena MMI tidak senang dengan “kondom anti Aids”, ia pun mengancam secara hukum media yang mengkampanyekannya.
Secara kasat mata, memang MMI berjalan dalam rel hukum. Namun cara berpikir MMI tetap dikuasai semangat otoritarian yang sama, bahwa hanya cara berpikir mereka yang diterima Tuhan, dan cara berpikir lain harus tidak boleh disiarkan di ruang publik. Walau aksi mereka tetap dibungkus hukum, namun cara berpikir itu tetap berbahaya bagi kelangsungan demokrasi yang mengandalkan pada penghormatan atas keberagaman.
Kini Laskar Jihad sudah dibubarkan sendiri oleh pimpinannya. FPI sedang bermasalah di pengadilan. Dan MMI akan pula terkena efek dari kasus Abu Bakar Baasyir. Terlepas dari ketidak setujuan kita kepada mereka secara politis, mereka tetap layak diadili secara jujur dan fair. Justru dalam pengadilan yang fair terletak keindahan demokrasi, yang tetap menghormati hak hukum dari para penolak demokrasi itu sendiri.[]

1 comment:

  1. bual.......hoaxxxx
    Dengan adanya FPI malah kerukunan umat beragama terhapus,hanya muslim yang dianggap benar,agama lain dianggap kafir.
    Hargai donk penganut agama lain jika kalian cinta damai.
    agama di dunia tidak ada mengajarkan saling menbunuh...hanya ajaran setan yang mengajarkan seperti itu

    ReplyDelete