Monday, 9 December 2013
BANGKOK MENGGOYANG KELUARGA THAKSIN
Lebih dari tujuh tahun ini tampuk kekuasan di Thailand adalah kursi yang panas. Pada September 2006, Thaksin Shinawatra digulingkan militer lewat kudeta tak berdarah. Sekutu dekatnya, Samak Sundaravej, dan adik iparnya, Somchai Wongsawat, dipecat oleh Mahkamah Konstitusi. Mereka dituding menyalahgunakan kekuasaan.
Lalu, pada 2010, politisi Partai Demokrat, Abhisit Vejjajiva, diganggu unjuk rasa berdarah dari para simpatisan Thaksin. Setahun kemudian, dia kalah telak oleh Yingluck Shinawatra. Kini giliran Yingluck pula, yang tak lain adik kandung Thaksin itu, digoyang kubu oposisi di parlemen. Jalanan di Bangkok kembali membara oleh aksi protes.
Pertikaian politik intensif sejak 2006 itu menggambarkan terpecahnya rakyat Thailand dalam dua kubu. Konflik itu selalu terkait dengan Thaksin. Kubu anti Thaksin, yang populer disebut "Kaos Kuning" berseteru dengan kubu pro Thaksin, dengan ciri "Kaos Merah."
Di negeri gajah itu, sang raja kian sepuh. Di usia 86 tahun, tubuh Raja Bhumibol Adulyadej tampak begitu ringkih mengatasi perpecahan itu. Untunglah, rakyat masih hormat padanya, juga kedua kubu yang berseteru. Jika pada 5 Desember lalu bukan ulang tahun raja, maka aksi protes akan kian menggila. Tapi semua libur pada hari itu, juga para demonstran.
Dalam pesannya, Raja Bhumibol meminta rakyat tetap bersatu. Tapi ia tak memberi jalan keluar bagi konflik. Ia tak juga memberi dukungan khusus kepada pemerintah untuk melawan demonstrasi anti-Yingluck.
Kini, perempuan berusia 46 tahun itu terancam digulingkan dari jabatannya. Ia membuat keputusan "blunder", yaitu mengajukan rancangan amnesti kepada Thaksin dari hukuman penjara akibat kasus korupsi yang dijatuhkan hakim pengadilan di Thailand pada 2008. Thaksin kini kabur ke luar negeri. Jika amnesti itu lolos, maka ia bisa melenggang kembali pulang
Itu sebabnya, kubu oposisi menuding Yingluck sebagai "boneka" Thaksin. Tuduhan itu ada dasarnya. Yingluck memang tak punya pengalaman sebagai politisi. Tapi ia melejit cepat hingga menjadi perdana menteri. Bagi oposisi, Yingluck menang akibat campur tangan Thaksin di luar negeri. Si abang masih punya pengaruh dan jaringan kuat di elit politik dan para pemilih Thailand.
Melalui Yingluck, Thaksin diduga mengatur politik Thailand. "Rakyat pemilih tidak tahu bagaimana Yingluck akan bekerja, karena dia hanya akan mendengarkan suara kakaknya lewat telepon. Dia akan menjadi boneka, yang mendatangkan kerugian besar bagi dia sendiri," kata Deputi Perdana Menteri Sutheb Thaugsuban jelang Pemilu Mei 2011, seperti dikutip harian berbahasa Inggris yang berpengaruh di Thailand, The Nation.
Dua tahun kemudian, Sutheb memimpin aksi jalanan mengganyang Yingluck. Dia sengaja mundur sebagai anggota parlemen dari Partai Demokrat yang beroposisi untuk bisa leluasa beraksi. Hingga saat ini Sutheb dan massanya masih menuntut Yingluck mundur.
Namun, Yingluck masih percaya diri dan tidak memenuhi tuntutan demonstran. "Apa pun yang dapat saya lakukan demi membuat rakyat bahagia, akan saya lakukan. Namun, sebagai Perdana Menteri, apa saya lakukan harus sesuai dengan konstitusi yang berlaku di negara ini," ujar Yingluck.
Keluarga Terpandang
Yingluck lahir dan besar di keluarga kaya dan terpandang. Sebagai anak bungsu, anak politisi lokal di Chiang Mai itu tinggal menjalankan dan mengikuti saja apa yang sudah dirintis orang tua dan kakak-kakaknya, terutama Thaksin.
Ia mendapat gelar sarjana politik di Universitas Chiang Mai pada 1988, dan tiga tahun kemudian gelar magister ilmu sistem informasi manajemen dari Universiyas Kentucky State, Amerika Serikat. Yingluck tidak langsung terjun ke gelanggang politik. Dia dikaryakan membantu bisnis keluarga, dengan menempati sejumlah jabatan strategis di perusahaan yang dikuasai kakaknya, Thaksin.
Harian The Nation mengungkapkan Yingluck pernah menjadi general manager dan Deputi Kepala Eksekutif Korporat (CEO) di Rainbow Media, yaitu anak perusahaan International Broadcasting Corporation. Kemudian dia dipromosikan jadi CEO Advanced Info Service (AIS), operator ponsel terbesar di Thailand
Yingluck pernah pula menjadi Direktur Pelaksana SC Asset Co Ltd., yaitu perusahaan pembangunan properti milik keluarga Shinawatra. Dia menguasai sebagian saham Shin Corporation, perusahaan induk AIS yang akhirnya dijual ke Temasek Holdings.
Itulah sebabnya banyak pihak di Thailand ragu bahwa keterlibatan Yingluck dalam gelanggang politik bukan karena ambisi pribadi. Ia seperti dikirim oleh kakaknya ke gelanggang politik. Yingluck hadir, setelah Thaksin dikudeta oleh militer pada September 2006, dan dihukum penjara dua tahun oleh pengadilan di Bangkok atas kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan pada Oktober 2008.
Walau harus kabur ke luar negeri untuk menghindari vonis hakim, pengaruh politik Thaksin masih besar. Dia masih punya basis dukungan di pedesaan, terutama di kampung halamannya, di Thailand bagian utara, termasuk Chiang Mai. Thaksin pun mendorong sekutu dan anggota keluarganya untuk bertarung di gelanggang politik.
Setelah partainya, Thai Rak Thai, dibubarkan, Thaksin mensponsori partai pimpinan adik iparnya, Somchai Wongsawat, yaitu Kekuatan Rakyat. Para pengikut dan sekutu Thaksin langsung beralih ke partai itu. Somchai akhirnya ditunjuk Mahkamah Konstitusi menjadi PM baru Thailand pada September 2008, menggantikan Samak Sundaravej, sekutu Thaksin yang harus mundur karena memiliki pekerjaan lain selama jadi perdana menteri.
Namun, Somchai dan partainya pun bermasalah karena terkait politik uang. Pada Desember 2008, dipecat dari jabatan PM dan partainya pun dibubarkan. Posisi PM pun diisi politisi Partai Demokrat, Abhisit Vejjajiva, yang berseberangan dengan kubu Thaksin.
Pada titik inilah Yingluck dilibatkan ke politik. Para pendukung Thaksin perlu figur baru. Mereka lalu membentuk Partai Pheu Thai, yang berarti Partai Bagi Rakyat Thailand. Masih muda, perempuan, terlihat polos, dan cantik sudah menjadi modal cukup bagi Yingluck meneruskan pengaruh politik kakaknya . Walau tak berpengalaman politik, senyumnya yang khas mampu mengundang daya tarik para pemilih, baik tua maupun muda.
Menurut laman harian Thailand, Matichon, Yingluck diminta untuk memimpin partai Pheu Thai. Tawaran itu dia tampik karena lebih tertarik mengurus bisnis sehingga dia minta orang lain saja yang pimpin.
Tidak heran, menurut laporan diplomatik ke Washington DC yang bocor di laman WikiLeaks, dalam percakapan pada 9 September 2009 dengan Duta Besar AS untuk Thailand saat itu, Eric John, mantan deputi perdana menteri yang juga sekutu dekat Thaksin, Sompong Amornvivat, mengaku tidak melihat ada peran yang besar bagi Yingluck di Partai Pheu Thai. Lagipula Thaksin sendiri, ungkap Sompong, tak ingin mengorbitkan Yingluck di partai. Yingluck pun tampak kurang meyakinkan untuk serius menjadi politisi.
Namun, skenario itu berubah. Berdasarkan laporan yang dikirim ke Departemen Luar Negeri AS tertanggal 25 November 2009, yang juga bocor di WikiLeaks, Dubes John mencatat hasil suatu pertemuannya dengan Yingluck. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan terdahulu, Yingluck kali ini tampil lebih siap menjabarkan operasi, strategi, dan tujuan partai saat bertemu dengan John.
"Seseorang bisa dengan mudah tampil belakangan untuk mengambil alih kepemimpinan partai dan mengabdi sebagai perdana menteri berikut," kata Yingluck saat itu, seperti dikutip dalam laporan diplomatik AS yang bocor. Pada 16 Mei 2011, Yingluck bersedia dan terpilih menjadi kandidat utama dari Partai Pheu Thai untuk menantang PM Abhisit pada Pemilu di tahun itu.
Di sinilah peran kakaknya terlihat, seperti yang dia kemukakan dalam wawancara yang dimuat harian Bangkok Post, 17 Mei 2011. Bagi Thaksin, Yingluck mirip dengan dia.
"Beberapa pihak berkata dia adalah calon saya [untuk menjadi PM]. Itu tidak benar. Namun bisa dikatakan Yingluck adalah kloningan saya," kata Thaksin saat itu. "Hal penting lain, Yingluck adalah adik saya dan dia bisa membuat keputusan untuk saya. Dia bisa bilang 'ya' atau 'tidak' atas nama saya," kata Thaksin.
Maka, didukung para politisi pendukung Thaksin dan kuatnya loyalitas rakyat di pedesaan dan kawasan utara Thailand atas klan Shinawatra, Partai Pheu Thai pun menang telak menguasai 265 dari 500 kursi di parlemen pada Pemilu 2011. Pada 6 Agustus 2011, Yingluck pun bertahta sebagai perdana menteri perempuan pertama di Thailand.
Tugas pertama PM Yingluck adalah berupaya menghapus keraguan sebagian publik dan media massa akan kemampuannya menjalankan roda pemerintahan. Namanya tidak populer sebelum mencalonkan diri sebagai kandidat dari Partai Pheu Thai.
"Keluarga saya itu adalah keluarga politisi, dan saya punya pengalaman dalam bisnis serta telah mengelola sebuah perusahaan terdaftar di bursa saham selama 20 tahun. Jadi saya akan menggunakan dua kompetensi itu membantu Thailand jadi maju, terutama ekonominya," kata Yingluck dalam wawancara dengan stasiun berita BBC tak lama setelah menang pemilu.
Selain mengandalkan pesona pribadi beserta jaringan yang dibangun para sekutu dan binaan kakaknya, janji-janji kampanye Yingluck juga mengundang daya tarik para pemilih. Salah satu janjinya, seperti dikutip Xinhua, adalah memberi perangkat komputer gratis kepada sekitar satu juta anak sekolah, dan menaikkan upah minimum bagi pekerja.
Yingluck pun saat itu berjanji mengupayakan rekonsiliasi nasional. Artinya tidak menaruh dendam kepada pihak-pihak yang telah mengkudeta Thaksin, maupun yang mendukung dia digulingkan dari kekuasaan. Dia yakin, setelah bertahun-tahun dilanda krisis politik, rakyat akan mempercayai dia untuk mengembalikan stabilitas nasional.
"Selama kita bersama-sama memecahkan masalah, saya berharap rakyat Thailand akan memberi saya kesempatan membuktikan diri, dan menunjukkan sikap tulus saya," kata Yingluck.
Sejak menjadi perdana menteri, tampaknya Yingluck mampu membawa pemerintahannya berjalan mulus. Termasuk menangani bencana banjir nasional, yang menewaskan lebih dari 500 jiwa, dan menggenangi seperlima dari Ibu Kota Bangkok.
Pada awal 2012, seperti diberitakan BBC, PM Yingluck meluncurkan anggaran kompensasi kepada para korban akibat kerusuhan politik, antara kubu kaos merah dengan kaos kuning. Ini termasuk uang duka sekitar US$63 juta kepada keluarga korban tewas dalam bentrokan berdarah di Bangkok beberapa waktu sebelumnya, dan juga kepada mereka yang terluka, atau ditahan secara tidak adil.
Di awal-awal pemerintahannya, Yingluck pun tampak menjalin hubungan baik dengan dua pihak yang sangat penting di Thailand, yaitu keluarga kerajaan dan militer. Namun, beberapa kebijakan pemerintahannya mulai dipertanyakan. Salah satunya adalah kebijakan subsidi beras.
Subsidi itu berupa berupa program pemerintah membeli beras dari para petani di atas harga pasar. Tujuannya mendongkrak pendapatan di pedesaan. Tapi, subsidi itu justru memukul ekspor beras, yang menjadi salah satu andalan Thailand mendatangkan devisa.
Amnesti
Kebijakan fatal bagi pemerintahan Yingluck adalah mengajukan rancangan undang-undang amnesti. Undang-undang itu berupa pengampunan bagi mereka yang dipidana dalam rangkaian kekerasan politik semenjak kudeta atas PM Thaksin, termasuk mereka yang dipenjara akibat kerusuhan berdarah di Bangkok pada 2010.
Undang-undang itu disetujui oleh DPR, yang dikuasai Partai Pheu Thai pada 1 November 2013, sebelum akhirnya ditolak di tingkat Senat sepuluh hari kemudian. Namun, undang-undang ini mengundang kemarahan dari kubu oposisi yang digalang Partai Demokrat di parlemen, dan memicu kembalinya aksi protes di Bangkok.
Bagi kelompok oposisi, proposal Yingluck itu adalah skenario membebaskan Thaksin dari pidana, sehingga bisa pulang ke negaranya tanpa harus dipenjara atas kasus korupsi. "Intinya, hukum amnesti itu bertujuan membebaskan Thaksin dari kesalahan yang dia lakukan, menghapuskan hukumannya, sekaligus melapangkan jalan bagi dia untuk pulang," kata mantan PM Abhisit Vejjajiva, yang kini jadi pemimpin kubu oposisi di parlemen, seperti dikutip Xinhua.
Di jalanan, aksi protes digalang oleh mantan wakil perdana menteri Suthep Thaugsuban, politisi Partai Demokrat mengundurkan diri dari anggota parlemen. Aksi di Bangkok ini membuat repot pemerintah, dan berlanjut ke bentrokan berdarah yang menewaskan empat orang pada 1 Desember 2013.
Para pemrotes juga menuntut Yingluck segera mundur dari jabatan PM, dan menggelar Pemilu baru. Selama menunggu pemilu, mereka pun menuntut DPR, yang dikuasai Partai Pheu Thai, diganti oleh Dewan Rakyat untuk dihuni orang-orang non partai politik.
Tuntutan itu tidak dipenuhi Yingluck. Dia bersedia mundur, tapi tidak dengan cara yang diinginkan para demonstran jalanan. " Sebagai Perdana Menteri, apa saya lakukan harus sesuai dengan konstitusi yang berlaku di negara ini," ujar Yingluck. Sebaliknya Suthep dan para pendukungnya bertekad tak akan berhenti bila tuntutan tidak dipenuhi.
Yang tampak kemudian adalah sebuah jalan buntu. Kedua pihak belum mau berdialog. Para pengamat mengatakan, situasi ini meperburuk krisis politik di Thailand, dan membuat masyarakat terus terbelah.
Profesor Thitinan Pongshudirak dari Universitas Chulalongkorn menilai bila kubu Suthep berhasil menyingkirkan Yingluck lewat aksi jalanan, situasi malah akan berbahaya. Siapapun PM baru pasti akan digoyang pula oleh aksi unjuk rasa dari para pendukung Yingluck, maupun Thaksin seperti pada aksi berdarah 2009 dan 2010.
"Bila Suthep berhasil, bakal ada banyak masalah di Thailand," kata Thitinan seperti dikutip Xinhua. "Bila Yingluck selamat, memang tetap akan ada masalah. Namun, pada akhirnya bisa teratasi dengan dikembalikannya mandat kepada rakyat," ujar dia. Pemilu damai mungkin jalan keluar tercepat. Tapi, itu baru solusi jangka pendek. Sebuah pemecahan jangka panjang, belum lagi terbayang.
Mirip semacam kutukan, di negeri gajah itu, tahta perdana menteri adalah sebuah kursi yang panas.
No comments:
Post a Comment