Tunggul Ametung adalah tokoh dalam Pararaton yang menjabat sebagai akuwu
wilayah Tumapel, yaitu salah satu daerah bawahan
kerajaan Kadiri pada masa pemerintahan Kertajaya (1185
- 1222). Ia kemudian mati dibunuh pengawalnya
sendiri yang bernama Ken Arok, yang
kemudian mendirikan Kerajaan Singhasari.
Kutukan
Mpu Purwa
Nama Tunggul Ametung hanya dijumpai
dalam naskah Pararaton yang
dikarang ratusan tahun sesudah zaman Kadiri dan Singhasari. Pada zaman itu jabatan akuwu
mungkin setara dengan camat pada masa sekarang.
Pararaton
mengisahkan pada suatu hari Tunggul Ametung singgah ke desa Panawijen. Di sana
ia berjumpa seorang gadis cantik bernama Ken Dedes, yang merupakan putri seorang
pendeta bernama Mpu Purwa. Tunggul
Ametung terpikat hatinya dan segera meminang Ken Dedes. Gadis itu memintanya supaya
menunggu kedatangan Mpu Purwa yang saat
itu sedang berada di dalam hutan. Tunggul Ametung tidak kuasa menahan
keinginannya. Ia pun menculik Ken Dedes dan
membawanya paksa ke Tumapel.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia marah
mendengar berita penculikan putrinya. Ia pun mengucapkan kutukan, barangsiapa
yang telah menculik putrinya, kelak akan mati karena tikaman keris.
Kisah
Kematian
Tunggul Ametung memiliki seorang
pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Semula ia
adalah penjahat buronan Kerajaan Kadiri.
Tapi berkat bantuan seorang pendeta dari India
bernama Lohgawe, ia dapat diterima bekerja di Tumapel.
Ken Arok kemudian terpikat pada kecantikan Ken Dedes, yang diramalkan oleh Lohgawe
akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu membuat
hasrat Ken Arok semakin besar. Maka dengan
menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok menjalankan niatnya untuk
menyingkirkan Tunggul Ametung.
Mula-mula Ken Arok meminjamkan keris pusakanya kepada
rekan sesama pengawal, bernama Kebo Hijo. Kebo Hijo sangat suka dan membawanya
ke mana pun ia pergi. Hal itu membuat orang-orang Tumapel mengira kalau keris itu adalah
milik Kebo Hijo.
Pada malam yang ditentukan Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari
rumah Kebo Hijo. Ia kemudian pergi ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh
akuwu Tumapel tersebut.
Pagi harinya warga Tumapel gempar menjumpai keris Kebo Hijo
menancap pada mayat Tunggul Ametung. Kebo Hijo pun dihukum mati dengan
menggunakan keris yang sama.
Keturunan
Tunggul Ametung
Pararaton
kemudian mengisahkan sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok menikahi Ken Dedes serta mengangkat dirinya sebagai
akuwu Tumapel. Waktu itu, Ken Dedes tengah mengandung bayi hasil
perkawinannya dengan Tunggul Ametung, yang setelah lahir diberi nama Anusapati.
Seiring berjalannya waktu Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri pada tahun 1222
dan mendirikan Kerajaan Singhasari.
Waktu itu Anusapati sudah dewasa dan merasa
dianaktirikan oleh Ken Arok. Setelah
mendesak ibunya (Ken Dedes), ia
akhirnya mengetahui kalau dirinya bukan anak kandung Ken Arok. Ia juga mengetahui kalau ayah
kandungnya adalah Tunggul Ametung yang mati dibunuh Ken Arok.
Apabila kisah dalam Pararaton ini dicermati, maka akan
diperoleh gambaran bahwa Ken Dedes merupakan
saksi mata pembunuhan Tunggul Ametung. Anehnya, ia justru bersedia dinikahi
oleh pembunuh suaminya itu. Kiranya Ken Dedes dan Ken Arok sebenarnya memang saling
mencintai. Perlu diingat pula kalau Ken Dedes menjadi istri Tunggul Ametung
setelah dirinya diculik oleh akuwu Tumapel tersebut. Jadi pernikahan pertama Ken Dedes mengandung unsur keterpaksaan.
Pararaton
melanjutkan bahwa Anusapati kemudian
berhasil membunuh Ken Arok melalui
tangan pembantunya, dan menjadi raja Tumapel yang kedua. Ia kemudian menurunkan
raja-raja selanjutnya, seperti Wisnuwardhana dan Kertanagara.
Raden Wijaya pendiri Majapahit memang bukan keturunan Tunggul
Ametung. Tetapi istrinya, yaitu Gayatri adalah putri Kertanagara. Dari rahim Gayatri inilah lahir Tribhuwana
Tunggadewi yang kemudian menjadi raja wanita pertama di Majapahit, yang juga menurunkan raja-raja
selanjutnya, seperti Hayam Wuruk dan Wikramawardhana.
Jika apa yang ditulis dalam Pararaton itu benar, maka dapat
dikatakan kalau Tunggul Ametung adalah leluhur raja-raja Singhasari dan Majapahit.
No comments:
Post a Comment