Apa bedanya panggung politik dengan panggung hiburan? Demi menghemat energi berdebat-debat,mari kita sepakat pada satu kata, tak ada, alias sama dan serupa. Di atas panggung politik maupun panggung sandiwara, akan selalu hadir berjuta-juta cerita. Suka-duka, sedih-gembira, derita-bahagia, rangkaian gerbong cerita yang dikemas dalam berita, pada akhirnya puya tujuan yang sama, arena hiburan bagi manusia.
Percaturan politik, layaknya permainan catur, gerak loncat saling bentur, meski kadang membuat dahi berkerut, tetap saja, pada akhirnya bertujuan menghibur. Layaknya hiburan, letakkan saja pada koridor hiburan. Boleh saja kita bersitegang dalam perseteruan dan aneka pertempuran, pada akhirnya, tutup saja dengan tertawa.
Panggung politik, sebagai salah satu ekspresi entertainment yang paling membuat orang nyandu tergila-gilademen oleh pesonanya. Gelaran politik di negeri republik, kadang berupa opera “panggung-sandiwara” dengan seniman aktor-aktris berakting gaya di atasnya, gelaran Pilkada Jabar misalnya. Kadang berupa drama musikal “orkestra” biduan-biduanita beriring musik dangdut terajana, Duet Gotik Rhoma-Zaskia 2014 contohnya. Bisa juga dagelan gila meski cuma sebatas wacana, duet Parto-Tukul di Pilpres 2014 buktinya.
Aha, entertaining politik lebih menggelitik, jika panggungnya berupa gelaran aksi akrobatik. Gerak zig-zag para pemainnya, loncat-loncat layaknya kutu loncat, jungkir balik, kayang-salto, politik memang polah pletak-pletik (bergerak loncat sana loncat sini). Memang, kadang aksi akrobatik politik membuat kita tertawa ngikik jika aksinya wagu, saru (rancu-jorok) menggelitik. Namun selagi kita lihat sebagai tontonan yang menghibur seru, yang penting bisa tertawa, habis perkara.
Syahdan, suatu hari seorang pemain akrobat tengah beraksi di panggung politik. Namanya juga akrobat, tentu yang penting bisa pletak-pletik. Tak peduli apakah ia pionir dan mahir dalam mengolah gerakannya, tak peduli pula apakah ia terlatih atau tergagap-gagap karena tak biasa. Adalah dia Sutan Bathoegana. Politisi (yang katanya) senior dari Partai Demokrat yang tengah berkuasa.
Nampaknya Sutan lupa pada “canda politik”nya yang kerap aneh-aneh, salah satunya tentang istilah orgasme politik. Sutan ada benarnya, bahwa hubungan politik ibarat hubungan suami isteri dalam rumah tangga bangsa. Pemimpin (wakil rakyat dan pejabat) suaminya, publik-rakyat sebagai isterinya. Rumah tangga harmonis hanya tercipta ketika terjalin hubungan yang baik di antara keduanya, termasuk, (maaf) dalam hubungan badan yang pada fitrahnya sakral suci mulia. Tujuannya sama, untuk kesenangan, kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan berdua.
Namun, karena ”berahi politik” tak terbendung, mungkin tergesa-gesa hendak mengejar orgasme, Sutan pun “ejakulasi politik” dini, tersandung kasus berbuah kontroversi. Sutan terkilir, bukan salah gerakan akrobat kaki, tapi karena “blunder lidah” dalam sebuah diskusi di DPR. Sutan menuding pemerintahan Gus Dur jatuh akibat terlibat skandal Brunei-gate dan Bulog-gate. Akibatnya, publik pun “gusar” layaknya seorang isteri yang dicurangi suaminya.
Sutan dicerca, dicaci-maki hingga disumpahi. Konon katanya, mengeluarkan sembarang statemen tentang orang yang bukan sembarangan, apalagi seorang kyai besar yang telah wafat, mantan presiden RI pula, Sutan bisa “kualat tujuh turunan.” Sontak Sutan dihantui “kecemasan bathin.” Bersama Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Jhonny Alen Marbun, Sutan pun sowan ke kediaman keluarga Gus Dur di Ciganjur untuk meminta maaf.
Terlanjur dikenal publik sebagai pemain ciamik akrobat politik, kedatangan ini pun memunculkan cerita baru. Konon katanya, sowan adalah bagian dari aksi akrobatik, terlebih karena Anas ikut mendampinginya. Misi politik Partai Demokrat, sekali gerakan, dua tiga aksi terlampaui. Sambil sungkeman gaya cium tangan kepada Ibu Shinta Nuriyah Wahid, Demokrat sekalian mencari lucky, keberuntungan politik dengan “masuk” ke keluarga Gus Dur. Paling tidak, unjuk diri bahwa sowan adalah bukti sikap ksatria Demokrat yang bermartabat dan rendah hati. Untuk urusan aksi akrobat, Demokrat memang hebat!
Demokrat selama ini dinilai tidak memiliki hubungan yang dekat Gus Dur khususnya dan basis Nahdlatul Ulama (NU) pada umumnya. Langkah untuk meminta maaf itu secara tidak langsung juga akan merekatkan hubungan antara Partai Demokrat dengan NU. Aksi akrobatik ditunjukkan Anas dengan tak sekadar meminta maaf, tapi juga mendoakan agar putri Gus Dur Yenny Wahid sukses di tahun 2014. Demi kepentingan politik, para pemain mesti cerdas dan cantik bermain akrobatik.
Di satu sisi, GP Ansor sebagai salah satu representasi umat Nahdliyin, menyatakan bahwa masalah Sutan Bhatoegana sudah selesai. Namun sebagian kalangan yang masih merasa memiliki Gus Dur menilai, bahwa permintaan maaf Sutan belum setimpal. Sowan dan sungkeman tak serta-merta mengobati “luka hati” umat-bangsa ini. Sutan masih dituntut untuk “tobat nasuha” turun dari “panggung politik” dan “wajib hukumnya” meminta maaf kepada rakyat Indonesia.
Di sisi lain, pihak Demokrat dan istana juga tidak serta merta mau disudutkan begitu saja. Istana berdalih, bahwa pernyataan Sutan sendiri adalah reaksi alami politisi yang terbakar oleh statemen aktivis Gerakan Indonesia Bersih yang juga mantan jubir Gus Dur Adhie Masardi tentang Presiden SBY. Adhie Masardi berkata bahwa SBY mendapat gelar dari Ratu Inggris karena barter dengan LNG Tangguh. Selain itu, BP Migas dibubarkan disebut juga oleh Adhie Masardi sebagai bukti kalau SBY melindungi koruptor.
Alhasil, keterkiliran aksi akrobatik lidah Sutan, di dunia politik bernuansa seni-hiburan, tak cuma sekadargerak acak kesalahan. Seperti pola geometrik fraktal Mendelbrot, Sutan secara tak sengaja telah memainkan gerak zig-zag beraturan, meski sekilas nampak tak beraturan. Sama saja dengan pola politik di republik yang sarat dengan peraturan namun gagal membuat para pemain politik untuk tunduk pada aturan.
Alhasil, keterkiliran aksi akrobatik lidah Sutan, di dunia politik bernuansa seni-hiburan, tak cuma sekadargerak acak kesalahan. Seperti pola geometrik fraktal Mendelbrot, Sutan secara tak sengaja telah memainkan gerak zig-zag beraturan, meski sekilas nampak tak beraturan. Sama saja dengan pola politik di republik yang sarat dengan peraturan namun gagal membuat para pemain politik untuk tunduk pada aturan.
Pemilu 2014 kian mendekat. Dan hampir dipastikan, panggung politik negeri ini akan dipenuhi ragam aksi akrobatik para pemain politik. Untuk dua tujuan, kompetisi kepemimpinan dan perebutan kekuasaan. Aksi akrobatik menjadi keniscayaan. Ada banyak cerita yang dikemas menjadi jutaan berita. Ada banyak keterlibatan kepentingan, keinginan dan kebutuhan yang menyatu dengan hasrat-syahwat “berahi” jutaan manusia.
Ada banyak aksi akrobatik unik, apik, cantik, ngulik dan menggelitik, mengundang jutaan pasang mata, berikut tanda tanya yang nyaris tak pernah ada kepastian jawabnya. Akhirnya, apapun yang terjadi dengan aksi akrobatik di panggung politik republik, ambil saja sebagai hikmah pendidikan politik anak bangsa. Semoga kita bisa belajar bijak berbicara dan bijak pula dalam menyikapi orang yang salah berbicara. Dan jangan lupa, tutup ceritanya dengan sepuas-puasnya tertawa.