Thursday, 29 July 2010

Biaya Pilkada: Terus Mengeluh

Didik Supriyanto

Pemilihan kepala daerah mahal harganya, baik itu untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota. Menurut perhitungan KPU, pilkada 2010-2014 yang terdiri dari 33 provinsi dan 500-an kabupaten/kota akan menelan biaya Rp 15 tiliun.

Anggaran untuk penyelenggaraan pilkada provinsi antara Rp 50 miliar sampai Rp 70 miliar, sedang untuk kabupaten/kota antara Rp 7 miliar sampai Rp 10 miliar. Semua dana itu disiapakan oleh APBD. Itu baru dari biaya penyelenggaraan yang dibelanjakan KPU daerah.

Bagaimana dengan dana yang disiapkan oleh pasangan calon? Belum ada angka pasti. Meskipun setiap pasangan calon wajib membuat laporan dana kampanye, namun bisa dipastikan angka riil pengeluaran pasangan calon jauh lebih besar daripada angka yang dilaporkan.

Kita perkirakan saja, setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mengeluarkan dana Rp 10 miliar, jika satu provinsi terdapat lima pasangan calon, maka akan ketemu angka Rp 1,65 triliun. Jika setiap pasangan calon bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota mengeluarkan dana Rp 2,5 miliar, untuk 500 kabupaten/kota akan ketemu angka Rp 5,25 triliun.

Perkiraan dana pasangan calon tersebut sangat konservatif. Sebab menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon harus menyiapkan dana sekitar Rp 100 miliar. Bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota terpilih bisa menghabiskan dana sampai Rp 15 miliar.

Gamawan Fauzi menyebut ini sebagai paradoks pilkada. Paradoks antara biaya pilkada yang mahal dan tuntutan pemerintah yang bersih KKN. Padahal gaji seorang gubernur hanya sebesar Rp 8,7 juta per bulan. Bagaimana mau menciptakan pemerintahan yang bersih, sementara kepala daerah terpilih harus mengembalikan utang dana pilkada dalam jangka lima tahun pemerintahannya?

Sebetulnya, soal besarnya biaya pilkada ini bukan barang baru. Sudah sejak lima tahun lalu dibahas, menyusul berlangsungnya gelombang pertama pilkada langsung pada Juli-Agustus 2005. Namun lima tahun berlalu, tidak ada kebijakan baru yang ditempuh. Padahal berbagai usulan telah disampaikan.

Salah satu usulan yang masuk akal untuk dilaksanakan adalah menyerentakkan waktu penyelenggaraan pilkada dalam satu hari H pemilihan. Jika ini dilakukan akan terjadi penghematan yang sangat signifikan, sebab komponen terbesar dari penyelenggaraan pilkada adalah honor petugas pemilu, mulai dari TPS, PPS, PPK hingga KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi.

Artinya, jika satu kabupaten/kota menyelenggarakan pilkada berbarengan dengan provinsi, maka petugas pemilu hanya menerima satu kali honor, namun bekerja untuk dua pilkada. Sebuah penghematan tidak sedikit. Apalagi, jika pilkada dibarengkan dengan pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, maka akan terjadi penghematan yang berlipat.

Itulah sebabnya, usai pelantikan presiden dan wakil presiden akhir 2009 lalu, sejumlah pengamat dan pemantau pemilu usul agar penyelenggaran pilkada 2010 ditunda sampai pertengahan Juni 2011, dengan tujuan untuk menyerentakkan sekitar 2/3 pilkada se-Indonesia. Sebanyak 1/3 pilkada lainnya akan diserentakkan pada 2013, dengan catatan masa jabatan kepala daerah terpilih hanya sampai pada 2016. Sebab pada tahun inilah akan diselenggarakan pilkada serentak nasional.

Komisi II DPR sebetulnya sudah menyetujui usulan penundaan dan penyerentakan pilkada itu. Mereka bahkan meminta pemerintah untuk menyiapkan perangkat hukumnya, dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau revisi terbatas UU No. 32/2004. Namun pemerintah ternyata tidak merespons dengan baik.

Karena itu, sangat aneh, jika kini Mendagri sering mengeluhkan soal besarnya biaya pilkada dalam berbagai kesempatan. Sudah sejak lima tahun lalu masalah ini terumuskan; solusinya pun sudah diusulkan. Jika DPR sudah setuju, masalahnya tinggal di pemerintah, mau bertindak atau tidak!

No comments:

Post a Comment