BAJU radikalisme dan fundamentalisme yang dipakai atas nama Islam oleh kelompok tertentu menjadi ‘boomerang’ bagi umat Islam sendiri. Di Indonesia, kedua aliran itu telah menggejala baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Fenomena demikian menyebabkan kekhawatiran berbagai kalangan masyarakat, sebab alur pemikiran semacam itu telah merasuki anak-anak, pelajar dan mahasiswa.
Sejumlah ulama dan kiai Nahdlatul Ulama pantas saja mengkhawatirkan fenomena itu, meskipun sebenarnya radikalisme dan fundamentalisme beragama tak hanya berlaku bagi agama Islam. Tapi untuk merespons dan mengantisipasi gejala yang berkembang, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, perlu menggelar bahtsul masail diniyyah yang diadakan di Ponpes Al-Qur’aniyy Azzayadiyy, Solo, belum lama. Diantaranya, fenomena radikalisme dan fundamentalisme dengan baju agama yang dinilai paling krusial.
Kalaupun secara luas telah diketahui, bahwa NU memang bukan organisasi muslim yang mendasarkan pemahaman keagamaan pada pandangan yang radikal maupun fundamentalisme. Namun demikian para ulama NU merasa perlu untuk membahasnya dan merumuskan pemikirannya agar dapat dijadikan acuan bagi umat. Rencananya, keputusan itu akan diusulkan untuk dibahas di forum Munas NU.
Jika kembali membaca sejarah Indonesia, sejak tahun 1940-an sampai 1950-an, memang sudah ada persaingan antara kalangan Islamis dengan kalangan demokratis. Menurut Greg Barton gejala ini bukan sesuatu yang baru, dan tidak mungkin dihilangkan dengan sendirinya.
Jamaah Islamiyah misalnya, disebut sebagai sayap yang paling radikal dari yang ada saat ini, juga memiliki hubungan dengan gerakan lama lewat jalur keluarga dan sebagainya. Adapun faktor kultural ternyata juga ikut menentukan, sebagai contoh peristiwa yang terjadi pada diri Gus Dur di Purwakarta, dapat diketahui bahwa kawasan itu memang cenderung lebih konservatif dan radikal dalam ekspresi beragamanya.
Sementara gagasan Islam yang radikal, dalam konteks global baru muncul sejak tahun 1940-an lewat buku-buku al-Maududi, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, ditambah lagi dengan ide-ide Wahabisme yang sudah lama. Sedangkan pengaruh Islam di tingkat global dan ide-ide Islam modern, muncul sekitar abad ke 20-an . Jadi radikalisme harus dilihat juga dalam konteks dunia modern. Begitu pula, faktor politik dan environment atau lingkungan global sangat menentukan, karena isu-isu dan kondisi umat Islam di berbagai tempat, memang jauh lebih gampang menyentuh hatinya.
Iran dan Mesir sebagai dua negara yang dianggap paling inspiratif dalam melahirkan Islam radikal di negara-negara lain. Fenomena revolusi Islam Iran 1979 dianggap banyak pengamat sebagai salah satu bentuk radikalisme Islam yang kemudian mengilhami kaum Muslim di banyak negara melakukan hal serupa. Sementara itu, di Mesir lahirnya al-Ikhwan al-Muslimun yang dibidani oleh Syaikh Hasan Al-Banna (1906-1949) pada April 1928 mengalami perkembangan pesat yang ditandai oleh tersebarnya organisasi ini di kurang lebih 70 negara, tidak hanya di Timur Tengah tapi juga di wilayah lain.
Pengaruh keagamaan dan politik dari Timur Tengah ke Indonesia bukan hal baru dalam sejarah. Semenjak Islam masuk ke Nusantara, hubungan masyarakat Indonesia dengan Timur Tengah sangat kental. Dalam konteks keagamaan, pengetahuan, dan politik, transmisi ini dimungkinkan karena posisi Timur Tengah sebagai sentrum yang selalu menjadi rujukan umat Islam.
Momok ekstrem kanan yang dulu begitu diwaspadai oleh Orde Baru kini hilang dari kamus politik Indonesia. Kelompok Islam radikal memang berhasil “ditumpas” rezim Orde Baru pada tahun 1980-an. Namun, dalam waktu hampir bersamaan generasi di bawahnya diam-diam membangun jaringan di kampus-kampus.
Kemudian disusul dengan munculnya kelompok-kelompok pengajian kampus pada akhir 1980-an yang terkenal dengan sebutan “kelompok tarbiyah,” melalui kelompok inilah transmisi Islam radikal di Timur Tengah berkembang di Indonesia, khususnya di kampus-kampus umum.
Setelah era reformasi mereka lebih berani tampil ke permukaan secara terang-terangan. Bagi sebagian kalangan, kemunculannya dianggap mengkhawatirkan, bukan semata-mata karena perbedaan ideologis, tetapi lantaran sebagian di antaranya menggunakan cara-cara kekerasan memperjuangkan aspirasinya. Kekerasan di sini tak hanya dalam arti fisik, tetapi juga kekerasan wacana yang terekspresi melalui kecenderungan mereka yang dengan mudah mengeluarkan fatwa murtad, kafir, syirik, dan semacamnya bahkan kepada sesama Muslim.
Kita sadari bahwa Indonesia adalah negara plural yang terdiri dari beragam suku, ras, agama, budaya yang berbeda-beda tapi tetap satu Indonesia. Pluralisme yang menjadi ciri bangsa dan Negara Indonesia ini, semestinya diimbangi dengan demokratisasi yang kuat sehingga tidak menimbulkan gejolak baru yang berkembang. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin seyogyanya dimaknai oleh penganutnya dengan penuh keramahan, kedamaian, dan kasih sayang. Bukan sebaliknya, seolah-olah Islam menjadi sesuatu yang mengerikan, menyeramkan, dan menakutkan bagi umat lain, sehingga performen keseluruhan umat Islam pun turut terpengaruh.
Arogansi, kepongahan, serta kecongkakan yang mementingkan keinginan kelompoknya masing-masing adalah benih dari sebuah bentuk radikalisme. Karena itu, di era global sekarang ini wajah seram semacam itu, tak boleh lagi tumbuh berkembang.
No comments:
Post a Comment