Saturday, 21 November 2009

INILAH ISI LENGKAP LAPORAN DAN REKOMENDASI TIM INDEPENDEN PENCARI FAKTA HUKUM ATAS KASUS CHANDRA M HAMZAH DAN BIBIT SAMAD RIANTO

EXECUTIVE SUMMARY

Proses hukum terhadap Chandra M Hamzah (selanjutnya disebut “Chandra”) dan Bibit Samad Rianto(selanjutnya disebut “Bibit”) menjadi isu strategis di masyarakat karena menimbulkan kecurigaan adanya rekayasa terhadap proses hukum tersebut. Untuk menjawab kecurigaan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 2 November 2009, menerbitkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto (selanjutnya disebut “Tim 8”). Tim 8 bertugas untuk melakukan verifikasi fakta dan proses hukum atas Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Jangka waktu yang diberikan untuk mengumpulkan fakta dan melakukan verifikasi adalah 14 hari kerja, dan dapat diperpanjang jika diperlukan. Tim 8 juga berwenang untuk berkoordinasi dengan berbagai instansi pemerintah dan memanggil pihak-pihak yang dianggap terkait dengan penanganan kasus ini. Dalam melaksanakan tugasnya, Tim 8 memverifikasi pihak-pihak yang terkait kasus Chandra dan Bibit, serta melakukan gelar perkara atas kasus tersebut.

Berdasarkan verifikasi tersebut, Tim 8 menyimpulkan dan merekomen-dasikan hal-hal sebagai berikut:

A. KESIMPULAN

1. Proses Hukum Chandra dan Bibit

a. Pada awalnya, proses pemeriksaan terhadap dugaan adanya penyuapan dan/atau pemerasan dalam kasus Chandra dan Bibit adalah wajar (tidak ada rekayasa) berdasarkan alasan-alasan:

1) Testimoni Antasari Azhar
2) Laporan Polisi oleh Antasari Azhar
3) Rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro di Singapura di Laptop Antasari Azhar di KPK
4) Keterangan Anggodo tanggal 7 Juli 2009
5) Keterangan Anggoro tanggal 10 Juli 2009 di Singapura
6) Keterangan Ari Muladi.

b. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau pemerasan namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan:

1) Surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anggoro
2) Surat pencegahan dan pencabutan cegah keluar negeri terhadap Djoko Tjandra.

c. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi.
d. Dalam gelar perkara tanggal 7 Nopember 2009, Jaksa Peneliti Kasus Chandra dan Bibit juga menilai bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh penyidik masih lemah.
e. Aliran dana dari Anggodo Widjojo ke Ari Muladi terputus dan tidak ada bukti yang menyatakan uang tersebut sampai ke tangan pimpinan KPK.

2. Profesionalisme Penyidik dan Penuntut

Tim 8 berkesimpulan profesionalisme penyidik dari Kepolisian dan penuntut dari Kejaksaan sangat lemah mengingat sangkaan dan dakwaan tidak didukung oleh fakta dan bukti yang kuat. Fenomena mengikuti ‘apa yang diinginkan oleh atasan’ dikalangan penyidik dan penuntut umum masih kuat, sehingga penyidik dan penuntut umum tidak bebas mengembangkan temuannya secara obyektif dan adil. Sehingga terkesan adanya rekayasa. Munculnya intruksi dari atasan tersebut, tidak terlepasdari adanya benturan kepentingan pada atasan yang bersangkutan.

3. Makelar Kasus

Dalam proses verifikasi yang dilakukan oleh Tim 8, ditemukan dugaan kuat atas terjadinya fenomena Makelar Kasus (Markus). Fenomena ini tidak hanya ada di Kepolisian, Kejaksaan, ataupun Advokat, tetapi juga di KPK dan LPSK. Bahkan pada kasus lainnya, mafia hukum juga menjangkiti profesi notaris dan Pengadilan.

4. Institutional Reform
Tim 8 juga menemukan adanya permasalahan institusional dan personal di dalam tubuh kepolisian, kejaksaan, KPK, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga menimbulkan disharmoni dan tidak efektifnya institusi-institusi tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

B. REKOMENDASI

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, Tim 8 merekomendasikan kepada Presiden untuk:

1. Setelah mempelajari fakta-fakta, lemahnya bukti-bukti materil maupun formil dari penyidik, dan demi kredibilitas sistem hukum, dan tegaknya penegakan hukum yang jujur dan obyektif, serta memenuhi rasa keadilan yang berkembang di masyarakat, maka proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto sebaiknya dihentikan. Dalam hal ini Tim 8 merekomendasikan agar:

a. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal perkara ini masih di tangan kepolisian;

b. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau

c. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas opportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponir perkara ini.

2. Setelah menelaah problematika institusional dan personel lembaga-lembaga penegak hukum di mana ditemukan berbagai kelemahan mendasar maka Tim 8 merekomendasikan agar Presiden melakukan:

a. Untuk memenuhi rasa keadilan, menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan dan sekaligus melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan;
b. Melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan saksi dan Korban (LPSK) – tentu dengan tetap menghormati independensi lembaga-lembaga tersebut, utamanya KPK.

Untuk mereformasi lembaga-lembaga penegak hukum tersebut diatas maka Presiden dapat menginstruksikan dilakukannya ‘governance audit’ oleh suatu lembaga independen, yang bersifat diagnostic untuk mengidentifikasi persoalan dan kelemahan mendasar di tubuh lembaga-lembaga penegak hukum tersebut.

3. Setelah mendalami betapa penegakan hukum telah dirusak oleh merajalelanya makelar kasus (markus) yang beroperasi di semua lembaga penegak hukum maka sebagai ‘shock therapy’ Presiden perlu memprioritaskan operasi pemberantasan makelar kasus (markus) di dalam semua lembaga penegak hukum termasuk di lembaga peradilan dan profesi advokat; dimulai dengan pemeriksaan secara tuntas dugaan praktik mafia hukum yang melibatkan Anggodo Widjojo dan Ari Muladi oleh aparat terkait.

4. Kasus-kasus lainnya yang terkait seperti kasus korupsi Masaro; proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century; serta kasus pengadaaan SKRT Departemen Kehutanan; hendaknya dituntaskan.

5. Setelah mempelajari semua kritik dan input yang diberikan tentang lemahnya strategi dan implementasi penegakan hukum serta lemahnya koordinasi di antara lembaga–lembaga penegak hukum maka Presiden disarankan membentuk Komisi Negara yang akan membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk pembenahan lembaga-lembaga hukum, termasuk organisasi profesi Advokat, serta sekaligus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga hukum lainnya untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum, due proccess of law, hak-hak asasi manusia dan keadilan.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

1. Proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah (selanjutnya disebut “Chandra”) dan Bibit Samad Rianto (selanjutnya disebut “Bibit”) menjadi isu strategis di masyarakat karena menimbulkan kecurigaan adanya rekayasa terhadap proses hukum tersebut.

2. Kecurigaan masyarakat timbul karena sejumlah alasan, di antaranya:

a. Beredarnya transkrip rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro Widjojo di Singapura di berbagai media massa;

b. Beredarnya rumor penyadapan terhadap Susno Duadji terkait pencairan dana dari Bank Century, yang kemudian memunculkan istilah “Cicak vs. Buaya” oleh Susno Duadji dalam wawancara dengan Majalah Tempo;

c. Penetapan Chandra dan Bibit sebagai Tersangka oleh Kepolisian pada tanggal 15 September 2009 dengan sangkaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang jabatan;

d. Beredarnya transkrip rekaman penyadapan telpon Anggodo yang menyebut-nyebut RI 1;

e. Dilakukannya penahanan Chandra dan Bibit pada tanggal 29 Oktober 2009 oleh Kepolisian meski dasar hukum dianggap masih lemah yang mengakibatkan beberapa tokoh nasional, praktisi serta akademisi menjaminkan dirinya, agar polisi menangguhkan penahanan Chandra dan Bibit.

3. Untuk menepis kecurigaan masyarakat yang berimbas pada suasana tidak kondusif pada stabilitas sosial dan politik, Presiden mengundang sejumlah tokoh yaitu Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah), Teten Masduki (Sekjen Transparansi Internasional Indonesia), dan Hikmahanto Juwana (Guru Besar Ilmu Hukum UI) untuk membicarakan kondisi yang terjadi dan usulan bagi penyelesaian permasalahan.

4. Pada pertemuan tersebut diusulkan agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang independen untuk menepis kecurigaan dan ketidak-percayaan (mistrust and distrust) masyarakat atas proses hukum terhadap Chandra dan Bibit.

5. Usulan ini disampaikan mengingat proses hukum atas Chandra dan Bibit tidak sekedar masalah formal legal melainkan sudah berdampak pada masalah sosial, politik dan ekonomi.

6. Suasana ketika itu ditandai dengan memuncaknya ketegangan antara masyarakat yang mendukung Chandra dan Bibit di satu pihak dengan Kepolisian di lain pihak yang berkeras untuk melakukan proses hukum. Dukungan masyarakat terhadap Chandra dan Bibit berbentuk jaminan untuk penangguhan hingga dukungan dalam dunia maya berupa akun facebook.

7. Pada tanggal 2 November 2009, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto (selanjutnya disebut “Tim 8”).

B. RUANG LINGKUP

1. Tim 8 berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2009, Tim 8 bertugas untuk melakukan verifikasi fakta dan proses hukum atas Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

2. Jangka waktu yang diberikan untuk mengumpulkan fakta dan melakukan verifikasi adalah 14 hari kerja.

3. Tim 8 diberi kewenangan untuk berkoordinasi dengan berbagai instansi pemerintah dan memanggil pihak-pihak yang dianggap terkait dengan penanganan kasus ini.

BAB II
KEGIATAN TIM 8

Dalam melaksanakan tugas yang dibebankan pada Tim 8, Tim 8 telah melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan fakta terkait proses hukum atas Chandra dan Bibit, serta melakukan proses verifikasi melalui gelar perkara oleh para penyidik Kepolisian yang dihadiri oleh peneliti perkara dari Kejaksaan Agung.

Dalam bab ini akan diuraikan sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh Tim 8

A. MENDENGARKAN REKAMAN SADAPAN KPK DI MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Sehari setelah terbentuk, Tim 8 melakukan rapat konsolidasi dilanjutkan dengan turut mendengarkan pemutaran rekaman penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap telepon Anggodo Widjojo dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

2. Adapun rekaman penyadapan yang diperdengarkan adalah sebagai berikut:
a. Kasus Masaro oleh Anggodo;
b. Perincian uang dari Anggodo kepada Ari Muladi;
c. Rekaman minta bantuan ke Kejaksaan;
d. Pencatutan nama RI 1;
e. Minta bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK);
f. Menyusun strategi dari suap menjadi pemerasan;
g. Lapor menang komitmen tinggi dan ancaman terhadap Chandra;
h. Penghitungan fee pihak terkait;
i. Untuk mempengaruhi AM (Ari Muladi) kembali ke BAP awal.

B. MENYAMPAIKAN REKOMENDASI INTERIM GUNA MENENANGKAN MASYARAKAT

1. Pasca diperdengarkannya rekaman sadapan KPK di Mahkamah Konstitusi, masyarakat bereaksi sangat luar biasa. Untuk menenangkan reaksi masyarakat agar terhindar hal-hal yang tidak diinginkan maka Tiim 8 mengeluarkan Rekomendasi Interim pada tanggal 3 November 2009 kepada Presiden dan melakukan koordinasi langkah-langkah yang perlu diambil oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut “Kapolri”).

2. Adapun rekomendasi kepada Presiden adalah sebagai berikut:

a. perlu diambil langkah-langkah yang cepat dan antisipatif dengan membebastugaskan (menonaktifkan) Pejabat Tinggi Kepolisian dan Kejaksaan yaitu: Susno Duadji (Kabareskrim) dan Abdul Hakim Ritonga (Wakil Jaksa Agung) yang disebut dalam rekaman sadapan. Pembebastugasan tersebut diperlukan agar dapat dilakukan pemeriksaan yang lebih efektif, obyektif dan terhindar dari benturan kepentingan;

b. tindakan yang cepat tersebut perlu dilakukan untuk memberikan pesan yang jelas kepada masyarakat bahwa Pemerintah memiliki komitmen kuat untuk menegakan hukum secara obyektif, jujur dan adil;

c. persoalan yang mengemuka tidak semata-mata dilihat sebagai persoalan individu (oknum), akan tetapi sebagai sebuah persoalan institusional dan sistemik di mana Presiden perlu mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap semua aparatur penegak hukum.

3. Sementara, koordinasi yang dilakukan kepada Kapolri dalam bentuk menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:

a. Mengabulkan permintaan penangguhan penahanan kepada Chandra dan Bibit agar penahanan tidak dipersepsikan oleh masyarakat sebagai simbol kesewenang-wenangan Polri dan upaya Polri melawan KPK;

b. Melakukan penangkapan terhadap Anggodo Widjojo yang menjadi simbol keresahan masyarakat pasca didengarkannya rekaman sadapan secara nasional oleh sejumlah media; dan

c. Menonaktifkan Susno Duadji yang disebut-sebut dalam rekaman dan menjadi simbol dari Kepolisian.

C. MENDENGARKAN DAN MENDALAMI KETERANGAN

1. Dalam melakukan pengumpulan fakta, Tim 8 memulai dengan mendengarkan dan mendalami keterangan dari berbagai pihak, yaitu:

a. Civil Society
Pertemuan dilakukan pada hari Rabu, 4 November 2009 yang dihadiri oleh perwakilan 15 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yakni KRHN, LBH Jakarta, Transparency International Indonesia, Indonesia Police Watch, Imparsial, Elsam, ICJR, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), LeIP, Dompet Dhuafa Republika, Pro Patria Institute, P2D, PB HMI, LIPI. Tujuan dari pertemuan ini adalah mengetahui apa yang menjadi concern masyarakat terhadap proses hukum Chandra dan Bibit.

Dalam pertemuan juga didengar aspirasi LSM. Aspirasi ini antara lain adalah penyelesaian kasus PT. Masaro dan kasus Bank Century; perlunya transparansi dan akuntabilitas tim dalam menyampaikan substansi rekomendasi yang disampaikan kepada Presiden kepada publik; perlunya Presiden melakukan bureaucratic reform yang menyeluruh terhadap semua institusi penegak hukum; dan meminta supaya tim membuat rekomendasi kepada Presiden untuk memberhentikan Kapolri dan Jaksa Agung.

b. Pemimpin Redaksi Media Massa
Pertemuan dengan pemimpin Redaksi Media Massa diadakan di Hotel Nikko pada hari Rabu, 4 November 2009. Pertemuan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan masukan dari media terkait dengan masalah ini. Disamping itu, Tim 8 memanfaatkan pertemuan ini untuk menjelaskan alasan dibentuknya Tim 8 dan apa yang menjadi tugas. Ini penting agar pers mengetahui persis keberadaan dari Tim 8 agar tidak terjadi distorsi pemberitaan.

c. Kapolri dan Jajarannya

Pertemuan dengan Kapolri dan jajarannya dilakukan pada hari Kamis, 5 November 2009. Dalam pertemuan, Kapolri mengikutsertakan tim penyidik kasus Chandra dan Bibit. Pertemuan ini tidak dihadiri oleh Susno Duadji. Dalam keterangan Kapolri menyampaikan kronologis penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Polri terhadap Chandra dan Bibit. Kapolri juga menyampaikan pasal-pasal yang menjadi dasar sangkaan atas Chandra dan Bibit. Kapolri juga membeberkan beberapa alat bukti yang dipergunakan oleh penyidik.

Pada kesempatan tersebut disepakati penyidik Polri akan melakukan gelar perkara dihadapan Tim 8 dengan dihadiri pihak Kejaksaan. Setelah Kapolri memberikan keterangan dan meninggalkan tempat, Kapolri mempersilahkan Tim 8 untuk mendapat keterangan mendalam dari penyidik kasus Chandra dan Bibit. Tim 8 melakukan penggalian untuk mendapatkan sejumlah fakta dari penyidik Polri.

d. Anggodo Widjojo
Pertemuan dengan Anggodo Widjojo diadakan pada hari Kamis, 5 November 2009. Anggodo merupakan adik dari Anggoro Widjojo dan menjadi tokoh yang disadap oleh KPK. Kehadirian Anggodo didampingi oleh beberapa advokatnya, antara lain, Indra Sahnun Lubis (ketua tim) dan Bonaran Situmeang. Anggodo memberikan keterangan mengenai: penanganan kasus PT. Masaro Radiokom oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); penyerahan uang beserta jumahnya kepada Ari Muladi yang ditujukan kepada kepada sejumlah pimpinan KPK dan deputi serta direktur; pembuatan kronologis bersama Ari Muladi; larangan pencegahan oleh KPK terhadap Anggoro; pembicaraan antara Anggodo dengan beberapa orang yang disadap oleh KPK; serta klarifikasi ‘ancaman’ pembunuhan terhadap Chandra.

e. Chandra dan Bibit
Pertemuan dilakukan pada hari Kamis, 5 November 2009 dengan tujuan memperoleh fakta melalui keterangan yang disampaikan. Kehadiran Chandra dan Bibit didampingi oleh advokat para advokatnya, antara lain, Luhut Pangaribuan, Alexander Lay dan Taufik Basari.

Chandra dan Bibit memberi keterangan yang bertujuan untuk menangkis dugaan penerimaan uang dari Anggoro maupun Anggodo. Dalam keterangan disampaikan sejumlah fakta, antara lain, ketidakbenaran hubungan emosional antara Chandra dengan M.S. Ka’ban sebagaimana ditenggarai oleh Polri; kronologis penanganan kasus PT. Masaro Radiokom; penjelasan atas tidak segera dilimpahkannya kasus PT Masaro ke pengadilan.

Dalam pertemuan Tim Pembela juga menyampaikan perihal konstruksi hukum yang janggal terkait dengan penyidikan yang dilakukan oleh Polri.

f. Komisi Pemberantasan Korupsi
Pertemuan diadakan pada hari Kamis, 5 November 2009. Dalam pertemuan, semua pimpinan KPK hadir didampingi Deputi Penindakan Ade Rahardja. KPK menyampaikan sejumlah keterangan diantaranya kewenangan penetapan pencegahan seseorang bepergian ke luar negeri; penanganan kasus PT. Masaro Radiokom dan kasus alih fungsi hutan lindung dengan terdakwa Yusuf E. Faisal; dugaan keterlibatan Ade Rahardja dalam transaksi pemberian uang kepada sejumlah pimpinan KPK; surat pencabutan pencegahan palsu; mekanisme tentang pelaksanaan musyawarah antar pimpinan sebagai wujud dari keputusan pimpinan KPK yang bersifat kolegial; dan perihal penyadapan atas Lucas yang melibatkan Susno Duadji.

g. Jaksa Agung dan Jajarannya
Pertemuan dengan Jaksa Agung beserta jajarannya dilakukan pada hari Jumat, 6 November 2009. Jaksa Agung didampingi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), pejabat teras Kejaksaan Agung, serta sejumlah jaksa peneliti yang akan menangani kasus Chandra dan Bibit. Jaksa Agung terlebih dahulu menyampaikan keterangan terkait pengunduran diri Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga beserta alasannya. Setelah itu Jaksa Agung menyampaikan berbagai hal seputar rekaman pembicaraan yang disadap oleh KPK di mana disebut nama AH Ritonga (ketika itu menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Wisnu Subroto yang mantan Jaksa Agung Muda Intelijen. Jaksa Agung juga memberi penegasan tentang independensi Kejaksaan dalam penanganan kasus Chandra dan Bibit. Kejaksaan tidak bisa membuka secara rinci terkait dengan penuntutan yang akan dilakukan oleh Chandra dan Bibit karena terikat dengan sumpah jabatan.

Jaksa Agung juga sudah menyampaikan pihak Kejaksaan yang memberi petunjuk kepada penyidik Polri guna melengkapi berkas perkara, diantaranya, dengan memasukkan delik pemerasan. Jaksa Agung juga menyampaikan keterangan secara sekilas tentang posisi kasus dan proses penanganannya oleh Kejaksaan Agung. Namun penjelasan secara terperinci disampaikan oleh Jampidsus dan jaksa peneliti yang masing-masing terdiri dari 4 orang untuk satu berkas perkara.

h. Susno Duadji (Kabareskrim Polri/Non Aktif)
Pertemuan dengan Susno Duadji dilakukan pada hari Jumat, 6 November 2009. Susno Duadji menemui Tim 8 dengan didampingi oleh M. Panggabean, Wakadiv hukum Mabes Polri. Susno Duadji memberikan keterangan perihal alasan pengunduran dirinya dari jabatan Kabareskrim; penegasan bahwa dirinya tidak menerima uang dari siapapun dalam kasus Bank Century; perihal surat keterangan dari Kabareskrim tentang status dana milik Budi Sampurno guna kepentingan pencairan dana; kemunculan dirinya dalam rekaman penyadapan pembicaraan yang dilakukan KPK; tujuan kunjungan ke Singapura untuk menemui Anggoro Widjojo; tindakan Susno Duadji yang tersadap untuk mengesankan seolah-olah akan menerima sebuah tas, meski sebenarnya kosong sebagai bentuk kontra intelijen; istilah Cicak versus Buaya yang dimunculkannya; dan perannya dalam proses hukum atas Chandra dan Bibit.

i. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Pertemuan dengan PPATK diadakan pada hari Jumat, 6 November 2009 yang dihadiri oleh Kepala PPATK, Yunus Hussein. Dalam keterangannya disampaikan hal-hal yang terkait dengan informasi rekening Chandra dan Bibit. PPATK menyampaikan bahwa tidak terdapat aliran dana yang masuk terkait kasus PT. Masaro kepada Chandra ataupun Bibit. Selain itu, PPATK juga memberikan informasi secara lisan tentang arus keluar masuk dana ke rekening Ari Muladi, Anggodo. Demi keamanan semua pihak, PPATK meminta permohonan informasi rekening dilakukan secara tertulis oleh Tim 8 dan PPATK akan memberi jawaban secara tertulis juga. Selain itu, PPATK juga memberikan penjelasan seputar modus pencucian uang.

j. Ari Muladi
Pertemuan dengan tokoh sentral penyerahan uang dari Anggodo ke sejumlah Pimpinan KPK, Ari Muladi dilakukan pada hari Sabtu, 7 November 2009. Kehadiran Ari Muladi didampingi oleh beberapa advokat, diantaranya, Sugeng Teguh Santoso. Peran Ari Muladi dalam kasus ini adalah sebagai orang kepercayaan Anggodo yang diberikan tugas untuk menyerahkan uang kepada pimpinan KPK. Secara terperinci Ari Muladi memberikan keterangan, antara lain: seputar perkenalannya dengan Anggodo; kronologis penyerahan uang dari Anggodo kepada Ari; pencabutan keterangan Ari Muladi atas Berita Acara Pemeriksaan yang pertama di Mabes Polri; pertemuannya dengan Kabareskrim Susno Duadji di Mabes Polri; seputar pemeriksaan dirinya yang dilakukan secara marathon; dan penegasan bahwa Ari tidak pernah menyerahkan sendiri uang dari Anggodo kepada pimpinan KPK, melainkan melalui seseorang yang bernama Yulianto.

k. Eddy Sumarsono
Pertemuan dengan Eddy Sumarsono diadakan pada hari Sabtu, 7 November 2009. Pertemuan tidak dilakukan atas dasar undangan Tim 8, melainkan Eddy Sumarsono yang meminta waktu kepada Tim 8. Peran Eddy Sumarsono dalam kaitan dengan perkara Chandra dan Bibit adalah sebagai pihak yang memberi informasi kepada Antasri Azhar sebagai Ketua KPK saat itu terkait dengan adanya pimpinan KPK yang menerima uang dari Anggoro. Atas dasar informasi inilah Antasari Azhar difasilitasi untuk bertemu dengan Anggoro di Singapura dan Ari Muladi di Malang.

Eddy Sumarsono juga memberi keterangan seputar perkenalannya dengan Antasari Azhar, melalui seorang jaksa yang bernama Irwan Nasution.

Tim 8 mempertanyakan motivasi kedatangan Eddy dalam kasus ini. Dalam pertemuan terungkap bahwa sebenarnya Eddy memberikan keterangan tentang informasi yang tidak dialami, didengar atau dilihat sendiri. Tetapi mendengar cerita dari orang lain (testimonium de auditu).

l. Antasari Azhar
Pertemuan dengan Antasari Azhar diadakan sebanyak 2 kali yaitu pada hari Sabtu dan Minggu, 7-8 November 2009. Antasari Azhar didampingi sejumlah advokatnya, antara lain, Juniver Girsang, Hotma Sitompul dan lain-lain. Antasari Azhar memberikan keterangan perihal pembuatan testimoni yang menjadi dasar bagi Kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas Chandra dan Bibit; hubungan antara kasus tuduhan pembunuhan atas Antasari Azhar dengan kasus Chandra dan Bibit; pertemuan dengan Anggoro di Singapura; proses penyelidikan dan penyidikan atas kasus PT. Masaro; kasus korupsi alih fungsi hutan lindung di Sumatera Selatan dengan terdakwa Yusuf E. Faisal; dan dugaan pimpinan KPK menerima uang dari Anggodo berikut tindakan yang diambil oleh Antasari Azhar.

m. Tim Majalah Tempo

Pertemuan dengan Tim Majalah Tempo dilakukan pada hari Senin, 9 November 2009, bertempat di Hotel Nikko. Tim Tempo diwakili oleh Pemimpin redaksi majalah Tempo, Toriq Haddad yang didampingi oleh beberapa redaktur/wartawan. Tempo memberikan keterangan perihal hasil investigasi wartawannya terkait proses pencairan dana Budi Sampoerna di Bank Century; peranan Robert Tantular dalam kasus Bank Century; peranan Lucas sebagai pengacara Budi Sampoerna dalam pencairan dana di Bank Century; komunikasi-komunikasi yang terjadi antara Lucas dengan Kabareskrim, Susno Duadji; serta temuan-temuan lain seputar penanganan kasus Bank Century yang terkait dana Budi Sampoerna yang diupayakan pencairannya oleh Lucas dengan bantuan Susno Duadji.

n. Ade Rahardja (Deputi Bidang Penindakan KPK) Pertemuan dengan Ade Rahardja diadakan pada hari Rabu, 11 November 2009. Ade Rahardja merupakan pihak yang penting dalam penyampaian uang dari Ari Muladi sejumlah Pimpinan KPK sebagaimana tertuang dalam BAP Polisi pertama atas Ari Muladi. Dalam keterangannya Ade Rahardja menyampaikan fakta bahwa dirinya tidak mengenal Anggoro, Ari Muladi ataupun Yulianto. Tim 8 juga mempertanyakan keterkaitan kasus SKRT dengan kasus alih fungsi hutan lindung Tanjung Api-Api.

o. Bambang Widaryatmo (Mantan Direktur Penindakan KPK)
Pertemuan dengan Bambang Widaryatmo diadakan pada hari Rabu, 11 November 2009. Kehadiran Bambang didampingi oleh Kombes Pol Dr. Iza Fadri, S.Ik., S.H., M.H. dari Divisi Hukum Mabes Polri. Dalam keterangannya Bambang membantah bahwa dirinya mengenal dan berhubungan ataupun menerima uang dari Ari Muladi, Anggoro, Anggodo, maupun Yulianto.

Selain itu, Bambang juga mengungkapkan sejumlah kelemahan sistem dalam KPK di antaranya berupa penyimpangan administrasi dan konflik antar pimpinan yang terdapat dalam institusi KPK, khususnya dalam proses penyidikan kasus korupsi. Pengalaman tersebut dialami Bambang selama menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK. Bambang juga menceritakan latar belakang kepentingan pribadi pimpinan dibalik perpindahan tempat tugasnya dari KPK ke Mabes Polri.

p. Abdul Hakim Ritonga (Mantan Wakil Jaksa Agung)
Pertemuan dengan Abdul Hakim Ritonga diadakan pada hari Rabu, 11 November 2009. Kehadiran Ritonga diserta dengan sejumlah pihak dari Kejaksaan dan pengacaranya. Ritonga memberikan keterangan antara lain tentang hubungan perkenalannya dengan Yuliana Ong; seputar penyakit yang dialaminya sehingga dikenalkan pada Yuliana sebagai tukang pijat.

Tim 8 mempertanyakan kepada Ritonga tentang rekaman pembicaraan KPK terkait dengan pernyataan Yuliana bahwa dirinya didukung oleh RI 1; posisi Jampidum dalam kasus Chandra dan Bibit; maksud ‘kata duren’, dan pijat yang dilakukan oleh Yuliana kepada Ritonga.

q. Wisnu Subroto (Mantan JamIntel Kejaksaan Agung)
Pertemuan dengan Wisnu Subroto diadakan pada hari Rabu, 11 November 2009. Wisnu memberikan keterangan antara lain tentang perkenalannya dengan Anggodo serta mempunyai hubungan usaha dalam jual beli cincin dan paket kayu jati; penegasan bahwa dirinya tidak mengenal Anggoro, Yuliana dan Ari Muladi; dan klarifikasi tentang pembicaraan dirinya yang disadap oleh KPK.

r. Kombes Pol M. Iriawan (Wakil Direktur I Bareskrim Polri)
Pertemuan dengan Kombes Pol M. Iriawan diadakan pada hari Kamis, 12 November 2009. Pertemuan dilakukan atas permintaan dari Polri yang disampaikan secara resmi oleh Iza Fadri sehari sebelumnya pada pertemuan dengan Bambang Widaryatmo. Kombes Iriawan di dampingi oleh beberapa penyidik dari Bareskrim yang menangani kasus Antasari Azhar. Dalam keterangannya disampaikan, antara lain, tentang penanganan kasus pembunuhan atas Nasrudin dengan tersangka Antasari; penggeledahan ruangan dan penyitaan Laptop Antasari; perihal waktu pembuatan dan penyerahan testimoni Antasari; perihal pembuatan Laporan Polisi terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyuapan yang dilakukan oleh pimpinan KPK; dan perihal pencabutan BAP Williardi Wizar.

s. Edy Widjaya (Pemilik Show Room Duta Motor)
Pertemuan dengan Edy Widjaya diadakan pada hari Minggu, 15 November 2009. Pertemuan dilakukan atas permintaan yang bersangkutan terkait dugaan pemberian mobil Mercy kepada Wisnu Subroto oleh Anggodo – sebagaimana terekam dalam pembicaraan telepon yang disadap oleh KPK. Dalam keterangannya, Edy Widjaya menyatakan Anggodo membeli dua mobil mercy seri S 300 yang diatasnamakan dua anak Anggodo. Harga satu mobil mercy tersebut, menurut Edy Widjaya adalah Rp 1,6 miliar. Pembelian salah satu mobil mercy tersebut, pembayarannya dengan cara menukar mobil BMW milik Wisnu Subroto, yang dihargai Rp 500 juta, dan kekurangannya (Rp 1,1 miliar) ditambahkan oleh Anggodo.

D. VERIFIKASI MELALUI GELAR PERKARA

1. Tugas tim 8 setelah mendapatkan fakta atas proses hukum terhadap Chandra dan Bibit dari sejumlah pihak, menggunakan fakta tersebut sebagai dasar dalam gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik Polri dan dihadiri oleh peneliti dari Kejaksaan.

2. Gelar perkara dilakukan pada hari Sabtu, 7 November 2009, pukul 19.00.

3. Untuk memperkuat verifikasi, Tim 8 mengundang 2 orang ahli di bidang Kepolisian dan Kejaksaan, yakni Prof. Farouk Muhammad (mantan Gubernur PTIK) dan Dr. Ramelan, S.H., M.H (mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus).

4. Dalam gelar perkara, Tim 8 melakukan proses tanya jawab guna mendalami fakta, bukti dan pasal yang digunakan oleh penyidik Polri. Tim 8 memposisikan sebagai Jaksa peneliti yang harus membuat dakwaan dan menyertakan fakta dan bukti-bukti di persidangan.

5. Dalam gelar perkara, terungkap penyidik Polri berpatokan pada keterangan dalam BAP pertama oleh Ari Muladi dan untuk memperkuat keterangan tersebut digunakan petunjuk- petunjuk bahwa telah terjadi penyerahan uang kepada Chandra dan Bibit.

Terdapat beberapa temuan yang pada intinya menyangkut:

a. Dugaan adanya praktik mafia hukum, sebagaimana terindikasi dalam rekaman penyadapan pembicaraan Anggodo Widjojo dengan pihak-pihak tertentu yang diputar dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3 November 2009;

b. Antasari Azhar berinisiatif untuk membuka dugaan suap terhadap pimpinan KPK, melalui testimoni yang dibuatnya dan membuat Laporan Pengaduan kepada polisi;

c. Adanya potensi benturan kepentingan pada tahap penyidikan perkara Chandra dan Bibit, antara Susno Duadji sebagai pribadi yang tersadap KPK, dengan jabatannya selaku Kabareskrim. Hasil sadapan telepon tersebut antara lain pembicaraan Susno Duadji dengan Lucas, terkait upaya pencairan dana milik Budi Sampoerna di Bank Century.

BAB III
TEMUAN TIM 8


A. DUGAAN MAKELAR KASUS

Berdasarkan rekaman pembicaraan yang telah diperdengarkan di sidang MK dimana terdapat nama dan penyebutan nama-nama sebagai berikut:

a. Anggoro Widjojo yang merupakan Tersangka KPK dalam kasus korupsi PT. Masaro Radiokom, yang berperan sebagai penyedia dana yang bertujuan agar kasusnya dapat dihentikan.

b. Anggodo Widjojo yang merupakan adik dari Anggoro, yang berperan besar dalam kemungkinan proses rekayasa dan mengatur proses hukum Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto dengan para oknum pejabat Kepolisian, Kejaksaan, KPK, LPSK dan Pengacara.

c. Susno Duadji yang merupakan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri – disebutkan berulangkali dengan istilah Truno 3 – yang meskipun tidak terlibat pembicaraan telepon hasil sadapan, namun berdasarkan pernyataan Anggodo, Susno Duadji memiliki peran sentral dalam penetapan tersangka terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto dan memiliki komitmen tinggi terhadap Anggodo.

d. Abdul Hakim Ritonga yang merupakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) ketika penyadapan dilakukan, disebut sebanyak 24 kali dalam rekaman sebagai oknum yang memiliki peran penting dalam rencana yang disiapkan oleh Anggodo, serta diklaim memiliki dukungan dari RI 1, sebagaimana diungkapkan oleh rekan Anggodo, Yuliana Gunawan.

e. Wisnu Subroto yang merupakan mantan Jaksa Agung Muda Intelejen (Jamintel). Berperan aktif dalam merancang dan berkomunikasi dengan Anggodo khususnya dalam proses penyidikan Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto.

f. Irwan Nasution yang merupakan Jaksa pada Jamintel. Disebut dalam rekaman sebanyak 9 kali;

g. Farman yang merupakan Penyidik pada Mabes Polri, disebut dalam rekaman sebanyak 8 kali dan memiliki peran penting dalam penyusunan BAP Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto;

h. Ketut [Sudiarsa] dan Mira [Diarsih] yang merupakan komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

i. Bonaran Situmeang, Kosasih dan Alex yang merupakan pengacara dari Anggodo.

j. Eddy Sumarsono

k. Ari Muladi

l. Yuliana Gunawan terdapat dugaan terjadinya ‘permainan’ antara aparat penegak hukum dengan pihak-pihak masyarakat biasa. Permainan ini yang memunculkan kesan adanya masyarakat biasa yang dapat menyelesaikan atau mengatur perkara dengan imbalan sejumlah uang yang disebut sebagai makelar kasus (markus).

B. DASAR PENYIDIKAN POLRI

1. Inisiatif dari Antasari Azhar terkait Testimoni

Terkait testimoni Antasari Azhar berdasarkan rekaman pembicaraannya dengan Anggoro Widjojo, serta Laporan kasus penyuapan Masaro yang kemudian dijadikan dasar untuk menyangka Chandra dan Bibit, Tim 8 menemukan perbedaan keterangan dari Antasari Azhar sendiri maupun antara keterangan Antasari Azhar dengan penyidik.

Pada pertemuan pertama dengan Tim 8 tanggal 7 November 2009, Antasari Azhar menyatakan bahwa testimoni dibuat tanggal 16 Mei 2009. Namun, pada pertemuan kedua dengan tim 8 tanggal 8 November 2009, Antasari menyatakan bahwa testimoni itu dibuat tanggal 16 Juni 2009. Ini berbeda dengan keterangan penyidik Polri bahwa mereka baru mengetahui adanya kasus pemerasan Anggoro setelah adanya penyitaan laptop KPK pada 11 Juni 2009. Antasari Azhar kemudian membuat laporan resmi perihal dugaan suap pimpinan KPK kepada Kepolisian yang disampaikan tanggal 6 Juli 2009.

Perbedaan keterangan tersebut berimplikasi pada Laporan Polisi (LP) di atas apakah berdasarkan permintaan Antasari Azhar ataukah permintaan dari penyidik. Perbedaan ini berpotensi menjadi masalah ketika kasus Chandra dan Bibit masuk ke persidangan. Antasari Azhar sebagai Saksi Pelapor akan menyampaikan keterangan yang digunakan oleh penyidik dan Jaksa Penutut Umum.

Ini menjadi salah satu faktor tidak kuatnya proses hukum atas Chandra dan Bibit di persidangan. Dari hasil verifikasi, Tim 8 berpandangan – utamanya setelah melihat rekaman video penyitaan barang bukti di ruang kerja Antasari Azhar di KPK – bahwa inisiatif awal pengungkapan kasus dugaan suap terkait PT Masaro ini sebenarnyalah dilakukan oleh Antasari Azhar. Di dalam rekaman video jelas tergambar bahwa Antasari memang datang ke kantornya untuk mengambil rekaman pembicaraan dirinya dengan Anggoro yang tersimpan di dalam komputer jinjingnya. Antasari kemungkinan berupaya mengalihkan isu hukum yang sedang dihadapinya, terkait pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, dengan menarik pula pimpinan KPK ke dalam kasus hukum PT. Masaro, melalui testimoni yang dibuatnya berdasarkan rekaman pembicaraan Antasari dengan Anggoro Widjojo.

2. Inisiatif Pertemuan Susno Duadji dengan Anggoro Widjojo
Pada tanggal 7 Juli 2009 KPK telah mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada Anggoro Widjojo. Surat dikirim KPK ke Kabareskrim dengan nomor Sprindik 25/01/VI/2009 tanggal 19 Juni tahun 2009 dan disertai surat perintah penangkapan no. KEP-04/P6KPK/VII/2009 bertanggal 7 Juli 2009. Namun demikian pada tanggal 10 Juli 2009, Susno Duadji melakukan pertemuan dengan Anggoro di Singapura dengan alasan Anggoro hanya mau bertemu dengan Kabareskrim untuk menyampaikan keterangan (BAP) terkait dugaan penyuapan/pemerasan oleh pimpinan KPK. Pertemuan di Singapura tersebut dilakukan dengan sepengetahuan Kapolri.

Pada saat itu tidak diketahui apakah penyidik melakukan pemeriksaan atas Anggoro untuk kemudian dibuatkan BAP. Dalam keterangan penyidik BAP atas Anggoro yang intinya menyatakan Anggoro diperas oleh sejumlah pimpinan KPK. Hanya saja Tim 8 menemukan fakta bahwa BAP dibuat di luar negeri (di Singapura) dan tidak di Kedutaan Besar Republik Indonesia, Singapura. Secara yuridis formal BAP oleh Kepolisian di luar negeri hanya dapat dilakukan di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Oleh karenanya BAP atas Anggoro yang menjadi dasar bagi sangkaan terhadap Chandra dan Bibit dapat dipertanyakan oleh Tim Pembela Chandra dan Bibit keabsahannya. BAP yang dibuat di luar negeri namun tidak di Kedutaan Besar Republik Indonesia merupakan faktor yang tidak kuat bagi sangkaan dan dakwaan atas Chandra dan Bibit.

3. Kronologi 15 Juli (Ditandatangani Anggodo Widjojo dan Ari Muladi) Penyidik dalam melakukan proses hukum atas Chandra dan Bibit mendasarkan pada Kronologi yang dibuat oleh Anggodo Widjojo dan Ari Muladi. BAP Ari Muladi didasarkan pada kronologi ini. Dalam kronologi disebutkan sejumlah tanggal dimana Ari Muladi menyerahkan uang kepada Ade Rahardja yang untuk selanjutnya Ade Rahardja menyerahkan uang tersebut kepada sejumlah Pimpinan KPK.

Untuk diketahui Kronologi tersebut dibuat setelah pertemuan Susno Duadji dan Anggoro di Singapura pada tanggal 10 Juli 2009. Kronologi yang dijadikan dasar oleh penyidik oleh Ari Muladi telah dicabut. Ari Muladi menyampaikan bahwa uang diserahkan kepada Yulianto. Dengan pencabutan maka Kronologi tidak dapat dijadikan dasar yang kuat. Pencabutan tidak berarti pengakuan pertama Ari Muladi tidak dapat dipercaya, tetapi Ari Muladi sendiri sebagai pihak yang tidak dapat dipercaya.

Penggunaan Kronologi oleh penyidik sebagai dasar untuk menyangka adalah lemah mengingat kredibilitas Ari Muladi. Penyidik kelihatannya bersikukuh pada urutan kejadian sesuai dengan Kronologi Anggodo.

4. Petunjuk
Penyidik menggunakan petunjuk untuk membuktikan bahwa Kronologi sudah benar. Petunjuk yang dimiliki oleh penyidik adalah sejumlah mobil KPK yang memasuki area Bellagio dan Pasar Festival pada tanggal-tanggal yang disebutkan dalam Kronologi. Penyidik telah mendapatkan bukti berupa foto masuknya mobil-mobil KPK. Hanya saja ketika Tim 8 bertanya apakah mobil-mobil tersebut adalah mobil yang digunakan oleh Bibit ataupun Chandra maka penyidik tidak dapat memberi konfirmasi. Disamping itu, jumlah mobil yang disebutkan berjumlah banyak yang ditandai dengan plat nomor berbeda-beda.

Oleh karenanya petunjuk ini tidak dapat memperkuat BAP Ari Muladi yang didasarkan pada Kronologi. Petunjuk ini tidak sama dengan petunjuk yang digunakan untuk menyangka dan mendakwa Polycarpus dalam kasus kematian Munir. Ini merupakan bukti tidak kuatnya dasar yang digunakan oleh penyidik untuk menyangka Chandra dan Bibit menerima uang dari Ari Muladi sebagai bentuk pemerasan.

5. BAP Ade Rahardja
Ade Rahardja sebagai tokoh sentral yang menghubungkan uang yang diterima oleh Ari Muladi dari Anggodo ke sejumlah pimpinan KPK dalam BAP menyatakan tidak mengenal Ari Muladi. Ade Rahardja juga melakukan sangkalan bahwa pada waktu-waktu yang ada dalam kronologi ia berada di Bellagio atau Pasar Festival. Kalaupun benar bahwa Chandra dan Bibit menerima uang dari Ari Muladi berdasarkan kronologi maka Ade Rahardja harus ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik. Namun hingga kedatangan Ade Rahardja ke Tim 8, Ade Rahardja tidak dalam status sebagai tersangka.

Oleh karenanya ini merupakan tidak kuatnya proses hukum yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum bila dilimpahkan ke pengadilan.

6. BAP Bambang Widaryatmo
Meskipun dalam Kronologi disebutkan bahwa Bambang Widaryatmo menerima uang namun hingga kedatangan Bambang Widaryatmo ke Tim 8, tidak ada permintaan BAP oleh penyidik terhadap hal ini. Bambang Widaryatmo dimintai keterangan yang telah dibuatkan BAPnya oleh penyidik dalam pasal penyalahgunaan wewenang.

Oleh karenanya proses hukum terhadap Chandra dan Bibit sangat lemah bila dibawa ke pengadilan karena Kronologi yang digunakan oleh penyidik ternyata tidak diikuti secara konsisten. Kronologi seolah digunakan sepanjang ada keterkaitannya dengan Chandra dan Bibit dalam melakukan pemerasan.

7. Rekaman Penyadapan Telpon Anggodo Widjojo oleh KPK
Sebagian besar materi pembicaraan Anggodo berdasarkan hasil penyadapan KPK yang telah diperdengarkan secara umum dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009, menunjukkan keterangan dan infomasi adanya alur atau proses penyesuaian BAP yang disusun oleh Penyidik dengan kronologi yang dibuat Anggodo. Kurun waktu pembicaraan Anggodo dalam rekaman tersebut adalah periode Juli-September 2009, jika bandingkan dengan penyusunan BAP dan perumusan sangkaan terhadap Chandra dan Bibit maka terdapat kesamaan periode waktu.

Terdapat beberapa kalimat dalam rekaman yang menunjukkan infomasi bahwa Anggodo mempengaruhi dan berkoordinasi dengan oknum penyidik, kejaksaan dan pengacara untuk memastikan bahwa BAP Saksi semuanya sesuai dengan kronologi yang dibuatnya.

8. Rekaman Penyadapan KPK terkait Lucas dan Susno Duadji KPK mulai menyelidiki dugaan suap terkait Bank Century sejak 25 November 2008. Terkait penyelidikan, KPK mengakui memiliki rekaman penyadapan pembicaraan di antaranya antara Lucas dan Susno Duadji. Pembicaraan terkait upaya pencairan dana Budi Sampoerna. Dalam upaya pencairan tersebut, Susno Duadji mengeluarkan dua surat klarifikasi tertanggal 7 April dan 17 April 2009.

Dalam pertemuan dengan Tim 8, Susno Duadji membantah menerima suap dalam pencairan dana Budi Sampoerna tersebut. Dia mengatakan, sengaja menyusun skenario pembicaraan seolah-olah akan menerima suap. Maksudnya untuk melakukan latihan penyadapan bagi KPK, dan sekaligus latihan “kontra intelijen”. Hanya ketika ditanya apakah pihak ketiga (Lucas) mengetahui bahwa tindakan ini merupakan kontra intelijen diketahui, jawabannya adalah tidak.

Meski membantah, Susno Duadji mengakui ada pertemuan di Hotel Ambhara dan sempat mendesain suatu rencana penyerahan dengan menggunakan tas, yang diakuinya kosong. Keterangan dan bantahan Susno Duadji terkait pura-pura akan menerima suap demikian, diragukan oleh Tim 8.

Selanjutnya, adanya rekaman penyadapan KPK tersebut, sempat membuat Susno Duadji tidak berkenan dan salah satunya memunculkan istilah “Cicak vs Buaya” dalam wawancara dengan Majalah Tempo.

C
. TERKAIT SANGKAAN PEMERASAN OLEH CHANDRA M. HAMZAH DAN BIBIT S. RIANTO

1. Perumusan Dan Perubahan Sangkaan Yang Janggal

Pada awalnya Penyidik memulai proses hukum berdasarkan testimoni dan laporan resmi dari Antasari Azhar yang pada pokoknya terdapat dugaan penyuapan atau pemerasan. Namun pada tanggal 7 Agustus 2009 melalui proses gelar perkara dengan Kejaksaan diperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua tersangka yang melanggar pasal 21 ayat 5 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sedangkan perumusan sangkaan pemerasan (Pasal 12 b dan 15 UU 31/1999 tentang penyuapan dan pemerasan) diperoleh setelah adanya petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum (P16) yang menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang tersebut dalam kaitannya untuk melakukan pemerasan. Pada tanggal 15 September 2009, Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang jabatan.

2. Unsur Pemerasan yang Lemah
Penyidik hanya berpegang pada keterangan Ari Muladi bahwa pimpinan KPK-lah yang berinisiatif awal untuk meminta sejumlah dana (atensi) kepada Anggoro. Faktanya: Ari Muladi, sesuai dengan BAP pertama tanggal 11 Juli 2009, menyatakan hanya berhubungan dengan Ade Rahardja, bukan pimpinan KPK. Menurut Ari Muladi, permintaan atensi dari pimpinan KPK tersebut hanya dia dengar dari Ade Rahardja. Bahkan keterangan Ari Muladi tersebut pada akhirnya dicabut (BAP tanggal 18 Agustus 2009 dan BAP Lanjutan tanggal 26 Agustus 2009) dengan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah bertemu dengan Ade Rahardja maupun pimpinan KPK.

Ade Rahardja dalam kesaksiannya juga menegaskan bahwa dirinya tidak pernah bertemu dengan Ari Muladi terkait dengan dugaan suap atau pemerasan oleh pimpinan KPK. Ade juga membantah telah menerima sejumlah uang dari Ari Muladi serta membantah semua keterangan sebagaimana tertuang dalam kronologi Anggodo. Dengan demikian, Penyidik dihadapan Tim 8 tidak dapat menunjukkan bukti adanya unsur permintaan atensi (pemerasan) dari pimpinan KPK. Penyidik harus membuktikan bahwa keterangan dari Ari Muladi dan Ade Rahardja tidak benar, disisi lain Penyidik dihadapan Tim 8 menyatakan tidak memiliki saksi fakta atau bukti lain yang menunjukkan adanya permintaan atensi dari pimpinan KPK. Penyidik hanya memiliki petunjuk-petunjuk, yang petunjuk itu sendiri telah dicabut oleh yang bersangkutan.

Masih terkait dengan inisiatif untuk meminta uang, fakta menunjukkan bahwa Anggodo sebagaimana tertuang dalam kronologi yang dibuatnya sendiri tanggal 15 juli 2009, pernah menyatakan bahwa meminta bantuan Ari Muladi yang memiliki teman di KPK untuk “mengurus” kasus PT Masaro Radiokom setelah penggeledahan terhadap perusahaan tersebut oleh KPK tanggal 29 Juli 2008, hal tersebut dibenarkan oleh Ari Muladi bahwa Anggodo meminta tolong kepada dirinya untuk menyelesaikan kasus PT Masaro Radiokom.

Dengan demikian, inisiatif awal pertama kali untuk melakukan suap justru muncul dari Anggoro/Anggodo.

3. Penyerahan Uang Kepada Pimpinan KPK Tidak Didukung Bukti Hukum yang Kuat
Polisi mendasarkan pada kesaksian Ari Muladi yang pada keterangan BAP pertama tanggal 11 Juli 2009 yang menyatakan bahwa uang tersebut diserahkan kepada Pimpinan KPK melalui Ade Rahardja. Keterangan lain yang digunakan Penyidik adalah pernyataan Edy Sumarsono yang mengaku mendengarkan pernyataan Ari Muladi saat pertemuan dengan Antasari Azhar di Malang pada 29 November 2008 yang pada pokoknya Ari Muladi mengaku telah menyerahkan sejumlah uang kepada M. Yasin bersama-sama dengan Ade Rahardja. Padahal, akhirnya Ari Muladi merubah BAP pertamanya tanggal 11 Juli 2009, dan menyatakan dalam BAP Perubahan (BAP tanggal 18 Agustus 2009 dan BAP Lanjutan tanggal 26 Agustus 2009) bahwa dia tidak menyerahkan sejumlah uang kepada Ade Rahardja. Uang yang dia terima dari Anggodo digunakan sebagian untuk keperluan hidupnya dan sebagian diserahkan kepada orang yang bernama Yulianto.

Ade Rahardja juga membantah semua keterangan Ari Muladi dan menyatakan tidak pernah bertemu dengan Ari Muladi. Orang yang disebut sebagai Yulianto, hingga saat ini belum diketahui keberadaannya. Ari Muladi bahkan tidak mengetahui alamat, nomor telepon maupun segala hal terkait dengan identitas Yulianto. Bibit Samad Rianto sebagaimana disebut dalam kronologi yang dibuat Ari Muladi dan Anggodo bahwa yang bersangkutan telah menerima uang pada 15 Agustus 2008 di Belaggio Residence adalah tidak benar karena pada saat itu Bibit Samad Rianto berada di Peru. Begitupun dengan Chandra M. Hamzah menyatakan bahwa pada tanggal penyerahan uang tanggal 27 Februari 2009 sebagaimana disebut dalam kronologi Anggodo, yang bersangkutan tidak berada di Pasar Festival.

Terhadap keterangan-keterangan tersebut, Penyidik tetap bersikukuh pada kesaksian Ari Muladi sesuai BAP pertama meskipun BAP tersebut telah dirubah (dicabut sebagian). Penyidik hanya menggunakan petunjuk-petunjuk berupa keberadaan sejumlah mobil KPK di Pasar Festival dan Hotel Bellagio pada waktu yang bersamaan sesuai kronologi, karcis parkir a.n. mobil KPK di Pasar Festival dan Hotel Bellagio, lie detector untuk membuktikan bahwa pencabutan keterangan oleh Ari Muladi adalah bohong, Surat keterangan dari suatu Kelurahan di Surabaya yang menyatakan bahwa benar tidak ada warga yang bernama Yulianto, dan petunjuk lainnya yang mengarah pada keberadaan Ade Rahardja, Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto pada waktu dan tempat sesuai dengan kronologi Anggodo.

4. Ketidakyakinan Antasari Azhar Terhadap Suap Kepada Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto
Antasari Azhar menyatakan tidak yakin dengan bahwa Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto menerima sejumlah uang dari Anggoro. Antasari Azhar juga menegaskan bahwa testimoni yang dibuatnya adalah testimoni Anggoro, sehingga tidak ada satupun urutan kejadian dalam kronologi kasus ini yang disaksikan atau diketahui secara langsung oleh Antasari Azhar.

5. Ari Muladi Sebagai Saksi Sekaligus Tersangka
Ari Muladi dijadikan tersangka oleh Kepolisian pada tanggal 18 Agustus 2009 dengan tuduhan penipuan dan atau penggelapan terhadap Anggodo serta pemalsuan surat. Penipuan dan atau penggelapan disangkakan kepada Ari Muladi terkait dengan penggunaan uang yang diberikan Anggodo, yang pada awalnya ditujukan untuk pimpinan KPK namun kemudian digunakan sendiri oleh Ari Muladi dan sebagian diserahkan kepada Yulianto. Uang yang diterima Ari Muladi dari Anggodo, menurut pengakuan Ari, adalah:
· US$ 404.600 (setara dengan Rp. 3.750.000.000,-) pada 11 Agustus 2008.
· Rp 400.000.000 pada 13 November 2008.
· Dolar Singapur $ 124.920 (setara dengan Rp. 1.000.000.000,-) pada 13 Februari 2009.

Sedangkan pemalsuan surat disangkakan terhadap Ari Muladi terkait dengan pemalsuan Surat Pencabutan Pencegahan ke Luar Negeri a.n. Anggoro Widjojo Cs. Kepada Dirjen Imigrasi Up. Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian Nomor: R-85/22/VI/2009 tanggal 5 Juni 2009 yang di dalamnya terdapat tanda tangan Chandra M. Hamzah dan Bibit S Rianto.

6. Anggodo Widjojo Tidak Dijadikan Tersangka
Dalam pengumpulan fakta, diketahui bahwa Kepolisian tidak menetapkan Anggodo sebagai tersangka dalam kasus ini. Sesuai dengan kronologi yang dibuatnya sendiri tanggal 15 Juli 2009, secara jelas menunjukkan bahwa inisiatif untuk “mengurus” kasus PT Masaro Radiokom, pertama kali muncul dari Anggodo dengan meminta bantuan Ari Muladi yang dianggap memiliki teman di KPK.

Dalam BAP Ari Muladi tanggal 18 Agustus 2009 juga dinyatakan bahwa Anggodo meminta tolong kepada Ari Muladi untuk menyelesaikan perkara yang terjadi di PT. Masaro Radiokom. Dengan demikian semestinya orang yang memiliki inisiatif awal dan menyediakan dana untuk melakukan penyuapan dapat dianggap terlibat dalam kasus ini sehingga sudah selayaknya untuk dijadikan tersangka.

7. Perubahan BAP Ari Muladi
Ari Muladi telah merubah BAP pertama dengan menyatakan bahwa dia tidak pernah bertemu dan tidak pernah berkomunikasi dengan Ade Rahardja. Ari Muladi juga menyatakan bahwa dia tidak pernah mendengar Ade Rahardja meminta sejumlah uang untuk pengurusan PT Masaro serta tidak pernah menyerahkan uang kepada Ade Rahardja. Ari Muladi menyatakan pula bahwa uang yang diperolehnya dari Anggodo, dia pakai sendiri dan sebagian dia serahkan kepada seseorang bernama Yulianto.

Ari Muladi juga menyatakan bahwa Surat Pencabutan Pencegahan ke Luar Negeri a.n. Anggoro Widjojo Cs. adalah palsu dan dibuat oleh Ari Muladi beserta Yulianto pada 6 Juni 2009 di daerah Matraman.

Atas perubahan BAP dan keterangan tersebut, Penyidik tetap bersikukuh dengan BAP sebelum perubahan (11 Juli 2009) dan memilih untuk menggunakan lie detector untuk membuktikan bahwa BAP kedua dari Ari Muladi adalah bohong.

Penggunaan lie detector juga menjadi catatan Tim 8, khususnya keakuratan dan proses penggunanaan mesin tersebut.

D. TERKAIT PENYALAHGUNAAN WEWENANG

1. Prosedur Penerbitan Dan Pencabutan Surat Larangan Bepergian Ke Luar Negeri (Cegah) Tidak Melanggar Standard Operating Procedure KPK Proses penerbitan dan pencabutan surat telah sesuai dengan Standar Operating Procedure (SOP) KPK. Hal tersebut diatur dalam Surat Keputusan Pimpinan KPK No. KEP-447/01/XII/2008 tentang Perubahan Keputusan Pimpinan KPK No. KEP-33/01/I/2008 tentang Pembagian Tugas Pimpinan KPK Periode tahun 2007-2011. Dalam UU KPK juga mengatur bahwa KPK diberikan kewenangan mengatur sendiri mekanisme dalam menetapkan kebijakan sebagaimana yang diatur dalam pasal 25 ayat (2) UU KPK, sehingga jikalau terjadi kekeliruan dalam penerapan wewenang, maka hal tersebut bukan masuk dalam ranah pidana, namun masuk dalam ranah Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, Penyidik tetap bersikukuh menganggap SOP KPK bertentangan dengan UU KPK.

2. Tidak Terpenuhinya Unsur Pemaksaan dalam Penerbitan Dan Pencabutan Surat Larangan Bepergian Ke Luar Negeri Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua KPK sementara, menyatakan bahwa tidak ada unsur pemaksaan dan tidak ada seorangpun termasuk Dirjen Imigrasi yang dipaksa dalam penerbitan dan pencabutan Surat larangan Bepergian ke Luar Negeri yang ditandatangani oleh Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Padahal Pasal yang dituduhkan kepada Chandra dan Bibit mengharuskan adanya pembuktian unsur pemaksaan dengan kewenangan.

Namun penyidik tetap bersikukuh bahwa telah terjadi penyalahgunaan wewenang dengan hanya mendasarkan pada penafsiran UU KPK dan tidak terpenuhinya bukti formil terkait persetujuan kolektif dalam penerbitan surat tersebut.

3. Pimpinan-Pimpinan KPK Terdahulu Melakukan Prosedur Yang Sama Terdapat konvensi atau kesepakatan di internal KPK sejak periode pertama hingga periode saat ini bahwa dalam menerbitkan atau mencabut Surat Larangan Bepergian Ke Luar Negeri (Cegah) tidak perlu melalui rapat pimpinan kolektif, namun cukup ditandatangani oleh pimpinan KPK yang menangani kasus tersebut dan menyampaikan salinan surat tersebut kepada pimpinan KPK lainnya. Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan beberapa mantan pimpinan KPK.

4. Pencabutan Surat Larangan Bepergian Ke Luar Negeri a.n. Djoko Chandra Terkait Dengan Kasus Arthalita Suryani KPK sedang menyelidiki keterkaitan antara aliran uang dari PT. Mulia Graha Tatalestari sebesar 1 US$ kepada Urip Tri Gunawan-Artalyta Suryani. KPK mendapatkan informasi bahwa aliran dana di rekening Joko Chandra diduga terkait dengan dana yang digunakan Arthalita Suryani dalam kasus suap Urip Tri Gunawan, namun ternyata dugaan tersebut tidak benar setelah KPK mendapatkan informasi yang akurat bahwa dana tersebut ternyata mengalir ke Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian Sosial. Saat itu pula kasus Arthalita dan Jaksa Urip Tri Gunawan sudah selesai diperiksa dan diputus di Pengadilan, sehingga KPK menganggap tidak cukup alasan lagi untuk melakukan ”larangan bepergian ke luar negeri” terhadap Joko Chandra.

5. Penundaan Pelaksanaan Penyidikan Anggoro Widjojo dan Kasus MS Ka’ban Yang Belum Disidik Karena Menunggu Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht) Kasus SKRT Dugaan polisi yang mengarahkan pada adanya hubungan antara penundaan pelaksanaan penyidikan PT. Masaro Radiokom dengan aliran dana dari Anggoro ke Pimpinan KPK dibantah dengan fakta yang disampaikan KPK bahwa penundaan penyidikan dilakukan karena KPK menunggu adanya putusan in kracht oleh Pengadilan Tipikor atas perkara Yusuf Erwin Faisal dalam kasus Tanjung Siapi-Api yaitu tanggal 23 Maret 2009 dimana Anggoro terbukti menyuap Yusuf Erwin Faisal. Menurut KPK, penundaan penyidikan hingga adanya putusan pengadilan tersebut adalah salah satu strategi penyidikan untuk memudahkan proses pembuktian terhadap Anggoro dalam kasus PT. Masaro Radiokom. Chandra M. Hamzah menyatakan bahwa tidak ada hubungan emosional antara dirinya dengan MS Ka’ban. Chandra hanya beberapa kali bertemu dengan MS Ka’ban dan hanya dalam acara resmi.

BAB IV
HASIL VERIFIKASI MELALUI GELAR PERKARA

A. Atas Sangkaan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1. Kekurangan Fakta dari Penyidik

a. Tidak ada fakta yang diperoleh penyidik dalam mengkonstruksikan bahwa Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto telah melakukan pemerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Ketiadaan fakta tersebut nampak pada ketidakmampuan penyidik di hadapan Tim 8 pada acara gelar perkara untuk menjelaskan alur penyerahan uang dari Ari Muladi kepada Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah maupun kepada Ade Raharja serta berdasarkan keterangan Antasari Azhar, keterangan Ari Muladi, dan BAP Ari Muladi tertanggal 18 Agustus 2009 (BAP Kedua), dan keterangan Edy Soemarsono, serta bantahan Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto

c. Dalam hal Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto sebagai tersangka membantah telah menerima uang tersebut, mereka tidak berkewajiban membuktikan bahwa mereka tidak menerima (karena dalam hukum pembuktian, tidak dikenal pembuktian secara negatif). Justru sebaliknya, beban pembuktian berada pada pihak yang mendalilkan adanya sangkaan itu, dalam hal ini penyidik. Namun ternyata penyidik hanya memiliki keterangan Ari Muladi dan bahan petunjuk yang sangat lemah atau tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

d. Bahan petunjuk yang sangat lemah itu hanya berupa adanya mobil KPK yang keluar masuk di Pasar Festifal dan Hotel Bellagio, yang kemudian dijadikan bukti petunjuk. Bukti petunjuk demikian adalah sangat lemah karena baru merupakan sebuah bahan untuk membentuk sebuah bukti. Keterangan tentang mobil KPK itu harus disesuaikan dengan bahan pembentuk bukti petunjuk yang lain (keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa). Kalau keterangan Ari Muladi digunakan sebagai bahan, maka jelas sangat lemah atau tidak dapat digunakan karena keterangan Ari Muladi merupakan upaya pembelaan diri bagi Ari Muladi.

2. Lemahnya Bukti yang digunakan oleh Penyidik
a. Untuk menentukan seseorang telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e dan Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang harus dibuktikan adalah apakah unsur-unsur Pasal 12 huruf e dan Pasal 15 itu terpenuhi atau tidak. Unsur-unsur pasal tersebut adalah:

1) Pegawai negeri atau penyelenggara;

2) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaanya;

3) Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan; atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; Sedangkan unsur-unsur Pasal 15 adalah:
1) Setiap orang;
2) Melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi;

b. Dalam pemeriksaan oleh Tim 8, ternyata penyidik tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Karena alat bukti yang dimiliki penyidik tentang aliran uang dari Anggoro Widjojo terhenti di Ari Muladi (missing link). Alat bukti untuk membuktikan unsur percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat juga tidak dimiliki penyidik.

c. Keterangan Edi Soemarsono dan Antasari Azhar merupakan keterangan yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu), oleh karenanya tidak dapat dipakai sebagai alat bukti (185 ayat (1) KUHAP) juncto Pasal 1 angka 27 KUHAP. Disamping itu juga, keterangan Edy Soemarsono merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh dari pemikiran sendiri, berdasarkan cerita orang lain yang tidak dapat digunakan sebagai keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP).

d. Keterangan Ari Muladi mengenai penyerahan uang itu, kalaupun benar, juga merupakan keterangan yang berdiri sendiri, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti (unus testis nullus testis), satu saksi bukanlah saksi; terlebih keterangan tersebut sudah dicabut. Alat bukti berupa petunjuk yang dimiliki penyidik juga tidak berdasar karena hanya berdasarkan asumsi saja, tidak berdasarkan pada rangkaian keterangan dari saksi-saksi yang ada.

e. Hal yang terungkap di hadapan Tim 8 justru inisiatif pemberian uang berasal dari Anggoro Widjojo yang kemudian meminta bantuan Anggodo Widjojo menghubungi KPK terkait penggeledahan PT. Masaro. Dengan demikian, yang terjadi adalah percobaan penyuapan, bukan pemerasan sebagaimana didalilkan oleh Anggoro Widjojo/Anggodo Widjojo. Oleh karena itu Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo dan Ari Muladi harus dijadikan tersangka karena mencoba menyuap kedua tersangka. Ari Muladi juga dapat dikenai pasal penipuan dan/atau penggelapan (kumulatif).

Berdasarkan uraian di atas, maka tidak ada pidana bagi Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto, karena yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan pidana (nulla poena sine crimine).

B. Atas Sangkaan atas Pasal 421 KUHP juncto Pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1. Kekurangan Fakta dari Penyidik

a. Tidak ada fakta yang diperoleh penyidik dalam mengkonstuksikan bahwa Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto telah melakukan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP juncto Pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Di hadapan Tim 8, pada acara gelar perkara, penyidik tidak memiliki cukup bukti yang membuktikan Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto memaksa pejabat imigrasi untuk mencegah Anggoro Widjojo berpergian keluar negeri dan memaksa pejabat imigrasi untuk mencabut pencegahan berpergian ke luar negeri atas nama Joko S. Tjandra.

c. Pimpinan KPK di hadapan Tim 8 menjelaskan bahwa pencegahan Anggoro Widjojo dan pencabutan pencegahan Joko S. Tjandra telah sesuai dengan mekanisme yang ada dan telah berlangsung sejak pimpinan KPK periode pertama.

2. Lemahnya Bukti yang digunakan oleh Penyidik

a. Dalam membuktikan apakah seseorang telah melakukan perbuatan pidana penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 421 KUHP juncto Pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang harus dibktikan adalah unsur-unsur dalam pasa-pasal tersebut. Unsur-unsur Pasal 421 KUHP adalah:
1) Pejabat;
2) Menyalahgunakan kekuasaan;
3) Memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu.

Sedangkan pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pidana minimal dan pidana maksimal bagi yang melanggar Pasal 421 KUHP. Dengan demikian, yang harus penyidik/penuntut umum buktikan adalah unsur-unsur Pasal 421 KUHP.

b. Alat bukti yang dimiliki penyidik dalam menjerat Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan sangat lemah karena tidak ada saksi-saksi yang menerangkan bahwa ada unsur “memaksa” dalam pencegahan perpergian keluar negeri atas nama Anggoro Widjojo dan pencabutan pencegahan berpergian keluar negeri atas nama Joko S. Tjandra.

c. Dalam memeriksa Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto, Penyidik hanya mendasarkan pada penilaian bahwa pencegahan bepergian keluar negeri atas nama Anggoro Widjojo dan pencabutan pelarangan perpergian keluar negeri atas nama Joko S. Tjandra melanggar prinsip kolektif kolegial; status Anggoro Widjojo belum tersangka; dan terhadap Anggoro Widjojo belum dilakukan penyelidikan/penyidikan terlebih dulu, sehingga dirumuskan telah penyalahgunaan kekuasaan/wewenang.

Terhadap prinsip pengambilan keputusan yang bersifat kolektif-kolegial, pimpian KPK pada 5 November 2009 telah menjelaskan kepada Tim 8 antara lain bahwa KPK telah memiliki mekanisme yang ditetapkan secara internal tentang pelaksanaan musyawarah antar pimpinan sebagai realisasi kepada putusan yang sifatnya kolektif itu. Karena KPK diberikan kewenangan juga mengatur sendiri mekanisme dalam menetapkan kebijakan sebagaimana yang diatur dalam pasal 25 ayat (2) UU KPK.

Hal tersebut telah berlangsung sejak pimpinan KPK pada periode pertama. Selain itu, ada konvensi atau kesepakatan di internal KPK bahwa pencegahan berpergian cukup dilakukan oleh komisioner yang membawahi tugas tersebut. Dan itu sudah diatur pula dalam Surat Keputusan Pimpian KPK No. KEP-447/01/XII/2008 tentang Perubahan Keputusan Pimpinan KPK No. KEP-33/01/I/2008 tentang Pembagian Tugas Pimpinan KPK Periode tahun 2007-2011.

d. Terhadap pelarangan perpergian keluar negeri atas nama Anggoro Widjojo yang berstatus sebagai tersangka. Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK tegas menyatakan bahwa “dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, KPK berwenang memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri.” Kata “penyelidikan” dan “seseorang” pada rumusan pasal tersebut menunjukan bahwa KPK berwenang memerintahkan instansi terkait (imigrasi) untuk mencegah seseorang berpergian ke luar negeri apapun status orang itu, asalkan terkait dengan perkara korupsi yang sedang diselidiki KPK. Oleh karena itu, pencegahan seseorang oleh KPK tidak harus berstatus tersangka.

e. Terkait dengan Anggoro Widjojo, pencegahan yang bersangkutan berpergian ke luar negeri a KPK sedang menangani perkara lain yakni, kasus Yusuf Erwin Faisal dan sudah incracht). Dalam perkara itu, Anggoro menyuap Yusuf Erwin Faisal dan pejabat di Departemen Kehutan (MS Kaban). Tindakan penyidik mengkaitkan keterlambatan penanganan kasus Masoro dengan utang jasa Chandra M. Hamzah terhadap MS Kaban sangat tidak berdasar.

f. Pencabutan pencegahan atas nama Joko S. Tjandra juga tidak menyalahi ketentuan karena KPK sedang menyelidiki keterkaitan antara aliran uang dari PT. Mulia Graha Tatalestari sebesar 1 US$ kepada Urip Tri Gunawan-Artalyta Suryani. Dalam persidangan, tidak ditemukan keterlibatan Joko S. Tjandra dalam perkara suap Artalyta Susryani kepada Urip Tri Gunawan sehingga KPK mencabut pencegahan berpergian ke luar negeri tersebut. Berdasarkan hal-hal di atas, tidak cukup bukti bahwa kedua tersangka melakukan
penyalahgunaan kekuasaan/wewenang sebagaimana yang dituduhkan oleh Penyidik

1 comment: