Monday 14 January 2013

KPU Siap Adu Data dengan Parpol. Banyak parpol gugur oleh seleksi KPU. Mengapa?

Husni Kamil Manik
Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan sepuluh partai politik peserta Pemilu 2014. Jumlah itu menurun drastis dari biasanya puluhan peserta di setiap Pemilu pasca-Reformasi. Tak sedikit partai yang gagal uring-uringan dengan putusan KPU ini.

Soal menciutnya jumlah parpol lolos seleksi, Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan lembaganya hanya menjalankan aturan undang-undang. Apalagi, kata Husni, persyaratan partai peserta Pemilu sekarang lebih ketat.

Banyak partai gagal, kata Husni, akibat tak bisa memenuhi syarat dalam soal keanggotaan. Sejumlah partai itu bahkan gagal menunjukkan bukti kartu anggota.
Selain soal verifikasi parpol, apa saja yang baru dari persiapan KPU untuk Pemilu 2014? Kepada Arfi Bambani Amri dan Arie Dwi Budiati dari VIVAnews, Husni mengungkapkan banyak segi ihwal persiapan hajatan politik nasional itu. Berikut petikan wawancara pada Rabu 9 Januari 2013 itu.
Apa yang membedakan konsep verifikasi KPU sekarang dengan 2009?
Pertama, konsep peraturan perundang-undangan sudah berbeda. Dibandingkan 2009, ada persyaratan kuantitatif. Di tingkat kabupaten/kota terjadi peningkatan persyaratan jumlah pengurus, dari 50 persen menjadi 75 persen kabupaten/ kota. Di tingkat propinsi dari 75 persen ke 100 persen provinsi. Keberadaan kepengurusan di dua tingkatan itu yang paling berbeda. Untuk persyaratan itu harus.
Tidak boleh ada persyaratan anggota tanpa kepengurusan, tidak boleh ada kepengurusan tanpa keanggotaan. Jadi dia akumulatif. Kebanyakan yang gagal dari keanggotaan.
Keanggotaan itu dibuktikan dengan kartu anggota?
Keanggotaan itu bukti utamanya adalah kartu tanda anggota. Tapi bisa saja kesempatan verifikasi itu, tim kita menanyakan apakah yang bersangkutan sesuai dengan jati di KTA itu. Jika dianggap tidak meyakinkan, dia diminta membuktikan dia pemilik sah KTA. Misalnya Anda mengatakan itu KTA saya, sementara tim verifikator tahu itu bukan KTA Anda, maka Anda akan diminta untuk membuktikan itu. Apakah dengan menunjukkan KTP atau kartu keluarga atau apa namanya kartu identitas lain.

Ada kasus seperti itu?
Banyak. Bagaimana pun tim verifikator kita itu orang setempat, paling tidak di kabupaten/ kota. Kemudian tempat tinggal mereka tersebar juga di wilayah administrasi itu. Timnya umumnya jumlahnya 25 orang, dan penempatan tim itu biasanya adalah orang yang tahu wilayah itu. Jadi, dia paham betul orang-orang di situ. Punya pengetahuanlah.

Ada anggota partai rangkap juga ada kasusnya?
Kalau itu bisa dideteksi ketika penentuan sampel. Umumnya pakai derivasi. Jadi bisa kelihatan. Kalau begitu kejadiannya, maka yang bersangkutan bisa ditanya. Pertama pertanyaannya, ‘apakah Anda memang anggota partai politik?’ Jika dia jawab iya, ditanya yang kedua, ‘partai politik Anda apa? Karena di catatan kami, Anda tercatat lebih dari di satu partai politik’. Kalau dia jawab pertanyaan pertama tidak, pertanyaan kedua tidak perlu ditanya.

Ada juga katanya persyaratan kepengurusan perempuan. Itu kasusnya bagaimana?
Kemarin itu kita kan rapat pleno terbuka tentang verifikasi faktual yang dilakukan di kabupaten/ kota, provinsi. Tujuan dari rapat pleno itu untuk membahas bagaimana verifikasi faktual di tiga tingkat itu dilakukan. Tidak lagi membahas hal-hal lain, termasuk membahas peraturan-peraturan.
Kenapa itu ada? Karena pembahasan peraturan itu sudah tuntas sebelum pelaksanaan verifikasi dilakukan dan partai politik yang 34 sudah mengetahuirule of the game-nya seperti itu sehingga tidak tepat dibahas di forum itu, dan kami sengaja melakukan minimalisasi terhadap pembicaraan di luar fokus tujuan rapat pleno itu.

Kalau kita bahas itu juga, agenda dalam rapat pleno itu tidak tercapai. Kami memberi ruang untuk interupsi setelah proses agenda utama selesai. Makanya kami keberatan terhadap interupsi yang dilakukan yang tidak menyinggung substansi rapat pleno terbuka itu.
Nah menyangkut keterwakilan perempuan itu, kan sudah ada dalam peraturan kita. Jika peraturan salah, harusnya kan sejak awal mereka keberatan ini peraturan bagaimana. Apalagi partai-partai yang 16 itu sudah dinyatakan secara administrasi mereka memenuhi syarat keterwakilan perempuan. Dan ternyata di verifikasi faktual, ternyata mereka tidak mampu membuktikan itu. Dan kenapa di verifikasi faktual itu dibuka. Administrasi mereka sudah memenuhi yang 16 itu ya.

Tapi ternyata yang 16 itu ada yang bermasalah sewaktu verifikasi faktual?
Bermasalah enam.

Jadi rapat pada Senin (7 Januari 2013) itu hanya membahas apakah KPU daerah melakukan verifikasi?
Ya, dan apakah jejak temuan kita sesuai atau tidak. Konfirmasi itulah yang penting. Sebagian parpol mengajukan kasus-kasus teknik operasional  di lapangan. Kami jawab. Bahkan kami adu data. Ya, ada pimpinan parpol yang senyum-senyum saat ajukan adu datanya, keberatannya itu dijawab oleh KPU provinsi kita. Datanya ternyata tidak valid. Itu data yang dia ajukan tidak valid. Bahkan ada parpol mengajukan keberatan pada daerah tertentu kemudian pihak KPU mengajukan datanya. Kemudian dia senyum-senyum. Kenapa? Ternyata daerah yang dia complain, memenuhi syarat. Kenapa dia complain yang memenuhi syarat? Ada partai yang keberatan tapi dia sendiri tidak siap dengan data.
Keberatan lainnya kebanyakan soal kantor. Ada KPU daerah yang menemukan kantor partai di warung soto, SPBU dan sebagainya. Kasusnya bagaimana itu? 
Pendekatannya itu kan domisili. Partai harus membuktikan dengan cara apa dia di sana apakah dia sewa, dia beli, dia pinjam atau hibah. Kalau pembuktian itu mampu dilakukan oleh partai politik, KPU harus terima. Jika kemudian ternyata pengakuan atau pengajuan berkas pada KPU katakanlah tidak legal, itu adalah tanggung jawab partai politik yang bersangkutan. KPU tidak sampai menentukan legal atau tidak dokumen itu, misalnya jual beli. Tidak begitu. KPU kan bukan peradilan.

Jadi apa syarat kantor parpol itu?
Ada kantor di situ. Ada surat-menyuratnya. Surat-menyuratnya memenuhi kriteria itu nggak.

Kemarin ada yang mengajukan soal beberapa kantor partai seperti Golkar, PPP, menempati kantor pemerintah. Itu berarti bukan urusan KPU?
Kami hanya mengklarifikasi cara apa mereka menempati kantornya. Apakah sewa, milik sendiri, atau beli, atau hibah, pinjam pakai.

Apa masih ada kesempatan bagi yang tidak lolos untuk bisa ikut Pemilu?
Yang jelas mereka punya hak untuk menempuh pengajuan sengketa pemilu di Badan Pengawas Pemilu. Kemudian Bawaslu melakukan mediasi, kemudian melakukan judikasi. Jika nanti para pihak tidak menemukan resolusi  atas mediasi itu maka para pihak boleh melanjutkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Itu bisa saja kami yang mengajukan jika tidak setuju keputusan Bawaslu. Jika parpol yang tidak setuju, mereka yang mengajukan ke PTUN. Itu hak mereka. Itu nanti jalur hukumnya sampai Mahkamah Agung. Itu in kracht-nya.

Berapa lama waktu untuk menggugat?
Paling tidak dua bulan ini. Prosesnya sampai bulan Maret karena bulan April sudah proses pencalonan, pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota. Pengajuan Daftar Calon Sementara (DCS) di sana.

Itu berapa lama lagi sampai ke Daftar Calon Tetap?
Nah itu prosesnya dimulai tanggal 9 atau 12 bulan sebelum hari H. Itu sesuai dengan ketentuan UU Nomor 8 tahun 2012.

Kalau partai lokal, ada penambahan sejauh ini?
Partai lokal itu ada tiga. Dari informasi lisan yang disampaikan Komisi Independen Pemilihan Aceh ada tiga. Kurang dari enam. Dulu enam.

Sudah diverifikasi juga?
Sudah. Penetapannya hampir bersamaan. Tapi, laporannya belum sampai ke kita.

Itu nanti partai lokal bulan April tetapkan DCS juga?
Oh ya, harus bersamaan.

Apa fungsi KPU dalam soal DCS ini?
DCS kan dilakukan oleh partai politik. Kami kan hanya administratif apakah mereka memenuhi persyaratan undang-undang atau tidak. Dilakukan bertingkat dari DPRD tingkat II sampai DPR pusat. DPD itu biasanya diperbantukan ke provinsi.

Selain masalah caleg, partai, adakah konsep baru dalam Pemilu nanti?
Kalau konsep dasarnya dari undang-undangnya kan tidak terlalu banyak berubah dari tahun 2009. Hanya pendekatan-pendekatannya nanti yang kami akan sesuaikan. Kami akan perbaiki terus, di mana letak kelemahannya di masa lalu akan kami perbaiki sekarang. Dalam proses verifikasi beberapa hal sudah kami perbaiki.

Yang pertama, ketika kami mulai mensosialisasikan penyelenggaraan ini, kami lebih meningkatkan kegiatan sosialisasi tatap muka kepada partai politik.
Kedua, kami melakukan proses verifikasi administrasi yang sebelumnya timnya hanya satu, mulai dari penerimaan sampai verifikasi. Kami sekarang memecahnya menjadi dua tim. Satu tim bekerja untuk menerima proses penyerahan berkas dari partai politik. Satu tim lagi meneliti. Jadi, verifikator ini tidak berhubungan langsung dengan partai politik dan ini diawasi hari per hari dalam kerjanya.
Ketiga, yang kami perbaiki di mana kami memberikan data kepada partai politik itu secara rinci. Mulai dari verifikasi administrasi tahap satu dan verifikasi administrasi tahap dua kami kasih detail. Yang diributkan tahap dua itu kan kami pada hari pertama pengumuman itu hanya melayangkan surat pemberitahuan dan itu memang peraturan, KPU hanya memberi surat pemberitahuan.
Nah, kemudian kami kan disoal kenapa tidak memberikan seperti yang pertama? Nah, yang pertama itu langsung detail kami berikan. Karena masih ada masa perbaikan. Dia harus detail sekali. Yang kedua dalam peraturan hanya melalui surat pemberitahuan.
Disebutkan ‘Anda gagal, tidak memenuhi syarat’. Kemudian partai minta informasi ‘kami gagal di mana?’. Kemudian kami kasihkan. Beberapa hari setelah itu kami berikan kepada 18 partai politik. Sementara yang 16 kami berikan waktu. Kami lakukan verifikasi faktual terhadap mereka. Itu juga sesuatu yang baru yang kami lakukan.

Keempat, kami lakukan konfirmasi terhadap data ketika faktual itu benar-benar melibatkan partai politik. Ketika tim verifikator kami tidak menemui yang bersangkutan, maka partai politik diberi kesempatan untuk mengumpulkan mereka yang tidak ditemui itu. Nah itu yang kemudian diprotes, mengapa tidak sama, ada yang ditemui langsung ke lapangan dan ada yang tidak.
Bukannya itu buka pintu peluang kolusi?
Sekarang yang diprotes bukan kolusinya tapi justru kenapa ada perbedaan. Ini bukan perbedaan, tapi standar untuk melayani.

Jemput bola maksudnya?
Ya, ada yang jemput bola atau langsung. Ada yang kami kasih pilihan mau dikumpulkan di mana, di kantornya partai atau di kantor KPU. Silakan begitu. Dan kami melakukan juga di sini. Pembuktian keterwakilan perempuan kami lakukan di sini. Ada yang KPU mendatangi partai. Itu juga sempat diributkan kenapa KPU datang lagi ke kantor partai. Karena untuk mengkonfirmasi. Jadi ada kemudahan itu, ada partisipasi partai itu. Dan itu standar yang dilakukan untuk semua partai. Jadi tidak partai tertentu yang dilayani.

Kelima, dalam hal penetapan verifikasi faktual partai politik ini, kami pertama kali melakukannya dalam pleno terbuka di tingkat kabupaten kota, di tingkat provinsi, dan di tingkat nasional. Itu yang pertama kali seperti yang kemarin itu.

Dulu itu tertutup?
Ya, dulu itu tertutup. Ini merupakan implementasi kebijakan kami untuk memperkuat transparansi. Kalau partai politik ingin menyanggah, dia bisa menyanggah di kabupaten/kota. Dia bisa konfirmasi. Namun di sebagian besar di kabupaten/kota ini tidak ada sanggahan. Nah kemudian semakin banyak di tingkat provinsi dan semakin banyak lagi di tingkat pusat.

Padahal, seharusnya sebaliknya?
Harusnya terbalik. Karena dia bisa dikonfirmasi di tingkat lokal. Tingkat lokal kan lebih mudah pembuktiannya. Waktunya lebih panjang. Dan mereka sama-sama orang situ. Jadi, paham petanya. Dan tidak banyak data yang sumir, tidak mengada-ada, manipulatif.
Seperti kemarin ada juga yang ditanya, ketika partai politik mengajukan keberatan di Tasikmalaya, KPU Jawa Barat bertanya, ‘Ini kabupaten Tasik atau kota Tasik?’ Nah yang ditanya bingung sendiri karena tidak mengerti. Tetapi coba kalau dikonfirmasi di daerah itu, mereka mengerti, bisa dikonfirmasi.

Itu beberapa hal yang kami perbaiki. Karena dia sudah ditetapkan di kabupaten/ kota secara terbuka, kemudian di provinsi secara terbuka, jadi hasil di tingkat nasional ini tidak perlu ada isu sudah bocor sebelum ditetapkan. Kenapa? Karena sudah terbuka. Rekan-rekan pers bisa mengungkap.

Jika dikumpulkan kan kelihatan. Proses akhir di KPU ini kan proses konfirmasi. Apakah data itu benar atau tidak kemudian keberatan partai seperti apa terhadap data-data itu. Sehingga kemarin dalam rapat pleno terbuka itu, partai-partai sudah merasa dia lolos atau tidak lolos. Itu akibat keterbukaan itu. Dan kita harus terima dengan konsekuensi itu semua.
Hal lain yang akan dilakukan KPU, misalnya soal pemungutan suara. Apa saja langkahnya?
Kami akan mulai dari kampanye yang paling dekat. Kami akan mengundang partai politik untuk menetapkan jadwal bersama. Jadi 10 partai akan kami undang dan akan tentukan zona dan waktu (kampanye) masing-masing. Ini bukan hal baru karena sudah dilakukan oleh yang sebelumnya. Mungkin kualitasnya saja yang akan kami tingkatkan.
Sekarang kami sedang berpikir bagaimana proses koordinasi antara KPU, partai politik, Bawaslu, dan teman-teman pemantau untuk bisa mengelola kampanye secara transparan, mulai dari jadwal pelaksanaannya hingga penganggarannya.

Ini anggaran kampanye mulai dibahas publik. Bagaimana dana kampanye benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Ini kan isu yang sedang berkembang juga supaya tidak menggunakan dana-dana yang tidak sah menurut undang-undang, misalnya bersumber dari APBN, BUMN, BUMD dan sumber-sumber lain yang dilarang. Itu nanti yang kami ingin bahas dengan partai politik.

Soal kampanye lewat iklan di televisi bagaimana? Apa ada zona waktu juga?
Itu akan dilengkapi. Itu pembahasannya tidak hanya dengan partai politik, tapi juga ada lembaga lain seperti Komisi Penyiaran Indonesia, stasiun televisi, radio. Itu kan dibahas bersama bagaimana supaya efektif pengaturannya. Itu akan ada pembatasan, jelas diatur dalam peraturan kita.

Yang selanjutnya adalah DPT, daftar pemilih tetap. Daftar pemilih tetap itu menjadi soal yang besar itu. Yang besar di ujung. Waktu hasil sudah ditetapkan baru mereka ribut-ribut menyangkutkan antar hasil pemungutan suara dengan hasil DPT.

Dalam urusan DPT nanti yang baru adalah kami akan melibatkan partai politik itu di tingkatan kecamatan mulai dari proses daftar pemilih sementara. Datanya nanti akan diserahkan di tingkat kecamatan oleh panitia pemilihan kecamatan kepada pengurus partai politik.
Dan begitu mereka diserahi daftar DPS, mereka punya tanggung jawab moral untuk membantu penyelenggaraan pemutakhiran daftar pemilih di tingkat kecamatan itu. Jadi kalau ada konstituennya yang belum masuk, maka ribut-ributnya ada di kecamatan itu. Misalnya si anu belum masuk. Jangan di tingkat pusat nanti bilang "konstituen kami di Kali Ciliwung nggak masuk." Padahal Kali Ciliwung dia sendiri tidak tahu. Jadi itu harus di kecamatan supaya dia lebih dekat.
Sebelumnya tak ada yang seperti itu?
Belum ada. Belum ada yang seperti itu. Dan nanti penetepannya proses membangun datanya melibatkan partai politik dan peran serta masyarakat yang luas. Mulai dari daftar pemilih tetap. Nanti dalam proses koreksinya masyarakat diharapkan berpartisipasi. Dalam proses penetapannya, kami lakukan dalam pleno terbuka lagi.
DPS pakai e-KTP?
Data yang diserahkan pemerintah pakai basis e-KTP. Satu soal di sana bisa diselesaikan adalah tidak ada data ganda di sana karena sudah disaring e-KTP tersebut. Jadi itu untuk DPT. Dengan sistem yang seperti itu, kita berharap DPT tidak menjadi soal lagi. Sudahlah cukuplah itu disoal tentang akurasi data DPT.

Sedikit tambahan DPT, ini kan kita pakai sistem informasi. Perintah undang-undang begitu. Ini hal yang baru juga, sistem informasi data pemilih. Kami mendesain sekarang sistem informasi bisa online dan tidak lagi ribut seperti saat kami menerapkan Sistem Informasi Partai Politik kemarin.

Tapi ini sensitif juga kalau pemilih muncul di online?
Kan ada kanalisasi. Kanalisasi untuk partai dan KPU sampai tingkat kabupaten/ kota itu. Kemudian nanti mungkin sampai di tingkat kecamatan kalau mereka punya basis data IT di kecamatan. Yang mereka tahu, itu data mereka sendiri di KPU. Misalnya di Jakarta Pusat, mereka hanya tahu yang di Jakarta Pusat secara keseluruhan. Tapi kami nanti melayani siapa pun pemilih bisa searching namanya terdaftar atau tidak. Ketika dia minta data seluruh Indonesia, itu tidak bisa. Cuma dia hanya tahu sudah terdaftar atau belum.

Apakah dia memasukkan nama atau nomor induk kependudukan?
Misalnya NIK atau namanya. Nah kami kan pakai basis data seperti itu supaya lebih baik datanya.

Daftar calon juga bisa dilihat secara online?
Nah, yang untuk pencalonan kami mau ke sana. Bagaimana prosesnya disampaikan secara  terbuka. Konflik internal partai tidak sampai ke KPU. Itu pembaharuan juga yang akan kami lakukan. Jadi calon ini bisa diakses karena datanya akan jadi data publik. Mereka kan calon pejabat publik. Tapi tetap ada batasan apa saja yang disetujui yang bersangkutan. Itu kan hak asasi juga kan untuk sebagian. Untuk kesehatannya itu tidak mungkin dipublikasi.

Apakah hal itu sudah disepakati?
Peraturannya belum terbit kan. Jadi kami sudah masukkan ketegasan yang begitu-begitu dalam peraturan. Dan besok kami membahas dengan DPR. Itu undang-undang bukan kehendak KPU. Itu pembaruan.

Kemudian untuk pemungutan, kami akan lakukan beberapa hal yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dan akurat sehingga tidak ada ribut-ribut KPU memihak salah satu calon. Tidak. Nanti kami akan tempuh misalnya ada uji publik, ada uji kesahihan sistem informasi yang digunakan dan kami akan sosialisasikan sistem kerjanya itu.
IT-nya nanti apakah nanti bekerja dari level tempat pemungutan suara?
Kalau pemungutan suara tidak mungkin sampai TPS karena infrastruktur pendukungnya belum seluruh Indonesia. Di Amerika sebagian kan. Ada yang manual dan ada yang IT. Kami mendiskusikan itu juga di Amerika kemarin. [Husni berada di Amerika Serikat saat negeri itu menggelar Pemilihan Presiden pada 6 November 2012 lalu].
Teman-teman Asia Tenggara, Asia, benua lain, rekomendasinya Indonesia belum cocok itu dan infrastrukturnya belum cukup, sumber daya manusianya juga  belum memadai, iklim politiknya belum mendukung. Seperti Filipina yang sudah menerapkan itu jelas-jelas ketua KPU-nya merekomendasikan Indonesia jangan dulu sebelum semua prasyarat belum dipenuhi. Jadi, kami belum sampai ke sana.
Nanti satu soal utama yang terjawab dari penggunaan sistem informasi itu adalah kebutuhan publik akan percepatan informasi terhadap prosesnya dari tingkat TPS sampai tingkat pusat. Sistem informasi baru menjawab itu belum menjadi satu dokumen yang jadi alat legalitas penghitungan suara, belum sampai ke sana, masih menyangkut percepatan informasi.

Jadi teknis pengumpulan suara bagaimana? Bagaimana prosedur dari TPS?
Dari Kelompok Panitia Pemungutan Suara ke Panitia Pemungutan Suara, kemudian dari PPS ke kecamatan. Tahun 2004 itu data di-entry ke kecamatan. Tahun 2009 itu di-entry di kabupaten/ kota. Nah itu penetapan di mana di-entry, kami belum sampai ke sana. Nanti kita lihat yang paling fleksibel di mana supaya masalah-masalah yang timbul secara teknis maupun yang timbul secara politis, kita bisa analisis dan bisa disepakati dengan partai politik.

Jadi pada hari pemungutan suara, malam kita sudah tahu hasilnya?
Kalau secara menyeluruh belum. Tidak mungkin itu. Di Indonesia tidak mungkin. Tapi kalau perkembangan satu hari, ya. Nanti kita tinggal petakan daerah-daerah yang akses komunikasi dan transportasinya lebih baik. Bisa saja daerahnya jauh, tapi infrastrukturnya bagus. Sinyalnya bagus, internetnya bagus. Itu jadi prioritaskan pertama untuk mengirim data.
Nanti prioritas kedua daerah yang barrier, kemudian daerah yang terisolir. Nanti kami bisa tetapkan strateginya. Ini bisa kami buka pada partai. ‘Ini lho yang jadi prioritas utama. Jangan pada protes ya’.

Nanti surat suara dicentang atau dicoblos?
Coblos. Itu aturan hukumnya.

Kalau logistik?
Logistik itu kami sudah mapping mulai dari tahun 2012 ini. Mapping kami itu ada sistem informasinya juga, tapi bersama dengan ITB. Sepertinya sudah selesai, tapi saya belum lihat mapping-nya seperti apa. Dulu kan strateginya pemenuhan terhadap logistik dibagi tiga kategori, yaitu daerah terisolir, semi terisolir, dan daerah perkotaan.
Yang dikirim pertama itu daerah terisolir. Itu sudah standar. Nah yang sekarang kami perbaiki adalah menyangkut pengelolaan jumlah, jenis, kemudian proses pengiriman, proses checking sampai di lokasi itu pakai sistem informasi. Nanti tidak ada lagi ‘kami kekurangan surat suara’ atau tidak ada lagi surat suara terbalik-balik atau tertukar.
Dan berharap bisa terkontrol. Seluruh proses ini kami berencana ada pusat pengendali operasional. Kami ingin membangun itu. Jadi suatu kesempatan kami ingin berkomunikasi dengan 33 provinsi kemudian ke-33 provinsi ini bisa komunikasi ke kabupaten/ kota. Karena kalau Jakarta berkomunikasi dengan kabupaten/ kota terlalu apa ya, kan ada 497 tambah 18 daerah otonomi baru itu lebih 500 KPU daerahlah ya.

Soal pengadaannya bagaimana?
Kalau pengadaannya, dari tahun 2009 kami sudah kerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. LKPP itu kan lembaga yang profesional.

Jadi prosesnya secara online?
Ya, sistem itu Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Jadi kami gunakan yang online. Komisioner KPU tidak dilibatkan lagi dalam teknis pengadaan. Kami hanya mengambil keputusan. Keputusan itu kebijakan awal. Kebijakan akhir bukan kami. Kami hanya mengevaluasi apakah peraturan itu sudah dijalankan.

Waspada! Mayoritas Pelaku Kekerasan Anak Adalah Orang Dekat. 42 persen dari 2.637 kasus kekerasan anak adalah kejahatan seksual

Jasad RI dibawa pulang orangtua, beberapa waktu lalu. Bocah RI diduga menjadi korban kekerasan seksual
Perlindungan terhadap anak di negeri ini masih sangat rendah. Ini terlihat dari angka laporan kekerasan terhadap anak yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak ada perbaikan?

Komisi Nasional Perlindungan Anak merilis sedikitnya ada 2.637 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan sepanjang 2012. Jumlah ini, menurut Komnas Perlindungan Anak  meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Data yang lebih mengerikan, mayoritas dari kekerasan tersebut merupakan kekerasan seksual.

Komnas PA merilis 62 persen dari 2.637 kasus merupakan kekerasan seksual terhadap anak di mana 82 persen korban dari kejahatan seksual tersebut adalah dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Menurut Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait, angka laporan kekerasan terhadap anak itu lebih rendah di tahun 2011, yakni 2.509 kasus, sementara 58 persen dari jumlah tersebut adalah kejahatan seksual dan selebihnya kekerasan fisik dan psikis.

Sementara pada tahun 2010, laporan kekerasan pada anak mencapai 2.426 kasus. Sementara, 42 persen di antaranya kekerasan seksual. "Ironisnya, dari kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilaporkan justru pelakunya adalah orang-orang di lingkungan terdekat anak, yaitu orangtua kandung, tiri, kakak, kerabat dari keluarga, paman, guru, sopir, tukang kebun, dan tetangga," kata Arist usai melakukan aksi solidaritas untuk RI, di Bundaran Hotel Indonesia, Minggu, 13 Januari 2013.

Arist mencontohkan kasus pilu yang menimpa bocah 11 tahun, RI. Bocah perempuan yang meninggal 6 Januari 2013 ini diduga menjadi korban kekerasan seksual berulang-ulang. Indikasinya, hasil otopsi RS Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa RI terindikasi virus yang disebabkan hubungan seksual.

Menurut dia, kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga dekat merupakan indikasi dari keluarga yang gagal. Indikasi orangtua tidak awas dan kurang perhatian terhadap anak-anak mereka.

"Kami minta agar pemerintah memberikan jaminan perlindungan anak dan perempuan dengan meningkatkan hukuman 20 tahun pidana penjara dan maksimal seumur hidup terhadap pelaku kekerasan seksual," kata dia.

Berkaca dari data-data dan kasus RI, aktivis anti-kekerasan anak dan perempuan di Komnas Perempuan, Naomi Wirdisastro meminta orangtua, terutama para ibu, tidak mempercayakan 100 persen kegiatan anak pada lingkungan mereka. "Dari tahun ke tahun kami menemukan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh suami, teman-teman bermain, tetangga, dan keluarga dekat," kata dia.

Kisah Pilu Bocah RI
29 Desember lalu, RI, anak bungsu dari pasangan Asri dan Sunoto, dilarikan ke Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta dalam kondisi mengenaskan. Tak sadarkan diri, kejang, demam tinggi. Dokter yang memeriksanya kemudian menemukan fakta yang lebih memilukan lagi, kemaluan RI membusuk dan ada belatung. RI pun diketahui meninggal karena infeksi di otaknya.

RI yang duduk di kelas 5 SD itu tak sempat bercerita kejahatan apa yang dia alami hingga menderita sedemikian hebat. Bahkan, hingga RI menghembuskan nafas terakhir, Minggu 6 Januari 2013.
Komnas PA menyatakan, dugaan kekerasan seksual pada RI makin kuat setelah hasil otopsi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan bahwa RI terindikasi virus yang disebabkan hubungan seksual.

Hingga kini, Polres Jakarta Timur sudah memeriksa 19 saksi untuk mencari tahu apa dan siapa yang menyiksa RI sedemikian rupa. Dari 19 saksi yang diperiksa, kini mengerucut pada dua saksi yang dicurigai terlibat dalam kasus itu.

Menurut kuasa hukum keluarga RI, Permadi Ramono, orang yang diduga kuat melakukan pencabulan adalah saksi yang berinisial R. Pasalnya, menurut Permadi, saat ini R dilakukan pemeriksaan secara intensif oleh kepolisian.

"RI sampai akhir hayat juga nggak mau ngomong, ini ada indikasi yang melakukan perbuatan (pencabulan) orang terdekat dia," kata Permadi, Minggu 13 Januari 2013.

Menurut Permadi, polisi sudah meminta keterangan kepada orang tua RI. Pasalnya, Permadi mengatakan, R termasuk pada keluarga inti RI. "Orangtua RI juga sudah memberikan keterangan kepada polisi bagaimana keseharian, tabiat dan perilaku R di rumah," ujarnya.

Menurut Permadi, aksi kekerasan seksual terhadap RI ini terjadi berulang-ulang yang dilakukan oleh keluarga dekatnya. Indikasinya, kata dia, ada sobek pada bagian kemaluan dan anusnya. "Makanya kami menuntut agar kepolisian menangkap dan menghukum pelaku seberat-beratnya," kata dia.

Saat dikonfirmasi mengenai keterlibatan saksi R, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Rikwanto mengatakan belum ada tersangka dalam kasus RI. "Semua yang diperiksa masih berstatus saksi," kata Rikwanto.