Friday 27 November 2009

BALADA 3 BUTIR BUAH KAKAO, DAN KISAH KESAKTIAN ANGGODO

Betapa sulitnya Hukum untuk menjerat seorang Anggodo dan rekan rekannya.. dan begitu sulitnya memaafkan seorang Nenek tua bernama Yu Minah yang harus menunggu sampai vonis pengadilan hanya gara gara tiga buah Cacao.. begitu sulit menangkap si A dan begitu mudah meringkus si B.. Anggodo dan Yu Minah.. apakah dikau berdua rakyat negeri tercinta ini.. sungguh miris sekali adanya..

Perjalanan Seorang Anggodo.. flash back.. di mulai dari ramainya transkrip rekaman.. dalam sadapan KPK, melakukan hubungan telepon dengan pejabat kepolisian dan kejaksaan, terkait kasus yang menjerat Anggoro.. Sampai kemudian Anggodo diperiksa sebagai Saksi Pelapor.. Adik tersangka korupsi Anggoro Widjojo itu mengatakan, pemeriksaan masalah rekaman tersebut merupakan kepentingannya dan dirinya berharap semua persoalannya terungkap hingga tuntas. Pengacara Anggodo Widjojo, Bonaran Situmeang, menjelaskan, sejauh ini kliennya masih berstatus sebagai saksi pelapor terkait dengan isi rekaman dan transkrip percakapannya. Kapolri Jamin Anggodo Tidak Lari ke Luar Negeri..

Dan Sampai begitu sulitnya untuk menjadikan tersangka.. hingga hampir saja media Kompas dan Seputar Indonesia dipanggil oleh pihak kepolisian.. sampai Hendardi.. Bu Megawati dan banyak lagi tokoh yang berbicara..Dewan Pers angkat bicara.. walau akhirnya pemanggilanpun di batalkan melalui telephon.. eee.. kemudian di panggil lagi.. hehehe..

Tragedi Yu Minah.. seorang nenek dari sebuah dusun.. seorang nenek yang buta huruf hanya gara gara tiga buah Cacao harus menghadapi persidangan.. Duh… Tiga Buah Kakao Menyeret Minah ke Meja Hijau.. KOMPAS.com — Inilah ironi di negeri ini. Koruptor yang makan uang rakyat bermiliar-miliar banyak yang lolos dari jeratan hukum. Tapi nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum hanya karena tiga biji kakao yang nilainya Rp 2.000.

Memang, sampai saat ini Minah (55) tidak harus mendekam di ruang tahanan. Sehari-hari ia masih bisa menghitung jejak kakinya sepanjang 3 km lebih dari rumahnya ke kebun untuk bekerja. Ketika ditemui sepulang dari kebun, Rabu (18/11) kemarin, nenek tujuh cucu itu seolah tak gelisah, meskipun ancaman hukuman enam bulan penjara terus membayangi. “Tidak menyerah, tapi pasrah saja,” katanya. “Saya memang memetik buah kakao itu,” tambahnya.

Terhitung sejak 19 Oktober lalu, kasus pencurian kakao yang membelit nenek Minah itu telah ditangani pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Dia didakwa telah mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Yakni memetik tiga buah kakao seberat 3 kg dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan 4. Berapa kerugian atas pencurian itu? Rp 30.000 menurut jaksa, atau Rp 2.000 di pasaran!

Akibat perbuatannya itu, nenek Minah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Karena ancaman hukumannya hanya enam bulan, Minah pun tak perlu ditahan. Dalam surat pelimpahan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dikeluarkan Kejari Purwokerto, Minah dinyatakan sebagai tahanan rumah. Saat ini, Minah sudah menjalani persidangan kedua di Pengadilan Negeri Purwokerto.

Kasus kriminal yang menjerat Aminah bermula dari keinginannya menambah bibit kakao di rumahnya pada bulan Agustus lalu. Dia mengaku sudah menanam 200 pohon kakao di kebunnya, tapi dia merasa jumlah itu masih kurang, dan ingin menambahnya sedikit lagi.

Karena hanya ingin menambah sedikit, dia memutuskan untuk mengambil buah kakao dari perkebunan kakao PT RSA 4 yang berdekatan dengan kebunnya. Ketika itu dia mengaku memetik tiga buah kakao matang, dan meninggalkannya di bawah pohon tersebut, karena akan memanen kedelai di kebunnya.

Tarno alias Nono, salah seorang mandor perkebunan PT RSA 4 yang sedang patroli kemudian mengambil ketiga buah kakao tersebut. Menurut Minah, saat itu Nono sempat bertanya kepada dirinya, siapa yang memetik ketiga buah kakao tersebut. “Lantas saya jawab, saya yang memetiknya untuk dijadikan bibit,” katanya.

Mendengar penjelasan tersebut, menurut Minah, Nono memperingatkannya bahwa kakao di perkebunan PT RSA 4 dilarang dipetik warga. Peringatan itu juga telah dipasang di depan jalan masuk kantor PT RSA 4, berupa petikan pasal 21 dan pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Kedua pasal itu antara lain menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga menggangu produksi usaha perkebunen.

Minah yang buta huruf ini pun mengamininya dan meminta maaf kepada Nono, serta mempersilahkannya untuk membawa ketiga buah kakao itu. “Inggih dibeta mawon. Inyong ora ngerti, nyuwun ngapura,” tutur Minah menirukan permohonan maafnya kepada Nono, dengan meminta Nono untuk membawa ketiga buah kakao itu.

Ia tak pernah membayangkan kalau kesalahan kecil yang sudah dimintakan maaf itu ternyata berbuntut panjang, dan malah harus menyeretnya ke meja hijau. Sekitar akhir bulan Agustus, Minah terkaget-kaget karena dipanggil pihak Kepolisian Sektor Ajibarang untuk dimintai keterangan terkait pemetikan tiga buah kakao tersebut. Bahkan pada pertengahan Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto.

Melukai rasa keadilan

Amanah (70), salah seorang kakak Minah, mengaku prihatin dengan nasib adiknya. Apalagi penilaian jaksa yang disampaikan dalam dakwaan dinilainya berlebihan, terutama untuk nilai kerugian.

Menurut dia, satu kilogram kakao basah saat ini memang harganya sekitar Rp 7.500. Namun kategori kakao basah itu adalah biji kakao yang telah dikerok dari buahnya, bukan masih berada dalam buah. Namun di dalam dakwaan disebutkan nilai kerugiannya Rp 30.000, atau Rp 10.000 per biji.

Padahal, dari tiga buah kakao itu, kata Amanah, paling banyak didapat 3 ons biji kakao basah. Jika dijual harganya hanya sekitar Rp 2.000. “Orang yang korupsi miliaran dibiarkan saja. Tapi ini hanya memetik tiga buah kakao sampai dibuat berkepanjangan,” kata Amanah membandingkan apa yang dialami adiknya dengan berita-berita di tv yang sering dilihatnya.

Ahmad Firdaus, salah seorang anak Minah, mengatakan, keluarganya kini sangat mengharapkan adanya rasa keadilan dalam penyelesaian kasus orangtuanya. Menurutnya, hukum memang tak memiliki hati, tetapi otoritas yang memegang aturan hukum pasti memiliki hati. “Kami hanya berharap agar hakim dapat memberikan rasa keadilannya terhadap orang tua kami,” jelasnya.

Hari Kamis (19/11) ini, Minah akan hadir untuk membela dirinya, tanpa didampingi pengacara. Sejak pertama kali menjalani persidangan, dia mengaku, tak pernah didampingi pengacara. “Saya tidak tahu pengacara itu apa,” ucapnya.

Humas PN Purwokerto, Sudira, mengatakan, majelis hakim yang menangani kasus Minah dipastikan sudah menawarkan pengacara kepada Minah. “Hal itu sudah mutlak harus disampaikan hakim. Tapi kemungkinan Ibu Minah sendiri yang menolak,” katanya.

Terkait keadilan, Sudira mengatakan, akan sangat ditentukan oleh keputusan majelis hakim. Untuk itu, majelis hakim akan menimbang seluruh fakta persidangan. “Hasilnya, akan sangat bergantung pada pertimbangan majelis hakim,” katanya. Seluruh masyarakat tentunya sangat berharap rasa keadilan itu ada, dan Ibu Aminah bisa kembali bekerja di kebunnya.

Perhatikan Wajah Nenek Tua yang Ketakutan.. Mana Hati Nuranimu !!

Nenek tujuh cucu yang buta huruf ini sesekali melemparkan pandangan kepada beberapa orang yang dikenal guna memperoleh kekuatan. Ia berusaha memastikan bahwa pembelaannya dapat meyakinkan majelis hakim. Dengan menggunakan bahasa Jawa ngapak (dialek Banyumasan) bercampur bahasa Indonesia, Minah menuturkan, tiga buah kakao itu untuk menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. ”Kalau dipenjara, inyong (saya) enggak mau Pak Hakim. Namung (cuma) tiga buah kakao,” ujar Minah kepada majelis hakim.

Minah mengaku sudah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah lantas meminta maaf dan meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut. Alih-alih permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang, akhir Agustus lalu. Laporan itu berlanjut pada pemeriksaan kepolisian dan berakhir di meja hijau.

Minah sudah berusaha melepaskan diri dari jerat hukum. Tapi usahanya sia-sia. Hukum yang mestinya mengayomi masyarakat dengan menegakkan keadilan, bagi nenek Minah, ternyata tak punya nurani. Hukum kita rupanya tak memberi ampun bagi orang kecil seperti Minah. Tetapi, koruptor pencuri miliaran rupiah uang rakyat melenggang bebas dari sanksi hukum.

Di Jawa Tengah, misalnya, empat bekas anggota DPRD dan aparat Pemerintah Kota Semarang yang menjadi terpidana kasus korupsi dana APBD Kota Semarang tahun 2004 sebesar Rp 2,16 miliar divonis bebas. Mereka bebas dari sanksi hukum setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali mereka. MA menyatakan keempat terpidana itu tidak melakukan tindak pidana.

Muramnya penuntasan masalah hukum di Jateng masih ditambah lagi dengan putusan hakim yang hanya memberikan hukuman percobaan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Salah satunya dijatuhkan kepada Ketua DPRD Jateng periode 1999-2004, Mardijo. Terdakwa korupsi dobel anggaran APBD Jateng sebesar Rp 14,8 miliar ini hanya diberi hukuman percobaan selama dua tahun.

Minah memang tak mengerti masalah hukum seperti para terpidana dan terdakwa kasus korupsi itu. Namun, dengan berkata jujur, ia memiliki keyakinan bahwa ia mampu menghadapi rimba hukum formal yang tidak dimengertinya sama sekali.

Terhitung tanggal 13 Oktober sampai 1 November, Minah menjadi tahanan rumah, yakni sejak kasusnya dilimpahkan dari kepolisian kepada Kejaksaan Negeri Purwokerto. Sejak itu hingga sekarang, ia harus lima kali pergi pulang memenuhi panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Purwokerto, dan persidangan di Pengadilan Negeri Purwokerto.

Rumah Minah di dusun, di pelosok bukit. Letaknya sekitar 15 kilometer dari jalan utama Ajibarang-Wangon. Perjalanan ke Purwokerto masih menempuh jarak sejauh 25 kilometer lagi. Jarak sepanjang itulah yang harus ditempuh Minah setiap kali memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Purwokerto dan Pengadilan Negeri Purwokerto.

Satu kali perjalanan ke Purwokerto, Minah mengaku, bisa menghabiskan Rp 50.000 untuk naik ojek dan angkutan umum. Ditambah lagi untuk makan selama di perjalanan. ”Kadang disangoni anak kula (kadang dibiayai anak saya),” katanya.

Sebelum menyampaikan putusan, majelis hakim juga pernah bertanya kepada Minah, siapa lagi yang memberikannya ongkos ke Purwokerto. ”Saya juga pernah dikasih Rp 50.000 sama ibu jaksa, untuk ongkos pulang,” kata Minah sambil menoleh kepada jaksa penuntut umum Noor Haniah. Noor Haniah yang mendengar jawaban itu hanya dapat memandang lurus ke Minah.

Elegi Minah tentang tiga kakao yang diambilnya melarutkan perasaan majelis hakim. Saat membacakan pertimbangan putusan hukum, Ketua Majelis Hakim Muslich Bambang Luqmono sempat bersuara tersendat karena menahan tangis. Muslich mengaku tersentuh karena teringat akan orangtuanya yang juga petani.

Majelis hakim memutuskan, Minah divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao. Jadi, Minah tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan. Persidangan ditutup dengan tepuk tangan para warga yang mengikuti persidangan tersebut.

Kasus Minah bisa menjadi contoh bahwa penuntasan masalah hukum di negeri ini masih saja berlangsung tanpa mendengarkan hati nurani, yaitu rasa keadilan..

1 comment:

  1. Asslm.Wr.Wb.

    Bu Minah mengambil Kakao untuk KPK !


    Jaksa : Bu Minah, untuk apa 3 buah Kakao itu?
    Bu Minah : Buat Bibit ...

    ( Anekdot dari rekan Arif :-D )

    Wass.Wr.Wb.

    ReplyDelete