Saturday 28 May 2011

GOBEKLI TEPE : MENGUNGKAP JEJAK JEJAK KELAHIRAN AGAMA DARI TURKI

Oleh Charles C. Mann
Fajar peradaban hidup kembali di puncak bukit terpencil  di Turki Selatan.Para wisatawanlah yang menghidupkannya. Mereka datang berbus-bus—biasanya orang Turki, kadang-kadang orang Eropa lainnya. Bus-bus tersebut terseok-seok melalui jalan berliku yang diaspal sebagian, lalu berlabuh laksana kapal perang di depan gerbang batu. Para pengunjung tumpah keluar, sambil membawa botol air dan pemutar MP3. Setelah sampai di puncak, semua ternganga takjub.
 
Di hadapan mereka terdapat puluhan tugu batu besar yang disusun melingkar, berjejeran. Situs yang dikenal sebagai Göbekli Tepe ini samar-samar mengingatkan kita pada Stonehenge, cuma Göbekli Tepe dibangun jauh lebih awal dan tidak terbuat dari potongan batu kasar melainkan dari tugu batu kapur yang dipahat rapi dan dihiasi relief-rendah aneka hewan—kijang, ular, rubah, kalajengking, dan babi liar. Kompleks ini dibangun sekitar 11.600 tahun lalu, tujuh alaf sebelum Piramida Besar di Giza. Di sini terdapat kuil tertua di dunia. Göbekli Tepe memang merupakan bangunan monumental tertua yang diketahui—struktur pertama yang dibangun manusia yang lebih besar dan lebih rumit daripada gubuk. Saat tugu ini didirikan, sepanjang pengetahuan kita, belum ada yang setara dengannya di dunia.

Saat Göbekli Tepe dibangun, sebagian besar manusia hidup dalam kelompok nomaden kecil yang bertahan hidup dengan meramu tanaman dan berburu binatang liar. Pembangunan situs ini tentunya mengharuskan orang banyak berkumpul di satu tempat melebihi yang pernah terjadi sebelumnya. Hebatnya, para pembangun kuil mampu memotong, membentuk, dan mengangkut batu seberat 16 ton sejauh ratusan meter meskipun belum mengenal roda atau hewan beban. Para peziarah zaman dahulu yang datang ke Göbekli Tepe hidup di dunia tanpa tulisan, logam, atau gerabah. Bagi orang yang datang ke kuil dari bawah, tugu ini pasti menjulang laksana raksasa kaku, binatang yang terpahat di batu seakan bergetar dalam cahaya api—utusan dunia spiritual yang mungkin mulai terbesit dalam pikiran manusia.


 
Para ahli arkeologi masih menggali Göbekli Tepe dan memperdebatkan arti pentingnya. Namun, satu hal yang mereka tahu pasti adalah situs tersebut merupakan yang terpenting dalam rangkaian temuan tak terduga, yang juga menjungkirbalikkan teori sebelumnya tentang masa lalu spesies kita. Baru 20 tahun lalu sebagian besar peneliti yakin bahwa mereka mengetahui waktu, tempat, serta urutan kasar Revolusi Neolitik—transisi penting yang melahirkan pertanian, mengubah Homo sapiens dari kelompok pemburu-peramu yang tersebar menjadi desa pertanian, dan kemudian menjadi masyarakat berteknologi canggih dengan menara dan kuil besar, serta raja yang mengerahkan tenaga rakyatnya, dan mencatat prestasinya dalam bentuk tulisan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir beberapa penemuan baru, terutama Göbekli Tepe, mulai memaksa para ahli arkeologi untuk mempertimbangkan kembali pandangan tersebut
Pada awalnya, Revolusi Neolitik dipandang sebagai kejadian tunggal di Mesopotamia, di antara Sungai Tigris dan Efrat tempat Irak selatan sekarang, kemudian menyebar ke India, Eropa, dan seterusnya. Kebanyakan ahli arkeologi berpendapat bahwa perkembangan peradaban yang tiba-tiba ini terutama didorong oleh perubahan lingkungan: pemanasan bertahap seiring berakhirnya Zaman Es yang memungkinkan sebagian orang berbudi daya tanaman dan menggembala hewan dalam jumlah banyak. 
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa “revolusi” itu sebenarnya dilakukan oleh banyak pihak dalam kawasan yang sangat luas dan berlangsung selama ribuan tahun. Perubahan itu juga mungkin bukan dipicu oleh lingkungan melainkan oleh hal lainnya.
Setelah tertegun beberapa saat, wisatawan di situs itu mulai sibuk mengambil gambar dengan kamera dan ponsel. Sebelas alaf lalu tentu saja tak ada yang memiliki alat pencitraan digital. 

Namun, perubahannya tak sebanyak yang kita kira. Sebagian besar pusat agama besar dunia, baik dulu maupun sekarang, merupakan tujuan ziarah—coba bayangkan Vatikan, Mekkah, Jerusalem, dan Bodh Gaya (tempat Buddha mencapai pencerahan). Semua monumen itu menjadi tujuan para pelawat spiritual yang menempuh perjalanan jauh. Göbekli Tepe mungkin yang terawal dari semua tempat itu. Situs ini menunjukkan bahwa sisi-sisi spiritualitas manusia mungkin menjadi pemicu awal peradaban.

Klaus Schmidt langsung tahu bahwa dia akan menghabiskan banyak waktu di Göbekli Tepe. Pria yang sekarang menjadi peneliti di Deutsches Archäologisches Institut (DAI) ini melewatkan musim gugur 1994 berkeliling di Turki tenggara. Kota terbesar di daerah tersebut bernama Åžanlıurfa. Kota ini dianggap sebagai tempat kelahiran Nabi Ibrahim. Schmidt ke kota itu guna mencari tempat untuk memperluas wawasannya tentang zaman Neolitikum, tempat yang akan membuat Åžanlıurfa tampak muda. Empat belas kilometer di luar kota terdapat gigir gunung panjang dengan puncak bulat yang disebut penduduk setempat Bukit Gendut—Göbekli Tepe.

Pada tahun 1960, para ahli arkeologi dari University of Chicago telah menyurvei kawasan ini dan menyimpulkan bahwa Göbekli Tepe kurang menarik. Di mana-mana terdapat pecahan batu kapur yang dikira para arkeolog itu batu nisan. Schmidt sudah pernah membaca laporan singkat para peneliti Chicago tentang puncak bukit itu dan memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Di tanah, ia melihat serpihan batu rijang dalam jumlah banyak. “Setelah beberapa menit berada di tempat itu,” ujar Schmidt, dia menyadari bahwa dia sedang melihat tempat kerja puluhan atau bahkan ratusan orang ribuan tahun lalu. Lembaran batu kapur itu bukanlah kuburan Bizantium, melainkan sesuatu yang jauh lebih tua. Bersama dengan DAI dan Åžanlıurfa Müzesi (Museum Åžanlıurfa), dia mulai menggali tahun berikutnya
Beberapa sentimeter di bawah permukaan, tim menemukan batu dengan hiasan rumit. Seiring pergantian bulan dan tahun, tim Schmidt, mahasiswa pascasarjana Jerman dan Turki, serta penduduk desa setempat yang bekerja aplusan, menemukan lingkaran batu kedua, kemudian ketiga, dan seterusnya. Survei geomagnetik pada 2003 mengungkapkan setidaknya ada 20 lingkaran bertumpuk-tumpuk, tak teratur, di bawah tanah. Tugu-tugu tersebut berukuran besar—yang tertinggi 5,4 meter dengan berat 16 ton. Di permukaan tugu terdapat relief-rendah berbagai macam hewan. Beberapa relief terpahat halus dan simbolis se­perti karya seni Bizantium. Di bagian lain bukit itu, berserakan peralatan batu kuno yang terbanyak yang pernah dilihat Schmidt—gudang Neolitik yang berisi pisau, kapak, serta mata panah dan tombak.
 
Lingkaran-lingkaran tersebut dibuat dengan cara yang sama. Semuanya tersusun dari tugu batu kapur berbentuk seperti paku atau huruf “T” raksasa. Tugu yang mirip bilah ini lebarnya bisa lima kali tebalnya. Tugu ini terpisah sedepa atau lebih, dihubungkan oleh dinding batu rendah. Saya bertanya kepada arsitek dan insinyur sipil Jerman Eduard Knoll, yang bekerja sama dengan Schmidt untuk melestarikan situs ini, seberapa baik sistem pemasangan yang di­gunakan untuk tugu pusat. “Tidak baik,” ujarnya, sambil menggeleng. “Mereka belum menguasai teknik.” Knoll menduga bahwa tugu tersebut mungkin ditopang kayu.

Bagi Schmidt, tugu berbentuk “T” me­lambangkan manusia. Teori ini didukung oleh ukiran lengan yang terjulur dari “bahu” beberapa tugu, tangannya menjangkau bagian perut yang tertutup cawat. Batu-batu itu menghadap ke pu­sat lingkaran seperti sedang berkumpul atau menari, mungkin menggambarkan upacara ke­agamaan. Sementara hewan yang berdompak dan melompat di permukaan tugu, menurut Schmidt sebagian besar merupakan makhluk mematikan: kalajengking beracun, babi hutan yang buas, dan singa yang ganas. Sosok yang tergambar di tugu mungkin dijaga oleh makhluk tersebut, atau untuk memohon keselamatan, atau sebagai totem
Saat penggalian berlanjut, semakin banyak misteri yang menumpuk. Lingkaran di Göbekli Tepe tampaknya secara berkala kehilangan ke­kuatannya, atau setidaknya pesonanya. Dulu, se­tiap beberapa dasawarsa orang mengubur tugu tersebut dan mendirikan tugu batu baru—lingkaran kedua yang lebih kecil di dalam ling­karan pertama. Lalu semua lingkaran itu di­timbun, dan lingkaran baru didirikan di dekat­nya. Situs ini mungkin dibangun, di­timbun, lalu dibangun kembali selama berabad-abad.

Anehnya, kemampuan membangun kuil orang Göbekli Tepe semakin lama semakin buruk. Lingkaran terawal merupakan yang terbesar dan tercanggih, baik dari segi teknis maupun artistik. Seiring waktu berlalu, tugunya menjadi kian kecil, kian sederhana, dan dipasang dengan makin serampangan. Akhirnya kegiatan itu tampaknya berhenti sama sekali pada 8200 SM.
 
Seperti halnya penemuan para peneliti, yang tidak mereka temukan pun bernilai penting: tanda-tanda permukiman. Pasti perlu ratusan orang untuk mengukir dan mendirikan tu­gu, namun tempat itu tak bersumber air—sungai terdekat berjarak sekitar lima kilometer.
     
Para pekerja tentu membutuhkan rumah, tapi penggalian tidak menemukan tanda-tanda dinding, perapian, atau rumah. Mereka harus diberi makan, namun juga tak ada tanda-tanda pertanian. Bahkan, Schmidt tak menemukan dapur umum atau tungku. Tempat itu murni pusat upacara. Berdasarkan ribuan tulang rusa dan auroch (Bos primigenius) yang ditemukan di situs itu, para pekerja tampaknya secara teratur dikirimi daging hewan buruan. Usaha besar ini pasti memiliki penyelenggara dan pengawas, namun sejauh ini belum terdapat bukti kuat adanya hierarki sosial—tak ada tempat khusus yang disediakan bagi orang kaya, tak ada makam yang berisi barang langka
“Mereka kaum pemburu dan peramu,” ujar Schmidt. “Gambaran kita tentang kaum pem­buru-peramu selalu kelompok kecil nomaden yang terdiri atas beberapa puluh orang saja. Mereka tak dapat membuat struktur permanen yang besar, seperti kita kira sebelumnya, karena mereka harus terus berpindah mengikuti sumber daya. Masyarakat ini tak dapat memiliki kelas pendeta dan tukang yang terpisah karena tak mampu membawa-bawa per­sediaan tambahan untuk mem­beri makan mereka. Tetapi, sekarang ada Göbekli Tepe yang membuktikan bah­wa mereka jelas melakukan hal itu.” Penemuan bahwa pemburu-peramulah yang membangun Göbekli Tepe sama seperti menemukan ada yang membuat pesawat 747 di rumahnya dengan pisau pemotong kertas. 

“Saya, rekan-rekan saya, kami semua berpikir, Apa ini? Bagaimana membuatnya?” ujar Schmidt. Ironisnya, Göbekli Tepe tampaknya menjadi pertanda akan datangnya peradaban sekaligus peninggalan terbesar terakhir masa lalu nomaden. Pencapaian itu menakjubkan, tapi sulit untuk memahami cara pembangunannya serta makna pentingnya. “Dalam 10 atau 15 tahun,” ramal Schmidt, “Göbekli Tepe akan lebih terkenal daripada Stonehenge. Dan memang sudah seharusnya demikian.”

Pembicaraan tentang Göbekli Tepe tak lengkap tanpa menyebut V. Gordon Childe. Childe, yang lahir di Australia kemudian pindah ke Inggris, adalah pria flamboyan penganut Marxisme, bercelana golf dan berdasi kupu-kupu. Dia juga salah satu ahli arkeologi paling berpengaruh di abad lalu. Childe merangkai ber­bagai fakta yang ditemukan rekan-rekannya menjadi skema intelektual yang utuh: yang paling terkenal muncul tahun 1920-an, ketika dia menciptakan konsep Revolusi Neolitik.

Dalam istilah zaman sekarang, pandangan Childe bisa dirangkum sebagai berikut: Homo sapiens naik panggung sekitar 200.000 tahun yang lalu. Selama ribuan tahun setelahnya, spesies ini tak banyak berubah, manusia hidup dalam kelompok kecil pemburu-peramu nomaden. Kemudian datanglah Revolusi Neolitik—“perubahan radikal,” kata Childe, “yang sarat konsekuensi revolusioner bagi seluruh spesies.” Secara mendadak, sebagian umat manusia meninggalkan kegiatan berburu dan meramu, dan mulai bercocok tanam. Pertanian, menurut Childe, memicu rangkaian transformasi selanjutnya. Untuk mengolah lahan, orang harus berhenti mengembara dan pindah ke desa permanen, tempat mereka mengembangkan peralatan baru dan menciptakan gerabah. Dalam pandangannya, Revolusi Neolitik merupakan peristiwa yang luar biasa penting—“yang terbesar dalam sejarah manusia setelah penemuan api.”
Di antara semua aspek revolusi itu, per­tanianlah yang paling penting. Selama ribuan tahun, manusia dengan peralatan pertanian dari batu berkelana di muka bumi, memotong bulir gandum liar dan membawanya pulang. Meski­pun orang-orang ini mungkin sudah merawat dan menjaga lahan gandumnya, tanaman itu masih tumbuh liar. Tidak seperti varietas yang telah dibudidayakan, buah gandum dan barli liar jatuh berhamburan bila masak. Dalam pandangan ilmu genetika, pertanian biji-bijian se­jati baru dimulai ketika orang menanami ka­wasan baru dengan tanaman mutasi yang tak lagi luruh saat masak, menciptakan ladang gandum dan barli, kemudian dipanen petani.

Orang tak lagi harus menyusuri padang untuk mengumpulkan makanan, sekarang mereka bisa menanam sebanyak yang dibutuhkan dan di mana pun mereka membutuhkannya, sehingga manusia bisa hidup bersama dalam kelompok yang lebih besar. Jumlah penduduk melonjak. “Baru setelah revolusi itu spesies kita benar-benar mulai berkembang biak dengan cepat,” tulis Childe. Dalam masyarakat yang tiba-tiba jadi lebih ramai ini, gagasan dapat lebih mudah disebarkan, sementara inovasi teknologi dan sosial bertambah banyak. Agama dan seni—ciri khas peradaban—pun berkembang.

Seperti kebanyakan peneliti dewasa ini, Childe berpendapat bahwa revolusi pertama terjadi di kawasan Bulan Sabit Subur, dari Gaza melengkung ke timur laut ke Turki selatan dan kemudian ke tenggara sampai ke Irak. Di selatan berbatasan dengan Gurun Suriah yang keras sementara di sebelah utara berbatasan dengan pegunungan Turki. Daerah bulan sabit ini merupakan kawasan beriklim sedang di antara kawasan ekstrem yang sulit dihuni. Ujung timurnya terletak di pertemuan Sungai Tigris dan Efrat di Irak selatan—tempat negeri yang dikenal sebagai Sumeria, yang sudah ada sekitar 4000 SM. 

Pada masa Childe, kebanyakan peneliti se­pakat bahwa Sumeria merupakan awal per­adaban. Ahli arkeologi Samuel Noah Kramer merangkum pandangan tersebut pada tahun 1950-an dalam bukunya History Begins at Sumer. Namun, bahkan sebelum Kramer selesai menulis, teori itu dibantah oleh temuan di ujung barat Bulan Sabit Subur. Di Levant—daerah yang saat ini mencakup Suriah Barat, Yordania, Libanon, Palestina, dan Israel—ahli arkeologi menemukan permukiman yang berasal dari 13.000 SM. 
Desa-desa Natuf (nama ini berasal dari nama wadi tempat situs pertama ditemukan) bermunculan di Levant saat Zaman Es hampir berakhir, menciptakan era baru saat iklim daerah itu menjadi relatif hangat dan basah
Penemuan desa-desa Natuf merupakan tantangan pertama bagi teori Revolusi Neolitik Childe. Childe dahulu mengira pertanianlah yang memicu kelahiran desa dan memunculkan peradaban. Namun, sekalipun orang Natuf tinggal di permukiman permanen yang berpenduduk hingga ratusan orang, mereka masih pemburu-peramu, bukan petani, berburu rusa dan mengumpulkan gandum hitam, serta barli liar. “Ini merupakan bukti jelas bahwa teori tersebut harus direvisi,” kata ahli arkeologi Harvard University Ofer Bar-Yosef.

Desa-desa Natuf mengalami masa sulit sekitar 10.800 SM, saat suhu di daerah itu tiba-tiba turun sekitar 7°C, bagian dari zaman es mini yang berlangsung selama 1.200 tahun dan menciptakan kondisi lebih kering di kawasan Bulan Sabit Subur. Dengan menyusutnya habitat binatang dan padang biji-bijian, sejumlah desa kekurangan persediaan makanan. Banyak orang kembali menjadi pemburu-peramu nomaden. 

Beberapa permukiman mencoba untuk me­nyesuaikan diri dengan kondisi yang lebih kering. Desa Abu Hureyra, sekarang terletak di Suriah utara, tampaknya berusaha membudidayakan jenis gandum-hitam lokal. Setelah memeriksa bulir gandum hitam dari tem­pat itu, Gordon Hillman dari University College London dan Andrew Moore dari Rochester Institute of Technology pada 2000 berpendapat bahwa beberapa bulir lebih besar daripada jenis liarnya—mungkin tanda domestikasi, karena budi daya pasti meningkatkan kualitas. Bar-Yosef dan beberapa peneliti lain akhirnya percaya bahwa di beberapa situs di dekatnya seperti Mureybet dan Tell Qaramel, penduduknya dulu juga bertani.
Jika para ahli arkeologi itu benar, purwadesa ini memberikan penjelasan baru tentang proses dimulainya masyarakat yang kompleks. 

Childe berpendapat bahwa pertanianlah awalnya, inovasi yang memungkinkan manusia untuk menciptakan lingkungan baru nan kaya guna memperluas penguasaannya atas alam. Situs Natuf di Levant menyiratkan bahwa permukimanlah yang terjadi terlebih dahulu, dan pertanian muncul belakangan sebagai akibat krisis. Dihadapkan pada lingkungan yang semakin kering dan dingin serta populasi yang bertambah, orang di daerah yang masih subur berpikir, dalam kata-kata Bar-Yosef, “Jika kami pindah, orang lain akan mengambil sumber daya kami. Cara terbaik kami untuk bertahan adalah menetap dan memanfaatkan daerah kami sebaik-baiknya.” Terjadilah pertanian.
Gagasan bahwa Revolusi Neolitik terutama didorong oleh perubahan iklim bergaung selama 1990-an, saat orang semakin khawatir tentang efek pemanasan global modern. Teori itu dibahas dalam artikel dan buku yang tak terhitung jumlahnya. Namun para kritikus me­nuduh bahwa bukti tersebut lemah, salah satunya karena situs Abu Hureyra, Mureybet, dan banyak lainnya di Suriah utara digenangi air bendungan sebelum penggalian selesai se­penuhnya. 
“Seluruh teori mengenai asal-usul kebudayaan manusia pada dasarnya bersandar pada setengah lusin biji yang lebih besar daripada biasanya,” kata spesialis biji-bijian purba George Willcox dari Centre National de la Recherche Scientifique di Prancis. “Bukankah lebih mungkin bahwa biji-biji itu mengembung saat terbakar atau ada peneliti di Abu Hureyra yang menemukan gandum hitam liar yang tak biasa?”

Sementara perdebatan tentang Natuf meruncing, Schmidt dengan hati-hati bekerja di Göbekli Tepe. Sekali lagi, temuannya memaksa banyak peneliti mempertimbangkan kembali teori mereka.

Ahli antropologi beranggapan bahwa agama terorganisasi bermula sebagai cara meredakan ketegangan yang muncul kala pemburu-peramu menetap, menjadi petani, dan membentuk masyarakat. Dibandingkan dengan kelompok nomaden, masyarakat desa memiliki tujuan yang lebih kompleks dan berjangka panjang. Meskipun praktik keagamaan primitif—mengubur jenazah, membuat gambar gua dan patung—telah muncul puluhan ribu tahun sebelumnya, agama terorganisasi muncul kemudian. Menurut teori ini, gagasan umum tentang tatanan surgawi diperlukan untuk menyatukan kelompok baru. Hal itu juga bisa membantu menjustifikasi hierarki sosial yang muncul dalam masyarakat yang lebih kompleks: Orang yang naik ke tampuk kekuasaan dipandang memiliki hubungan khusus dengan para dewa. 

Göbekli Tepe, menurut pendapat Schmidt, menunjukkan kebalikan skenario tersebut: Pembangunan kuil besar oleh sekelompok pemburu-peramu merupakan bukti bahwa agama dapat muncul sebelum ada pertanian dan aspek peradaban lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa dorongan manusiawi untuk berkumpul dan melakukan upacara suci muncul ketika pandangan manusia bergeser, dari anggapan dirinya sebagai bagian dari alam menjadi berusaha menguasainya. Ketika para pemburu-peramu mulai menetap di desa, mereka mau tak mau memisahkan kawasan manusia dengan daerah berbahaya di luar cahaya api unggunnya yang dihuni binatang mematikan.

Ahli arkeologi Prancis Jacques Cauvin ber­pendapat bahwa perubahan kesadaran itu me­rupakan “revolusi simbol”, pergeseran kon­septual yang memungkinkan manusia mem­bayangkan dewa-dewa di alam gaib nan tak kasat mata. Schmidt memandang Göbekli Tepe adalah bukti teori Cauvin. “Hewan-hewan itu penjaga alam gaib,” katanya. “Relief berbentuk ‘T’ menggambarkan dunia lain tersebut.”

Schmidt menduga bahwa para pemburu-pe­ramu yang hidup dalam radius 160 kilometer dari Göbekli Tepe mendirikan kuil itu sebagai tempat suci untuk berkumpul dan bertemu, mungkin sambil membawa persembahan bagi para pendeta dan undagi. Perlu semacam organisasi sosial, bukan hanya untuk membangun melainkan juga untuk mengurus orang-orang yang berduyun datang. Dapat kita bayangkan ada yang menyanyi dan menabuh kendang, sementara hewan-hewan di tugu besar tampak bergerak dalam kerlip cahaya obor. Tentu ada perjamuan; Schmidt menemukan beberapa tempayan batu yang mungkin digunakan untuk bir. Kuil ini merupakan tempat spiritual, tetapi mungkin juga merupakan Disneyland versi Neolitik
Menurut Schmidt, kebutuhan untuk mendapatkan cukup pangan dan menghadiri perhelatan di Göbekli Tepe mungkin menyebabkan tumbuhnya budi daya intensif serealia liar dan jalur domestik awal. Nyatanya, para ilmuwan sekarang berpendapat bahwa ada satu pusat pertanian yang muncul di Turki selatan—mudah dijangkau dengan berjalan kaki dari Göbekli Tepe—tepat pada masa kejayaan kuil tersebut. Saat ini, tumbuhan liar yang menjadi cikal bakal terdekat gandum einkorn modern ditemukan di lereng Karaca DaÄŸ, gunung yang hanya 96 kilometer di timur laut Göbekli Tepe. Artinya, perubahan ke pertanian yang dimasyhurkan oleh V. Gordon Childe mungkin akibat dari kebutuhan mendalam manusia, hasrat yang masih menyebabkan orang zaman sekarang berkeliling dunia demi melihat pemandangan menakjubkan.

Beberapa bukti awal domestikasi tanaman datang dari Nevalı Çori, sebuah permukiman di pegunungan tak sampai 30 kilometer dari situ. Seperti halnya Göbekli Tepe, Nevalı Çori muncul setelah zaman es mini, yang di­deskripsikan ahli arkeologi dengan istilah tak menarik: Neolitikum Pra-Gerabah (NPG). Nevalı Çori sekarang tenggelam di dasar ben­dungan yang baru saja dibangun untuk menyediakan listrik dan irigasi. Namun, se­belum air menghentikan penelitian, para ahli arkeologi menemukan tugu berbentuk “T” serta gambar binatang yang mirip dengan temuan Schmidt kemudian hari di Göbekli Tepe. Tugu dan gambar serupa ditemukan di beberapa permukiman NPG sampai sejauh 160 kilometer dari Göbekli Tepe. Peninggalan situs NPG menunjukkan adanya masyarakat seiman yang mengelilingi Göbekli Tepe dan mungkin merupakan kelompok agama besar pertama di dunia ini.

Tentu saja, beberapa kolega Schmidt tidak setuju dengan teorinya. Tidak adanya bukti rumah, misalnya, tidak membuktikan bahwa tak ada seorang pun yang tinggal di Göbekli Tepe. Ahli arkeologi yang mempelajari asal-usul peradaban di kawasan Bulan Sabit Subur semakin menyangsikan setiap upaya pencarian skenario yang cocok untuk semua. Lebih mungkin jika para penghuni berbagai situs arkeologi ini semua berperan membangun peradaban, mencari kombinasi yang terbaik. Di satu tempat mungkin pertanian yang menjadi fondasinya; di tempat lain, seni dan agama; sementara di tempat lainnya lagi, tekanan populasi atau hierarki tatanan sosial. Semuanya berakhir di tempat yang sama. Mungkin tak ada jalur tunggal menuju peradaban. 

Pada musim panas ini, genap 17 tahun Schmidt meneliti situs tersebut. Sekarang kurang dari se­persepuluh dari situs seluas sembilan hektare itu telah terbuka. Menurut Schmidt, penelitian lebih lanjut di Göbekli Tepe dapat saja mengubah pemahamannya saat ini tentang arti penting situs itu. Bahkan usianya pun masih belum bisa dipastikan —Schmidt tidak yakin dia telah mencapai lapisan terbawah.

“Kami menemukan dua misteri baru bagi setiap misteri yang kami pecahkan,” ujarnya. Namun, dia sudah mengambil beberapa kesimpulan. “Dua puluh tahun lalu, semua orang meyakini bahwa peradaban muncul akibat perubahan-perubahan ekologi,” kata Schmidt. “Saya kira yang mulai kita pahami sekarang adalah bahwa peradaban merupakan buah pikiran manusia.



SUMBER : NATIONAL GEOGRAPHIC

No comments:

Post a Comment