Saturday 10 November 2012

Obama, Presiden Nickelodeon Mereka penentu kemenangan Obama: anak-anak, kaum muda, dan imigran.

Dua pekan sebelum orang tua mereka datang ke bilik-bilik suara pada Hari Pemilu 6 November 2012, anak-anak di Amerika Serikat sudah memilih presiden mereka: Barack Obama atau Mitt Romney. Ini hanya acara senang-senang di stasiun televisi anak-anak terkemuka Nickelodeon, "Kids' Vote", yang rutin diselenggarakan setiap menjelang pemilu sejak 1988.
Hasilnya, Obama menjadi “Presiden Nickelodeon”. Dia menang telak atas Romney dengan perbandingan 65% : 35%. Mirip dengan sistem pemilu sungguhan, anak-anak yang ikut acara itu masing-masing diberi satu hak suara dan memilih lewat perangkat elektronik. Pemilihan berlangsung dari 15 hingga 22 Oktober 2012.
Yang menarik, hasil pemilu ala Nickelodeon itu mirip dengan pemilu sungguhan: Obama lagi-lagi terpilih sebagai presiden AS untuk periode berikut. Namun, ini yang lebih menarik lagi, sejak 1988 stasiun TV anak itu sudah tujuh kali menggelar acara simulasi pemilu. Dan enam di antaranya menghasilkan pemenang yang sama dengan hasil pemilu sungguhan.
Mungkin saja ini cuma kebetulan. Tapi, insting politik anak-anak selama ini patut diacungi jempol. Pengasuh Nickelodeon pun sampai tercengang.
"Mereka tidak saja tepat memilih presiden sebelum orang-orang dewasa mencoblos di enam dari tujuh pemilu selama 24 tahun terakhir. Bahkan, sudah ada dua kandidat presiden yang kalah setelah menolak menjawab pertanyaan anak-anak. Mereka adalah John Kerry dan Mitt Romney," tutur Linda Ellerbee, pengasuh acara "Nick News" di stasiun Nickelodeon, seperti dikutip laman Broadwayworld.com.
Kerry adalah kandidat presiden dari Partai Demokrat pada Pemilu 2004, yang kalah telak dari calon patahana saat itu, Presiden George W. Bush. Sedangkan Romney baru saja kalah cukup telak dari Obama pada pemilu 2012 ini.
Pesan Ellerbee kepada kandidat presiden adalah: jangan pernah pandang enteng anak-anak.
Mungkin saja pesan itu sudah ditangkap jauh-jauh hari oleh Obama. Maka, di sela-sela kampanye, Obama menyempatkan diri bertemu dengan kru cilik (krucil) “Nick News” di Gedung Putih. Dia berinteraksi langsung dengan mereka sambil menjawab beberapa pertanyaan, yang disiarkan oleh Nickelodeon di acara "Kids Pick the President: The Candidates" pada 15 Oktober lalu.
Sikap berbeda ditunjukkan oleh Romney. Sibuk dengan jadwal kampanye di sana-sini, mantan pengusaha dan gubernur Massachusetts ini tidak meluangkan waktu untuk bertemu langsung dengan para krucil. Dia hanya menanggapi pertanyaan anak-anak melalui siaran rekaman.
Lalu, apakah ini ada korelasinya dengan kemenangan Obama dan kekalahan Romney?
"Jangan tanya saya, lebih baik tanyalah ke anak-anak," ujar Ellerbee.
Korelasinya bisa jadi tidak ada. Namun yang jelas, Nick.com, laman milik Nickelodeon yang resmi mewadahi serial acara "Kids Pick the President", sukses menarik hampir satu juta pengunjung dan lebih dari 2,9 juta pageviews sejak diluncurkan pada 7 Agustus 2012. Di laman itu, anak-anak berkesempatan menyuarakan dan berbagi pendapat soal pemilu dan siapa kandidat presiden yang mereka (tidak) sukai.
Pemilih muda
Hasil fenomenal dari pilihan anak-anak itu menunjukkan bahwa Obama sudah mendapat hati di berbagai kalangan. Kubu pemenangan Obama pun sukses menjangkau basis-basis non konvensional--mulai dari anak-anak muda hingga warga imigran yang sudah punya hak pilih di AS.
Mayoritas pemilih muda, yang berusia antara 18 hingga 29 tahun, juga lebih menyukai Obama ketimbang Romney. Ini menjadi salah satu penentu penting bagi kemenangan Obama di Pemilu 2012. Menurut harian New York Daily News, saat ini tercatat ada sekitar 45 juta warga AS berusia antara 18 tahun hingga 29 tahun yang punya hak pilih.
Dalam survei yang dipantau The Huffington Post, 60 persen pemilih muda mencoblos nama Obama di kertas suara. Ini hampir dua kali lipat dari yang diterima Romney, yaitu 36 persen.
Memang, dukungan anak muda kepada Obama tidak sebesar yang dia terima saat memenangkan Pemilu 2008. Ketika itu dia meraih enam persen lebih banyak suara kalangan ini. Namun, tetap saja dukungan kaum muda kepada Obama kali ini masih jauh lebih banyak-- hampir tiga kali lipat dari yang diterima John Kerry saat menantang Presiden George W. Bush pada 2004.
Itulah sebabnya para pengamat meyakini bahwa dukungan kaum muda turut menentukan sukses tidaknya seorang kandidat menjadi presiden. Kerry saat itu kalah pemilu. Dan nasib serupa kini dialami Romney.
"Gara-gara dia kurang mendapat dukungan dari kaum muda secara cukup signifikan, dia akhirnya tidak menjadi presiden AS," kata Peter Levine, Direktur Center for Information and Research on Civic Learning and Engagement (CIRCLE), Universitas Tufts.
Tak hanya terhadap anak-anak, Romney selama berkampanye pun tampak tidak begitu antusias mendekatkan diri dengan kaum muda. Padahal, di laman kampanyenya dia memampangkan kanal khusus bertajuk "Young Americans for Romney." Di masa kampanye, dia pun tidak bersedia diwawancara kru MTV, yang digandrungi kaum muda AS.
Dia lebih sibuk berkampanye menyerang kinerja pemerintahan Obama selama empat tahun terakhir --ketimbang bicara bagaimana mengurangi beban utang mahasiswa ke bank untuk membayar kuliah, bagaimana menyediakan lapangan kerja setelah mereka lulus, dan isu-isu lain yang langsung mengena ke pemilih muda.
Berbeda dengan Romney, Obama tampak jauh lebih dekat dengan pemilih muda. Pada 26 Oktober 2012, di tengah masa kampanye, Obama menerima jurnalis MTV di kantornya dan meladeni berbagai pertanyaan mereka--mulai dari isu ekonomi, lapangan kerja, hingga pemanasan global.
Bukan kali itu saja Obama “beraksi” di MTV. Sebelumnya, dia pun pernah tampil di acara MTV untuk berdiskusi langsung dengan pemirsa muda dan mendengarkan keluh-kesah mereka.
Harian New York Daily News juga mencatat bahwa Obama, dari setiap 10 acara kampanye yang dia hadiri, satu di antaranya pasti dia sempatkan untuk mengunjungi kampus. Sebagai presiden, Obama juga telah menandatangani undang-undang reformasi pinjaman mahasiswa.
Heather Smith, pegiat dari kelompok Rock the Vote, menilai hasil pemilu kemarin menegaskan untuk jangan pernah menganggap enteng antusiasme kaum muda dalam politik. Tampaknya itu menjadi pesan bagi kandidat yang kalah Pemilu. "Ini membuktikan bahwa kampanye apapun yang mengabaikan para pemilih muda akan mengundang risiko tersendiri," kata Smith.
Dukungan imigran
Selain kaum muda, salah satu kunci kemenangan Obama pada Pemilu 2012 adalah makin besarnya dukungan dari warga Hispanik, terkait soal perlindungan kepada imigran. Dalam suatu pertemuan dengan para jurnalis harian Des Moines Register semasa kampanye Oktober lalu, Obama pun mengakui pengaruh kaum Hispanik, yang orangtua maupun kakek moyang mereka berasal dari negara-negara tetangga selatan AS, seperti Meksiko, Puerto Rico, kawasan Karibia, dan lain-lain--itulah sebabnya mereka juga disebut sebagai komunitas Latino.
"Bila saya menang di periode kedua ini, salah satu alasannya adalah karena kandidat dan Partai Republik sendiri telah begitu terasing dari kelompok demografi yang berkembang paling pesat di negeri ini, yaitu komunitas Latino," kata Obama, seperti yang diingat Liz Goodwin dari laman The Ticket.
Harian The Washington Post pun mencatat bertambahnya dukungan para pemilih Hispanik kepada Obama. Bahkan, jumlah keikutsertaan mereka di Pemilu 2012 mencetak sejarah baru.
Sejumlah survei usai pemungutan suara (exit poll) di tingkat nasional mengungkapkan bahwa 10 persen dari total pemilih kali ini adalah ras Hispanik. Jumlah mereka meningkat satu persen dari Pemilu 2008 dan dua persen dari Pemilu 2004.
Pada pemilu kali ini, 71 persen pemilih Hispanik mendukung Obama di bilik pemungutan suara. Bandingkan dengan Romney, yang hanya didukung 27 persen. Selisihnya pun, yakni 44 persen, lebih besar dari Pemilu 2008 ketika Obama mendapat dukungan pemilih Hispanik 36 persen lebih banyak dari yang diraih lawannya saat itu, John McCain.
Tim sukses Partai Republik yang mendukung Romney pun mengakui besarnya pengaruh komunitas Hispanik atas kemenangan Obama. "Bila kaum Republikan tidak mengindahkan peringatan ini, kami tentu berada dalam keadaan bahaya dan jadi tidak relevan secara politik di tingkat nasional," kata Leslie Sanchez, seorang ahli strategi untuk Partai Republik kepada harian The Washington Post.
Begitu pula dengan Al Cardenas, simpatisan untuk Partai Republik dari lembaga American Conservative Union. Kekalahan di Pemilu 2012 ini menurut dia harus dijadikan pelajaran berharga bagi Republikan.
"Partai kami perlu menyadari bahwa mereka sudah terlalu tua, terlalu putih, dan terlalu laki-laki. Partai perlu mencari cara bagaimana menyesuaikan diri dengan perkembangan demografi di negara ini sebelum terlambat," kata Cardenas, seperti dikutip Politico. "Partai kami perlu menata banyak hal bila ingin tampil kompetitif di waktu mendatang.”
Matt Barreto dari lembaga riset non-partisan Latino Decisions mencatat bahwa di negara bagian Nevada, Colorado, dan New Mexico, para pemilih Latino berkontribusi pada kemenangan telak Obama di wilayah-wilayah itu. Dia juga menilai bahwa berdasarkan Pemilu 2012, negara-negara kunci seperti Ohio dan Florida menunjukkan para pemilih Latino "kompak" dengan pemilih keturunan Afrika dalam mengunci kemenangan Obama di wilayah-wilayah itu.
"Partai Republik tentu akan payah bila mereka kehilangan suara secara telak dari kalangan kulit hitam dan Latino di masa depan," Barreto melanjutkan.
Tidak percuma bila kubu Obama selama ini meyakinkan para warga etnis Latino untuk menggunakan hak pilih di banyak wilayah kunci kemenangan, yang populer disebut swing state atau battleground state.
Kaum Latino di negara bagian Florida, ujung selatan AS, tentu banyak yang mendukung Obama. Di wilayah itu, populasi keturunan Puerto Rico meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. "Di sini kami memilih presiden dan itu penting. Kami mendapat suara," kata Jesus Chevres, pria berusia 53 tahun yang berprofesi sebagai koki restoran.
Ada beberapa alasan mengapa warga Hispanik memilih Obama ketimbang Romney. Salah satunya, menurut Navarro, terkait dengan kerasnya sikap Partai Republik, yang mendukung Romney, dalam menindak imigran ilegal. Dalam beberapa kesempatan selama berkampanye, pandangan Romney soal imigran terkesan tidak bersahabat.
Harian The New York Times mencatat Romney pernah mengatakan bahwa dia bakal mencabut kebijakan pemerintah yang menawarkan penangguhan deportasi selama dua tahun bagi ratusan ribu imigran yang belum sah tinggal di AS. Mereka diberi kesempatan untuk mendaftar di kantor imigrasi terdekat agar diberi izin tinggal tetap. Program itu diberlakukan pemerintahan Obama mulai Agustus 2012.
Pernyataan Romney itu mendapat tanggapan negatif dari warga Hispanik. Banyak kaum muda yang urung mendaftar karena takut identitas mereka bisa menjadi bumerang bila Romney berhasil menang pemilu presiden. Bila permohonan mereka ditolak dan identitas sudah terdata, mereka bisa gampang diciduk untuk segera diusir dari AS.
Itulah yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa banyak pemilih Hispanik takut memilih Romney. Mereka khawatir bisa berakibat negatif bagi kerabat yang belum berstatus sebagai penghuni AS yang sah.
Gejala itulah yang dilihat oleh Cheryl Little, direktur eksekutif dari lembaga Americans for Immigrant Justice. Ini merupakan lembaga bantuan hukum di Miami yang selama ini membantu ratusan imigran muda untuk mengikuti program permohonan dari pemerintah.
Sikap Romney "telah menciptakan banyak kebingungan dan keresahan," kata Little, seperti dikutip The New York Times. Ini terlihat dengan pernyataan Romney, yang belakangan berubah sikap, dengan menyatakan bahwa dia menjamin tidak akan mengusir para imigran yang sudah mendaftar, namun belum mendapat persetujuan pihak berwenang.
Suara Romney ini sangat berbeda dengan Obama. Selain telah membuka program kelonggaran imigrasi selama dua tahun, Obama pun berjanji mempermudah permohonan imigran Latino untuk mendapat izin tinggal, dan pada akhirnya, kewarganegaraan AS. Inilah yang membuat dia mendapat sambutan antusias dari pemilih Hispanik.
Kini, para pemuka komunitas Latino berharap Obama memenuhi janji. Dalam suatu konferensi pers Rabu kemarin, para pimpinan komunitas Latino meminta Obama segera mewujudkan janji untuk melegalkan status rekan maupun kerabat mereka di AS dengan mekanisme yang tidak berbelit-belit.
Ada sedikitnya 11 juta orang Hispanik yang masih berstatus imigran ilegal di Amerika. Padahal, empat tahun lalu saat berkampanye untuk Pemilu 2008, Obama sudah menjanjikan ada kepastian hukum bagi mereka.
"Obama akan kembali ke Gedung Putih dengan lebih berenergi untuk menghadapi isu-isu seperti ini secara serius," kata Ben Monterroso dari Mi Familia Vota, suatu LSM yang selama ini mendorong warga keturunan Hispanik untuk menggunakan hak pilih mereka.
Eliseo Medina, warga Hispanik dari lembaga serikat Service Employees International Union, mengharapkan hal serupa dari Presiden Obama. "Kami berharap ada reformasi imigrasi yang komprehensif pada 2013," kata Medina seperti dikutip The Ticket. Maka, Medina berseru, "Jangan ada alasan lagi."
Secara demografis, Carrol Doherty dari Pew Research Center for the People and the Press menyatakan Obama dipilih oleh 90 persen Afro-Amerika, 69 persen Hispanik dan 40 persen kulit putih. Kelompok Asia-Amerika juga jelas lebih mendukung Obama. Kemudian, perempuan lebih banyak memilih Obama, sebaliknya laki-laki lebih banyak memilih Romney.
Meski umumnya komunitas Hispanik dikenal sebagai Katolik taat, namun untuk pemilihan Presiden mereka mendukung Obama karena agenda imigrasi yang lebih longgar daripada yang diusung Partai Republik. Sementara bagi perempuan, agenda asuransi kesehatan universal jelas menjadi daya tarik utama. Bagi mahasiswa seperti Danny, program Obama melipatgandakan pinjaman mahasiswa menjadi kekuatan utama di kalangan anak muda.
“Saya pernah (kampanye) ke sebuah rumah,” kata Ronita Sanders, seorang relawan Partai Demokrat di Orlando, Florida, kepada Arfi Bambani dari VIVAnews. “Saya melihat seorang nenek yang duduk kursi roda. Lalu cucunya datang mendekati saya dan berkata, ‘saya pilih Obama, Ibu pilih Obama, Nenek pilih Obama. Kami semua pilih Obama’,” kata Ronita menceritakan momen dia berkampanye dari pintu ke pintu di pemukiman Hispanik di Orlando.
Rupanya, kata Ronita, si cucu yang belum memiliki hak pilih itu mendapat “pendidikan politik” dari orang tuanya. “Jika mau sekolah, jika mau sehat, jika mau bekerja yang layak, pilihlah Obama,” Ronita menceritakan ulang pernyataan anak itu. “Saya terharu sekali, karena itu berarti ada diskusi politik di dalam rumah,” kata perempuan kulit hitam yang juga menjadi staf senior seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS dari Florida itu.

No comments:

Post a Comment