Saturday 16 April 2011

SARAPAN TERAKHR ROSIHAN ANWAR


Tokoh pers Indonesia, Rosihan Anwar, kemarin pagi (14/4) berpulang ke Rahmatullah. Dia menyusul sang istri, Siti Zuraida, yang wafat pada September tahun lalu. Sejumlah tokoh nasional hadir melayat sosok yang dijuluki guru para tokoh pers di tanah air itu. Tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengaku pernah dikritik almarhum Rosihan. Rosihan mengembuskan napas terakhir pukul 08.15 di RS Metropolitan Medical Center (MMC), Jakarta. Menurut seorang petugas RS, Rosihan diantar pihak keluarga sekitar pukul 08.00. Setelah sempat mengalami anfal, 15 menit kemudian dia berpulang.
Pihak keluarga begitu kaget dan tidak menyangka akan ditinggal Rosihan selamanya. Sebab, baru Rabu malam (13/ 4) pria kelahiran Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat, itu pulang dari Rumah Sakit Harapan Kita. Setelah menjalani operasi jantung pada 24 Maret lalu, dokter menganggap kondisinya berangsur membaik hingga dipersilakan pulang untuk menjalani rawat jalan. ’’Tadi malam (Rabu malam) masih baik-baik saja,’’ ungkap salah seorang cucu Rosihan, Alma Tania, saat ditemui di RS MMC. Bahkan, sebelum meninggal kemarin pagi, Rosihan sempat bersarapan Menurut Alma, saat itu Rosihan meminta makanannya dibawa ke teras rumah. Ketika itu dia mengeluh sesak napas. Nah, setelah makan beberapa suap, tiba-tiba Rosihan terkulai.
Keluarga sempat panik dan langsung membawanya ke RS MMC. Namun, Tuhan berkehandak lain. Rosihan wafat. Putra kedua Rosihan, Omar Luthfi, mengungkapkan, kondisi kesehatan Rosihan terus menurun sejak istrinya meninggal. ’’Semangat bapak juga menurun sejak ibu meninggal,’’ katanya. Istri Rosihan, Siti Zuraida, meninggal pada 5 September 2010. Nah, sejak saat itu, lanjut Omar, ayahnya sering sakit-sakitan. Bahkan sebelum menjalani operasi, Rosihan sempat beberapa kali berpindah rumah sakit. Pada 7 Maret lalu, pendiri harian Pedoman itu mengeluhkan sesak di dadanya dan langsung dirawat di RS MMC. Jantung Rosihan ternyata bermasalah. Puncaknya, pada 24 Maret, Rosihan menjalani operasi di RS Harapan Kita. Menurut Omar, ada satu cita-cita ayahnya yang belum tercapai. Yakni, menerbitkan sebuah buku. Tapi, buku itu berbeda dari puluhan buku lain yang pernah ditulis Rosihan. ’’Itu buku cinta-cintaan bapak sama ibu,’’ ujar Omar yang tak henti-henti mengisap rokok sambil menyambut para tamu yang berdatangan di teras depan rumahnya. Dia mengungkapkan, sejak empat bulan lalu Rosihan begitu tekun menyusun buku tersebut.
Sepengetahuan Omar, penulisan buku itu sudah rampung. ’’Tinggal menunggu pemilihan judulnya,’’ ucap pria 58 tahun tersebut. Sebenarnya sudah ada beberapa alternatif judul yang akan dibubuhkan untuk buku itu. Bahkan, rencananya buku tersebut diterbitkan tepat pada peringatan hari ulang tahun ke-89 Rosihan, yakni 10 Mei mendatang. ’’Tapi, Tuhan punya rencana lain. Kami belum memikirkan itu. Tunggu saja,’’ ungkapnya. Lebih lanjut Omar menyatakan, ayahnya adalah sosok bapak yang sederhana dan pekerja keras. Bahkan sejak kecil dirinya mengaku sempat hidup dalam kondisi susah. Yakni, saat pemberedelan koran milik Rosihan yang bernama Pedoman pada 1961. Koran Pedoman yang terbit sejak 1948 itu diberedel pada era kepemimpinan Soekarno. ’’Waktu itu masa-masa susah bagi kami. Tapi, saya masih kecil, jadi tidak paham apa masalahnya,’’ imbuhnya. Mungkin karena kesusahan-kesusahan itulah, lanjut Omar, sang ayah sama sekali tidak mengarahkan anak-anaknya untuk meneruskan minatnya berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Menurut dia, di antara tiga anak Rosihan, tidak ada yang meneruskan jalan hidup bapaknya sebagai seorang wartawan. ’’Kakak saya (Aida Fathya) dokter.
Adik saya (Naila Karima) juga dokter. Kalau saya, wirausaha sajalah,’’ ujarnya. ’’Bapak memang nggak mendorong anaknya jadi wartawan. (Jadi wartawan) mungkin susah,’’ katanya lantas tertawa. Rosihan memulai karir jurnalistiknya sejak masa penjajahan Jepang pada 1943, yakni dengan menjadi reporter Asia Raya. Pada 1947–1957, pria yang akrab disapa Pak Ros itu sempat mejadi pemimpin redaksi Siasat. Pada 1968, Rosihan pun didapuk menjadi ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Atas perjuangannya sebagai wartawan, negara pun menganugerahi dia dengan Bintang Mahaputra III. Tak hanya terjun di dunia jurnalistik, Rosihan juga aktif dalam dunia perfilman. Buktinya, bersama Usmar Ismail, dia membentuk Perusahaan Film Indonesia (Perfini). Bahkan dia pernah menjadi pemeran figuran dalam film Darah dan Doa. ’’Dia adalah tokoh film yang sangat saya hormati,’’ ucap aktor kawakan Deddy Mizwar yang kemarin melayat ke rumah duka. Dia menegaskan, dirinya begitu angkat topi kepada Rosihan karena semangat belajarnya yang tidak pernah pudar. Meski usianya terpaut sangat jauh, Rosihan tidak pernah malu untuk bertanya kepada para juniornya jika tidak memahami sesuatu. Selain para menteri aktif, menteri penerangan era Orde Baru, Harmoko, datang melayat.
Kepada para wartawan, dia mengungkapkan bahwa Rosihan adalah wartawan idealis. ’’Saya (saat aktif menjadi menteri) berkali-kali mendapat kritik. Begitulah sosok Rosihan,’’ ungkapnya. Menurut Harmoko, Rosihan merupakan salah seorang tokoh yang memperjuangkan kebebasan pers. ’’Jadi, kalian harus berterima kasih sama Pak Ros, sekarang pers bisa bebas,’’ katanya lantas terkekeh. Setelah beberapa jam disemayamkan di rumah duka, pukul 15.30 jenazah Rosihan dibawa untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TPM) Kalibata. Upacara kemiliteran pun dilakukan untuk melepas Rosihan. Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie ditunjuk sebagai inspektur upacara. Sebelum dimakamkan, suasana di rumah duka penuh sesak dengan para pelayat yang datang sejak pagi. Banyak pelayat yang berasal dari kalangan figur publik. Mulai menteri, budayawan, aktor film, hingga tokoh pers.
Sekitar pukul 14.00, Presiden SBY datang melayat bersama Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono. ’’Beliau sudah melakukan banyak hal untuk negeri ini,’’ kata SBY kepada para wartawan sesaat setelah mendoakan jenazah. Sekitar 30 menit SBY mendoakan jenazah dan memberikan penghormatan terakhir untuk Rosihan. Kepada para wartawan, dia menuturkan bahwa Rosihan adalah tokoh pers yang juga menjadi pelaku sejarah. Mulai zaman penjajahan, era kepemimpinan Soekarno, Soeharto, sampai era reformasi, Rosihan terus berkarya. SBY pun menyatakan kerap menjadi sasaran kritik Rosihan sebagai tokoh jurnalisme. ’’Beliau sering mengkritik saya. Beberapa kali di istana Pak Ros melontarkan kritik. Tapi, kritik itu disampaikan dengan penuh tanggung jawab,’’ tuturnya. SBY juga berharap ke depan bermunculan ’’Rosihan-Rosihan’’ lain yang bisa membesarkan dunia jurnalistik, budaya perfilman, dan sastra. (kuh/c5/kum)

No comments:

Post a Comment