Sunday 15 November 2009

PUISI PUISI SOE HOK GIE

MANDALAWANGI PANGRANGO

Sendja ini, ketika matahari turun kedalam djurang2mu

Aku datang kembali

Kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu.

Walaupun setiap orang berbitjara tentang manfaat dan guna

Aku bitjara padamu tentang tjinta dan keindahan

Dan aku terima kau dalam keberadaanmu

Seperti kau terima daku.

Aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi

Sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada

Hutanmu adalah misteri segala

Tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta.

Malam itu ketika dingin dan kebisuan menjelimuti Mandalawangi

Kau datang kembali

Dan bitjara padaku tentang kehampaan semua.

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi jang tanda tanja

Tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar

Terimalah dan hadapilah.”

Dan antara ransel2 kosong dan api unggun jang membara

Aku terima itu semua

Melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 djurangmu.

Aku tjinta padamu Pangrango

Karena aku tjinta pada keberanian hidup

Djakarta, 19-7-1966

Soe Hok Gie

Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa

pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu

memintaku minum susu dan tidur yang lelap?

sambil membenarkan letak leher kemejaku.

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, kenbah Mandalawangi.

kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram

meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu

ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,

lebih dekat.

(lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi

kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya

kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara

ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

apakah kau masih akan berkata

kudengar derap jantungmu

kita begitu berbeda dalam semua

kecuali dalam cinta

(haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram

wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara

dalam bahasa yang tidak kita mengerti

seperti kabut pagi itu)

manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan

dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.

Selasa, 1 April 1969

Soe Hok Gie

Pesan

Hari ini aku lihat kembali

Wajah-wajah halus yang keras

Yang berbicara tentang kemerdekaaan

Dan demokrasi

Dan bercita-cita

Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka

yang tanpa tentara

mau berperang melawan diktator

dan yang tanpa uang

mau memberantas korupsi

Kawan-kawan

Kuberikan padamu cintaku

Dan maukah kau berjabat tangan

Selalu dalam hidup ini?

Sinar Harapan 18 Agustus 1973

Soe Hok Gie

Pada orang yang menghabiskan waktunya ke Mekkah

Pada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza

Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu sayangku

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu

Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau

Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biavra

Tapi aku ingin mati disisimu sayangku

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya, tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

Mari sini sayangku

Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku

Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung

Kita tak pernah menanamkan apa-apa

Kita takkkan pernah kehilangan apa-apa

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan

Yang kedua dilahirkan tetapi mati muda

Dan yang tersial adalah bermur tua

Berbahagialah mereka yang mati muda

Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada

Berbahagialah dalam ketiadaanmu

SAJAK SAJAK CHAIRIL ANWAR

NISAN
untuk neneknda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Oktober 1942

LAGU SIUL (versi TAK SEPADAN pada Februari 1943)
I
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu apa

TAK SEPADAN
II
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
Februari 1943

SENDIRI
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Februari 1943

PELARIAN
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa disini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak terhingga
Dari kelam ke malam
Tertawa meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“mau apa? Rayu dan pelupa
aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!turut saja!”
Tak kuasa – terengkam
Ia dicekam malam
Chairil Anwar, Februari 1943

DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)

AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943
RUMAHKU

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.

27 April 1943

DI MESJID

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya

Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang kami berperang

Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.

29 Mei 1943

MERDEKA
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida

Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah

Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang

Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang

Ah ! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau neranjak dari sini
Kucoba dalam mati.

14 Juli 1943

-JANGAN KITA DI SINI BERHENTI-

Jangan kita di sini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu?..!!!

Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kitta dilayani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau masih ketawa ??

24 Juli 1943

HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

KUPU MALAM DAN BINIKU

Sambil berselisih lalu
Mengabu debu.
Kupercepat langkah. Ta? noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang.
Barah ternganga

Zola terharu waktu memamaht ?Nana?
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga olehku
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu.
Barangkali ta? setahuku
Ia menipuku.

1943

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…

MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946

MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian

ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949