Di saat industri reksadana di Indonesia mengalami krisis seiring gelombang redemption besar-besaran oleh investor lokal pada 2005, pria ini justru dengan yakin mendirikan perusahaan manajemen investasi. Tak main-main, setelah mengantongi izin pada November 2006, produk perdana sudah langsung dirilis dua bulan kemudian.
Namun, hasilnya tak terduga. Di tengah trauma krisis kepercayaan terhadap reksadana, produk perdana itu laris manis. Dana kelolaan awal pun berhasil dikumpulkan, sekitar Rp100 miliar.
Adalah Jos Parengkuan, Presiden Direktur PT Syailendra Capital, pria yang sukses menerobos situasi sulit itu. Dan kini, hingga November 2012, total dana kelolaan Syailendra telah mencapai Rp6,3 triliun.
Mantan Direktur PT Danareksa itu lalu membeberkan strateginya. Berikut wawancara Jos--yang baru dinobatkan sebagai The Most Favorite Fund Manager oleh Majalah Investor--dengan VIVAnews di ruang kerjanya, belum lama ini:
Bagaimana awalnya Anda mendirikan Syailendra Capital?
Kami awalnya bertiga, saya, Roy Himawan, dan David Tanuri. Kami dapat izin dari Bapepam pada November 2006. Kemudian meluncurkan fund pertama akhir Januari 2007.
Peluang apa yang Anda lihat di industri reksadana waktu mendirikan Syailendra itu?
Waktu itu kami melihat ada ketimpangan di industri reksadana. Kebanyakan perusahaan manajemen investasi (MI) main di produk-produk pendapatan tetap, seperti obligasi dan pasar uang. Karena, mungkin pada saat itu mereka mengandalkan bank untuk mendistribusikan produk mereka. Bank kan menjualnya kepada nasabah dan deposan-deposan mereka. Dan deposan maunya yang pasti-pasti saja, sehingga yang main di segmen saham nggak banyak. Jadi, segmen saham itu didominasi asing. Ada Schroders, Manulife, dan Fortis.
Lalu, mengapa produk berbasis saham yang kemudian dipilih Syailendra?
Kami bilang mau bikin MI yang fokus pada produk-produk yang berbasis saham. Karena memang keahlian kami di situ. Kedua, kami melihat di segmen ini tidak terlalu kompetitif. Belum banyak pemainnya dan didominasi asing.
Kami percaya, sekarang MI lokal juga bisa bersaing dengan asing. Kami berkecimpung di dunia ini sudah lama. Saya sendiri sudah 23 tahun di pasar modal. Jadi, waktu mulai mendirikan perusahaan ini, saya sudah 18 tahun berpengalaman di pasar modal. Tinggal bagaimana caranya mendirikan satu institusi yang profesional, yang punya standar seperti asing dan akhirnya bisa dipercaya oleh investor lokal.
Kenapa namanya Syailendra?
Kami mencari satu nama yang khas Indonesia, yang bisa menggambarkan karakter dan filosofi bangsa Indonesia. Kebetulan, saya ingat sejarah dinasti Syailendra yang berkembang luas pada abad ke-8. Pada zaman Wangsa Syailendra, rakyatnya makmur.
Jadi, dinasti ini berkembang terus, karena pemerintahnya bijaksana dan pintar. Daerahnya berkembang sampai ke Vietnam. Di samping itu, mereka banyak berinovasi. Mereka itu yang mendirikan Candi Borobudur sebagai candi terbesar di dunia. Bahkan, sempat menjadi tujuh keajaiban dunia.
Jadi, yang ingin kami ambil dari Syailendra adalah agar bisnis kami bisa berkembang terus, dan karyawan juga makmur hidupnya. Di samping itu, kami ingin mengembangkan inovasi-inovasi baru di dunia manajemen investasi di Indonesia. Karena itu, kami yang pertama kali mengenalkan produk Discretionary Equity Fund. Waktu itu tahun 2007. Jadi, kalau produk ini kinerjanya bagus, kami bisa mendapatkan performance fee.
Bukannya performance fee itu sudah biasa?
Di luar negeri iya. Di Indonesia belum biasa. Cuma management fee, bukan berdasarkan kinerja. Tentunya, waktu pertama kali mengenalkan konsep ini, banyak orang yang skeptis. Orang bilang, kenapa kami harus bayar performance fee, sedangkan yang lain nggak ada yang minta, kok.
Istilahnya, anak baru kok sudah minta performance fee. Lalu, kami jelaskan ke mereka, kenapa kami charge. Ini karena kami mau memastikan agar interest investor dan pengelola reksadana itu sama.
Kami ingin investor dapat return segede-gedenya. Karena kalau investor dapat makin gede, kami juga dapat gede. Jadi, dengan demikian, saya setiap pagi, walaupun sudah menang dibandingkan dengan rata-rata, saya bukannya bersantai. Tapi, tetap berpikir bagaimana bisa melakukannya lebih baik lagi.
Anda mendirikan perusahaan MI pada saat industri reksadana lokal boleh dikatakan kolaps. Mengapa Anda bisa begitu yakin?
Terus terang, waktu kami baru mulai, tantangannya berat sekali. Betul, waktu itu industrinya baru crashed. Orang-orang masih trauma, malah kami suruh main saham... hahaha. Selain itu, kami kenakan performance fee lagi. Apalagi, kami belum punya track record. Secara individu memang punya, tapi perusahaan kan belum. Jadi, terus terang, pertama-tama itu kami banyak mengandalkan relasi dan koneksi lama dan menjualnya secara door to door.
Jadi, kami datangi teman-teman agar bisa support fund kami yang pertama. Hasilnya, fund pertama kami dapat sponsor dari beberapa institusi yang memang sudah mempercayai kami. Jumlahnya memang tidak banyak, paling cuma 10-12 investor. Tapi, sebagai pemula, waktu itu kami berhasil mendapatkan dana sekitar Rp100 miliar, dan ini dananya untuk saham, lho. Bukan untuk main di obligasi atau lainnya. Jadi, ini suatu pencapaian yang impresif saat itu.
Kami akan selalu mengedukasi investor. Ini bedanya dengan yang lain. Secara aktif kami datangi mereka. Waktu keluarkan fund yang pertama, investor kamilock. Setahun nggak boleh keluar. Kami bilang, kalau mereka tarik investasinya akan dikenai penalti 5 persen. Di paruh kedua kami kenakan 2,5 persen. Sengaja angkanya kami bikin besar, biar orang nggak mau tarik investasinya.
Kami jelaskan ke mereka, kalau berani main saham, juga harus berani berpikir jangka panjang. Jangan berpikir seminggu sekali mau keluar masuk. Itu bukan cara yang benar main saham. Kita harus berpikir jangka panjang. Kalau sering keluar masuk, fund manager juga akan kesulitan dalam mengelola dana mereka.
Bagaimana saat itu tanggapan pasar?
Timing kami pas. Kami masuk Januari 2007, saat itu pasarnya mulai bergerak. Jadi, setelah 3-4 bulan kinerja fund kami yang pertama bagus sekali. Investor akhirnya balik lagi ke kami dan bilang kalau mau menambah bagaimana caranya? Mereka minta dibikinin fund baru.
Akhirnya, karena permintaan nasabah, kami memberanikan untuk mengeluarkan produk baru lagi. Itu terjadi Juni 2007. Jadi, lima bulan setelah fund pertama diluncurkan, kami keluarkan fund kedua. Kami luncurkan reksadana Syailendra Equity Opportunity Fund (SEOF) yang sampai sekarang masih ada.
Setelah kinerjanya bagus, kami mulai dikenal investor. Sekarang, Asset Under Management kami sudah mencapai Rp6,3 triliun. Padahal, sampai sekarang kami belum mendistribusikan fund kami lewat bank.
Biasanya, kalau mau cepat, MI harus jualan lewat bank. Nah, kami sampai sekarang, pemasarannya door to door. Karena SDM kami amat terbatas. Marketing kami cuma empat orang. Kebanyakan nasabah kami itu institusi. Jadi, dari dana kelolaan Rp6,3 triliun itu, 90 persen lebih datang dari institusi seperti dana pensiun, asuransi, dan yayasan. Sisanya tidak sampai 10 persen nasabah individu.
Berapa banyak produk yang sudah dikeluarkan Syailendra?
Nggak banyak. Cuma meliputi tiga produk. Reksadana konvensional, reksadana penyertaan terbatas, dan discretionary fund. Dibagi tiga grup saja.
Apa perbedaan dari masing-masing produk itu?
Segi fleksibilitasnya saja yang beda. Minimum investasinya juga berbeda. Makin fleksibel, return-nya makin tinggi, risikonya juga semakin tinggi.
Anda baru mendapatkan penghargaan dari Majalah Investor, bisa diceritakan?
Kategori yang saya menangi itu adalah penghargaan sebagai "The Most Favorite Fund Manager". Ini kategori pertama kali di tahun ini. Tahun-tahun sebelumnya nggak ada kategori ini. Hasilnya ditentukan berdasarkan polling. Mereka tanya ke investor dan hasilnya seperti ini. Untuk MI ada dua kategori, pertama CEO Favorit, dan yang kedua Fund Manager Favorit.
Apa kriterianya?
Tentunya, kriteria utama berdasarkan kinerja dari fund-nya. Memang, kinerja kami setahun ini jauh di atas rata-rata. Kalau nggak salah, IHSG itu naik 13-14 persen. Kami sekarang sudah naik 28 persen. Jadi, kami dua kali lipat dari IHSG. Sementara itu, rata-rata MI lain malah di bawah IHSG.
Untuk rencana ke depan, apakah Syailendra akan bekerja sama dengan bank?
Kalau melihat struktur nasabah kami, 90 persen adalah institusi. Porsi ritelnya amat kecil. Jadi, kami ada rencana untuk lebih menyeimbangkan basis nasabah. Kami juga mau masuk ke pasar ritel. Kami mau persiapkan infrastrukturnya. Mudah-mudahan tahun depan kami akan mulai bekerja sama dengan beberapa bank nasional. Mereka akan membantu untuk mendistribusikan reksadana kami.
Bank-bank mana saja?
Saya belum berani sebut sekarang. Tapi, kira-kira ada dua atau tiga bank nasional yang kelihatannya mau memberikan dukungan ke kami.
Produknya yang sudah ada atau baru?
Kami akan bikin produk baru. Khusus untuk produk ritel ini.
Kalau dari sisi peringkat MI, di mana posisi Syailendra?
Kami sudah masuk 10 besar.
Kapan pasang target untuk di posisi 5 besar?
Kami inginnya tiga tahun ke depan. Itu dari sisi fund size-nya atau asset under management. Tapi, kami nggak akan memaksakan, karena punya filosofi: bukan hanya size, tapi kualitas. Jadi, yang kami kejar itu bukan size, tapi kinerja dan service kami kepada nasabah.
Sebagai manajer investasi, bagaimana Anda mengelola risiko?
Kami sudah melihat bermacam-macam gaya investasi dari berbagai fund manager yang berbeda-beda. Mulai dari Warren Buffett sampai yang lokal. Kami sudah lihat dan ternyata yang paling cocok itu gaya Warren Buffett.
Kalau kami perhatikan, kinerja investasinya dari tahun 1965 sampai 2011 rata-rata setahun kenaikannya 19,8 persen. Nggak hebat-hebat banget. Bisa dibandingkan dengan beberapa MI lokal yang dalam setahun bisa tinggi sekali kenaikannya.
Tapi, hebatnya adalah, selama 46 tahun berinvestasi, cuma dua tahun NAB-nya (Nilai Aktiva Bersih) mengalami penurunan. Sisanya naik terus selama 44 tahun. Dari 46 tahun berinvestasi, 39 tahun di atas rata-rata, atau out performed. Cuma 7 tahun dia under performed. Jadi, kami ingin seperti dia, nggak mengejar return setinggi-tingginya.
Kami bukan tipe orang yang sebisa mungkin pokoknya tancap gas. Walaupun kami adaperformance fee, tidak berarti mencoba tancap gas penuh. Cara kami menangani risikonya adalah dengan mencapai kinerja yang lebih stabil, tapi positif dan konsisten.
Dalam menentukan saham pun, kami selalu memakai ukuran sendiri. Salah satunya adalah track record management dan pemilik perusahaan tersebut. Jadi, saham itu boleh likuid serta market-nya hebat dan besar sekali. Tapi, kalau attitude pemilik dan manajemennya kurang bagus, itu tidak masuk dalam list investasi kami.
Menurut Anda, bagaimana kondisi bursa saham Indonesia. Apakah sudah bubble?
Menurut saya nggak. Karena, kalau secara valuasi PER (price to earning ratio), pasar kita 13-14 kali. Memang lebih mahal dibandingkan Filipina dan Thailand. Tapi itu karena pertumbuhan PDB kita lebih bagus, politik juga stabil.
Untuk produk reksadana sendiri, bagaimana Anda melihat peluangnya?
Kalau saya lihat, jumlah investor reksadana Indonesia baru 161 ribu orang. Nah, bayangkan kita punya penduduk 250 juta. Masa kita nggak bisa dapat investor sampai 1 juta orang? Itu nggak sampai satu persen, kan? Sedangkan kalau dilihat total nilainya, industri reksadana cuma Rp180 triliun.
Sementara itu, dana pihak ketiga yang ada di perbankan Rp3.000 triliun. Jadi, rasio nilai industri reksadana terhadap dana pihak ketiga di perbankan cuma 6-7 persen. Bandingkan dengan di Korea, lebih dari 75 persen. Dengan Malaysia kita juga kalah. Mereka jauh di atas kita. Kita cuma beda tipis dengan Filipina. Ini menunjukkan kesadaran penduduk untuk berinvestasi masih amat rendah.
Karena, kebanyakan penduduk kita itu deposito minded. Mereka nggak berani
masuk ke reksadana, karena nggak mengerti dan tidak tahu risikonya. Jadi, kuncinya di sini adalah banyak yang belum mengenal reksadana dengan baik.
Anda investasi di Persib juga. Bagaimana prospeknya?
Iya, kami investasi di berbagai sektor, salah satunya lewat Persib. Kami ingin Persib bisa seperti MU (Manchester United) suatu saat nanti. Kenapa Persib, karena kami melihat basis fansnya paling kuat. Juga, kami melihat dunia sepakbola kita secara prestasi belum bisa dibanggakan, padahal potensi bisnisnya amat menjanjikan. Cuma belum ada yang dikelola secara profesional.
Kami ingin suatu saat nanti Persib bisa go public dan di-support oleh fansnya, sehingga kami dapat dana segar, bisa beli pemain, dan merekrut pelatih bagus, persis seperti MU. Itu cita-cita kami.