Monday 22 July 2013

Heboh Kafe "Nazi" dari Bandung. Publik mancanegara mengenal kafe "Nazi" dari sebuah harian Indonesia

 Soldatenkaffe, Kafe Bernuansa Nazi di Bandung
Meski telah menutup "Soldatenkaffe, kafe bernuansa militer Jerman, Nazi, Henry Mulyana masih harus berurusan dengan pemerintah kota Bandung. Pemerintah Kota memanggil pemilik kafe untuk meminta penjelasan perihal dekorasi kafe ala Nazi tersebut.

"Senin (22 Juli 2013) pukul 10 pagi kami akan panggil pemiliknya," kata Kepala Disparbud Kota Bandung, Herry M Djauhari.

Menurut Wakil Walikota Bandung, Ayi Vivanada, pemanggilan Henry untuk dimintai keterangan atas dasar apa penggunaan simbol nazi terhadap usahanya itu.

"Kami hanya perlu bertanya kepadanya secara rinci apa maksud sebenarnya. Yang jelas,  kota Bandung  tidak akan membiarkan siapa pun menghasut kebencian rasial," kata Ayi.

Dailymail menulis, publik mancanegara mengenal kafe yang beroperasi sejak April 2011 itu dari sebuah harian Indonesia berbahasa Inggris. Artikel itu menimbulkan reaksi kemarahan yang diekspresikan di jejaring media sosial. Tulisan senada juga muncul di sejumlah media terkemuka seperti Washington Post, Guardian, dan Fox News.

Fox News menulis bahwa keberadaan kafe tersebut memicu kemarahan dunia, khususnya bagi golongan kaum Yahudi, termasuk kelompok hak asasi manusia Yahudi yang berbasis di Los Angeles.

"Kami berharap semua tindakan yang tepat aan diambil untuk menutup bisnis itu karena merayakan ideologi genosida yang pada intinya mencemarkan orang kulit berwarna dan semua non-Arya," kata Rabbi Abraham Cooper.

Nazi dan benda-benda berbau Hitler, apalagi di dunia Barat, sangat sensitif keberadaannya. Penggunanya bisa dicap anti-semit, atau anti Yahudi. Pasalnya, Hitler dan tentara Nazi Jermannya dikenal telah membantai jutaan umat Yahudi pada Perang Dunia II atau yang dikenal sebagai tragedi Holocaust.

Di Jerman sendiri, simbol swastika Nazi dilarang dipajang. Cara penghormatan terhadap Hitler juga ilegal di negara ini dan menafikan tragedi holocaust bisa dipenjara.

Kafe serdadu


Kafe Soldatenkaffe atau dalam bahasa Jerman berarti kafe serdadu. Bangunan kafe memiliki empat lantai. Logo bulat bertuliskan kafe Soldaten terpampang di bagian depan. Di tengahnya terdapat simbol Nazi berupa Elang Jerman berdiri di atas Swastika dengan lambang SS Bolts. "SS" merujuk pada pasukan elit Nazi di masa Adolf Hitler, Schutzstaffel.

Dalam jumpa pers di kafe Soldatenkaffe, Sabtu 20 Juli 2013, Henry menegaskan bahwa tujuannya memasang atribut Nazi dan Adolf Hitler bukan karena dirinya seorang rasialis ataupun fasis.

"Saya mendirikan kafe ini karena hobi kesukaan kepada sejarah Perang Dunia ke-II. Bukan ideologi, apalagi ektremisme dan rasialisme," tegasnya.

Dia berargumen bahwa tema dari kafenya adalah pop culture atau seni kontemporer yang mengangkat tema Perang Dunia II dari sisi Jerman.

"Pada website kami pun telah dijelaskan sejelas-jelasnya maksud dan tujuan kafe ini bahwa kami bukan pro Nazi dan tidak terafiliasi secara politik dengan ideologi Nazi-isme," tuturnya.

"Ini semata-mata hanya mengangkat tema Militer Jerman era Perang Dunia II," dia kembali menegaskan.

Dia mengaku menutup kafenya sejak media massa ramai memberitakan tempat usahanya itu. Selain itu, Henry juga mencopot semua atribut dan dekorasi kafe. "Saya stres," kata dia.

Pantauan VIVAnews, Sabtu 20 Juli 2013, tak ada lagi atribut militer Jerman yang terpasang di ruangan kafe. Demikian juga dengan lambang-lambang khas Nazi, seperti elang Jerman (iron eagles) yang berdiri di atas Swastika.

"Sudah seminggu sejak berita tentang kafe ini dimuat. Belum tahu tutup sampai kapan. Sekarang saya menganggur," jelas Henry saat ditemui di Soldatenkaffe, di kompleks Paskal Hypersquare Bandung, Sabtu 20 Juli 2013.

Dia juga mengaku kerap menerima telepon dari orang-orang yang marah, sejak kafe miliknya diberitakan pertama kali oleh sebuah media nasional berbahasa asing. “Saya stres. Bahkan dunia luar juga ikut menekan saya,” katanya.

Merasa jadi korban

Henry merasa, tempat usahanya itu sudah menjadi korban dari pemberitaan yang menyimpang. Pemberitaan pertama kali diangkat media internasional berinisial JG yang diikuti media lain dan membuat dirinya menjadi sorotan publik.

"Berawal dari pemberitaan sepihak media cetak dan elektronik internasional. Isi berita jauh melenceng dari keterangan narasumber, bahkan terlihat secara jelas terdapat unsur rekayasa dan pelintiran yang bertujuan untuk mencari sensasi dengan mendramatisir berita ini," katanya.

Henry bahkan memperlihatkan percakapan melalui email dengan reporter yang melakukan peliputan. Disebutkan bahwa dirinya meminta klarifikasi setelah terdapat kutipan bahwa kafe tersebut terdapat menu 'Nazi Goreng'. Padahal di kafe miliknya tidak pernah menyediakan menu dengan nama tersebut.

"Media ini salah tafsir hingga pada akhirnya saya tersudutkan. Saya pun berusaha menanyakan kepada wartawan yang menulis berita karena sudah menyimpang dari makna. Saya punya seluruh bukti tertulis berupa pengakuan dari jurnalis yang bersangkutan," ujarnya.

Ditegaskanya, bahwa dirinya tidak pernah mengatakan bahwa dirinya menyangkal atau mengklaim bahwa Nazi telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap bangsa yahudi.

"Saya katakan sekali lagi bahwa saya percaya dan yakin holocaust itu pernah terjadi," tuturnya.

Menurutn Henry, keberadaan kafenya selama dua tahun terakhir tidak pernah meresahkan masyarakat seperti yang diberitakan beberapa media. "Buktinya belum pernah satu orang wargapun yang komplain ke kami," ucapnya.

Henry Mulyana menambahkan, maksudnya mendirikan kafe tersebut hanya sekedar hobi kesukaan kepada sejarah perang dunia ke II dengan tema pop culture atau seni kontemporer yang mengangkat tema perang dunia II dari sisi Jerman, bukan menjurus kepada sebuah ideologi apalagi ekstrimisme dan rasialisme.

"Pada website kami pun telah dijelaskan sejelas-jelasnya, maksud dan tujuan kafe ini bahwa kami bukan pro Nazi dan tidak terafiliasi secara politik dengan ideologi Nazi-isme dan semata-mata hanya mengangkat tema Militer Jerman era Perang Dunia II," katanya.

Sementara itu, Rohman Hidayat selaku kuasa hukum Henry mengatakan bahwa kliennya tertekan dan trauma untuk berpergian ke luar negeri setelah mendapat tekanan dari pihak luar.

“Kalau di Indonesia, tidak apa-apa. Tapi pas keluar negeri khususnya Eropa, nama Henry Mulyana pasti di blacklist.”

Minta hak jawab

Melalui pengacaranya, Henry menuntut hak jawab dan klarifikasi dari media yang pertama kali menulis soal kafenya, yakni harian nasional berbahasa Inggris berbasis di Jakarta. "Kami menuntut klarifikasi tentang masalah ini," jelas Rohman.

Jika klarifikasi tidak memuaskan, kliennya berniat mengadu ke Dewan Pers karena pemberitaan soal kafe bernuansa 'Nazi' itu berdampak negatif. “Kalau pemberitaan (menyudutkan) tidak berhenti, kami akan tempuh jalur hukum,” tegasnya.

Sejak pemberitaan awal di media berbahasa Inggris itu, kata dia, kini ada sekitar 40 media internasional yang mengangkat Soldantenkaffe sebagai topik berita dengan sangkut paut Nazi.  “Salah satunya yang memuat adalah The Guardian. Bahkan, di New York Times hari ini baru terbit dan ada di halaman dua,” paparnya.

Dijelaskannya bahwa kliennya tersebut tidak ada maksud sama sekali atau mempunyai ideologi seperti yang diberitakan beberapa media.

"Klien saya hanya menyalurkan hobi menyukai sejarah pada Perang Dunia II dan disalurkan dengan membuat kafe. Tidak hanya dari militer Jerman namun ada militer lain seperti Jepang dan tentu saja Indonesia."

Setelah Detroit, Masih Banyak Kota Besar di AS Terancam Bangkrut

Kota Detroit, Amerika Serikat
Walikota Detroit, Dave Bing, mengingatkan bukan kotanya saja yang bermasalah dengan keuangan dan kini jatuh bangkrut. Menurut dia, masih banyak lagi kota di Amerika Serikat yang bakal bernasib sama dengan Detroit.

Bing mengutarakan pandangannya dalam wawancara yang disiarkan stasiun berita ABC pada Minggu waktu setempat, ungkap The Washington Times. Detroit pada Kamis pekan lalu menjadi kota besar pertama di AS yang mengajukan perlindungan pailit setelah pemerintah setempat tidak mampu menanggung utang yang besar dari para investor sementara tetap harus membayar berbagai kewajiban lain, seperti tunjangan pensiun bagi warganya.

Namun Bing yakin akan ada lagi kota-kota yang menyusul Detroit. "Kami bukanlah satu-satunya kota yang harus berjuang menjalani situasi demikian. Ada lebih seratus kota besar yang punya masalah yang sama dengan kami. Kami mungkin yang pertama dan yang terbesar, namun bukanlah yang terakhir," kata Bing dalam program bincang-bincang "This Week."

Bersama dengan Gubernur negara bagian Michigan, Rick Snyder, dan manajer urusan darurat Detroit, Kevin Orr, Bing akhir pekan lalu tampil di sejumlah acara bincang-bincang di televisi untuk mengutarakan krisis yang mendera Detroit. Dulu dikenal sebagai pusat industri otomotif kebanggaan AS, Detroit kini menanggung utang jangka panjang sekitar US$19 miliar.

Sebenarnya para pejabat Detroit bisa saja langsung meminta dana talangan dari pemerintah pusat di Washington DC. Namun opsi itu belum mereka ajukan. "Kalian tahu kan, dan saya juga tahu Bapak Presiden punya banyak urusan," kata Bing.

Gubernur Snyder, saat tampil di acara "Face the Nation" milik stasiun televisi CBS, mengaku menyetujui usulan perlindungan pailit yang disodorkan Orr. Namun Snyder menyatakan bahwa pihaknya enggan langsung minta bantuan ke pemerintah pusat, namun pemerintah pusat bisa berinisiatif memberi bantuan ke Detroit.

Snyder juga mengungkapkan bahwa 38 persen dari anggaran kota Detroit selama ini hanya habis untuk tunjangan pensiun dan utang. Kini dengan menyatakan diri bangkrut, pemerintah Detroit harus merombak struktur besar-besaran dan harus mengajak kompromi kepada para debitur, yang rata-rata terdiri dari para investor dan penerima tunjangan pensiun.

Orr menawarkan nilai utang pokok Detroit dikurangi US$11,5 miliar sehingga menjadi US$2 miliar. Bila disetujui, ini berarti para investor dan penerima tunjangan hanya mendapat sekitar 17 persen dari nilai piutang mereka. Usulan-usulan lain juga masih harus dibahas.