Monday, 14 December 2009

DUIT 3.9 MILIAR KOK SISA 5,5 JUTA. KEMANA NGUAPNYA?

Jaksa Agung Harus Telusuri Penyusutan Aset Sitaan Korupsi

Kisah ini bermula dari per­nyataan yang pernah dilon­tarkan Sekjen Depkum­ham Ab­dul Bari Azed. Beberapa waktu lalu, dia menceritakan ihwal penyusutan dana tersebut.

Saat Menkeh dan HAM di­jabat Yusril Ihza Mahendra, pernah dibentuk Tim Gabungan Pengumpulan Data Aset, yang tugasnya melacak kekayaan terpidana kasus BLBI Hendra Rahardja. Anggota tim terdiri dari unsur kejaksaan, ke­po­lisian, Departemen Luar Negeri dan Pusat Pelaporan dan Ana­lisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hasilnya terlacak, aset sebesar lebih dari Rp 3,9 miliar atau rinciannya, Rp 3.987.336.784.

Uang itu, disebut berasal dari penyitaan aset almarhum Hen­dra Rahardja dalam bentuk Dolar Australia senilai 634.000. Dan ada tambahan lagi sebesar Rp 3,3 miliar. Dari total senilai Rp 3,9 miliar, selanjutnya dipakai untuk operasional tim sebesar Rp 680 juta. Sehingga, harusnya, sisa dana adalah sekitar Rp 3,3 miliar.

Namun, kata Azed, pada tahun 2004, sisa saldo di re­kening tinggal Rp 3,6 juta saja. Lalu pada 2006, sesuai pe­ngecekan BPK, saldo ber­kem­bang jadi Rp 5,5 juta. Pada 8 September 2006, rekening itu ditutup dan uangnya disetor ke kas negara.

Nah, pertanyaan yang mun­cul, kemana larinya penyusutan uang yang berasal dari aset Hendra Rahardja itu?

Kejanggalan ini pernah di­pertanyakan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Ka­re­nanya, dia mengeluarkan su­rat perintah penyelidikan untuk mengusut penyusutan rekening tersebut. Rekening yang di­selidiki berada di sebuah bank pemerintah Cabang Tebet, atas nama Direktorat Jenderal Ad­ministrasi Hukum Umum (Dit­jen AHU) Departemen Keha­kiman dan HAM.

Hendarman menyatakan, pe­nyelidikan perlu dilakukan karena ada kecurigaan pe­langgaran hukum terjadi pada rekening tersebut. Alasannya, uang yang disetor ke kas negara setelah rekening itu ditutup, jumlahnya kecil. Kejagung akan meningkatkan kasus ini ke penyidikan jika ditemukan bukti-bukti awal adanya tindak pidana.

Menurut Hendarman, untuk menyelidiki kasus ini se­be­narnya tidak terlalu sulit. De­partemen Keuangan tinggal menyelidiki, apakah uang se­nilai Rp 3,3 miliar itu benar-benar belum disetorkan ke kas negara atau bagaimana.

Menkeu Sri Mulyani juga pernah melaporkan hal tersebut kepada Presiden SBY. Di­per­tegas Irjen Depkeu, Hekinus Manao, dana ke rekening itu awalnya senilai Rp 3,9 miliar. Namun sebagian terpakai un­tuk membayar honorarium ang­gota, yaitu sekitar Rp 600 juta-an. Dia tidak menjelaskan, soal saldo yang tersisa di re­kening itu.

Bagaimana tanggapan Pre­siden? Dia meminta Menkeu tidak membiarkan terulangnya penempatan dana negara di departemen atau lembaga non departemen, apalagi kalau re­keningnya tidak jelas.

Ketua Gerakan Pemuda Anti Korupsi (Gepak), Thariq Mah­mud meminta Kejaksaan secara transparan mengusut kasus ini.

“Kalau tidak ada indikasi penyelewengan harus cepat diumumkan ke publik. Tetapi bila ada tindak pidana, maka pihak-pihak yang selama ini mengunakan uang itu harus diperiksa,” jelasnya.

Menurutnya, pengembalian uang pengganti korupsi ke­pada negara, harus di­ting­katkan jumlahnya. Selama ini sedikit sekali uang sitaan korupsi yang bisa di­kem­balikan ke kas negara.

Thariq mengingatkan, agar kasus penyelewengan itu segera dituntaskan. Kalau tidak, akan jadi preseden buruk.

Sekjen Government Watch (Gowa), Andi W Syahputra heran dengan menyusutnya duit sitaan terpidana korupsi yang menghilang. Apalagi nilainya tidak tanggung-tanggung, ka­rena sampai Rp 3,3 miliar.

“Kejagung harus menelusuri ini. Jangan didiamkan saja. Kalau tidak bisa, segera se­rahkan ke lembaga penegak hukum lain,” ucapnya.

Andi juga meminta Kejagung transparan. Jangan sampai ditunda-tunda karena kasus ini bisa jadi sorotan masyarakat.

“Ke mana larinya uang itu? Ini penting ditelusuri karena menyangkut uang negara dalam jumlah besar,” tukasnya.

“Kita Dorong Kasus Ini Cepat Selesai”

Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR


Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil meminta ke­seriusan Kejagung untuk me­nindaklanjuti kasus du­gaan pe­nyimpangan dana likuidasi Bank Harapan Sen­tosa (BHS) sebesar Rp 3,3 miliar.

“Kita dorong agar kasus ini cepat selesai. Karena itu masih terbilang penyim­pa­ngan. Jadi, tidak ada kata tidak untuk mengusut kebe­naran itu,” kata Nasir Djamil.

Lebih jauh Nasir me­ne­kankan Kejagung lebih pro­aktif lagi. Bukan hanya itu, kata Nasir, pihaknya akan menanyakan dalam rapart kerja (raker) bersama ke­jaksaan terkait hal ini. “Ini akan menjadi catatan penting bagi kami,” ungkapnya.

“Saya Tidak Tahu Kasus Ini”
Marwan Effendy, JAM Pidsus

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Marwan Effendy mengaku tidak mengetahui kasus pe­nyusutan duit sitaan korupsi itu. Bahkan, dia juga tidak tahu ada uang sebesar Rp 5,5 juta yang sudah disetorkan ke kas negara.

“Saya tidak tahu kasus ini, jadi nggak ada ko­mentar,” singkat Marwan Effendy k­epada Rakyat Merdeka.

“Saya Akan Cek Dulu”
Harry Soeratin, Karo Humas Depkeu

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Ke­uangan (Karo Humas Dep­keu), Harry Soeratin me­ngaku belum bisa mem­be­rikan keterangan terkait kasus dugaan penyusutan uang sitaan korupsi yang sudah disetor ke kas negara.

“Saya akan cek dan te­lusuri dulu ke unit yang menangani hal itu,” kata Harry Soeratin kepada Ra­k­yat Merdeka.

“Semua Sudah Diserahkan”
Patrialis Akbar, Menkumham

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Men­kum­ham), Patrialis Akbar me­negaskan kalau semua uang hasil sitaan hasil korupsi tidak ada yang disimpan di rekening Depkumham. Se­mua langsung diserahkan ke kejaksaan.

“Pokoknya semua hasil buruan tidak ada yang me­ngendap di Depkumham. Semua sudah diserahkan, termasuk aset Hendra Ra­hardja yang baru diberikan menteri dalam negeri Aus­tralia,” kata Patrialis Akbar kepada Rakyat Merdeka be­lum lama ini.