 Masih ingat isu peretasan terhadap data kartu debit nasabah bank yang terjadi pertengahan Mei tahun ini? Sebanyak 1.204 kartu debit diduga digandakan dan sebanyak 6 ATM kemungkinan besar pernah dipasang skimmer.
Masih ingat isu peretasan terhadap data kartu debit nasabah bank yang terjadi pertengahan Mei tahun ini? Sebanyak 1.204 kartu debit diduga digandakan dan sebanyak 6 ATM kemungkinan besar pernah dipasang skimmer.
Hacker berupaya menyusup ke sistem pengamanan kartu nasabah bank tersebut. Namun, bank bertindak cepat dengan melakukan pemblokiran ribuan kartu debit itu.
Aksi 
hacker tidak hanya menimbulkan kekhawatiran di Indonesia, tapi juga di 
berbagai negara di dunia. Survei terbaru menunjukkan bahwa warga Amerika
 pun takut terhadap hacker. Bahkan, hampir setengah responden dalam 
survei menganggap hacker lebih berbahaya dari teroris.
Banyak 
negara, termasuk Indonesia, menganggap kemampuan hacker yang dapat 
menyusup ke dalam sistem keamanan komputer merupakan aksi yang berbahaya
 bagi keamanan negara, bahkan ekonomi dunia. Peretasan ke sistem 
perbankan, pertahanan, dan keuangan negara merupakan ancaman yang 
serius.
Di 
Indonesia, aksi peretasan itu bukanlah yang pertama. Negara ini telah 
berkali-kali disusupi hacker. Terutama menargetkan institusi keuangan 
dan website pemerintah.  
Informasi
 penting perusahaan perbankan dan data nasabah berhasil dicuri, sehingga
 menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap internet perbankan. 
Parahnya, kasus dilakukan oleh para hacker yang tidak berada di 
Indonesia, melainkan luar negeri.
Bahkan, masa yang telah lewat pernah menghadapkan Indonesia pada aksi penyadapan, mata-mata, hingga isu perang siber. April 2013, Wakil Kepala Kepolisian RI, Komjen Nanan Sukarna mengatakan bahwa aksi peretasan di dunia maya bisa sangat membahayakan.
Sebab, 
ujar Nanan, jika yang diretas adalah perbankan, akan membahayakan 
perekonomian negara. Bahkan, kecanggihan teknologi saat ini telah mampu 
menghubungkan komputer dengan mesin-mesin perang yang bisa diretas dan 
dikendalikan sesuai dengan keinginan para hacker yang tidak bertanggung 
jawab.
Akhir tahun lalu, perusahaan monitoring internet Akamai
 menemukan fakta bahwa kejahatan internet di Indonesia meningkat dua 
kali lipat. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi pertama negara 
berpotensi menjadi target hacker, menggantikan Tiongkok.
Dari 175 negara yang diinvestigasi, Indonesia berkontribusi sebanyak 38 persen dari total sasaran trafik hacking di internet. Angka
 ini meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan internet di 
Indonesia. Namun, menurut David Belson dari Akamai Research, kecepatan 
internet tidak memiliki hubungan dengan potensi besar kejahatan internet
 yang mengancam Indonesia. “Aksi hacking lebih dikarenakan lemahnya 
sistem keamanan internet dan komputer di Indonesia,” ujar Belson kala 
itu.
Amerika Pun Takut Hacker
Ketakutan terhadap aksi hacker tidak hanya menjangkiti satu negara. Data terbaru dari Unysis lewat Annual Security Index
 menunjukkan aksi hacker yang meretas data kartu kredit dan informasi 
nasabah keuangan merupakan hal yang paling ditakuti oleh warga Amerika 
ketimbang aksi terorisme.
Lebih 
dari 1.000 orang dilibatkan dalam survei ini dan sebanyak 500 orang 
sangat mengkhawatirkan data keuangan mereka jatuh ke tangan orang yang 
tidak bertanggung jawab. Angka ini meningkat dua kali lipat dibanding 
survei yang dilakukan tahun lalu.
Heartbleed
 Bug, virus Blackshades, peretasan sistem informasi eBay, dan lainnya 
merupakan tiga di antara banyaknya kasus hacking yang menghantui warga 
Amerika.
Akamai 
research menunjukkan bahwa aksi pencurian data kartu kredit nasabah atau
 penyalahgunaannya menjadi kekhawatiran sekitar 59 persen dari 1.000 
responden, sedangkan aksi pencurian identitas pribadi cukup 
mengkhawatirkan sekitar 57 persen responden. Untuk urusan terorisme dan perang, hanya 47 persen responden yang merasa takut.
Jika 
data Akamai benar, AS yang memiliki teknologi jauh lebih mumpuni 
dibanding Indonesia dengan Silicon Valley-nya, tempat lahirnya Google, 
Microsoft, Yahoo, Apple, dan sederet perusahaan teknologi terkenal 
lainnya, ternyata memiliki kekhawatiran yang cukup besar terhadap aksi 
hacker.
Berujung Perang Siber
Yang 
dikatakan Komjen Nanan Sukarna saat itu ada benarnya. Hacker bisa 
melakukan apa pun dengan meretas komputer dan sistem informasi yang 
ditargetkan. Kelemahan sistem informasi dan keamanan internet perbankan 
di Indonesia maupun pemerintah memang menjadi PR tersendiri.
Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, mengungkapkan, semakin canggih produk-produk TI perbankan, semakin besar keamanan yang harus menjadi perhatian bank.
"Karena
 itu, bagaimana menyeimbangkan antara memberikan pelayanan dan keamanan.
 Apalagi pelaku kejahatan selalu mempelajari kelemahan sebuah sistem TI,
 dan mereka bergilir untuk memanfaatkannya. Itu tantangannya," ujar 
Sigit.
Data Bank Indonesia menunjukkan, tingkat kejahatan perbankan (fraud) cukup tinggi. Dua tahun lalu saja, lebih 1.000 kasus fraud yang dilaporkan dengan nilai kerugian mencapai miliaran rupiah. Jenis fraud paling banyak adalah pencurian identitas dan card not present (tanpa menggunakan kartu). Jika berlanjut, bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia akan goncang.
Apalagi
 keahlian para hacker tidak hanya terbatas pada meretas sistem keamanan 
perbankan, tapi juga sistem komputer pemerintah, mengambil informasi 
penting negara, memata-matai kebijakan pemerintah. Bahkan, yang paling 
menyeramkan adalah meretas komputer pertahanan suatu negara yang 
memiliki senjata penghancur massal dan mengadu domba antar negara, 
sehingga menyebabkan perang siber maupun perang di dunia nyata.
Untungnya, menurut penjelasan hacker Indonesia, Jim Geovedi dalam situsnya,
 belum pernah ada negara yang secara resmi mengumumkan perang siber. 
Menurut dia, jika mengikuti teori yang benar, ada beberapa hal yang 
harus ada dalam perang siber. Perang siber akan memakan korban, harus 
memiliki tujuan, dan bersifat politik.
“Perang
 siber akan menimbulkan korban jiwa. Dalam hal ini serangan terhadap 
sistem komputer yang sangat berbahaya dan menimbulkan jatuhnya korban 
jiwa. Jika hanya menimbulkan kerugian material, sebuah aksi ekonomi pun 
bisa menimbulkan kerugian dalam jumlah besar. Oleh karena itu kerugian 
material belum bisa menjadi indikasi terjadinya sebuah perang siber,” 
tulis Jim Geovedi.
Pertahanan Indonesia
Dalam presentasi Vice Excecutive Chairman
 Dewan TIK Nasional (Detiknas), Prof. Zainal Hasibuan yang bertajuk 
Indonesia National Cyber Security Strategy: Security and Sovereignty in 
Indonesia Cyberspace, dikenali tiga dimensi yang merupakan bagian dari 
ancaman siber, yaitu virus komputer, worm, dan hacking.
Ancaman
 ini, menurut Profesor Zainal, berpotensi menghancurkan ekonomi dan 
membuat keamanan negara menjadi tidak stabil. Dipaparkannya, data dari 
Kementerian Kominfo pada April 2013 menunjukkan, selama 3 tahun 
terakhir, setidaknya ada 3,9 juta serangan mengarah ke siber Indonesia. 
Bahkan pada Januari hingga Oktober 2012, data ID-SIRTII mengungkapkan, 
website pemerintahan tergolong sebagai sasaran paling empuk.
Dijelaskan Profesor Zainal, setidaknya ada 8 tantangan dan halangan bagi keamanan siber nasional.
Pertama
 adalah tidak teritegrasinya visi keamanan siber. Selain itu, 
undang-undang dan aturan siber yang tidak lengkap, kurang sinerginya 
pemerintah dan organisasi keamanan siber nasional, dan lemahnya 
koordinasi antarlembaga.
Selanjutnya,
 tidak adanya standar dan mekanisme perlindungan infrastruktur ICT yang 
penting, tidak terintegrasinya aplikasi, data dan infrastruktur keamanan
 informasi, kuantitas dan kualitas SDM yang terbatas, dan kurangnya 
kesadaran akan keamanan informasi.
Untuk 
bertahan dari kemungkinan serangan-serangan siber, Indonesia telah 
bersiap dengan mendirikan beberapa organisasi pertahanan dunia maya dan 
membuat aturan hukum yang jelas terkait kejahatan dunia maya. ID-SIRTII 
salah satunya.
Lahir pada 2007 melalui Peraturan Menteri Kominfo
 No.26/PER/M.Kominfo/5/2007. ID-SIRTII, yang merupakan kepanjangan dari 
Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure. 
Organisasi ini merupakan benteng pertahanan Indonesia terhadap serangan 
dunia maya.
Tugasnya
 adalah memonitor dan mendeteksi ancaman jaringan internet di Indonesia,
 mengamankan data center Indonesia, berperan sebagai digital forensik 
untuk kepentingan hukum, penolong masyarakat terkait insiden internet 
yang siap siaga, edukator dan konsultan untuk simulasi dan sosialisasi 
untuk menghindari masyarakat dari kejahatan internet.
ID-SIRTII
 bisa dibilang sebagai benteng pertahanan pertama yang sifatnya 
nasional. Sementara itu, untuk perusahaan dan instansi harusnya memiliki
 benteng pertahanan sendiri.
Di negara luar, benteng pertahanan yang dimiliki masing-masing instansi/perusahaan bernama C-SIRT  (Computer
 Security Incident Response Team) dan CERT (Computer Emergency Response 
Team). Fungsinya hampir sama, menangani keamanan data sebuah lembaga 
yang lingkupnya lebih kecil dari ID-SIRTII. Selain itu juga ada GovCERT 
dan ID-CERT.
Sayangnya,
 ditulis Profesor Zainal, baik ID-SIRTII, GovCERT dan ID-CERT hanya 
bertindak mengurusi operasional dan teknis tanpa taktik dan strategi. Seperti
 halnya negara lain seperti Australia atau Inggris yang memiliki Office 
of Cyber Security (OCS) untuk urusan strategi dan Cyber Security 
Operations Center untuk level  taktik.
“Oleh 
karena itu perlu dibentuk juga National Cyber Security atau Organization
 of Indonesia National Cyber Security (I-NCS) di Indonesia,” tulis Prof.
 Zainal.
Kembali
 pada pertanyaan, jika Amerika sebagai negara adidaya saja takut dengan 
keberadaan hacker, bukankah Indonesia seharusnya merasa lebih takut dan 
bersiap diri menghadapi kemungkinan yang terburuk akibat tingkah hacker?
   
       
