Wednesday 16 December 2009

Senator Persoalkan Duit Sitaan Korupsi Rp 8,15 T

Kinerja kejaksaan mendapat sorotan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebab, hingga kini lembaga penegak hukum itu dinilai belum maksimal menagih uang pengganti korupsi.

Hal itu terungkap saat rapat DPD pekan lalu. Rapat itu terkait rancangan pertimbangan terha­dap tindak lanjut hasil peme­riksaan Badan Pemeriksa Ke­uangan (BPK) semester I Tahun Anggaran 2009.

Kepada Rakyat Merdeka, ang­gota DPD I Wayan Sudarta men­desak kejaksaan meng­klarifikasi hasil temuan BPK terkait uang pengganti korupsi yang belum berhasil ditagih lembaga itu.

“DPD juga punya fungsi peng­awasan. Kami ingin ma­salah ini klir secepatnya. Apa uang itu be­lum ditagih atau memang sudah ditagih tapi belum diserahkan ke kas ne­gara,” ujarnya.

Menurut Wayan, berdasarkan hasil temuan BPK disebutkan, uang peng­ganti senilai Rp 8,15 triliun serta denda senilai Rp 30,19 miliar di lingkungan Ke­jak­saaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta belum ber­hasil ditagih.

Meski fokus pengawasan DPD kepada keuangan daerah, tetapi, me­nurut Wayan, pi­haknya juga bisa melakukan pengawasan terhadap instansi tertentu dalam wadah akun­tabilitas publik yang khusus mengawasi ins­tansi di luar pe­me­rintah daerah.

Jadi, apabila ada indikasi ko­rupsi DPD bisa melaporkan ke KPK atau lembaga penegak hukum lainnya.

Untuk itu, anggota DPD asal Bali ini mengimbau agar dalam rapat konsultasi antara pim­pinan DPD dengan pimpinan lembaga terkait, termasuk ke­jak­saan nanti itu bisa dijelaskan. Karenanya dia berharap kejak­saan bekerja mak­simal dan pro­fesional dalam upa­ya pem­be­rantasan korupsi.

Sementara itu anggota Indo­nesia Corruption Watch (ICW), Illian Deta Artasari me­nga­takan, sampai saat ini masih mem­per­tanyakan terkait uang pengganti para koruptor yang belum juga dituntaskan.

“Saya lihat masih banyak ko­ruptor yang berpura-pura jatuh mis­kin untuk menghindari uang pengganti negara. Padahal ke­nyataannya hartanya masih sa­ngat berlimpah,” katanya.

Belum tuntas masalah uang pengganti korupsi itu menurut Illian karena dua faktor. Per­tama, terpidananya yang tidak mau mengembalikan uang ne­gara de­ngan alasan jatuh mis­kin. Kedua, kurang seriusnya kejaksaan mem­buru harta para koruptor se­hingga masalah ini tidak selesai.

Selain itu, subsider uang peng­ganti dengan kurungan badan sering tidak berjalan sebagai­mana mestinya. Bah­kan, me­nurutnya, banyak yang tidak menjalankan hukuman badan tapi tidak membayar kerugian negara.

Alasan jatuh miskin yang se­ring diungkapkan kejaksaan ter­hadap para koruptor juga se­ringkali tidak ada parame­ternya. Ini yang memungkinkan ter­jadinya celah melakukan deal-deal agar tidak membayar keru­gian negara.

Illian mengungkapkan, ber­da­sarkan data BPK dan lem­baga lain masih banyak para koruptor yang jumlahnya lebih dari 50 orang hanya me­ngem­balikan be­berapa miliar saja. Sedangkan kerugian negara mencapai tri­liunan rupiah. “Ini tidak adil buat ma­syarakat,” tegasnya.

“Soal Itu Saya Tidak Hafal”
Marwan Effendy, JAM Pidsus


Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Marwan Effendy yang dikon­firmasi mengaku tidak hafal secara pasti terkait uang peng­ganti yang belum berhasil di­tagih Kejagung sebesar Rp 8,15 triliun.

“Soal itu saya tidak hafal ya. Tapi soal uang pengganti kan ada pidana pengganti bagi terpidana yang tidak dapat membayar uang denda,” kata Marwan Effendy melalui pesan singkat (SMS) yang dikirim ke Rakyat Merdeka.

Menurut Marwan, yang tidak dapat mem­bayar uang denda akan di­kenakan pidana sub­sider be­rupa pidana badan. Bagi ter­pidana yang men­jalankan pi­dana subsider me­nurut un­dang-undang tidak lagi menja­lankan pidana uang peng­ganti dan seharusnya kewajiban itu harus dihapus dari register.

“Kalau tidak dihapus akan selalu dihitung karena sesuai dengan undang-undang No.1 tahun 2004 tentang perben­daharaan negara harus prose­dural. Di bawah Rp 10 miliar penghapusannya persetujuan menteri keuangan,” ung­kapnya.

Sementara kalau uang peng­ganti itu jumlahnya antara Rp 10 miliar sampai dengan Rp 100 Miliar, sambung Marwan persetujuannya harus meli­batkan Dewan Perwakilan Rak­yat (DPR). “Sepanjang itu belum dihapus tetap akan di­ang­gap sebagai piutang ne­gara,” cetusnya.

Marwan menjelaskan, per­kara uang pengganti negara harus diselesaikan dengan pe­nuh kearifan, karena ada dua pengaturan tentang hal itu. Menurut Undang-undang Ko­rupsi kalau sudah melak­sana­kan pidana subsider dipandang selesai, jadi tidak lagi dianggap tunggakan.

“Dicek Dulu Ya”
Hidayatullah, Aspidsus Kejati DKI Jakarta

Asisten Pidana Khusus Ke­jaksaan Tinggi DKI Ja­karta (Aspidsus Kejati DKI Jakarta), Hidayatullah belum menge­tahui secara pasti ang­ka Rp 30,19 miliar yang belum ber­hasil ditagih masuk kategori perkara apa saja.

“Harus Dicek dulu ya,” Hi­dayatullah malalui pesan sing­kat (SMS) yang dikirim ke Rakyat Merdeka.

“Harus Izin Menkeu”
Harry Z Soeratin, Karo humas Depkeu


Kepala Biro Hubungan Ma­syarakat Departemen Ke­u­angan (Karo Humas Dep­keu), Harry Z Soeratin me­ngaku bahwa penghapusan uang peng­ganti para koruptor yang jum­lahnya di bawah Rp 10 miliar harus melalui izin Menkeu. “Itu harus Izin Men­keu,” te­gasnya.

Namun untuk masalah per­be­daan dalam undang-un­dang Perbendaharaan Negara dan undang-undang Tipikor terkait uang pengganti ter­hadap para tahanan yang telah menjalani hu­kuman, Harry mengaku ti­dak tahu secara pasti.

“Lebih baik tanya ke biro hukum Depkeu, dia yang lebih tahu,” cetusnya.

“Koruptor Itu Lihai”
Syarifudin Suding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR, Syarifudin Suding meminta kejaksaan serius mengejar uang pengganti korupsi yang selama ini belum dibayarkan para koruptor.

Menurutnya, selama ini ba­nyak putusan pengadilan yang sudah tetap tapi belum di­ek­sekusi kejaksaan se­hingga para koruptor sudah mengalihkan hartanya ke­pada pihak ketiga. Ini yang sulit dilacak.

“Koruptor itu lihai. Kalau ada yang ngaku jatuh miskin jangan langsung percaya. Ha­rus dilakukan investigasi men­dalam ke mana uang yang dila­rikan terse­but,” katanya.

Politisi Hanura ini ber­janji dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Ke­jagung akan mem­per­ta­nya­kan masalah uang peng­ganti tersebut. Ini penting su­paya tidak terjadi sim­pang siur.

Saat ini, kata dia, me­ru­pakan momentum yang tepat buat kejaksaan untuk me­nunjukkan prestasinya. Salah satu caranya dengan menarik uang peng­ganti dari para koruptor dalam jumlah besar sehingga ma­sya­rakat akan memberikan apre­siasi yang tinggi terharap lang­kah ke­jaksaan.

“Mungkin Ada Kendala Teknis Di Lapangan”
Heru Lelono, Staf Khusus Presiden Bidang Informasi Dan PR

Staf Khusus Presiden Bi­dang Informasi dan Public Relation (PR), Heru Lelono meminta kejaksaan terus mengejar uang pengganti para koruptor yang belum membayar kerugian negara hingga kini.

“Kalau ada laporan kejak­saan belum mengembalikan uang negara itu mungkin ada kendala teknis di lapangan yang memungkinkan itu tidak bisa ditarik,” kata Heru Le­lono kepada Rakyat Merdeka.

Menurutnya, kejaksaan ha­rus tegas terharap para ko­ruptor termasuk memburu aset­nya. Jangan juga cepat percaya jika para koruptor mengatakan jatuh miskin.

Heru menjelaskan uang peng­ganti korupsi tidak harus se­muanya diserahkan ke kas ne­gara. Ada beberapa yang me­mang langsung diserahkan ke­pada lembaga yang ber­sang­kutan di mana uang ter­sebut di korupsi.

Heru mengharapkan ke­pa­da kejaksaan jangan hanya me­­lakukan pemberantasan ko­­rup­si tetapi harus juga da­lam ben­tuk pencegahan.