Mimpi mengangkut 1,2 juta penumpang per hari pada 2019 terus dikejar PT. KAI Commuter Jabodetabek. Maklum saja, moda transportasi rakyat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ini sekarang baru bisa mengangkut 400 ribu penumpang. Dan mimpi ini tak mungkin bisa dicapai tanpa perubahan besar.
"Kami mulai dengan perubahan e-ticketing," kata Manajer Komunikasi PT KAI Commuter Jabodetabek Eva Chairunisa dalam perbincangan denganVIVAnews, Selasa 26 Februari 2013.
Eva mengatakan sistem tiket elektronik akan lebih memudahkan dan melancarkan pelayanan penumpang kereta. Tanpa dukungan teknologi, melayani 1,2 juta penumpang sehari bakal sulit dicapai.
Untuk tahap awal, pada Maret nanti, anak usaha PT Kereta Api Indonesia ini akan menerapkan smart card sebagai uji coba pelayanan elektronik terpadu. "Tapi pada Maret baru tujuan Bogor - Jakarta Kota. Stasiun tujuan lain masih manual," katanya.
Untuk tujuan Bogor - Jakarta Kota maupun sebaliknya, saat membeli tiket penumpang tidak lagi diberi karcis kertas, melainkan "kartu pintar" itu. Kartu ini tinggal ditempel untuk membuka gerbang stasiun awal, lalu diceploskan di gerbang stasiun tujuan saat keluar.
Bagi penumpang kereta ekonomi dan KRL tujuan lain, untuk sementara tiketnya masih dalam bentuk kertas. Baru pada Mei, e-ticket diterapkan di seluruh rute.
Eva menjelaskan pada tahap selanjutnya kartu pintar ini akan dimodifikasi dengan kartu prabayar dari bank. Sejauh ini setidaknya ada 10 penerbit e-money di Tanah Air. Mereka antara lain Bank DKI Jakarta (Jak Card), Bank Central Asia (Flazz), Bank Mandiri (Indomaret Card, Gaz Card, dan E-Toll Card), Bank Mega (Studio Pass Card dan Smart Card), Bank Negara Indonesia (Java Jazz Card dan Kartuku), Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRIZZI), PT Indosat (Dompetku), PT Skye Sab Indonesia (Skye Card), PT Telekomunikasi Indonesia (Flexy Cash dan i-Vas Card), serta PT Telekomunikasi Selular (T-Cash).
"Nanti pemilik kartu tinggal tempel di gate in pada stasiun asal dan gate out pada stasiun tujuan, otomatis saldonya berkurang," katanya. "Kami belum tahu mau bekerja sama dengan bank apa saja, tapi pasti kerja sama."
Bukan Commet
Eva mengatakan sistem tiket elektronik akan lebih memudahkan dan melancarkan pelayanan penumpang kereta. Tanpa dukungan teknologi, melayani 1,2 juta penumpang sehari bakal sulit dicapai.
Untuk tahap awal, pada Maret nanti, anak usaha PT Kereta Api Indonesia ini akan menerapkan smart card sebagai uji coba pelayanan elektronik terpadu. "Tapi pada Maret baru tujuan Bogor - Jakarta Kota. Stasiun tujuan lain masih manual," katanya.
Untuk tujuan Bogor - Jakarta Kota maupun sebaliknya, saat membeli tiket penumpang tidak lagi diberi karcis kertas, melainkan "kartu pintar" itu. Kartu ini tinggal ditempel untuk membuka gerbang stasiun awal, lalu diceploskan di gerbang stasiun tujuan saat keluar.
Bagi penumpang kereta ekonomi dan KRL tujuan lain, untuk sementara tiketnya masih dalam bentuk kertas. Baru pada Mei, e-ticket diterapkan di seluruh rute.
Eva menjelaskan pada tahap selanjutnya kartu pintar ini akan dimodifikasi dengan kartu prabayar dari bank. Sejauh ini setidaknya ada 10 penerbit e-money di Tanah Air. Mereka antara lain Bank DKI Jakarta (Jak Card), Bank Central Asia (Flazz), Bank Mandiri (Indomaret Card, Gaz Card, dan E-Toll Card), Bank Mega (Studio Pass Card dan Smart Card), Bank Negara Indonesia (Java Jazz Card dan Kartuku), Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRIZZI), PT Indosat (Dompetku), PT Skye Sab Indonesia (Skye Card), PT Telekomunikasi Indonesia (Flexy Cash dan i-Vas Card), serta PT Telekomunikasi Selular (T-Cash).
"Nanti pemilik kartu tinggal tempel di gate in pada stasiun asal dan gate out pada stasiun tujuan, otomatis saldonya berkurang," katanya. "Kami belum tahu mau bekerja sama dengan bank apa saja, tapi pasti kerja sama."
Bukan Commet
Eva memastikan, smart card ini berbeda dengan Commuter Electronic Ticketing (Commet) yang pernah diuji coba pada 2012 lalu. Menurut dia, e-money ini nantinya berbasis saldo tanpa batasan waktu seperti yang diterapkan pada Commet.
Commet, kata dia, hanya berupa kartu langganan bulanan bernilai Rp400-500 ribu sebulan. Meski tidak penuh dipakai, dengan sendirinya kartu akan kedaluwarsa setelah lewat 30 hari. Sedangkan smart card tidak mengenal batasan waktu. Sepanjang ada saldo, konsumen masih dapat tetap menggunakan kereta.
Soal kegagalan Commet, Eva tak mau banyak komentar. Menurut dia, semua sudah diperhitungkan dan dikerjakan pihak lain, yaitu PT Telkom. "Kami hanya berbagi fee, termasuk pada smart card ini," katanya.
Paksa konsumen
Commet, kata dia, hanya berupa kartu langganan bulanan bernilai Rp400-500 ribu sebulan. Meski tidak penuh dipakai, dengan sendirinya kartu akan kedaluwarsa setelah lewat 30 hari. Sedangkan smart card tidak mengenal batasan waktu. Sepanjang ada saldo, konsumen masih dapat tetap menggunakan kereta.
Soal kegagalan Commet, Eva tak mau banyak komentar. Menurut dia, semua sudah diperhitungkan dan dikerjakan pihak lain, yaitu PT Telkom. "Kami hanya berbagi fee, termasuk pada smart card ini," katanya.
Paksa konsumen
Soal penggunaan tiket berbasis e-money ini, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menyatakan bakal memaksa para penumpang kereta listrik. Dia ingin meniru China yang mengharuskan semua warganya melek teknologi.
"Semua lapisan masyarakat harus dipaksa menggunakan smart card," kata Dahlan di Jakarta, Selasa. "Dua bulan lagi seluruh KRL di Jakarta tidak lagi menggunakan karcis seperti sekarang."
Dia menuturkan China mengharuskan masyarakatnya belajar teknologi dimulai dari kereta. Stasiun kereta api di sana sudah menggunakan sistem yang canggih. "Jadi, mau tidak mau warga kelas bawah jika ingin naik kereta dipaksa belajar teknologi," kata dia. "Semua lapisan masyarakat harus dipaksa menerima teknologi itu." (kd)
"Semua lapisan masyarakat harus dipaksa menggunakan smart card," kata Dahlan di Jakarta, Selasa. "Dua bulan lagi seluruh KRL di Jakarta tidak lagi menggunakan karcis seperti sekarang."
Dia menuturkan China mengharuskan masyarakatnya belajar teknologi dimulai dari kereta. Stasiun kereta api di sana sudah menggunakan sistem yang canggih. "Jadi, mau tidak mau warga kelas bawah jika ingin naik kereta dipaksa belajar teknologi," kata dia. "Semua lapisan masyarakat harus dipaksa menerima teknologi itu." (kd)