Telekomunikasi di Afrika meledak selama satu dekade terakhir, dan mengubah gaya hidup penduduk di negara-negara Afrika. Namun, penetrasi telekomunikasi seluler di Benua Hitam ini masih tergolong rendah, diakibatkan biaya layanan masih mahal dan jangkauan telekomunikasi yang belum merata.
Tapi, uniknya, di Sierra Leone, negara dengan pendapatan nasional per kapita kurang dari US$400 setahun, penduduknya tetap bisa menjangkau telekomunikasi seluler. Meski kondisi uang pas-pasan, masyarakatnya tetap bisa menerima jaringan ponsel.
"Anda memanjat tongkat, seperti halnya memanjat pohon mangga, supaya Anda mendapatkan sinyal," kata Abass Bangura, pedagang jalanan di Freetown, Sierra Leone, dilansir Reuters, Jumat 1 Februari 2013.
Cerita serupa juga terjadi di Sudan Selatan, negara yang baru berdiri pada 2011. Walau masih "bau kencur," negara ini telah memiliki lima operator seluler, dalam waktu kurang dari satu tahun.
Bahkan, di ibu kota negara, Juba, telah dipenuhi dengan iklan billboard ponsel berukuran raksasa. Tapi, berjalan beberapa kilometer saja dari pusat kota, ponsel Anda menjadi bangkai alias tidak bisa dipakai, karena tidak terjangkau sinyal operator.
Penetrasi kecil
Menurut studi perusahaan riset industri, Wireless Intelligence, yang dirilis November lalu, ditemukan penetrasi telekomunikasi seluler di Afrika masih kecil, hanya 33 persen dari populasi lebih dari satu miliar orang. Sekitar lebih dari 700 juta kartu SIM telah beredar, namun satu pengguna bisa memiliki dua kartu SIM.
"Jika Anda melihat langsung, penduduk pedesaan di Afrika memiliki porsi sekitar 60-70 persen dari populasi. Tingkat penetrasi di pasar pedesaan itu sangat rendah," kata Spiwe Chireka, penasihat perusahaan riset teknologi IDC, melalui sumber yang sama.
Studi perusahaan riset Informa pada 2012 menunjukkan hasil yang sama. Di negara populasi terpadat, Nigeria, penetrasi seluler masih 61 persen. Padahal, jumlah kartu SIM melebihi jumlah penduduk, dengan pengguna ponsel seluler rata-rata memiliki 2,39 kartu SIM.
Namun, angka ini masih kalah dengan Indonesia dengan rata-rata 2,62 kartu SIM per pengguna.
Tapi, uniknya, di Sierra Leone, negara dengan pendapatan nasional per kapita kurang dari US$400 setahun, penduduknya tetap bisa menjangkau telekomunikasi seluler. Meski kondisi uang pas-pasan, masyarakatnya tetap bisa menerima jaringan ponsel.
"Anda memanjat tongkat, seperti halnya memanjat pohon mangga, supaya Anda mendapatkan sinyal," kata Abass Bangura, pedagang jalanan di Freetown, Sierra Leone, dilansir Reuters, Jumat 1 Februari 2013.
Cerita serupa juga terjadi di Sudan Selatan, negara yang baru berdiri pada 2011. Walau masih "bau kencur," negara ini telah memiliki lima operator seluler, dalam waktu kurang dari satu tahun.
Bahkan, di ibu kota negara, Juba, telah dipenuhi dengan iklan billboard ponsel berukuran raksasa. Tapi, berjalan beberapa kilometer saja dari pusat kota, ponsel Anda menjadi bangkai alias tidak bisa dipakai, karena tidak terjangkau sinyal operator.
Penetrasi kecil
Menurut studi perusahaan riset industri, Wireless Intelligence, yang dirilis November lalu, ditemukan penetrasi telekomunikasi seluler di Afrika masih kecil, hanya 33 persen dari populasi lebih dari satu miliar orang. Sekitar lebih dari 700 juta kartu SIM telah beredar, namun satu pengguna bisa memiliki dua kartu SIM.
"Jika Anda melihat langsung, penduduk pedesaan di Afrika memiliki porsi sekitar 60-70 persen dari populasi. Tingkat penetrasi di pasar pedesaan itu sangat rendah," kata Spiwe Chireka, penasihat perusahaan riset teknologi IDC, melalui sumber yang sama.
Studi perusahaan riset Informa pada 2012 menunjukkan hasil yang sama. Di negara populasi terpadat, Nigeria, penetrasi seluler masih 61 persen. Padahal, jumlah kartu SIM melebihi jumlah penduduk, dengan pengguna ponsel seluler rata-rata memiliki 2,39 kartu SIM.
Namun, angka ini masih kalah dengan Indonesia dengan rata-rata 2,62 kartu SIM per pengguna.
Dilema
Jangkauan telekomunikasi yang belum merata bisa menjadi peluang emas bagi operator yang fokus ke Afrika, khususnya di wilayah pedesaan. Sebut saja MTN Group asal Afrika Selatan, Bharti Airtel asal India, dan Zain asal Kuwait. Tapi, para operator menghadapi dilema akan besarnya biaya operasional.
"Memang ada potensi besar, tetapi biaya operasional menjadi perhatian yang lebih besar bagi kami," kata Andre Claasson, chief operating officer Zain untuk wilayah Sudan Selatan.
Dia mengakui, biaya operasional sebuah menara jaringan di pedesaan selalu lebih besar dari pendapatan yang diperoleh oleh operator. Kasarnya, operator merugi.
Sementara itu, kebutuhan menara BTS untuk memancarkan sinyal masih diperlukan. Saat ini, di Afrika tersebar sekitar 170 ribu menara seluler.
Menurut perusahaan menara IHS Group, Afrika membutuhkan 60 ribu menara tambahan, dengan rata-rata investasi US$200 ribu, setara Rp2 miliar per BTS, dengan ongkos operasional US$2.000 per bulan.
Artinya, para operator perlu merogoh kocek sebesar US$12 miliar, atau setara Rp117 triliun, untuk memenuhi kebutuhan seluler di Afrika sampai merata.
"Jika operator diminta untuk mengeluarkan US$200 ribu untuk membangun sebuah menara, hanya untuk melayani daerah dengan 500 orang peternak, itu sama sekali tidak masuk akal," kata Issam Darwish, kepala eksekutif IHS.
Operasional yang mahal juga tak didukung dengan pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) yang rendah, antara US$1 (setara Rp9.700) hingga US$10 (Rp97.000) per bulan.
Solusi sementara, yaitu operator bisa berhemat dengan opsi berbagi menara dengan operator lain. Sebab, ekspansi telekomunikasi seluler di Afrika belum murah bagi para penyelenggara.
"Memang ada potensi besar, tetapi biaya operasional menjadi perhatian yang lebih besar bagi kami," kata Andre Claasson, chief operating officer Zain untuk wilayah Sudan Selatan.
Dia mengakui, biaya operasional sebuah menara jaringan di pedesaan selalu lebih besar dari pendapatan yang diperoleh oleh operator. Kasarnya, operator merugi.
Sementara itu, kebutuhan menara BTS untuk memancarkan sinyal masih diperlukan. Saat ini, di Afrika tersebar sekitar 170 ribu menara seluler.
Menurut perusahaan menara IHS Group, Afrika membutuhkan 60 ribu menara tambahan, dengan rata-rata investasi US$200 ribu, setara Rp2 miliar per BTS, dengan ongkos operasional US$2.000 per bulan.
Artinya, para operator perlu merogoh kocek sebesar US$12 miliar, atau setara Rp117 triliun, untuk memenuhi kebutuhan seluler di Afrika sampai merata.
"Jika operator diminta untuk mengeluarkan US$200 ribu untuk membangun sebuah menara, hanya untuk melayani daerah dengan 500 orang peternak, itu sama sekali tidak masuk akal," kata Issam Darwish, kepala eksekutif IHS.
Operasional yang mahal juga tak didukung dengan pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) yang rendah, antara US$1 (setara Rp9.700) hingga US$10 (Rp97.000) per bulan.
Solusi sementara, yaitu operator bisa berhemat dengan opsi berbagi menara dengan operator lain. Sebab, ekspansi telekomunikasi seluler di Afrika belum murah bagi para penyelenggara.