Sunday 10 February 2013

MAHFUD MD : Jika Yang Lain Tidak Hebat Amat, Saya Bersedia Jadi Capres

Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD
Partai-partai dan organisasi masyarakat Islam mulai banyak menjagokan Prof. Dr. Mahfud MD sebagai calon presiden di Pemilu 2014 mendatang. Dalam beberapa survei, Mahfud mengumpulkan suara sejajar, bahkan melebihi, tokoh-tokoh partai yang selama ini selalu menghiasi bursa capres.

Namun, pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957 ini, belum juga menyalakan lampu hijau. Dia mengaku belum percaya diri untuk maju sebagai calon RI-1. Meski sudah ada desakan dari sejumlah tokoh Islam dalam pertemuan di kediaman Amien Rais, beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi ini masih bergeming.

Mahfud, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, meraih gelar doktornya pada tahun 1993 dari Universitas Gadjah Mada. Namanye melenting setelah diangkat (alm) Presiden Abdurrahman Wahid seperti Menteri Pertahanan.
Baru-baru ini, Mahfud menerima wartawan VIVAnews, Arief Hidayat, di ruang kerjanya untuk sebuah wawancara khusus.Berikut petikannya:
Seandainya ada partai politik yang serius mengusung Anda sebagai capres, Anda siap?
Rabu malam, 30 Januari 2013, ada pertemuan ormas-ormas di rumah Pak Amien Rais. Tokoh-tokoh ormas Islam dan beberapa tokoh partai datang. Ada yang dari PAN, PPP, PKB, Muhammadiyah, NU, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Saya ditegur oleh banyak orang, antara lain Pak Amidhan (MUI), Pak Saleh Daulay (Muhammadiyah), dan Imam Addaruqutni (tokoh Muhammadiyah).

Mereka menegur saya, bertanya kenapa saya terkesan tidak percaya diri. Mereka bilang, "Kalau sudah didukung masyarakat, tidak ada alasan tidak didukung partai. Apalagi karena masalah uang. Itu akan datang sendiri. Kita butuh pemimpin yang jelas: kapasitas, kompetensi, dan integritasnya. Maka, kami protes karena Pak Mahfud tidak percaya diri."

Jawaban Anda?
Saya katakan sebenarnya saya ingin mengajak orang untuk bisa mengukur diri. Saya mencoba mengukur diri. Saya bukan tidak bersedia, tapi saya katakan untuk saat ini saya memang tidak percaya diri. Karena, pertama, belum waktunya. Masih panjang perjalanan menuju ke sana.

Alasan yang kedua, saya melihat orang ingin menjadi presiden bukan karena mampu menjadi presiden. Nah, kalau saya, tahu diri. Meski begitu, pada saatnya mungkin saya akan menyatakan bersedia kalau berhadapan dengan orang yang sama-sama tidak tahu diri. Begitu saja. Sekarang, kalau ada orang tahu diri, silakan saja.
Ada orang dapat fasilitas tiba-tiba, tanpa berjuang, kok mau jadi presiden. Ada orang yang hanya nyanyi-nyanyi, ingin jadi presiden. Ada orang hanya berkoar-koar di dialog interaktif, ingin jadi presiden... hahaha. Saya malu kalau begitu. Tapi, saya tidak menutup kemungkinan itu.

Maka, saya sekarang selalu memonitor. Bahkan, saya punya tim kecil untuk memonitor perkembangan. Ini bukan tim pencapresan, tapi untuk memonitor agar nanti bisa memberikan bahan untuk saya.

Kalau calonnya sama-sama saja, ya mungkin harus dengan sedih saya akan mengatakan "iya" pada saatnya nanti. Sedih, karena saya tahu saya tidak hebat. Tetapi, karena yang lain juga tidak hebat-hebat amat, kalau saya didorong, ya pada saatnya saya mungkin bersedia juga.
Kapan Anda akan memutuskan?
Sesudah 31 Maret 2013 (setelah Mahfud pensiun dari Mahkamah Konstitusi), saya akan tegas mengatakan iya atau tidak. Karena di dalam politik itu kalau tanggung-tanggung malah ditabrak. Kalau mau, berani nabrak atau ke pinggir.

Saya tahu karena saya pernah di politik. Tapi, sekarang saya punya tanggung jawab moral pada lembaga ini (MK) untuk bersungguh-sungguh mengemban amanat dengan baik.

Bung Karno itu diasingkan bertahun-tahun. Bung Hatta diasingkan ke mana-mana, sampai masuk penjara. Setelah itu, mereka baru bisa menjadi presiden.
Saya kok merasa kecil sekali dibandingkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang begitu hebat. Saya merasa tidak pantas kalau tiba-tiba kok mau menjadi presiden. Itu lho yang saya katakan sebenarnya.

Seandainya ada partai yang serius mengusung Anda, apa syarat Anda?
Syaratnya punya kesamaan visi, bahwa kita akan menyelamatkan Indonesia, bukan membangun Indonesia. Karena menurut saya konsep pembangunannya sudah jelas. Tapi, Indonesia terancam hancur karena korupsi dan lemahnya penegakan hukum. Itu harus menjadi komitmen yang sama. Syaratnya itu. Artinya, idealisme harus sama, bahwa kita mau menyelamatkan Indonesia, bukan mau merebut kekuasaan.

Transaksi memang wajar dalam politik, tapi jangan masuk ke area idealisme dan visi. Jangan tawar-menawar di situ. Kalau soal bagi-bagi kekuasaan di kabinet, misalnya, itu wajar. Tapi program penegakan hukum dan pemerintahan yang bersih harus menjadi visi yang sama.

Apa itu mungkin dengan karakter partai politik di Indonesia yang begitu pragmatis?
Oh, belum tentu... belum tentu. Karakter partai politik itu bergantung pada situasi dan kepemimpinannya juga. Saya kira, masih banyak partai politik yang bisa diajak bagus. Itu bergantung pada situasi dan kepemimpinannya.

Kalau Anda tanya kepada saya partai politik mana yang paling bagus, menurut saya di Indonesia tidak partai politik yang bagus dan jelek. Semua sama. Semua partai di Indonesia memiliki tokoh-tokoh yang bersih sekaligus yang korup.
Anda mengenal PKS yang dikenal bersih, tapi ternyata seperti itu. Saya percaya itu karena yang menangkap adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK, kalau menangkap berdasarkan bukti yang kuat. Dia (mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq) pasti sudah dibuntuti KPK dari hari ke hari. Bahkan, semua percakapan dan agendanya dicatat. Jadwal pertemuannya pun sudah direkam semua. Jadi, di pengadilan nanti, ketika diperdengarkan tidak bisa mengelak. Kalau pun ada yang meragukan itu belum ada buktinya, saya yakin nanti itu akan muncul. (Baca kasus Luthfi di sini)
Saya ingin katakan sekarang tidak usah membedakan partai politik karena visinya, apalagi karena agama. Saya sebetulnya berat kalau mengatakan "partai agama tidak laku". Di Indonesia sekarang tidak ada partai agama. Mana ada partai agama?
PAN, bukan. PKB, bukan. PKS juga sudah terbuka. Orang yang paling alim pun tidak ada di partai yang disebut partai agama dan orang yang jahat juga ternyata ada di partai agama. Maka, saya sekarang melihat tidak ada partai agama.
Semua sama. Golkar itu partai nasionalis sekaligus agamis. PPP juga begitu, Islamis sekaligus nasionalis. PKB juga sama. Jadi, sekarang kita cari visi tokohnya, bukan visi partainya. Kalau visi partai, semua sama. Coba baca isi AD/ART partai-partai itu, isinya sama semua: ingin membangun Indonesia, tidak ada yang ingin menghancurkan Indonesia.

Jadi, jika ada partai yang mencalonkan Anda, Anda akan melihat pemimpinnya dulu?
Iya, tokohnya. Tokoh itu nanti yang akan menentukan ke arah mana partai itu akan berjalan.

Di antara partai-partai yang ada sekarang, apa Anda melihat ada pemimpin partai yang cocok?
Saya belum bisa menilai itu. Nanti saja. Yang penting, kebaikan itu tidak dapat diidentikkan dengan satu partai, begitu juga dengan kejelekan atau keburukan. Di semua partai ada tokoh yang jahat, korup; tapi juga ada partai yang tokohnya sangat bersih dan punya komitmen penuh terhadap kebaikan Indonesia. Sama saja semua. Yang membedakan, ada partai yang pemimpinnya bagus, yang hadir di saat dibutuhkan keputusan-keputusan penting.

Partai mana saja yang telah menjalin komunikasi dengan Anda soal capres atau calon wapres?
Hampir semua.

Katanya, yang agak intensif dengan Golkar. Apa benar?
Nggak juga. Saya berhubungan dengan semua. Saya dengan PKB bertemu, dengan Gerindra bertemu, dengan PDIP juga bertemu, dengan Golkar juga bertemu.

Ini bertemu dalam pengertian bagaimana?
Ya, bertemu saja, termasuk bergurau soal capres dan cawapres. Kan itu tidak bisa disembunyikan. Sudah dimuat di koran-koran. Misalnya, Golkar berkali-kali bilang--seperti dikatakan Nurul Arifin--Mahfud adalah prioritas utama. Itu sudah ditulis semua koran, sehingga tidak bisa disembunyikan. PKB kan juga begitu di koran. Partai Nasdem juga begitu.
Intinya, semua partai sudah bicara, ketemu. Tapi, sampai sekarang saya belum terikat kepada siapa pun, dalam hal apa pun. Kan belum waktunya, dan tidak ada gunanya bicara seperti itu. Saya tidak boleh bicara soal itu dulu karena saya adalah Ketua MK.
Partai juga begitu karena sekarang belum Pemilu. Belum tentu mereka punya suara yang cukup nanti. Belum tentu juga mereka hanya bicara dengan saya. Tidak menutup kemungkinan mereka bicara dengan yang lain. Menurut saya ini bagus. Kita sekarang punya kebebasan untuk mencalonkan atau dicalonkan.
Soal pragmatisme partai apa sudah Anda pertimbangkan?
Sekarang begini, apa ada partai yang tidak pragmatis? Contoh: seperti PKS yang sampai kemarin masih dikenal sebagai "partai putih"--meski isunya sudah lama, tapi kita masih menganggapnya "putih". Sekarang ini langsung menusuk ke jantungnya, langsung ketua umumnya.
Saya berpikir, wah, berat juga kalau begini. Saya sedih mendengarnya karena sebenarnya saya ingin berkampanye di luar negeri: kami punya partai bagus. Saya selalu mengatakan "PKS itu bagus, lho. Organisasinya bagus, pengikutnya selalu linear dengan pimpinannya, dan bersih".
Tiba-tiba, sekarang langsung ketua umumnya yang kena. Dan karena KPK yang menangkap, menurut saya jelas ini bukan politis. Ini hasil penangkapan yang profesional, sudah dibuntuti berbulan-bulan. Kasus daging sapi ini sudah dimuat di koran-koran lebih dari setahun lalu, dan sejak itu dibuntuti terus. Ini bukan main-main.