Jika ingin menghayati keterasingan sebuah kampung di pinggir Jakarta,
maka melawatlah ke Sewan Lebak Wangi, di Kecamatan Neglasari,
Tangerang. Kesenyapan menyergap. Tak terdengar deru kendaraan dari
jalan raya. Tak ada asap knalpot yang membuat dada sesak.
Terletak
di pintu air Sungai Cisadane, kampung itu seperti siap bercerita
tentang dirinya sejak di pintu gerbang. Ada gapura merah bertuliskan
“Perkumpulan Tjong Tek Bio”. Sebuah jalan setapak dengan semen cetak
bersusun membelah perkampungan itu.
Rumah-rumah warga terpacak
dengan begitu sederhana. Hanya segelintir yang punya mobil terparkir di
garasi. Di teras rumah, warga keturunan Tionghoa bercengkerama.
Anjing-anjing berkeliaran.
Hampir di setiap pekarangan rumah kita
temukan secarik kertas kuning menempel dengan goresan aksara China.
Atau di sudut rumah yang sempit itu selalu ada jambangan kecil penuh
hio, dan beberapa batang lilin, menemani sebingkai foto dari seseorang
yang telah meninggal.
Warga kampung ini memang mayoritas
keturunan Tionghoa. Tapi berbeda dengan Tionghoa kebanyakan, mereka
punya sebutan khusus: “China Benteng”. Sebuah klenteng besar di tengah
kampung, Hong Tek Tjeng Sin—ini klenteng tertua ketiga di Tangerang
berdiri sejak 1830, seakan menjadi saksi bagi sejarah kampung itu.
China
Benteng adalah potret lain dari gambaran klise tentang warga Tionghoa.
Kian merasuk ke dalam kampung, kemiskinan menyapa akrab. Rumah
berdinding semen kian jarang. Menyeruak rumah-rumah kecil berdinding
gedhek dan bertiang bambu. Saling berhimpitan, dan tak menyisakan
celah. Gang sempit itu terasa kian sesak.
Menyuruk ke belakang,
berjejer rumah di sepanjang aliran sungai. Banyak keluarga menetap di
tepi sungai itu. Mereka mandi, membuang sampah, dan mencuci di sana.
Saat dikunjungi VIVAnews,
beberapa warga tampak membersihkan ikan bandeng di tepian sungai.
“Untuk persiapan Imlek,” kata mereka. Harus sedikit hati-hati berada di
tepi sungai itu. Di titik tertentu baru saja terjadi bantaran kali yang
longsor.
Kian ke dalam, jalanan kampung bersemen cetak itu kian
menyempit. Di ujungnya hanya tinggal jalan setapak yang hanya muat
dilalui satu sepeda motor. Sisanya, adalah sepotong jalan tanah yang
becek saat terendam air. Seringkali saat hujan mengguyur deras,
tanah-tanah becek di tepi sungai itu ambrol ke bawah.
Jalan semen
cetak bersusun atau paving blok itu sendiri baru dipasang sekitar 2005
lalu. Dia memberikan sentuhan kerapian yang kontras dengan centang
perenang rumah warga. Bilik-bilik kumuh itu selalu terancam banjir
karena letaknya dengan sungai hanya selangkah saja.
Di tepi
sungai itu, ada sebuah rumah kecil. Penghuninya seorang lelaki berusia
86 tahun. Namanya Suhadi alias Cin Siu. Rumah itu berada paling depan,
terbuat dari bambu, dan siap menyambut siapa saja yang menginjakkan kaki
ke kampung di bantaran sungai itu.
Sudah puluhan tahun Suhadi
berdiam di sana. Di bagian depan, ada plang besi bertuliskan “Ketua RT
Sewan Lebak Wangi RT 002/04”. Dulu, ia memang Ketua RT. Namun jabatan
itu kini dilengserkan pada salah satu dari 17 putranya.
Di
samping rumah, lelaki kurus itu memelihara ayam dan kambing. Mereka
diletakkan dalam dua kandang berbeda. Tepat di samping kandang, Sungai
Cisadane mengalir deras.
Suhadi adalah saksi hidup berkembangnya perkampungan Sewan Lebak Wangi.
Imlek seorang veteran
Suhadi
bercerita, dia adalah seorang veteran perang saat “babat alas” di Sewan
Lebak Wangi. Tahun 1951, ia baru pulang dari sebuah pertempuran di
tanah Papua. Tapi kembali ke Jakarta, membuatnya gusar. Ia tak punya
tempat tinggal.
Berbekal seragam veteran dan senjata otomatis di
pinggang, ia menghadap orang penting kala itu. Suhadi meminta izin, agar
boleh dibiarkan tinggal di bantaran Sungai Cisadane. “Dijawab, silakan
saja,” ujar Suhadi menirukan ucapan si orang penting.
Ia mengaku
sebagai orang pertama yang mendirikan rumah di sana. Rumah itu sudah
tiga kali mengalami perbaikan. Sederhana, hanya terbuat dari bilah-bilah
bambu. Atapnya dedaunan kering, alasnya tanah. Persis rumah di desa
terpencil.
Bertahun-tahun rumah itu menjadi tempatnya bernaung
bersama istri, yang kemudian meninggal tahun 2005. Foto mendiang
istrinya, masih dipajang di meja ruang utama. Di kanan kiri foto, ada
lampu berbentuk lilin. Di pucuknya ada bohlam merah, terkesan seperti
api lilin yang biasa dipakai bersembahyang.
Tepat di depan foto,
ada tempat meletakkan hio. Abunya sudah menumpuk. Seikat hio disediakan
di sampingnya. Tiap hari, Suhadi mendoakan istrinya dengan hio itu.
Tapi
dengan cepat kita bisa membaca kemiskinan yang menusuk. Di meja
sembahyang itu, tak ada persembahan mencolok. Di depan foto istri
Suhadi tak ada setumpuk jeruk, pisang, atau apel, seperti laiknya
sebuah altar. Yang ada hanya segelas plastik air mineral, dengan sebuah
sedotan.
Ia memang seorang veteran yang miskin. Setelah tak
lagi jadi pejuang, ia bekerja serabutan, mengerjakan apa saja yang
membutuhkan kekuatan fisik. Memenuhi permintaan orang-orang, dipanggil
ke sana kemari. Tapi karena badannya mulai lapuk oleh usia, ia berhenti
jadi pekerja kasar.
Bapak 17 anak itu kini hanya berdagang obat.
Semacam teh pahit yang terbuat dari rebusan tanaman herbal. “Penyakit
apa saja, bisa sembuh. Mau coba?” ujarnya sambil menawarkan rebusan teh
itu kepada VIVAnews.
Ia butuh waktu sehari semalam
meracik ramuan. Bahannya ia pesan dari tukang becak langganan. Suhadi
sendiri sudah tak mungkin berkeliling mencari tumbuhan yang dibutuhkan.
Sekali meracik, ia bisa membuat beberapa botol ramuan. Satu botol
dihargai Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. “Seikhlasnya yang ngasih,” ia
menyebutkan.
Tapi, pembeli tak datang setiap hari. Botol –botol itu hanya kadang-kadang saja laku.
Seni
meracik ramuan itu, didapat Suhadi dari kakeknya yang juga keturunan
Tionghoa. Daripada mengandalkan uang pensiun veteran yang kecil, ia
memilih berjualan obat. Di depan rumahnya ada spanduk besar bertuliskan
“Di Sini Sedia Ramuan Tradisional untuk Menyembuhkan Segala Macam
Penyakit”.
Sehari-hari, jika obatnya tak ada yang laku, Suhadi
menumpang hidup pada anak-anaknya. Sayangnya, ekonomi mereka pun tak
lebih baik dari dirinya.
Seorang anaknya berjualan barang
kelontong di serambi rumah. Kopi, makanan ringan, sampai tali rafia.
Kehidupan ekonomi di kampung itu memang seret. Di kedai itu sebuah
tulisan menempel dengan huruf tegas, atau mungkin terpaksa: “Tidak Boleh
Utang”.
Iwan Kosasih alias Lim Cun Siong, anak keempat Suhadi,
pernah bekerja di pabrik pembuatan jok atau sofa kulit, di Pulogadung
tahun 1988. Tapi Indoensia dihantam krisis moneter pada tahun 1997.
Iwan diberhentikan bersama ratusan pekerja lain. Ia sempat berdagang kue
basah, tapi hanya sebentar. Kini, Iwan pengangguran.
Kondisi kekurangan itu membuat Suhadi sekeluarga tak merasakan euforia perayaan tahun baru China alias Imlek.
Di
rumahnya, tak ada yang menunjukkan identitas Tionghoa selain lampu
lilin dan hio di sekitar foto sang istri. Juga selembar kertas kuning
bertuliskan huruf China yang ditempel di atas pintu rumah. Kata Suhadi,
itu untuk berkat keselamatan.
“Dulu sih beli apel, rambutan,
jeruk, pisang, roti baso, dan kue-kue. Tapi sekarang paling hanya sedia
kue satu,” ujar Iwan. Hidangan seperti ikan bandeng pun ia usahakan
tetap ada.
Hanya saja, itu butuh uang ekstra. “Cari uangnya harus
disiapkan dari bulan-bulan sebelumnya,” ia melanjutkan. Iwan bekerja
serabutan untuk itu. Suhadi sebenarnya sudah memeluk agama Islam sejak
lama. Iwan sendiri, di KTP-nya tertera beragama Buddha. Tapi karena
leluhur mereka Tionghoa, Imlek tetap dirayakan. Caranya saja yang lebih
sederhana.
“Paling jam 12 malam sembahyang di depan Ibu. Dia
Islam, tapi mau dimakamkan secara Buddha. Selain itu, seringnya cuma
nonton barongsai di klenteng. Pernah juga ada tanggapan orkes dangdut.
Kalau mampu, beli lilin,” ucapnya.
Di Kampung Sewan Lebak Wangi,
perayaan Imlek tak semeriah di kota-kota besar. Meski 98 persen dari 70
kepala keluarga di sana adalah warga keturunan Tionghoa, mereka hidup di
bawah garis kemiskinan. Hanya segelintir warga yang mampu keluar dari
lingkar kemiskinan, dan berhasil berdagang.
Untuk
menyambut Imlek, mereka mengandalkan bantuan dari klenteng tertua
ketiga di Tangerang, Hok Tek Tjeng Sin. Saat dikunjungi VIVAnews, Senin, 27 Januari 2014, Suhadi dan warga bantaran sungai lainnya sibuk mengantre pembagian sembako di klenteng.
Menurut
Ong Akiang alias Saldi, salah satu pengurus klenteng, menjelang Imlek,
klenteng itu banjir sedekah dari keluarga mampu untuk warga bantaran
kali. Yang dibagikan adalah bahan makanan. “Dan juga angpao. Mereka
kebanyakan bekerja sebagai nelayan, pemulung. Ada yang pengangguran,”
ujar Ong.
Kalaupun ada warga yang cukup mampu di Sewan Lebak
Wangi, itu karena latar belakang keluarga mereka sejak lama. Berbeda
dengan warga bantaran, yang sudah turun temurun terbelit kemiskinan.
“Sekarang
beli lilin yang besarnya 200 kati saja harganya Rp2,4 juta. Itu
dinyalakan saat Imlek sebagai isyarat penerangan di tahun depan. Yang
seperti itu paling dari donator saja,” kata Akiang melanjutkan.
Memang,
tak terlihat persiapan Imlek khusus di rumah-rumah warga, khususnya di
bantaran sungai. Tak ada semarak merah yang menjadi ikon Imlek.
Akar kemiskinan
Orang-orang
Tionghoa datang ke Tangerang pada abad ke-15. Data dari Museum Benteng
Heritage menyebutkan, pendaratan pertama warga Tionghoa di Tangerang
terjadi sekitar tahun 1407. Mereka dipimpin Chen Ci Lung, dan termasuk
rombongan Armada Cheng Ho
Saat
itu mereka membaur dengan warga pribumi. “Mereka kemudian jadi anak
tuan tanah karena perkawinan lokal dengan tuan tanah Betawi,” kata Thung
Ju Lan, peneliti China Benteng di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
Karena kawin campur itulah, mereka disebut China Benteng.
Apalagi, menurut Oey Tjin Eng, juru bicara Klenteng Boen Tek Bio di
Pasar Lama Tangerang, mereka tinggal di dekat Benteng Makasar.
Selain
itu, sebutan China Benteng juga didasari perbedaan warna kulit dengan
warga Tionghoa lainnya. Secara fisik, warga China Benteng berkulit lebih
hitam. Matanya tak semua sipit.
Ju Lan menambahkan, keseharian
warga China Benteng pun mirip pribumi. Mereka tak lagi berbahasa
Mandarin, melainkan Betawi. “Mereka juga potong rambut dan pakai
sarung,” ujarnya menambahkan.
Kemiskinan mulai melanda warga
China Benteng pada abad ke-19. Saat itu, kolonial Belanda memberlakukan
hierarki terhadap warga jajahannya. Sejak itu, keturunan Tionghoa mulai
terjepit.
Terdesak secara ekonomi, mereka lalu menjual tanah
kepada sesama China yang datang tahun 1870-an. Belakangan, para
pendatang jadi tuan tanah baru. Bedanya dengan China Benteng, mereka
masih “totok”. Kulit lebih putih, dan mata lebih sipit.
Akhirnya,
pada abad ke-19 China Benteng dan peranakannya jatuh. Kondisi itu
bertahan hingga kini. “Mereka nelayan dan petani. Belakangan, banyak
yang juga kuli. Karena mereka sudah kehilangan tanah,” ujar Ju Lan
menjelaskan.
Iwan yang merupakan warga keturunan mengaku, terlalu
banyak bertani jugalah yang menyebabkan warna kulit mereka lebih legam
daripada China asli.
Tapi percampuran warga Tionghoa dengan
pribumi menghasilkan budaya unik. Saat pernikahan misalnya, perempuan
Betawi biasanya menggunakan kembang goyang. Sedang lelaki Tionghoa
memakai topi dengan rambut yang dikuncir.
Kata Akiang, cokek dan
musik gambang keromong juga hasil kawin budaya pribumi dan Tionghoa.
Bahkan lontong cap gomeh pun demikian. “Orang Tionghoa itu nggak bisa
bikin lontong. Yang bisa ya pribumi,” ucapnya.
Walikota
Tangerang, Arief Wismansyah mencatat hingga kini masyarakat China
Benteng di Tangerang mencapai 300 ribuan. Mereka tersebar di tiga
kecamatan: Karawaci, Neglasari, dan Tangerang.
Arief menyebutkan,
bantaran Sungai Cisadane menjadi pilihan tempat tinggal karena banyak
warga China Benteng melarikan diri saat terjadi pemberontakan tahun
1740. “Pemberontakan itu menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier
untuk menangkap orang China yang dicurigai,” katanya. Jika tertangkap,
mereka dikirim ke Sri Langka untuk bekerja di perkebunan VOC.
Para
warga keturunan Tionghoa pun mengungsi. Mereka bersembunyi di beberapa
kantong Kabupaten Tangerang, termasuk Mauk, Serpong, Cisoka, Legok,
Teluk Naga, dan Kosambi.
Terancam digusur
Di
tengah Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya dicekam banjir
tatkala musim hujan, bantaran sungai menjadi sasaran pembenahan.
Keputusan Suhadi dan warga China Benteng lain tinggal di bantaran Sungai
Cisadane pun menuai kontroversi. Peraturan baru muncul: bantaran sungai
tak boleh ditinggali.
Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar
memegang teguh aturan itu. Menurutnya, tanpa memojokkan etnis tertentu,
siapapun tak boleh menempati tepian sungai. “Sekarang ini tidak saja
warga China Benteng, pribumi pun banyak. Bila menyalahi aturan, kami
bisa tertibkan,” kata Arief, Walikota Tangerang pada VIVAnews.
Menurut
Ju Lan selaku peneliti, itu kasus yang umum terjadi. Sebab, para warga
itu tak ada yang punya sertifikat tanah. Jangankan itu, Iwan, putra
Suhadi pun tak punya surat menikah karena statusnya yang warga
keturunan.
Alasan lainnya, mereka merasa tanah ditempati
turun-temurun itu sudah menjadi hak milik. Sebenarnya, kata Ju Lan,
masalah akan beres jika pemerintah mengurusnya sejak awal. “Pemerintah
juga menganut azas warga negara aktif. Artinya, semua harus dimohonkan
secara aktif. Warga juga berhak mengajukan kepemilikan tanah,” katanya.
Untuk
kaum berpendidikan, mungkin itu hal mudah. Mereka juga beruang. Tapi
bagi warga China Benteng yang tinggal di bantaran, itu adalah soal
rumit. Seharusnya, kata Ju Lan, pemerintah bisa menggratiskan surat
untuk warga miskin. Atau, memberi kompensasi atas kepindahan mereka.
Namun,
yang dirasakan Suhadi justru sebaliknya. “Kalau dikasih duit, saya
pergi sekarang juga. Tapi nggak ada respons,” ujar Suhadi.
Tentu,
ada kerisauan lain di balik rencana penggusuran. Bagi warga China
Benteng, mereka bersiap budaya khas Tionghoa bakal tergerus. Misalnya
tradisi Pe Chun, upacara meninggikan arwah seorang menteri Tiongkok yang
tak ketahuan rimbanya setelah diculik itu. Atau cokek, atau musik
gambang keromong.
Tak jelas kemana kelak warga China Benteng akan pergi.
Di
sisi rumah Suhadi, arus Sungai Cisadane mengalir deras di musim hujan
ini. Airnya meliuk-liuk lalu lenyap dari pandangan ditelan bangunan
kumuh. Dan kampung itu pun terasa kian terasing.