Saturday, 1 February 2014

KISAH PILU DAN HIKAYAT KEMISKINAN CHINA BENTENG DI TANGERANG

Jika ingin menghayati keterasingan sebuah kampung di pinggir Jakarta, maka melawatlah ke Sewan Lebak Wangi, di Kecamatan Neglasari, Tangerang.  Kesenyapan menyergap. Tak terdengar deru kendaraan dari jalan raya. Tak ada asap knalpot yang membuat dada sesak.

Terletak di pintu air Sungai Cisadane, kampung itu seperti siap bercerita tentang dirinya sejak di pintu gerbang. Ada gapura merah bertuliskan “Perkumpulan Tjong Tek Bio”. Sebuah jalan setapak dengan semen cetak  bersusun membelah perkampungan itu.

Rumah-rumah warga terpacak dengan begitu sederhana. Hanya segelintir yang punya mobil terparkir di garasi. Di teras rumah, warga keturunan Tionghoa bercengkerama. Anjing-anjing berkeliaran.

Hampir di setiap pekarangan rumah kita temukan secarik kertas kuning menempel dengan goresan aksara China. Atau di sudut rumah yang sempit itu selalu ada jambangan kecil penuh hio, dan beberapa batang lilin, menemani sebingkai foto dari seseorang yang telah meninggal.

Warga kampung ini memang mayoritas keturunan Tionghoa. Tapi berbeda dengan Tionghoa kebanyakan, mereka punya sebutan khusus: “China Benteng”. Sebuah klenteng besar di tengah kampung, Hong Tek Tjeng Sin—ini klenteng tertua ketiga di Tangerang berdiri sejak 1830, seakan menjadi saksi bagi sejarah kampung itu.

China Benteng adalah potret lain dari gambaran klise tentang warga Tionghoa. Kian merasuk ke dalam kampung, kemiskinan menyapa akrab. Rumah berdinding semen kian jarang. Menyeruak rumah-rumah kecil berdinding gedhek dan bertiang bambu.  Saling berhimpitan, dan tak menyisakan celah. Gang sempit itu terasa kian sesak.

Menyuruk ke belakang,  berjejer rumah di sepanjang aliran sungai. Banyak keluarga menetap di tepi sungai itu.  Mereka mandi, membuang sampah, dan mencuci di sana.

Saat dikunjungi VIVAnews, beberapa warga tampak membersihkan ikan bandeng di tepian sungai. “Untuk persiapan Imlek,” kata mereka. Harus sedikit hati-hati berada di tepi sungai itu. Di titik tertentu baru saja terjadi bantaran kali yang longsor.

Kian ke dalam, jalanan kampung bersemen cetak itu kian menyempit. Di ujungnya hanya tinggal jalan setapak yang hanya muat dilalui satu sepeda motor. Sisanya, adalah sepotong jalan tanah yang becek saat terendam air.  Seringkali saat hujan mengguyur deras, tanah-tanah becek di tepi sungai itu ambrol ke bawah.

Jalan semen cetak bersusun atau paving blok itu sendiri baru dipasang sekitar 2005 lalu. Dia memberikan sentuhan kerapian yang kontras dengan centang perenang rumah warga. Bilik-bilik kumuh itu selalu terancam banjir karena letaknya dengan sungai hanya selangkah saja.

Di tepi sungai itu, ada sebuah rumah kecil. Penghuninya seorang lelaki berusia 86 tahun. Namanya Suhadi alias Cin Siu. Rumah  itu berada paling depan, terbuat dari bambu, dan siap menyambut siapa saja yang menginjakkan kaki ke kampung di bantaran sungai itu.

Sudah puluhan tahun Suhadi berdiam di sana. Di bagian depan, ada plang besi bertuliskan “Ketua RT Sewan Lebak Wangi RT 002/04”. Dulu, ia memang Ketua RT. Namun jabatan itu kini dilengserkan pada salah satu dari 17 putranya.

Di samping rumah, lelaki kurus itu memelihara ayam dan kambing. Mereka diletakkan dalam dua kandang berbeda. Tepat di samping kandang, Sungai Cisadane mengalir deras.

Suhadi adalah saksi hidup berkembangnya perkampungan Sewan Lebak Wangi.

Imlek seorang veteran

Suhadi bercerita, dia adalah seorang veteran perang saat “babat alas” di Sewan Lebak Wangi. Tahun 1951, ia baru pulang dari sebuah pertempuran di tanah Papua. Tapi kembali ke Jakarta, membuatnya gusar. Ia tak punya tempat tinggal.

Berbekal seragam veteran dan senjata otomatis di pinggang, ia menghadap orang penting kala itu. Suhadi meminta izin, agar boleh dibiarkan tinggal di bantaran Sungai Cisadane. “Dijawab, silakan saja,” ujar Suhadi menirukan ucapan si orang penting.

Ia mengaku sebagai orang pertama yang mendirikan rumah di sana. Rumah itu sudah tiga kali mengalami perbaikan. Sederhana, hanya terbuat dari bilah-bilah bambu. Atapnya dedaunan kering, alasnya tanah. Persis rumah di desa terpencil.

Bertahun-tahun rumah itu menjadi tempatnya bernaung bersama istri, yang kemudian meninggal tahun 2005. Foto mendiang istrinya, masih dipajang di meja ruang utama. Di kanan kiri foto, ada lampu berbentuk lilin. Di pucuknya ada bohlam merah, terkesan seperti api lilin yang biasa dipakai bersembahyang.

Tepat di depan foto, ada tempat meletakkan hio. Abunya sudah menumpuk. Seikat hio disediakan di sampingnya. Tiap hari, Suhadi mendoakan istrinya dengan hio itu.

Tapi dengan cepat kita bisa membaca kemiskinan yang menusuk. Di meja sembahyang itu, tak ada persembahan mencolok. Di depan foto istri Suhadi  tak ada setumpuk jeruk, pisang, atau apel, seperti  laiknya sebuah altar.  Yang ada hanya segelas plastik air mineral, dengan sebuah sedotan.

Ia memang seorang veteran yang miskin. Setelah tak lagi jadi pejuang, ia bekerja serabutan, mengerjakan apa saja yang membutuhkan kekuatan fisik. Memenuhi permintaan orang-orang, dipanggil ke sana kemari. Tapi karena badannya mulai lapuk oleh usia, ia berhenti jadi pekerja kasar.

Bapak 17 anak itu kini hanya berdagang obat. Semacam teh pahit yang terbuat dari rebusan tanaman herbal. “Penyakit apa saja, bisa sembuh. Mau coba?” ujarnya sambil menawarkan rebusan teh itu kepada VIVAnews.

Ia butuh waktu sehari semalam meracik ramuan. Bahannya ia pesan dari tukang becak langganan. Suhadi sendiri sudah tak mungkin berkeliling mencari tumbuhan yang dibutuhkan. Sekali meracik, ia bisa membuat beberapa botol ramuan. Satu botol dihargai Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. “Seikhlasnya yang ngasih,” ia menyebutkan.

Tapi, pembeli tak datang setiap hari. Botol –botol itu hanya kadang-kadang saja laku.

Seni meracik ramuan itu, didapat Suhadi dari kakeknya yang juga keturunan Tionghoa. Daripada mengandalkan uang pensiun veteran yang kecil, ia memilih berjualan obat. Di depan rumahnya ada spanduk besar bertuliskan “Di Sini Sedia Ramuan Tradisional untuk Menyembuhkan Segala Macam Penyakit”.

Sehari-hari, jika obatnya tak ada yang laku, Suhadi menumpang hidup pada anak-anaknya. Sayangnya, ekonomi mereka pun tak lebih baik dari dirinya.

Seorang anaknya berjualan barang kelontong di serambi rumah. Kopi, makanan ringan, sampai tali rafia. Kehidupan ekonomi di kampung itu memang seret. Di kedai itu sebuah tulisan menempel dengan huruf tegas, atau mungkin terpaksa: “Tidak Boleh Utang”.

Iwan Kosasih alias Lim Cun Siong, anak keempat Suhadi, pernah bekerja di pabrik pembuatan jok atau sofa kulit, di Pulogadung tahun 1988. Tapi Indoensia dihantam krisis moneter pada tahun 1997.  Iwan diberhentikan bersama ratusan pekerja lain. Ia sempat berdagang kue basah, tapi hanya sebentar. Kini, Iwan pengangguran.

Kondisi kekurangan itu membuat Suhadi sekeluarga tak merasakan euforia perayaan tahun baru China alias Imlek.

Di rumahnya, tak ada yang menunjukkan identitas Tionghoa selain lampu lilin dan hio di sekitar foto sang istri. Juga selembar kertas kuning bertuliskan huruf China yang ditempel di atas pintu rumah. Kata Suhadi, itu untuk berkat keselamatan.

“Dulu sih beli apel, rambutan, jeruk, pisang, roti baso, dan kue-kue. Tapi sekarang paling hanya sedia kue satu,” ujar Iwan. Hidangan seperti ikan bandeng pun ia usahakan tetap ada.

Hanya saja, itu butuh uang ekstra. “Cari uangnya harus disiapkan dari bulan-bulan sebelumnya,” ia melanjutkan. Iwan bekerja serabutan untuk itu.  Suhadi sebenarnya sudah memeluk agama Islam sejak lama. Iwan sendiri, di KTP-nya tertera beragama Buddha. Tapi karena leluhur mereka Tionghoa, Imlek tetap dirayakan. Caranya saja yang lebih sederhana.

“Paling jam 12 malam sembahyang di depan Ibu. Dia Islam, tapi mau dimakamkan secara Buddha. Selain itu, seringnya cuma nonton barongsai di klenteng. Pernah juga ada tanggapan orkes dangdut. Kalau mampu, beli lilin,” ucapnya.

Di Kampung Sewan Lebak Wangi, perayaan Imlek tak semeriah di kota-kota besar. Meski 98 persen dari 70 kepala keluarga di sana adalah warga keturunan Tionghoa, mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya segelintir warga yang mampu keluar dari lingkar kemiskinan, dan berhasil berdagang.   

Untuk menyambut  Imlek, mereka mengandalkan bantuan dari klenteng tertua ketiga di Tangerang, Hok Tek Tjeng Sin. Saat dikunjungi VIVAnews, Senin, 27 Januari 2014, Suhadi dan warga bantaran sungai lainnya sibuk mengantre pembagian sembako di klenteng.

Menurut Ong Akiang alias Saldi, salah satu pengurus klenteng, menjelang Imlek, klenteng itu banjir sedekah dari keluarga mampu untuk warga bantaran kali. Yang dibagikan adalah bahan makanan. “Dan juga angpao. Mereka kebanyakan bekerja sebagai nelayan, pemulung. Ada yang pengangguran,” ujar Ong.

Kalaupun ada warga yang cukup mampu di Sewan Lebak Wangi, itu karena latar belakang keluarga mereka sejak lama. Berbeda dengan warga bantaran, yang sudah turun temurun terbelit kemiskinan.

“Sekarang beli lilin yang besarnya 200 kati saja harganya Rp2,4 juta. Itu dinyalakan saat Imlek sebagai isyarat penerangan di tahun depan. Yang seperti itu paling dari donator saja,” kata Akiang melanjutkan.

Memang, tak terlihat persiapan Imlek khusus di rumah-rumah warga, khususnya di bantaran sungai. Tak ada semarak merah yang menjadi ikon Imlek.

Akar kemiskinan

Orang-orang Tionghoa datang ke Tangerang pada abad ke-15. Data dari Museum Benteng Heritage menyebutkan, pendaratan pertama warga Tionghoa di Tangerang terjadi sekitar tahun 1407. Mereka dipimpin Chen Ci Lung, dan termasuk rombongan Armada Cheng Ho 

Saat itu mereka membaur dengan warga pribumi. “Mereka kemudian jadi anak tuan tanah karena perkawinan lokal dengan tuan tanah Betawi,” kata Thung Ju Lan, peneliti China Benteng di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Karena kawin campur itulah, mereka disebut China Benteng. Apalagi, menurut Oey Tjin Eng, juru bicara Klenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama Tangerang, mereka tinggal di dekat Benteng Makasar.

Selain itu, sebutan China Benteng juga didasari perbedaan warna kulit dengan warga Tionghoa lainnya. Secara fisik, warga China Benteng berkulit lebih hitam. Matanya tak semua sipit.

Ju Lan menambahkan, keseharian warga China Benteng pun mirip pribumi. Mereka tak lagi berbahasa Mandarin, melainkan Betawi. “Mereka juga potong rambut dan pakai sarung,” ujarnya menambahkan.

Kemiskinan mulai melanda warga China Benteng pada abad ke-19. Saat itu, kolonial Belanda memberlakukan hierarki terhadap warga jajahannya. Sejak itu, keturunan Tionghoa mulai terjepit.

Terdesak secara ekonomi, mereka lalu menjual tanah kepada sesama China yang datang tahun 1870-an. Belakangan, para pendatang jadi tuan tanah baru. Bedanya dengan China Benteng, mereka masih “totok”. Kulit lebih putih, dan mata lebih sipit.

Akhirnya, pada abad ke-19 China Benteng dan peranakannya jatuh. Kondisi itu bertahan hingga kini. “Mereka nelayan dan petani. Belakangan, banyak yang juga kuli. Karena mereka sudah kehilangan tanah,” ujar Ju Lan menjelaskan.

Iwan yang merupakan warga keturunan mengaku, terlalu banyak bertani jugalah yang menyebabkan warna kulit mereka lebih legam daripada China asli.

Tapi percampuran warga Tionghoa dengan pribumi menghasilkan budaya unik. Saat pernikahan misalnya, perempuan Betawi biasanya menggunakan kembang goyang. Sedang lelaki Tionghoa memakai topi dengan rambut yang dikuncir.

Kata Akiang, cokek dan musik gambang keromong juga hasil kawin budaya pribumi dan Tionghoa. Bahkan lontong cap gomeh pun demikian. “Orang Tionghoa itu nggak bisa bikin lontong. Yang bisa ya pribumi,” ucapnya.

Walikota Tangerang, Arief Wismansyah mencatat hingga kini masyarakat China Benteng di Tangerang mencapai 300 ribuan. Mereka tersebar di tiga kecamatan: Karawaci, Neglasari, dan Tangerang.

Arief menyebutkan, bantaran Sungai Cisadane menjadi pilihan tempat tinggal karena banyak warga China Benteng melarikan diri saat terjadi pemberontakan tahun 1740. “Pemberontakan itu menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkap orang China yang dicurigai,” katanya. Jika tertangkap, mereka dikirim ke Sri Langka untuk bekerja di perkebunan VOC.

Para warga keturunan Tionghoa pun mengungsi. Mereka bersembunyi di beberapa kantong Kabupaten Tangerang, termasuk Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, Teluk Naga, dan Kosambi.

Terancam digusur

Di tengah Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya dicekam banjir tatkala musim hujan, bantaran sungai menjadi sasaran pembenahan. Keputusan Suhadi dan warga China Benteng lain tinggal di bantaran Sungai Cisadane pun menuai kontroversi. Peraturan baru muncul: bantaran sungai tak boleh ditinggali.

Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar memegang teguh aturan itu. Menurutnya, tanpa memojokkan etnis tertentu, siapapun tak boleh menempati tepian sungai. “Sekarang ini tidak saja warga China Benteng, pribumi pun banyak. Bila menyalahi aturan, kami bisa tertibkan,” kata Arief, Walikota Tangerang pada VIVAnews.

Menurut Ju Lan selaku peneliti, itu kasus yang umum terjadi. Sebab, para warga itu tak ada yang punya sertifikat tanah. Jangankan itu, Iwan, putra Suhadi pun tak punya surat menikah karena statusnya yang warga keturunan.

Alasan lainnya, mereka merasa tanah ditempati turun-temurun itu sudah menjadi hak milik. Sebenarnya, kata Ju Lan, masalah akan beres jika pemerintah mengurusnya sejak awal. “Pemerintah juga menganut azas warga negara aktif. Artinya, semua harus dimohonkan secara aktif. Warga juga berhak mengajukan kepemilikan tanah,” katanya.

Untuk kaum berpendidikan, mungkin itu hal mudah. Mereka juga beruang. Tapi bagi warga China Benteng yang tinggal di bantaran, itu adalah soal rumit. Seharusnya, kata Ju Lan, pemerintah bisa menggratiskan surat untuk warga miskin. Atau, memberi kompensasi atas kepindahan mereka.

Namun, yang dirasakan Suhadi justru sebaliknya. “Kalau dikasih duit, saya pergi sekarang juga. Tapi nggak ada respons,” ujar Suhadi.

Tentu, ada kerisauan lain di balik rencana penggusuran. Bagi warga China Benteng, mereka bersiap budaya khas Tionghoa bakal tergerus. Misalnya tradisi Pe Chun, upacara meninggikan arwah seorang menteri Tiongkok yang tak ketahuan rimbanya setelah diculik itu. Atau cokek, atau musik gambang keromong.

Tak jelas kemana kelak warga China Benteng akan pergi.

Di sisi rumah Suhadi, arus Sungai Cisadane mengalir deras di musim hujan ini. Airnya meliuk-liuk lalu lenyap dari pandangan ditelan bangunan kumuh. Dan kampung itu pun terasa kian terasing.