Tuesday 21 May 2013

TERHIPNOTIS SANG EYANG


Lorong itu hanya selebar satu setengah meter, menjadi celah bagi siapa saja yang hendak masuk ke Gang Beringin III, Kampung Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di kiri-kanan, rumah-rumah bata ringan tegak berdiri, berdesakan saling menghimpit. Di tiap atap rumah, tali-tali jemuran bersilangan. Tak ada halaman, apalagi pagar tinggi.

Di tengah pemukiman padat itu, sebuah rumah berdinding polos tegak berdiri. Rumah itu berlantai dua, dan beberapa pekan terakhir kerap disorot publik.  Inilah rumah Eyang Subur, lelaki gaek yang namanya mencuat setelah berseteru dengan Adi Bing Slamet, bekas artis cilik yang kini masih berkecimpung di dunia hiburan. 

Adi menuding Subur telah menipunya, dengan kerugian miliaran rupiah. Subur juga dituduh berlaku sebagai dukun. Tudingan itu sempat membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) bergerak, dan menelisik kehidupan Eyang Subur. Kesimpulannya: kata MUI, Subur terbukti berpraktek perdukunan  

Subur dan pengacaranya melawan tuduhan itu.  Dia tak mau disebut sebagai dukun. Kepada VIVAnews, yang melawat seharian ke rumahnya pekan lalu, setelah ribut-ribut di media itu, sang Eyang mengungkapkan kisahnya.  

Pekarangan rumah berlantai dua itu tak besar. Untuk masuk ke dalam, ada satu pintu yang palang atasnya rendah. Setiap orang harus menunduk kalau lewat di sana. “Ini lantainya ditinggikan, agar tak masuk air kalau banjir,” ujar Eyang Subur menjelaskan mengapa pintu itu lebih rendah dari ukuran biasa.

Sambil menghisap sebatang rokok di ruang tamu rumahnya,  lelaki asal Jombang itu membeberkan asal mula ia dianggap "sakti" oleh sejumlah orang.

Suatu hari di tahun 1990, terjadi kebakaran hebat di lorong tempat tinggalnya. Api menjilat-jilat, dan menyambar setiap bangunan di pemukiman padat itu. Seluruh  warga lari menyelamatkan diri, karena api menjalar begitu cepat. Tapi tidak bagi Eyang Subur.  Dia bertahan di dalam rumah.

Di saat genting itu, dia mengaku mendapatkan bisikan: “Diam saja di sini karena kau tak akan kenapa-kenapa,” ujar Subur menirukan kembali bisikan itu. Subur pun mengikuti bisikan hatinya. Dia tetap di rumah, sementara api makin hebat melalap semua bangunan sekitar. 

Ajaibnya, api itu seperti “tersirep” dan berhenti tepat di dinding rumah Subur. Rumahnya sama sekali tak terbakar, padahal seluruh rumah tetangganya ludes jadi arang. 

Sejak itu, Subur dianggap sebagai orang sakti. 

“Eyang nggak pernah mengaku sakti,” ujar lelaki yang kerap menyebut dirinya dengan “Eyang” itu. Hari itu, seperti biasa, dia memakai sarung, dan jas blazer  . 

Seorang warga di Gang Beringin III membenarkan kisah itu. Tetangga Eyang Subur yang enggan disebutkan namanya mengatakan di pemukiman mereka pernah terjadi kebakaran sekitar tahun 1990-an.  Saat itu, Subur disebut-sebut tak mempan dibakar api.

Di mata para tetangganya, Subur memang dikenal sebagai sosok misterius.

Dia misalnya, jarang bergaul. Kehidupan pribadinya seperti ditutup tirai gelap.  Tak ada yang tahu, misalnya, di rumah berlantai dua itu Subur hidup dengan tujuh orang istri.

Tapi ada satu tabiat aneh Eyang Subur yang diingat para tetangganya. Dulu, setiap kali pulang melewati lorong itu, Subur suka mengambil duit dari sakunya. Dia lalu melemparkan lembaran uang kertas itu ke udara. Uang pun bertaburan. Para warga, baik anak-anak maupun orang tua, berebut mengutip lembaran uang yang berceceran itu.  Sementara Subur tetap melangkah, dan menghilang masuk ke rumahnya.

“Tapi itu tidak terjadi setiap saat. Dengan adanya kasus ini Eyang dan keluarga semakin tertutup untuk hal apapun,” ucapnya. 

Meski menolak disebut dukun, dan tak pernah mengaku sakti, tapi rumah di tengah lorong itu kerap disambangi tamu. Mereka bukan orang biasa. Ada artis, pejabat, hingga jenderal.  Para tamu ini biasanya berkonsultasi, atau bercerita santai dengan Subur di lantai dua. Di lantai itu pula Subur menyimpan koleksi guci dan kristal pemberian para tamunya.

Tak mudah bertemu langsung dengan Eyang Subur. Mereka yang berkunjung diharuskan mengisi buku tamu. Setelah mendapat izin dari Subur, tamu lantas naik ke lantai dua. 

Jika tak mendapat izin, mereka harus rela menunggu di lantai satu. Seperti dua wanita paruh baya yang ditemui VIVAnews hari itu.  Kedua perempuan itu mengaku datang karena penasaran dengan kondisi rumah Eyang Subur.

“Tadi mau ketemu istri-istrinya, tapi nggak diperbolehkan,”  kata seorang perempuan paruh baya, yang dibenarkan temannya. Keduanya meminta namanya tak ditulis.

Para istri Eyang

Di rumah berlantai dua itu ada 20 kamar tidur.  Subur hidup bersama tujuh istri, dan 18 anak-anak mereka. 

Tiap istri punya kamar sendiri, kecuali mereka yang belum memiliki anak. Di setiap kamar dilengkapi air conditioner (AC) dan toilet. Selain itu, ada televisi layar datar 75 inci dan dua laptop. Setiap kamar tidur juga disediakan kulkas serta kompor listrik. 

“Saya hobi main laptop, browsing, download lagu, main games dan olahraga,” ujar salah seorang istri Subur, Noni. Mungkin itu sebabnya, para istrinya betah tinggal di sana. Mereka “tersirep” dengan kenyamanan yang diberikan Subur.

“Kalau saya olahraga, mengurus rumah, menonton televisi. Karena saya belum punya anak ya kegiatannya mengurus diri sendiri saja dan menonton drama Korea,” ucap istri Subur lainnya, Nita.

Tak hanya itu, Subur  melengkapi rumahnya dengan home theater di ruang tengah, serta beberapa peralatan olahraga, seperti treadmill. Ia juga punya ruangan khusus untuk menyimpan 300 lebih koleksi blazernya.

Pada pagi hari, biasanya istri tertua, Heri, mengasuh anak Subur yang paling kecil. Sementara istri-istri Subur lainnya mengurus persiapan sekolah anak mereka masing-masing. Adapun istri-istri yang belum memiliki buah hati ikut membantu membuat sarapan untuk anak-anak.

“Nanti habis sarapan, mandi, terus mengobrol santai di ruang tengah,” ujar Aning, seorang kerabat, yang menjadi semacam “juru bicara”  istri-istri Eyang Subur. 

Istri-istri Eyang Subur kembali berkumpul pada saat makan siang. Kemudian sekitar jam 2, mereka akan mengobrol santai di ruang tengah sambil menikmati secangkir teh.  

Terkadang, ada istri Subur yang sengaja membuat kue, atau camilan untuk disantap saat sore hari.

“Kadang saya masak. Ngomelin anak itu pekerjaan saya setiap hari. Eyang sendiri tipe bapak yang tidak tega memarahi anak-anaknya yang masih kecil. Tapi beda lagi kalau marahin anaknya yang besar. Eyang punya caranya sendiri,” ujar Nita. 

Saat anak-anak pulang sekolah, para istri Eyang Subur membantu menemani mereka belajar.  Namun, ketika maghrib, istri-istri sudah berada di kamar masing-masing.  Jika tidak ada tamu, Subur beserta istri dan anak-anaknya akan makan malam bersama.

“Tapi kalau Eyang ada tamu, biasanya mereka makan di kamar masing-masing,”  kata Aning.

Pada pukul sembilan malam, sebagian istri-istri Subur sudah tidur, kecuali Heri. Biasanya istri pertama Subur itu akan menemani sang suami saat ada tamu. Heri jugalah yang bertanggung jawab menyiapkan kopi dan rokok untuk Subur. “Pokoknya kebutuhan suami,” ujar Heri. 

Malam itu, di meja Subur terhidang segelas besar kopi yang sepertinya dijaga terus isinya agar tetap penuh. Setiap kali isinya berkurang, Heri segera menambahkan lagi dengan kopi. Di dekat gelas itu, ada beberapa pak kotak rokok. 

Tujuh istri Subur tampak selalu kompak. Mereka bahkan memakai busana sama setiap muncul di depan publik.  Ada tukang jahit yang khusus dipesan untuk membuat “seragam” itu. Meski begitu, menurut pengakuan salah seorang istri Subur, mereka tak melulu mengenakan pakaian sama setiap hari. 

“Kalau ada momen-momen khusus saja seragam. Kalau untuk belanja ya nggak lah,”  ujar Heri.

Selain itu istri-istri Subur juga selalu mengenakan perhiasan dengan model dan ukuran sama. Ketujuh wanita itu mengaku,  Subur sendiri yang memilih perhisasan buat mereka.  “Kalau kami pakai sama begini, enak dipandang orang. Dan kelihatan Eyang adil sama istri-istrinya," katanya.

Tak mau cerai

Tapi kekompakan itu kini mendapat sorotan. 

Di tengah tudingan praktik perdukunan, Eyang Subur  kini harus melaksanakan perintah MUI. Oleh lembaga yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam itu, Subur diminta menceraikan istri ke-5 dan seterusnya. Sesuai syariat Islam, seorang lelaki ditoleransi hanya boleh empat istri. Itupun dengan syarat berat. Tujuh istri Subur adalah Heri, Noni, Nita, Ati, Dike, Herny dan Ani.

Perintah MUI ini pun ditentang para istri Subur.  Menurut kuasa hukum  para istri Subur, Made Rahman Marasabessy, istri ketujuh Subur, Ani tak mau diceraikan. "Ini murni cinta," kata Made.

Ani, kata Made,  mengatakan Subur telah menyelamatkan hidupnya. Ani tidak ingin rumah tangganya dengan Subur diacak-acak orang tuanya. Karena menurut Ani selama ini justru kakek itulah yang telah memberikan perlindungan untuknya.

Sang “juru bicara” Aning menambahkan, keluarga tengah berembuk siapa-siapa saja istri yang akan diceraikan Subur.  Namun, tak satupun istri-istri Subur bersedia diceraikan. Alasannya, mereka sudah nyaman, dan enggan kembali ke kampung halaman.

“Jadi eyang semakin pusing,” ucap Aning.

Tak jelas apa keputusan Eyang Subur nanti terhadap para istrinya itu. Dia masih tampak sibuk. 

Meski di tengah sengkarut masalah, para tamu toh tetap berdatangan. Malam itu seorang artis yang kondang di tahun 80an datang menggandeng seorang yang akan maju sebagai calon legislatif. Tak jelas nasehat apa yang dicari mereka dari lelaki gaek itu. 

“Silakan naik ke lantai dua,” ujar Parno, seorang  pembantu Eyang Subur yang senantiasa siaga di lantai satu menyambut dua lelaki yang menjadi tamu malam itu. 

Menjelang tengah malam, lorong sempit dengan rumah berjejal itu agak sunyi. Sayup-sayup terdengar obrolan para tamu dengan Subur, di sebuah rumah yang pernah selamat dilalap api itu. (np)