I. P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang
Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sumber andalan dalam
pembangunan perikanan di Indonesia. Produksi dari perikanan budidaya sendiri
secara keseluruhan diproyeksikan meningkat dengan rata-rata 4,9 % per tahun. Target
tersebut antara lain didasarkan atas dasar potensi pengembangan daerah perikanan
budidaya yang memungkinkan di wilayah Indonesia. Melihat besarnya potensi
pengembangan perikanan budidaya serta didukung peluang pasar internasional yang
masih terbuka luas, maka diharapkan sumbangan produksi perikanan budidaya
semakin besar terhadap produksi nasional dan penerimaan devisa negara,
keterkaitannya dalam penyerapan angkatan, serta peningkatan kesejahteraan
petani/nelayan di Indonesia. Pada akhir tahun 2009, kontribusi dari produksi
perikanan budidaya diharapkan dapat mencapai 5 juta ton dan ekspor sebesar US $
6,75 milyar (Sukadi, 2004).
Untuk mencapai target produksi sesuai dengan yang diharapkan, berbagai
permasalahan menghambat upaya peningkatan produksi tersebut, antara lain
kegagalan produksi akibat serangan wabah penyakit ikan yang bersifat patogenik baik
dari golongan parasit, jamur, bakteri, dan virus. Permasalahan lainnya adalah
degradasi mutu lingkungan budidaya yang semakin buruk, yang disebabkan oleh
kegiatan budidaya itu sendiri maupun dari luar lingkungan budidaya. Timbulnya
serangan wabah penyakit tersebut pada dasarnya sebagai akibat terjadinya gangguan
keseimbangan dan interaksi antara ikan, lingkungan yang tidak menguntungkan ikan
dan berkembangnya patogen penyebab penyakit. Kemungkinan lainnya adalah
adanya atau masuknya agen penyakit ikan obligat yang ganas (virulen) meskipun
kondisi lingkungannya relatif baik.
Beberapa kasus serangan wabah penyakit ikan yang terjadi pada masa lalu telah
menimbulkan kerugian yang tidak kecil. Pada tahun 1932 masuknya parasit Ich
melalui ikan Guppies yang selanjutnya menyebar dan menyerang berbagai jenis ikan
air tawar lainnya. Disusul pada tahun 1970 terjadi serangan parasit Lernaea,
serangan parasit Myxobolus pada tahun 1978 dan pada tahun 1979 terjadi serangan
parasit Myxosoma, semuanya terjadi pada ikan air tawar. Selanjutnya, pada tahun
1980 terjadi serangan bakteri Aeromonas hydrophila pada budidaya ikan mas di
Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2001 terjadi wabah penyakit pada ikan mas dan
koi, yang mengakibatkan kematian massal di sentra-sentra budidaya ikan mas dan koi.
Penyebab kematian tersebut adalah agen patogenik dari golongan virus yang dikenal
sebagai Koi Herpes Virus (KHV). Serangan KHV masih sering dilaporkan terjadi di
sentra-sentra budidaya ikan mas dan koi sampai dengan saat ini, dan menimbulkan
kerugian yang tidak kecil.
Pada budidaya ikan laut khususnya ikan kerapu, penyakit ikan juga merupakan
permasalahan yang sangat meresahkan. Tercatat ada 2 (dua) jenis virus yang sangat
merugikan yaitu Iridovirus (1993) dan Viral Nervous Necrosis – VNN (1999).
Selain serangan agen-agen patogenik yang sangat merugikan seperti tersebut di
atas, masih banyak lagi agen-agen penyebab penyakit baik dari golongan parasit,
jamur, bakteri, maupun virus lainnya yang menimbulkan kerugian yang tidak kecil di
sentra-sentra budidaya ikan air tawar maupun laut.
Untuk mengatasi permasalahan akibat serangan agen patogenik pada ikan, para
petani maupun pengusaha ikan banyak menggunakan berbagai bahan-bahan kimia
maupun antibiotika dalam pengendalian penyakit tersebut. Namun dilain pihak
pemakaian bahan kimia dan antibiotik secara terus menerus dengan dosis/konsentrasi
yang kurang/tidak tepat, akan menimbulkan masalah baru berupa meningkatnya
resistensi mikroorganisme terhadap bahan tersebut. Selain itu, masalah lainnya
adalah bahaya yang ditimbulkan terhadap lingkungan sekitarnya, ikan yang
bersangkutan, dan manusia yang mengonsumsinya.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, perlu ada alternatif bahan obat yang
lebih aman yang dapat digunakan dalam pengendalian penyakit ikan. Salah satu
alternatifnya adalah dengan menggunakan tumbuhan obat tradisional yang bersifat
anti parasit, anti jamur, anti bakteri, dan anti viral. Beberapa keuntungan
menggunakan tumbuhan obat tradisional antara lain relatif lebih aman, mudah
diperoleh, murah, tidak menimbulkan resistensi, dan relatif tidak berbahaya terhadap
lingkungan sekitarnya.
Beberapa tumbuhan obat tradisional yang diketahui dapat dimanfaatkan dalam
pengendalian berbagai agen penyebab penyakit ikan adalah sirih (Piper betle L.),
daun jambu biji ( Psidium guajava L.), sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)
Nees). Daun sirih diketahui berdaya antioksidasi, antiseptik, bakterisida, dan
fungisida. Tanaman sambiloto bersifat anti bakteri, sedangkan daun jambu biji selain
bersifat anti bakteri juga bersifat anti viral.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang
manfaat tumbuhan obat tradisional sirih (Piper betle L.), daun jambu biji (Psidium
guajava L.), dan tanaman sambiloto (Andrographis paniculata(Burm.f.) Nees), dalam
pengendalian penyakit ikan.
Sirih dikenal dengan beberapa nama daerah yaitu Sumatra furu kuwe, purokuwo
(Enggano), ranub (Aceh), blo, sereh (Gayo), blo (Alas), belo (batak Karo), demban
(Batak Toba), burangir (angkola, Mandailing), ifan, tafuo (Simalur), afo, lahina,
tawuo (Nias), cabai (Mentawai), ibun, serasa, seweh (Lubu). Sireh, sirieh, sirih, suruh
(Palembang, Minangkabau), canbai (Lampung), Jawa : Seureuh (Sunda), sedah,
suruh, (Jawa), sere (Madura) (Wijayakusuma et al., 1992).
Klasifikasi lengkap tanaman sirih menurut Koesmiati (1996) dalam Dwiyanti
(1996) adalah sebagai berikut :
Devisio : Spermatopyta
Subdevisio : Angiospermae
Klas : Dicotyledonae
Ordo : Piperales
Familia : Piperaceae
Genus : Piper
Species : P. betle Linn
Wijayakusuma et al. (1992) mengatakan bahwa sirih sudah dikenal dan
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Tanaman ini banyak ditanam
orang di pekarangan, batangnya berwarna hijau kecokelatan. Permukaan kulit kasar
dan berkerut-kerut, mempunyai nodule atau ruas yang besar tempat keluarnya akar.
Tumbuh memanjat dan bersandar pada batang lain, tinggi dapat mencapai 5 – 15 m.
Daun tebal, tumbuh berseling, bertangkai, daun berbentuk jantung dengan ujung daun
meruncing. Tepi rata. Lebar 2.5 – 10 cm, panjang 5 – 18 cm, mengeluarkan bau
aromatik bila diremas.
Semua bagian tanaman, akar, daun dan bijinya digunakan untuk obat tetapi
daunnya lebih banyak digunakan dan dikenal daripada buahnya. Cukup banyak jenis
bahan kimia yang terdapat pada sirih dan pemakaiannya sebagai obat tradisional
sudah lama dikenal. Khasiat dari daun sirih ini selain sebagai styptic (penahan darah)
dan vulnerary (obat luka pada kulit) juga berdaya antioksida, antiseptic, fungisida dan
bahkan sebagai bakterisidal. Hal ini juga dikatakan oleh Widarto (1990) bahwa daun
sirih mengandung minyak atsiri yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba.
Minyak atsiri dan ekstrak daun sirih mempunyai aktivitas terhadap beberapa bakteri
gram positif dan gram negatif (Darwis, 1991).
Sebagai obat, seduhan daun sirih dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan bau
mulut, menghentikan pendarahan gusi, menciutkan pembuluh darah serta sebagai obat
batuk. Daun sirih yang masih segar dapat dipergunakan untuk mencuci mata.
Demikian pula dengan penyakit kulit, wasir, keringat bau, sakit gigi, asma dan
produksi air susu ibu yang berlebihan dapat dicegah dan disembuhkan dengan daun
sirih (Dharma, 1985 dalam Dwiyanti, 1996)
.
Kandungan kimia utama yang memberikan ciri khas daun sirih adalah minyak
atsiri. Selain minyak atsiri, senyawa lain yang menentukan mutu daun sirih adalah
vitamin, asam organik, asam amino, gula, tanin, lemak, pati dan karbohidrat.
Komposisi minyak atsiri terdiri dari senyawa fenol, turunan fenol propenil (sampai 60
%). Komponen utamanya eugenol (sampai 42,5 %), karvakrol, chavikol, kavibetol,
alilpirokatekol, kavibetol asetat, alilpirokatekol asetat, sinoel, estragol, eugenol, metil
eter, p-simen, karyofilen, kadinen, dan senyawa seskuiterpen (Darwis, 1991).
Menurut Hidayat (1968) dalam Dwiyanti (1996), di dalam 100 g daun sirih segar
mengandung komposisi sebagai berikut : kadar air 85,4 g, protein 3,1 g, lemak 0,8 g,
karbohidrat sebanyak 6,1 g, serat 2,3 g, bahan mineral 2,3 g, kalsium 230 mg, fosfor
40 mg, besi 7,0 mg, besi ion 3,5 g, karoten (dalam bentuk vitamin A) 9600 IU, tiamin
70 ug, riboflavin 30 ug, asam nikotionat 0,7 mg dan vitamin C 5 mg. Sedangkan
menurut Tampubolon (1981) dalam Dwiyanti (1996), daun sirih mengandung
senyawa tanin, gula, vitamin, dan minyak atsiri. Minyak atsiri daun sirih yang
berwarna kuning kecokelatan mempunyai rasa getir, berbau wangi dan larut dalam
pelarut organik seperti alkohol, eter, dan kloroform, serta tidak larut dalam air
(Soemarno, 1987 dalam Dwiyanti, 1996).
2.2. Daun Jambu Biji (Psidium guajava L)
Tanaman ini sering disebut jambu batu. Beberapa nama daerah untuk tanaman
ini antara lain glima breuen, glimeu beru, galiman, masiambu, jambu biawas
(Sumatera), bayawas, boyowat, koyawas, dambu, jambu paro tugala, jambu
paratukala (Sulawesi) dan Kayawase, keyawusu, lainehatu dan Gayawa (Maluku)
(Wijayakusuma et al., 1994).
Menurut Rismunandar (1986) dalam Christianti (1992), daun jambu biji
digolongkan dalam :
Famili : Myrtaceae
Klas : Dicotyledoneae
Genus : Psidium
Spesies : P. guajava
Wijayakusuma et al. (1994) mengatakan bahwa tanaman ini memiliki banyak
percabangan, tinggi sekitar 2 – 10 m, berasal dari Amerika tropis. Banyak ditanam
sebagai pohon buah-buahan, sering tumbuh liar dan terdapat dari dataran rendah
sampai 1200 meter di atas permukaan laut yang tumbuh pada yang gembur maupun
liat, di tempat terbuka dan banyak air. Batangnya keras, kulit batang permukaannya
halus berwarna cokelat dan terkelupas. Daun muda berambut halus, daun yang tua
permukaan atasnya menjadi licin. Bentuk daun bulat telur agak menjorong, atau agak
bundar sampai meruncing dengan panjang 6 – 14 cm, lebar 3 – 6 cm,bertangkai
pendek sekitar 3 – 7 mm. Tepi daun rata agak melekuk ke atas, bertulang menyirip,
warnanya hijau, letak berhadapan. Bunga keluar dari ketiak daun, 1 – 3 bunga telur
terbalik, berwarna hijau kekuningan.
Daun dan buahnya sering digunakan sebagai obat. Tanaman ini bersifat
antidiare, anti radang (anti inflamasi), dan menghentikan pendarahan (hemostatik).
Biasanya daun segarnya sering digunakan untuk obat luar pada luka akibat
kecelakaan, pendarahan akibat benda tajam, borok (ulcus) di sekitar tulang.
Daun jambu biji mengandung tanin, minyak atsiri (eugenol, minyak lemak,
damar, zat samak, triterpinoid, asam apfel, dan buahnya mengandung asam amino
(triptofan, lisin), kalsium, fosfor, besi, belerang, vitamin A, B1 dan C. Sifat kimia
dari daun ini adalah mains dan astringent (pengelat) (Wijayakusuma et al., 1994).
2.3. Daun Sambiloto (Andrographis peniculata)
Tumbuhan ini dikenal di Indonesia dengan macam-macam nama seperti
sambilata/sandiloto (Jawa), ki oray/ki peurat (Sunda) dan papaitan (Sumatera). Nama
ilmiahnya adalah Andrographis paniculata, termasuk suku jeru-jeruan (Acanthaccae)
(Wijayakusuma et al., 1994).
Asal tumbuhan ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga berasal dari Asia
tropik. Di Indonesia maupun di negara lain seperti India dan Filipina, tumbuhan ini
sejak lama dikenal sebagai obat.
Sambiloto adalah suatu tumbuhan yang berupa tanaman tegak. Tingginya
mencapai 90 cm. Batangnya segi empat, banyak bercabang. Daunnya berhadapan,
berupa daun tunggal yang bentuknya memanjang dengan tepi daun rata. Tumbuhan
ini berbunga sepanjang tahun. Bunganya berwarna putih atau ungu tersusun dalam
rangkaian berupa tendon yang tumbuh pada ujung-ujung tangkai (Dalimartha, 1996).
Daun sambiloto ini dapat digunakan untuk pengobatan seperti sakit perut, obat
demam, peluruh air seni, kencing manis. Disamping ini dapat juga dipakai sebagai
obat luar untuk gatal-gatal dan untuk penawar bisa ular/gigitan serangga lainnya
(Dalimartha, 1996).
Wijayakusuma et al. (1994) mengatakan bahwa tanaman ini dapat merusak sel
trophocyt dan trophoblast, berperan pada kondensasi sitoplasma dari sel tumor,
pyknosis dan menghancurkan inti sel.
Rebusan tanaman ini mempunyai sifat bakteriostatik dan meningkatkan daya
phagositosis sel darah putih. Khasiat tanaman ini digunakan untuk pengobatan
disentri basile, diare, typus, abdominalis, hepatitis, infeksi saluran empedu,
peradangan di sekitar telinga, hidung dan tenggorokan (Sastrapradja et al., 1978).
Menurut Nuratmi et al. (1996) dalam Hidayat (1999), telah dilakukan penelitian
yang mendukung penggunaan sambiloto antara lain sebagai antipiretika, antiinflamasi
(anti peradangan), diuretika (meningkatkan kerja ginjal untuk menghasilkan urin),
analgetika (penghilang rasa sakit), rematik, menurunkan kontraksi usus, antidiabetes,
untuk menambah nafsu makan dan memperbaiki alat pencernaan. Data yang tidak
berkaitan dengan penggunaan sambiloto antara lain adalah menurunkan tekanan
darah, melindungi kerusakan jantung yang reversibel. Dan menurut Gupta et al.
(1990) dalam Hidayat (1999), ekstrak alkohol dari sambiloto merupakan antidiare
yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli.
Daun dan batang tumbuhan ini rasanya sangat pahit karena mengandung
senyawa yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton diterpena.
Kadarnya dalam daun antara 2,5 – 4,8 % dari berat kering. Senyawa ini diduga
merupakan salah satu zat aktif dari daun sambiloto yang juga banyak mengandung
unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium dan asam kersik. Tanaman ini juga
mengandung laktone dan flavonoid. Laktone yang diisolasi dari daun dan
percabangannya yaitu deoxy-andrographolide, andrographolide (zat pahit),
neondrographolide, 14deoxy-11,12-didehydroandrographolide dan
homoandrographolide. Juga terdapat flavonoid, alkone, ketone dan aldehide selain
mineral seperti kalsium, kalium, natrium dan asam kersik. Flavonoid diisolasi
terbanyak dari akar yaitu polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-omethylwitin
dan apigenin-7,4-dimethyl eter (Wijayakusuma et al., 1994).
Menurut sistimatika penyebabnya, penyakit ikan golongan parasit dibagi
menjadi penyakit yang disebabkan oleh protozoa, helminths (cacing), dan crustacea
(udang-udangan).
Parasit protozoa yang dilaporkan menyerang ikan air tawar antara lain meliputi
Costia, Chilodonella, Trichodina, Ichthyophthirius multifiliis, Myxobolus, Myxosoma
cerebralis.
Costiasis adalah penyakit yang menyerang larva ikan/ikan muda. Selain
ditemukan pada ikan air tawar, penyakit ini dilaporkan juga menyerang katak, ikan
Salamander, trout, dan ikan-ikan hias akuarium. Parasit ini menyebar melalui air, dan
kontak langsung antar ikan. Costia mengisap nutrisi ikan inang dengan cara
menempel dan menembus sel kulit ikan melalui bagian anterior yang meruncing
membentuk jari. Parasit dengan cepat berkembang biak, dan menyebar keseluruh
populasi ikan dalam waktu yang relatif singkat. Gejala ikan yang terserang adalah
tidak mau makan, berenang tidak normal, berwarna pucat kehitaman dan akhirnya
lemah dan mati. Organ yang diserang adalah permukaan tubuh dan insang.
Chilodonelliasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Chilodonella.
Parasit ini hidup di atas permukaan tubuh ikan sebagai ektoparasit. Chilodonella
makan sel-sel epithel yang kemudian dimasukkan lewat pharynx. Parasit ini
berbahaya bagi larva dan ikan kecil. Tanda-tanda ikan yang terserang parasit
Chilodonella tidak memiliki ciri khusus kecuali ikan pucat, nafsu makan menurun,
gelisah dan memproduksi lendir secara berlebihan. Dampak parasit ini sangat nyata
dan menyebabkan kematian masal, apabila ikan berhenti makan.
Trichodiniasis merupakan penyakit parasit pada larva dan ikan kecil yang
disebabkan oleh ektoparasit Trichodina. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
ektoparasit Trichodina mempunyai peranan yang sangat penting terhadap penurunan
daya kebal tubuh ikan dan terjadinya infeksi sekunder. Ikan yang terserang penyakit
Trichodiniasis akan menunjukkan tanda klinis seperti berenang tidak tenang,
frekwensi pernafasan meningkat, terjadi perubahan warna ikan menjadi gelap,
pertumbuhan menurun dan akhirnya lemas. Trichodiniasis dilaporkan telah
menyebabkan kematian masal pada larva ikan mas di Eropa. Kematian terjadi karena
ikan memproduksi lendir secara berlebihan, dan akhirnya kelelahan (exhausted).
Kematian biasanya terjadi akibat terganggunya sistim pertukaran oksigen
(pernafasan), karena dinding lamella insang dipenuhi oleh lendir. Penularan parasit
terjadi melalui kontak langsung antara ikan yang terinfeksi dengan ikan sehat.
Trichodina tidak memiliki inang yang spesifik. Trichodiniasis dilaporkan menyerang
ikan-ikan Cyprinus carpio, Helostoma temmincki, Osphronemus gouramy, Clarias
batrachus, Clarias macrocephalus, Labeo bicolor, Ophiocephalus striatus,
Pangasius, Puntius, berbagai jenis ikan hias akuarium, dan jenis-jenis ikan air tawar
lainnya. Selain menyerang ikan, Trichodina juga ditemukan pada katak dan larva
udang.
Ichthyophthiriosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Ich
(Ichthyophthirius multifiliis). Parasit Ich merupakan ektoparasit yang paling
berbahaya diantara ektoparasit ikan air tawar. Pada tahun 1984 – 1986,
Ichthyophthiriasis pernah membuat hancur beberapa hatchery lele dumbo di hampir
seluruh wilayah di Indonesia. Parasit Ich menyebabkan kematian masal baik pada
larva ikan, ikan kecil maupun ikan dewasa. Ikan kecil dan larva adalah stadia yang
paling rentan. Kematian masal terjadi secara bertahap, dan kurang dari satu minggu
lebih dari 70 % ikan akan mati. Penyakit Ich memiliki tanda klinis yang khas, yaitu
adanya bercak putih pada permukaan kulit dan insang dari ikan yang terinfeksi.
Penetrasi parasit ke dalam jaringan kulit ikan menyebabkan perubahan pada jaringan
integument, yaitu terbentuknya rongga di sekitar parasit, epithelial sel rusak,
pembuluh darah di daerah infeksi pecah, dan jaringan akan diselimuti oleh sel darah.
Parasit akan tumbuh dan menyebabkan bengkaknya permukaan kulit ikan. Pada
perkembangan selanjutnya rongga parasit akan pecah, dan epithelium rusak
meninggalkan luka menganga sehingga lapisan dermis terekspose pada perairan.
Pada keadaan seperti ini ikan akan mengalami ketidakseimbangan osmoregulasi.
Seperti pada permukaan tubuh, epithelium insang juga merupakan organ target dari
parasit Ich. Keberadaan Ich, selain merusak jaringan epithelium, membuat
permukaan insang tidak berfungsi. Hal ini karena lamella dipenuhi oleh lendir, dan
dinding lamella yang berfungsi sebagai alat pertukaran ion. Akhirnya ekskresi dan
osmoregulasi terganggu. Parasit Ich tidak memiliki inang spesifik. Setiap jenis ikan
air tawar apapun stadianya, semua rawan terhadap parasit Ich. Beberapa jenis ikan air
tawar yang diserang antara lain Cyprinus carpio, Helostoma temmincki, Lebistes
reticulatus, Osphronemus gouramy, Pangasius macronema, Pangasius sp., Puntius
gonionotus, Rasbora sp. dan Oreochromis niloticus.
Myxoboliasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Myxobolus/Myxosoma.
Di Indonesia parasit ini cukup banyak dilaporkan menyerang berbagai spesies ikan air
tawar. Dampak dari infeksi Myxobolus/Myxosoma tergantung pada tingkat infeksi
dan lokasi dari kista. Infeksi besar yang terjadi pada insang menyebabkan occlusion
pada sirkulasi branchia, kematian jaringan (necrosis) dan tidak berfungsinya
pernafasan. Infeksi yang terjadi pada usus, akan menyebabkan myolitic pada dinding
usus. Secara umum, infeksi berat pada sub-cutaneous dan insang menyebabkan
penurunan berat badan, khususnya pada ikan muda, melemah, berenang di dekat
pematang, warna kulit mulai pucat, dan terganggu sistim syarafnya. Apabila infeksi
terjadi pada organ dalam, seperti hati, ginjal, dan selaput usus cenderung lebih fatal.
Perlu dicatat infeksi Myxobolus biasanya terjadi bersamaan dengan infeksi
Trichodina, Cryptobia, Costia, dan cendawan. Inang utama dari genus
Myxobolus/Myxosoma adalah ikan air tawar. Namun ada beberapa species yang
memiliki spesifisitas inang yang tinggi, misalnya Myxobolus cyprini inang utamanya
adalah ikan mas (Cyprinus carpio), meskipun kadang dijumpai pada roach, tench dan
cyprinidae lain. Sedangkan Myxosoma cerebralis lebih banyak ditemukan pada ikan
trout, dan salmon. Di Filipina, Clarias batrachus dimasukkan dalam inang dari
Myxobolus, sedangkan di Thailand meliputi spesies C.batrachus, C. macrocephalus,
dan Ophiocephalus striatus. Balai Budidaya Air Tawar (1978) dalam Prayitno et al
(1996) mendemonstrasikan bahwa Myxobolus secara experimental dapat diinfeksikan
ke Lebistes reticulatus.
Penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing dapat dibagi menjadi 3 (tiga)
kelompok besar yaitu Platyhelminthes, Nematoda, dan Acanthocephala.
Platyhelminthes hampir semuanya sebagai parasit, dengan berbagai macam
jenis inang dan siklus hidup. Di Asia Tenggara parasit Platyhelminthes dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu Monogenea, Cestoda, dan Trematoda.
Sedangkan cacing kelas Nematoda dan Acanthocephala merupakan cacing yang tidak
memiliki segmen.
Sebagian besar cacing Monogenea adalah ektoparasit. Sangat jarang dan
mungkin tidak ada yang berperan sebagai endoparasit. Meskipun ukuran cacing ini
kecil, keberadaannya pada tubuh ikan dapat mengakibatkan kematian massal. Di Asia
Tenggara, khususnya Indonesia dikenal 2 genus yang ditemukan menyerang ikan air
tawar yaitu Dactylogyrus dan Gyrodactylus.
Dactylogyrosis adalah penyakit parasit pada ikan air tawar yang disebabkan oleh
parasit Dactylogyrus. Parasit cacing ini hidup tanpa inang antara (intermediate host),
sehingga seluruh hidupnya berfungsi sebagai parasit. Dactylogyrus merupakan
ektoparasit cacing yang ditemukan menyerang insang ikan dan jarang ditemukan pada
permukaan tubuh ikan. Ikan yang terinfeksi tampak stress, berenang terus menerus,
berkumpul di dekat pintu pemasukan air. Insang berwarna pucat, ditutup oleh lendir,
dan sering berbentuk seperti mozaik. Pada titik dimana jangkar cacing
mencengkeram, terlihat adanya kerusakan epithelium dan terganggunya jaringan.
Rusaknya epithelium ditambah dengan produksi lendir yang berlebihan, akan
mengganggu pertukaran gas oksigen. Akibatnya sel-selnya akan mati dan tidak
berfungsi. Akibatnya ikan akan mati dan tidak berfungsi. Akibatnya ikan akan mati
karena tidak dapat bernafas dengan baik. Parasit cacing ini termasuk parasit penting,
karena secara nyata dapat merusak filament insang, dan relatif lebih sulit
dikendalikan.
Gyrodactylosis adalah nama penyakit parasit yang disebabkan oleh ektoparasit
cacing Gyrodactylus. Parasit ini dapat diisolasi dari permukaan tubuh ikan, insang
dan sirip. Perubahan yang paling nyata dari infeksi Gyrodactylus adalah warna kulit
ikan yang semakin pucat, terdapat lapisan abu-abu yang merupakan produksi lendir
yang berlebihan. Bercak merah dan hitam kadang terlihat pada permukaan tubuh.
Pada infeksi yang berat, sebagian besar sisik lepas, respirasi dan osmoregulasi
terganggu. Meskipun pelepasan sisik juga akan melepas parasit yang menancap pada
permukaan tubuh. Biasanya infeksi ini akan segera diikuti oleh infeksi sekunder
berupa infeksi bakteri atau cendawan. Infeksi parasit Gyrodactylus secara umum
akan memberikan efek yang sama dengan Dactylogyrus misalnya pertumbuhan ikan
terhambat, nafsu makan menurun, ikan berkumpul di dekat air masuk, ikan melompat,
darah ikan menunjukkan kenaikan jumlah polymorphonuclear agranulocytes dan
monocytes. Penyakit ini sangat berbahaya untuk larva dan juvenil ikan. Jenis ikan
yang diserang antara lain : Clarias batrachus, C. macrocephalus, Cyprinus carpio,
Pangasius, Ophiocephalus striatus, Trichopterus pectoralis, dan beberapa jenis ikan
hias akuarium
.
Tidak seperti Monogenea, Trematoda pada umumnya adalah endoparasit.
Disebut sebagai Digenea karena dalam siklus hidupnya memerlukan setidaknya 2
(dua) inang. Ada salah satu penyakit disebut Sanguinicoliasis yang merupakan
penyakit yang disebabkan parasit Digenea pada ikan mas. Sanguinicoliasis
merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh spesies dari genus Sanguinicola,
yang menyerang sistem peredaran darah ikan, khususnya ikan mas (Cyprinus carpio)
terutama pada stadia larva dan juvenil. Penyakit ini menyebabkan kerusakan
pembuluh kapiler insang dan ginjal oleh telur dan parasitnya sendiri. Serangannya
biasanya acute dan fatal. Parasit ini mengganggu pembuluh kapiler insang dan dapat
menyebabkan rusaknya filament insang yang berfungsi dalam pertukaran oksigen dan
sistem peredaran darah. Kerusakan pada insang kemudian akan hilang setelah parasit
masuk dalam sistim peredaran darah. Ikan yang terserang parasit ini tidak
menunjukkan tanda-tanda klinis khas kecuali tanda-tanda umum seperti ikan pucat,
insang berwarna pucat, ikan lemah dan berenang menuju ke permukaan.
Penyakit ikan yang disebabkan oleh parasit Crustacea terdiri dari 3 kelas yaitu
kelas Copepoda, Branchiura, dan Isopoda.
Dari kelas Copepoda telah diidentifikasi 4 genera yang penting bagi budidaya
ikan, yaitu Lernaea, Caligus, Ergasilus, dan Lamprolegna.
Lernaeasis adalah suatu parasit yang disebabkan oleh ektoparasit Lernaea.
Diantara parasit Crustacea pada ikan air tawar, Lernaea merupakan parasit yang
paling berbahaya, karena menyebabkan kematian ikan untuk semua stadia dan ukuran.
Di Indonesia, wabah penyakit Lernaeasis sering ditemukan di kolam budidaya, pasar
ikan, maupun pada ikan liar. Lernaeasis pada mulanya hanya terjadi pada ikan mas,
akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ditemukan pula pada spesies ikan air
tawar lainnya. Bahkan di Filipina ditemukan di air payau (Chanos chanos).
Penyebaran dan penularan penyakit terjadi karena ikan sehat melakukan kontak
langsung, atau dipelihara dengan ikan yang terinfeksi. Ikan liar yang terinfeksi juga
merupakan sumber penyebaran penyakit, apabila ikan liar tersebut memasuki kolam
budidaya. Parasit ini menginfeksi dan menyerang semua ukuran dan umur ikan.
Kematian masal tidak saja terjadi pada stadia larva, akan tetapi juga pada ikan
dewasa. Penyakit parasit Lernaeasis sangat mudah dikenali, karena pada permukaan
tubuh ikan terlihat dengan jelas individu parasitnya. Pada lokasi dimana kepala
parasit menancap, terlihat luka kemerahan, karena jaringan daging ikan rusak. Parasit
makan jaringan yang rusak dan butir darah merah,sehingga ikan kehabisan energi.
Organ yang pertama rusak adalah jaringan kulit, jaringan yang tertancap parasit
menjadi hyperaemia, dan membengkak. Luka memborok mulai tampak, sisik
terkelupas, jaringan menjadi mati, dan kemudian terjadi infeksi sekunder oleh bakteri
dan cendawan. Gejala lainnya berupa penurunan berat badan secara drastis, kesulitan
bernafas, berenang tidak normal, menabrak dinding kolam dan akhirnya mati.
Ergasiliosis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh ektoparasit Crustacea
genus Ergasilus. Ikan yang terserang parasit ini biasanya memiliki tanda khusus,
operkulumnya membuka dan tidak menutup secara sempurna. Parasit masuk kolam
budidaya melalui ikan yang terinfeksi, sedangkan larvanya masuk melalui air.
Burung juga organisme yang mungkin dapat mengantarkan parasit ke dalam kolam
budidaya. Meskipun parasit ini merupakan parasit insang, akan tetapi menyerang
organ lain seperti sirip dan jaringan dekat mata. Akibatnya terjadi kelainan bentuk
insang, penyempitan pembuluh darah, darah diisap, kematian jaringan insang dan
jaringan tubuh, produksi lendir berlebihan dan kematian biasanya sangat tinggi.
Mobilitas parasit yang mampu bergerak kesana – kemari menyebabkan areal yang
rusak menjadi semakin lebar. Insang sebagai organ target, sebagian besar arealnya
tidak dapat berfungsi, insang tererosi, mati dan ikan akan kesulitan melakukan
respirasi.
Kelompok ketiga dari kelas Copepoda adalah Caligus. Penyakit parasit yang
disebabkan oleh parasit ini disebut Caligusias. Parasit ini dilaporkan pada ikan
bandeng. Sedangkan inang yang lainnya sebagian terbesar merupakan ikan air payau
dan laut. Cara penularan melalui ikan budidaya yang terinfeksi (kontak langsung), air
mengandung larva parasit dan ikan liar sebagai carrier. Ikan yang terserang parasit
akan terlihat adanya parasit yang menempel pada permukaan tubuh ikan, karena
permukaan tubuh dan sirip merupakan organ target dari parasit ini.
Parasit Crustacea berikutnya adalah kelas Branchiura. Salah satu genusnya
yang paling sering ditemukan pada ikan adalah genus Argulus. Argulosis adalah
sejenis penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit Crustacea genus Argulus. Parasit
ini dapat ditemukan baik pada ikan air tawar maupun ikan laut. Sehingga memiliki
distribusi dan inang yang lebar. Argulus tidak dapat hidup tanpa inang, namun
demikian dapat hidup dan berenang bebas mencari inang lain. Argulosis
menyebabkan dampak negatif terhadap larva dan juvenil ikan. Ikan yang lebih besar
biasanya tidak menimbulkan efek yang nyata, akan tetapi ikan tersebut merupakan
carrier yang akan membahayakan kehidupan ikan lain yang berukuran lebih kecil.
Argulus dianggap berbahaya karena tidak memiliki inang spesifik, dan dilaporkan
telah menyerang semua ikan air tawar. Cara Argulus menyerang ikan adalah dengan
menempel pada permukaan tubuh ikan dan menembus dinding kulit ikan dengan
menggunakan proboscis (organ pengisap), dan mengisap darah ikan. Sehingga di
sekitar luka akan terlihat memar dan memproduksi lendir secara berlebihan, pecah
pembuluh darahnya, dan edema. Pada daerah luka terjadi necrosis (jaringan mati),
kemudian terbuka, dan akhirnya terjadi infeksi sekunder. Parasit juga mengeluarkan
cairan beracun yang menyebabkan ikan keracunan. Larva ikan akan mati meskipun
hanya diinfeksi oleh sedikit parasit. Menurut Kabata (1970), terjadinya kematian ikan
semata-mata hanya karena luka yang disebabkan oleh cara parasit menancapkan
pengisapnya ke tubuh ikan, dan aktifitas makan parasit. Adanya aktifitas tersebut
menyebabkan kulit ikan kehilangan lapisan jaringan ikat, diisi oleh erythrocyte,
karena pecahnya pembuluh darah. Banyaknya bahan toxin yang dikeluarkan oleh
parasit menyebabkan radang kulit, sisik menjadi kendor dan lepas. Kondisi semacam
ini membuka peluang terjadinya infeksi sekunder. Penyebaran dan infeksi parasit,
seperti Crustacea lainnya, dapat melalui ikan besar selaku carrier,air, dan ikan liar.
Species yang diserang, semua ikan air tawar, payau maupun laut.
3.2. Penyebab penyakit ikan golongan jamur
Beberapa jenis penyakit jamur yang termasuk berbahaya untuk ikan antara lain
adalah Aphanomyces, Branchiomyces, dan Ichthyophonus.
Jamur Apanomyces dilaporkan menyerang lobster air tawar, crayfish, sea mullet,
yellow fin bream, dan sand whiting. Jamur ini menyerang organ persendian dan
pergerakan. Ikan yang terserang mengalami paralisis, terlihat diam terlentang di dasar
akuarium atau kolam sampai mati. Tidak ada respon terhadap rangsangan eksternal
yang diberikan. Jaringan yang terinfeksi umumnya daerah persendiaan berwarna
kekuningan atau cokelat dan mengalami nekrosis. Aphanomyces merupakan parasit
obligat, menginfeksi daerah lunak persendian dan ruas abdomen. Jamur ini
membentuk hifa disepanjang syaraf ventral dan ganglion otak. Keadaan ini
menimbulkan gangguan serta kerusakan organ lokomotor dan juga sistim kekebalan
dari ikan yang terinfeksi. Dari tempat penetrasi akan terbentuk zoosporangium dan
zoospora akan dilepas ke dalam air untuk selanjutnya menginfeksi ikan baru.
Branchiomycosis adalah penyakit ikan yang disebabkan jamur Branchiomyces
sanguinis. Inang definitif dari jamur ini dilaporkan meliputi Cyprinus carpio, Tinca
tinca, Carrasius auratus, Esox lucius, Gasterosteus aculeatus, dan Salmonid. Tandatanda
klinis serangan Branchiomycosis meliputi adanya nekrosis pada insang yang
berwarna keputihan. Ikan mengalami kesulitan bernafas atau asphyxia, megap-megap
di permukaan air. Insang memperlihatkan tanda-tanda hemorhagik. Ikan terlihat
berkumpul di daerah pemasukan air dan tidak mau makan. Kejadian infeksi
dipengaruhi oleh suhu perairan. Infeksi hanya terjadi pada musim panas, terutama
pada bulan Juli – Agustus di daerah yang bermusim empat. Morbiditas penyakit ini
dapat mencapai 50 %, sedang pada infeksi yang bersifat akut dapat menimbulkan
kematian sebanyak 30 – 50 % dari populasi ikan yang terinfeksi dalam waktu 2 – 4
hari, terutama diakibatkan karena terjadinya anorexia. Branchiomycosis akut dapat
dikenali dengan terjadinya nodul putih pada insang sebagai suatu luka
patogenomonik. Infeksi dari jamur ini dapat terjadi secara langsung dari spora yang
menempel pada insang atau dengan cara tertelan. Penyebaran infeksi didukung oleh
kandungan bahan organik dari perairan dan suhu di atas 20 derajat Celcius.
Penyumbatan pembuluh darah insang karena adanya infeksi jamur ini seringkali
terjadi dan menimbulkan hiperplasia. Selanjutnya terjadi pula fusi lembaran insang
yang menyebabkan nekrosis yang meluas. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya
daaya ikat Oksigen. Pada infeksi yang berat, jamur ini akan membentuk kiste pada
lembaran insang yang menyerupai suatu nodul yang berwarna keputihan. Spora yang
terlepas dari jaringan insang akan berhamburan di dalam air dan mengendap di dasar
kolam menjadi sumber infeksi.
Sand paper disease adalah penyakit yang disebabkan jamur Ichthyophonus
hofferi. Inang definitif cendawan ini dilaporkan meliputi Clupea harengus harengus,
Salmo gairdneri, Salvelinus fontinalis. Tanda-tanda klinis serangan Ichthyophonus
hofferi meliputi adanya butiran kasap semacam ampelas di sekitar ekor bagian
samping depan berdiameter 1 mm dan berwarna hitam. Terjadi kebutaan dan
exopthalmus, ditambah dengan gerakan renang yang tidak terkoordinasi. Terkadang
ditemukan gejala kelainan tulang yang terlihat dengan adanya scoliosis dan lordosis.
Nekrosis secara lokal juga sering terlihat ditambah abses atau ulcer. Pada organ
internal seperti hati, ginjal, jantung dan limpa yang terinfeksi ditemukan nodul
granumalomatosis. Jamur ini terbagi atas dua bentuk yaitu bentuk salmonid dan
bentuk ikan aquarium. Bentuk salmonid diciririkan oleh kemampuan menghasilkan
hifa yang panjang dan tidak menimbulkan pigmentasi kiste, sedangkan bentuk ikan
aquarium dicirikan oleh melanisasi hifa. Mortalitas akibat infeksi akut terjadi dalam
waktu 2 – 4 minggu dengan adanya invasi masif di jantung; degenerasi dan nekrosis
otot daging. Pada infeksi kronis dicirikan dengan terjadinya enkapsulasi jamur pada
jaringan ikat, melanisasi pigmen di sekitar spora. Pada jaringan yang terinfeksi
membentuk ”resting spore” yang berukuran 10 – 250 um dengan inti berukuran 2 – 4
um, ketebalan dindingnya 2 – 11 um. Dinding sel tersusun oleh polisakharida dan
sitoplasmanya mengandung glikogen. Hidup pada kisaran suhu 3 – 20 derajat Celcius
dengan suhu optimum 10 derajat Celcius. Infeksi jamur ini merupakan
granulomatosis yang bersifat sistemik. Jaringan yang terinfeksi mengalami
peradangan kronik, kehilangan lapisan epitelium sehingga terjadi ”sand paper effect”
dengan bentuk penonjolan-penonjolan (papula) berukuran 1 mm. Morbiditas penyakit
ini sekitar 25 %.
3.3. Penyebab penyakit ikan golongan bakteri
Beberapa jenis penyebab penyakit ikan golongan bakteri yang sering
menimbulkan kerugian dalam usaha budidaya ikan antara lain meliputi Aeromonas
hydrophila, Aeromonas salmonicida, Mycobacterium, Nocardia, Edwardsiella tarda,
Edwardsiella ictaluri, Streptococcus, Pasteurella, Yersinia ruckeri, dan Streptomyces.
Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan penyebab penyakit haemorrhagic
septicaemia yang juga disebut sebagai MAS (Motile Aeromonad Septicaemia),
ditandai dengan adanya luka di permukaan tubuh, lokal hemorrhagi terutama pada
insang, borok, abses, exopthalmia dan perut kembung (Austin dan Austin, 1993).
Adapun menurut Amlacher (1961) dan Otte (1963) dalam Bullock (1971) tipe
penyerangan bakteri dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu :
1) Akut,
Ikan-ikan yang mengalami septicaemia akan mati dengan cepat dengan tanda-tanda
penyakit belum terlalu terlihat (penularan hingga timbul gejala penyakit antara 1 atau
2 hari);
2) Sub Akut,
Gejala yang timbul adalah dropsi, bisul-bisul, abses,dan pendarahan pada pangkal
sirip (mortalitas terjadi dalam beberapa hari);
3) Kronik,
Ditandai dengan adanya ulser, dengan furunkel, dan bisul-bisul bernanah (abses) yang
berlanjut lama (dalam periode waktu yang relatif lama /bulan atau tahun);
4) Laten,
Ikan tidak memperlihatkan gejala penyakit secara nyata, tetapi di dalam darah dan
jaringan tubuhnya terdapat bakteria penyebab penyakit itu. Hal ini disebabkan karena
ikan yang terserang penyakit ini memiliki kekebalan tubuh untuk melawan bakteri.
Kemampuan menimbulkan penyakit dari bakteri Aeromonas hydrophila cukup
tinggi. Gejala yang menyertai serangan bakteri ini antara lain ulser yang berbentuk
bulat/tidak teratur dan berwarna merah keabu-abuan, inflamasi dan erosi di dalam
rongga dan di sekitar mulut seperti penyakit mulut merah (red mouth disease). Tanda
lain adalah haemorhagi pada sirip dan eksopthalmia (pop eye) yaitu mata
membengkak dan menonjol (Nitimulyo et al., 1993). Selain itu ciri-ciri lainnya
adalah pendarahan pada tubuh, sisik terkuak, borok, nekrosis, busung, dan juga ikan
lemas sering di permukaan atau dasar kolam (Dana dan Angka, 1990).
Bakteri Aeromonas salmonicida banyak dijumpai di perairan tawar dan laut
serta mempunyai kisaran inang yang luas mulai dari ikan-ikan air tawar dan laut.
Bakteri ini dapat bertahan hidup dalam air atau sedimen selama beberapa hari atau
beberapa minggu tetapi tidak dapat berbiak, dan bersifat obligat (Nitimulyo et al,
1993). Aeromonas salmonicida dapat bertahan dalam air pada periode waktu yang
lama. Lamanya waktu tergantung pada kandungan mineral, pH dan temperatur air.
Dengan meningkatnya suhu, virulensinya juga bertambah tinggi (Inglis et al., 1993).
Gejala klinis atau tanda-tanda utama serangan Aeromonas salmonicida pada
ikan adalah pembentukan ulkus-ulkus yang menyerupai bisul, perdarahan sirip, sirip
putus/patah, perdarahan pada insang, lendir berdarah pada rectum, petikiae pada otot
dan pembentukan cairan berdarah. Usus bagian belakang lengket dan bersatu serta
pembengkakan limpa, dan nekrosis pada ginjal. Banyak jenis ikan air tawar yang
dapat terserang penyakit ini. Penyakit furunculosis pada ikan yang disebabkan oleh
bakteri ini memiliki ciri-ciri luka yang khas yaitu nekrosis pada otot, pembengkakan
di bawah kulit, dengan luka terbuka berisi nanah, dan jaringan yang rusak di puncak
luka tersebut seperti cekungan (Nitimulyo, et al., 1993).
Cara penularannya yang utama secara horizontal, antara lain melalui air yang
terkontaminasi, berhubungan dengan ikan sakit/carrier, telur yang terkontaminasi,
berhubungan dengan alat/wadah yang digunakan dalam budidaya atau pakaian
manusia yang terkontaminasi dan melalui bulu burung air (Nitimulyo et al., 1993).
Bakteri Mycobacterium merupakan penyebab penyakit Tuberkulosis ikan.
Bakteri ini telah diketahui menyerang 157 spesies ikan, 11 spesies amphibia, dan 27
spesies reptilia. Semua jenis salmon sangat mudah diserang. Mycobacterium
fortuitum, M. marinum, M. chelonei ternyata memungkinkan menyerang tangan dan
paru-paru manusia yang bekerja menangani ikan yang sakit Tuberkulosis. Bakteri ini
tersebar di seluruh dunia.
Sumber infeksi utama Mycobacterium adalah ikan sakit, tetapi dimungkinkan
juga dari sumber bukan ikan (air dan alat-alat karena bakteri ini diduga bersifat
oportunistik). Cara penularan dan penyebaran diduga melalui beberapa cara yang
memungkinkan yaitu melalui pakan dan air serta transovarian. Ikan yang terserang
Tuberkulosis akan mengalami kerusakan organ dalam, kurus dan kemudian mati.
Apabila terjadi luka akan kehilangan protein plasma dan ikan sangat mudah terserang
infeksi sekunder.
Gejala penyakit Tuberkulosis ikan tidak selalu tampak dengan dan apabila
terlihat akan bervariasi antar individu ikan yang terserang. Gejala eksternal yang
umum terlihat adalah exophtalmia, pembengkakan vena, dan adanya luka pada tubuh.
Untuk yang dewasa tidak menampakkan tanda-tanda perkembangan sexual sekunder,
pertumbuhan lambat, warna pucat dan tidak indah terutama untuk ikan hias. Lordosis,
skoliosis, ulser dan rusaknya sirip (patah-patah) dapat terjadi pada beberapa ekor ikan
yang terserang. Gejala internal berupa adanya bintil (nodular) yang berwarna putih
keabu-abuan berisi bakteri seperti pada hati, ginjal dan empedu. Benjolan atau
tuberkel terdapat di berbagai organ seperti insang, perikardium, mata, empedu, ginjal,
dan hati. Membran putih sering terjadi pada usus mesentri dan caeca.
Bakteri Nocardia tersebar di alam termasuk di air dan tanah. Nocardiasis dapat
menyerang ikan air tawar atau air laut, bahkan dimungkinkan menyerang paru-paru,
kulit dan tulang manusia. Sumber penularan adalah ikan sakit, air dan tanah. Bakteri
ini dapat masuk ke pembenihan melalui saringan air tradisional. Nocardia tidak
termasuk bakteri yang mempunyai daya infeksi tinggi. Infeksi secara sistemik
melalui luka diduga merupakan salah satu cara serangan pada kondisi alami.
Gejala eksternal dari serangan bakteri Nocardia yang terlihat jelas adalah
pembengkakan daerah terserang yang berisi bakteri dan tampak seperti tumor. Pada
insang ikan ekor kuning terlihat seperti tuberkulosis insang, sedang pada neon tetra
terjadi benjolan (ulcer) pada permukaan tubuh, ikan lemah, nafsu makan menurun dan
kurus. Gejala internal ditandai dengan terjadinya granulomatus, inflamasi jaringan,
dan nekrosis. Sedangkan bakteri banyak terdapat pada insang, organ dalam terutama
ginjal dan hati. Pada infeksi akut sering terjadi nekrosis fokal.
Penyakit Edwardsiellosis disebabkan oleh bakteri dari genus Edwardsiella
yaitu Edwardsiella tarda dan Edwardsiella ictaluri. Bakteri ini menyerang spesiesspesies
ikan di daerah tropis.
Bakteri E. tarda dan E.ictaluri bisa bertahan hidup di air. Beberapa inang
alamiah bisa bertahan sebagai carrier. Penularan secara horizontal yaitu kontak antara
inang satu dengan inang lainnya atau melalui air.
Gejala eksternal ikan yang terserang Edwardsiellosis pada infeksi ringan, hanya
menampakkan luka-luka kecil. Ukuran luka sebesar 3 – 5 mm. Luka tersebut berada
disamping bagian belakang badan (posterio-lateral). Sebagai perkembangan penyakit
lebih lanjut, luka bernanah berkembang dalam otot rusuk dan lambung. Pada kasus
akut akan terlihat luka bernanah secara cepat bertambah dengan berbagai ukuran.
Perkembangan lebih lanjut, luka-luka (rongga-rongga) berisi gas. Terlihat bentuk
cembung, menyebar ke seluruh tubuh. Ikan tampak kehilangan warna, dan luka-luka
kemudian merata di seluruh tubuh. Jika luka digores, bau busuk (H2S) tersebar.
Bekas jaringan mati bisa berisi 3 rongga.
Penyakit Streptococciosis adalah penyakit ikan yang disebabkan bakteri
Streptococcus spp. Jenis bakteri ini dapat menyerang beberapa jenis ikan baik air
tawar maupun air laut. Pada beberapa hal terdapat sangat sedikit gejala eksternal
yang jelas. Ikan yang terinfeksi akan tampak normal sampai sesaat sebelum mati.
Salah satu gejala yang tampak adalah ikan jadi melemah. Tidak ada hemorhagik pada
jaringan tubuh atau perubahan struktur kulit. Pada beberapa kasus terdapat
exopthalmia dan hemorhagik pada kelopak mata. Gejala internal lebih luas berupa
infeksi yang ditandai dengan enteritis, hepatitis dan pembesaran ginjal. Anus dan
usus menunjukkan tanda-tanda kelainan yang nyata dan peradangan karena adanya
cairan mucoid yang berwarna agak merah pada usus. Ginjal membengkak, dan hati
berwarna merah tua dan menjadi kurang berfungsi.
Penyakit Pasteurellosis pada ikan disebabkan oleh bakteri Pasteurella
piscicida. Penyakit ini merupakan masalah pada kultur ikan air laut khususnya yellow
tail (Seriola quinqueradiata). Penyakit ini nampaknya juga terdapat pada ikan white
perch, striped bass, red bream dan black bream. Sumber penularan bakteri ini dapat
berasal dari danau yang terinfeksi, kemungkinan secara laten terinfeksi ikan carrier
(pembawa penyakit). Penularan berlangsung secara horizontal, yaitu kontak antara
ikan dengan ikan. Serangan penyakit bisa terjadi secara akut atau kronis. Serangan
akut bisa menyebabkan kematian masal dalam waktu singkat. Sedangkan gejala dari
serangan kronis biasanya tampak lebih jelas. Gejala eksternal serangan penyakit ini
sangat tergantung pada tipe serangan penyakit. Dalam kasus akut, mungkin sangat
sedikit tanda-tanda klinis yang tampak. Pada kasus kronis, gejala penyakit yang
tampak antara lain badan menjadi gelap dan sedikit pendarahan (hemorhagik) di
sekitar opercula dan sirip. Gejala internal tampak pada organ internal ada luka kecil
pada ginjal dan limpa. Penyakit ini diberi nama pseudotuberculosis.
Penyakit Enteric Red Mouth (ERM) Disease disebabkan oleh bakteri Yersinia
ruckeri. Bakteri ini dapat menyerang berbagai jenis ikan baik air tawar maupun laut.
Sumber infeksi bakteri ini adalah inang alamiah atau hewan air lain yang dapat
menjadi carrier. Yersinia ruckeri juga dapat hidup di dalam air. Penularan dapat
terjadi melalui infeksi alamiah tersebar dari ikan ke ikan (horizontal). Bakteri ini
dapat menyebabkan penyakit dalam bentuk akut, kronis atau carrier. Gejala
eksternal ikan yang terinfeksi menunjukkan gerakan menjadi lamban dan warnanya
menjadi gelap. Terjadi peradangan khususnya di mulut dan langit-langit mulut.
Peradangan juga terjadi di operkula, pangkal sirip dan pada jaringan pengikat (ruang
antar jari-jari sirip). Gejala internal akan tampak jika perut dibedah akan terlihat
berisi air yang tidak berwarna, dan intestinum/usus berisi cairan berwarna kuning.
Kemungkinan bisa juga terjadi hemorhagik ”petikiae” di daerah otot atau organ
dalam.
Bakteri Streptomyces merupakan organisme yang bersifat patogen pada ikan.
Serangan penyakit ini mempunyai dampak negatif yang dapat dirasakan secara
berkelanjutan. Bakteri ini dapat menginfeksi hati dan ginjal ikan. Di dalam
percobaan menggambarkan waktu kematian yang disebabkan oleh jenis bakteri ini
kurang lebih 1 minggu, setelah terinfeksi. Gejala-gejala yang ditimbulkan yaitu
nekrosis sepanjang usus. Selain menyerang ikan, Streptomyces sp. ini antara lain juga
dapat menyerang kuda laut.
3.4. Penyebab penyakit ikan golongan virus
Beberapa jenis virus diketahui dapat menyerang ikan-ikan budidaya dan
menimbulkan permasalahan yang serius. Jenis-jenis penyakit tersebut meliputi
Channel Catfish Virus Disease (CCVD), Spring Viraemia of Carp (SVC), Infectious
Pancreatic Necrosis (IPN), Lymphocystis Disease (LD), Infectious Hematopoietic
Necrosis (IHN), Viral Nervous Necrosis (VNN) dan Koi Herpes.
Channel catfish virus diseases adalah infeksi yang akut dan haemorhagik oleh
virus Herpes. Penyakit ini dapat menimbulkan kematian yang tinggi, kadang-kadang
mencapai hampir 100 % pada Ictalurus punctatus yang muda. Inang alamiah yang
diserang adalah Channel catfish (Ictalurus punctatus) biasanya yang berumur kurang
dari 4 bulan. Hasil infeksi secara eksperimen menunjukkan virus ini dapat menyerang
white catfish (I. catus), blue catfish (I. furcatus), dan walking catfish (Clarias
batrachus).
Tanda-tanda klinis/patologis serangan penyakit ini yang dapat diamati antara lain
hilangnya keseimbangan tubuh, bergerak berputar-putar dan tergantung vertikal, mata
menonjol (exophthalmus), perut mengembung atau distensi. Secara
patologis/histopatologis terlihat pula adanya petekiae (perdarahan) pada sirip dan di
sekitar abdomen; perdarahan pada ginjal, kulit dan organ dalam kulit dan organ
dalam; insang terlihat pucat dan haemorhagi; adanya kenaikan sel limfoid di dalam
ginjal dan nekrosis di sekitar tubular ginjal; nekrosis terdapat pula pada hati, limpa
dan alat pencernaan; haemorhagi, edema dan nekrosis mukosal dan pelepasan sel di
dalam usus.
Spring Viraemia of Carp (SVC) merupakan penyakit/infeksi oleh virus yang
bersifat akut haemorhagis dan menular, yang menyerang golongan ikan Cyprinids dan
lebih spesifik pada Common carp, Cyprinus carpio. Penyakit ini biasanya timbul
pada musim semi (Spring) dan menyebabkan kematian pada semua umur.
Common carp merupakan inang yang utama dan virus dapat menyerang ikan
dewasa dan muda. Dilaporkan pula bahwa virus pernah pula diisolasi dari golongan
Cyprinids yang lain. Silver carp, Bighead carp (Aristichthys nobilis), dan Crucian
carp (Carassius auratus). Secara eksperimental Pike Fry (Esox lucius) dan larvanya,
fry dari carp, Grass carp (Ctenocephalon idella) dan Guppies (Lebistes reticulata).
Tanda-tanda klinis dan patologis serangan SVC antara lain meliputi ikan
berkumpul di bagian outflow, warna ikan menjadi gelap, perdarahan/ petekiae
haemorhagi, mata menonjol (exophthalmus), abdominal dropsy, biasanya dijumpai
pula peritonitis fibrinosa dan ctarrhal atau enteritis yang nekrotik. Sedangkan
Swimbladder Inflammation (SBI) yang virusnya identik dengan virus SVC, dapat
memperlihatkan gejala klinis/patologis yaitu kehilangan berat badan dan
keseimbangan, warna kulit menjadi gelap/berubah, degenerasi/perdarahan pada
dinding gelembung udara (swimbladder).
Infectious Pancreatic Necrosis (IPN) merupakan penyakit viral yang akut dan
sangat menular, terutama menyerang golongan ikan Salmonis. Terhadap ikan muda
yang sembuh (survivors) dapat tahan terhadap penyakit tetapi dapat menjadi pembawa
infeksi (carrier) seumur hidup. IPN telah dilaporkan sebagai penyakit endemik di
daerah/lokasi perikanan trout sekurang-kurangnya di sepuluh negara Eropa termasuk
Skandinavia dan Inggris Raya, demikian juga di Amerika Utara dan Jepang.
IPN dapat menyerang macam-macam inang yang cukup banyak baik asal air
tawar atau air laut dan kemungkinan Shellfish laut.
Virus IPN pertama kali dilaporkan di Perancis tahun 1965. Demikian juga di
Denmark, virus IPN telah diidentifikasi secara virologik pada tahun 1968.
Penyakit oleh IPN pada spesies non Salmonid telah pula diketahui dan virusnya
telah pula diisolasi dari bermacam-macam spesies non Salmonid dan isolasi virusnya
pertama kali dilaporkan oleh Sonstegarddkk. pada tahun 1972 yang berasal dari ikan
”Yearling White Suckers” (Catastomus comersoni) di Canada. Di Jerman virus
diisolasi dari grayling (Thymallus thymallus), barbel ( Barbus barbus), Pike (Esox
lucius) dan Carp (Cyprinus carpio). Di Irlandia Utara, virus IPN diisolasi dari
Goldfish (Carassius auratus), Discuss Fish (Symphysodon discus) dan Bream
(Abramis brama).
Di Inggris (England) diisolasi dari Carp (Cyprinus carpio) dan Crucian carp
(Carassius auratus). Demikian pula di Jepang isolasi virus IPN diperoleh dari
European eels (Anguilla anguilla) dan Japanese eels (Anguilla japonica) dan
dinamakan Eels Virus European (EVE).
Penularan IPN dapat terjadi secara vertikal, dengan virus berada dalam telur, atau
horizontal, melalui air, urine, faeces, sekresi sexual atau melalui ikan mati/sakit yang
dikonsumsi oleh ikan lain. Umumnya ikan yang sembuh (survivors/carriers) dapat
menjadi non-clinical carriers atau pembawa penyakit, mungkin selama hidupnya dan
carrires tersebut juga bertindak sebagai reservoir virus untuk ikan-ikan lain yang
sebelumnya belum terinfeksi.
Selain itu masa inkubasi IPN relatif pendek, antara 3 – 5 hari sebelum tanda
klinis dan kematian terjadi. Faktor-faktor seperti umur inang, suhu rendah dan spesies
ikan dapat memperpanjang masa inkubasi.
Pada kasus/wabah, tanda-tanda pertama adanya kematian mendadak dan
biasanya yang terserang pertama kali adalah ikan yang masih muda. Tanda klinis
dapat bervariasi antara lain : warna ikan menjadi gelap, bergerak berputar-putar,
exophthalmus (mata menonjol), perut membesar dan terdapat cairan visceral,
perdarahan di daerah bawah perut/ventral termasuk di daerah sirip, hati dan limpa
pucat dan membesar, tak terdapat makanan dalam perut dan usus biasanya
mengandung eksudat mucoid yang kekuningan atau keputihan.
Lymphocystis disebabkan oleh virus yang dianggap paling tua dan virus yang
paling diketahui pada ikan, walaupun virus diisolasi dan ditumbuhkan pada pupukan
jaringan baru pada tahun 1966.
Lymphocystis terjadi di banyak negara dan sekurang-kurangnya 97 spesies ikan
jenis teleost pernah terserang. Penyakit tersebut merupakan infeksi yang umumnya
banyak dijumpai, bersifat kronis dan merupakan tumor yang tidak ganas disebabkan
oleh iridovirus. Penyakit ini menyerang banyak spesies baik pada ikan air tawar, laut,
ikan yang dibudidaya atau ikan liar, juga pernah dijumpai pada ikan hias laut di
wilayah karantina ikan (di luar negeri).
Penularan penyakit dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung misalnya
melalui air yang tercemar virus, melalui makanan dan melalui suntikan. Tetapi
tempat penularan yang utama adalah permukaan kulit luar, termasuk insang.
Tanda-tanda klinis/patologis serangan virus ini adalah terjadinya penebalan
(hypertrophy) dari sel-sel jaringan ikat yang menimbulkan tonjolan pada daerah kulit
(nodul) pada daerah sirip atau kulit;dapat terjadi secara satu-satu atau mengelompok.
Secara histopatologis di daerah fibrocytes/sel yang terinfeksi terlihat adanya
hypertrophy yang jelas dengan capsul hyaline dan basophilic intracytoplasmic
inclusions.
Penyakit Infectious Haematopoietic Necrosis (IHN) merupakan suatu penyakit
yang bersifat akut dan sistemik. Penyakit ini menyerang Rainbow trout (Salmo
gairdneri), Chinook slmon (Oncorrhynchus tshawytscha), Sockeye salmon (O.
nerka).
Target sel penyakit IHN ini terutama organ penghasil darah yakni ginjal muka
dan limpa. Tanda-tanda klinis penyakit ini antara lain ikan yang terinfeksi terlihat
lethargik, berkumpul di tepi kolam, berwarna lebih gelap, anemia, exophthalmia,
scoliosis, lordosis, pembengkakan abdomen, perdarahan pangkal sirip pektoral dan
sirip pelvic, perdarahan bawah kulit; ginjal, limpa dan hati terlihat pucat, rongga perut
berisi cairan dan usus kosong, perdarahan bintik pada jaringan adipose usus.
Viral nervous necrosis (VNN) merupakan penyakit virus yang menginfeksi
stadia larva dan juvenil ikan laut dan merupakan penyakit yang berbahaya bagi usaha
pembenihan ikan.
Gejala yang tampak pada ikan yang terinfeksi VNN berbeda-beda sesuai dengan
stadia atau umur ikan. Umur ikan di bawah 20 hari bila terinfeksi tidak menunjukkan
gejala klinis kecuali nafsu makan yang menurun. Ikan umur 20 – 40 hari
menunjukkan tingkah laku berenang yang abnormal yaitu ikan berenang di dekat
permukaan air dan banyak yang mati di dasar bak. Untuk ikan yang berumur 2 – 4
bulan, saat penempatan pada jaring apung ikan yang terinfeksi tampak diam/tidur di
dasar jaring. Sedangkan ikan umur 4 bulan ke atas terlihat berenang mengambang di
atas permukaan air disertai adanya pembesaran gelembung renang (Koesharyani et al.,
2001 dalam Suratmi, 2004).
Di Indonesia kasus serangan VNN pertama kali diidentifikasi pada hatchery
kakap di Jawa Timur pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 1998 kasus kematian
yang disebabkan oleh VNN ditemukan pada budidaya ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) dengan tingkat kematian mencapai 100 %. Virus ini umumnya
menginfeksi stadia larva sampai juvenil dan menyerang sistem organ syaraf mata dan
otak yang ditandai dengan adanya vakuolasi, dengan gejala yang cukup spesifik
karena ikan menampakkan tingkah laku berenang yang tidak normal dan umumnya
ikan berdiam di dasar (Yuasa et al., 2001 dalam Suratmi, 2004).
Koi Herpes Virus (KHV) merupakan agen penyebab penyakit yang sampai saat
ini spesifik menyerang ikan Mas (Common carp) dan Ikan Koi. Virus tersebut
tergolong sangat ganas karena dapat menyebabkan kematian masal hingga mencapai
100 % pada populasi ikan Mas dan Koi di sentra-sentra budidaya perikanan.
Kasus wabah penyakit KHV tersebut pertama kali dilaporkan pada tahun 1998 di
Israel dan Amerika Serikat yang menyebabkan kematian masal ikan Mas dan Koi.
Kerugian ekonomi yang dialami Israel mencapai 4 juta dollar Amerika Serikat
(Tinman dan Bejerano, 2003). Di Indonesia serangan KHV pertama kali dilaporkan
pada awal tahun 2002 dan selama periode tersebut telah menyebar ke seluruh pulau
Jawa dan Bali serta Sumatera bagian Selatan. Wabah tersebut mengakibatkan
kerugian ratusan milyar rupiah. Penularan dan penyebaran KHV yang sangat efektif
adalah melalui perdagangan dan distribusi komoditas ikan.
Gejala yang ditimbulkan oleh serangan KHV, nafsu makan mendadak hilang,
gerakan ikan tidak normal dan megap-megap (operkulum bergerak cepat), bercak
putih pada insang yang selanjutnya berkembang menjadi geripis pada ujung lamella
dan akhirnya membusuk. Oleh sebab itu disebut penyakit virus insang membusuk.
Dapat pula diikuti perdarahan di sirip dan badan serta luka melepuh. Kematian terjadi
antara 1 – 5 hari setelah gejala awal. Kematian mencapai 100 % dalam waktu singkat.
Kematian masal akibat KHV di farm-farm budidaya tersebut terjadi pada
temperatur air berkisar antara 17 – 25 derajat Celcius dan tingkat kematian akan
menurun apabila suhu air berada di atas atau di bawah kisaran temperatur tersebut.
Keganasan KHV ditunjukkan oleh waktu kematian yang berlangsung relatif sangat
cepat setelah ikan menunjukkan tanda-tanda awal terinfeksi KHV dan waktu
penyebaran dan penularan KHV yang relatif sangat cepat.
pemberian obat-obatan berupa bahan kimia dan antibiotika. Namun demikian
pemakaian bahan-bahan tersebut di atas secara terus menerus akan menimbulkan
masalah baru yaitu meningkatnya resistensi mikroorganisme penyebab penyakit,
selain itu juga dapat membahayakan lingkungan perairan di sekitarnya dan ikan-ikan
itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan bahan obat lainnya yang relatif lebih aman
untuk lingkungan dan efektif dalam mengobati penyakit ikan.
Pengendalian berbagai penyakit ikan yang disebabkan oleh agen-agen patogenik
dengan menggunakan bermacam-macam tumbuhan obat tradisional, pada saat ini
sudah banyak dilakukan dan memberikan hasil yang cukup efektif.
Beberapa jenis tumbuhan obat yang biasa digunakan dalam bidang perikanan
untuk pengobatan terhadap jenis-jenis penyakit ikan tertentu meliputi daun jambu biji
(Psidium guajava L.), sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees), dan sirih
(Piper betle L.).
4.1. Pengendalian penyakit ikan akibat parasit
Sirih (Piper betle L.) sudah banyak dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia sejak lama karena semua bagian tanaman yang meliputi akar, daun dan
bijinya digunakan sebagai obat tetapi daun pada sirih lebih terkenal dan banyak
digunakan. Atsiri yang terkandung di dalam daun sirih mempunyai bau yang
aromatik dan berasa pedas, atsiri pada daun sirih mengandung chavicol C4H3OH
yang merupakan antiseptik yang kuat untuk menanggulangi parasit terutama
Ichthyophthirius multifiliis, hasil tersebut telah dibuktikan validitasnya.
Khasiat sirih digunakan sebagai styptic (penahan darah) dan vulnerary (obat luka
pada kulit) juga berdaya guna sebagai antioksida, antiseptic, fungisida dan
bakterisidal. Hal ini dipertegas oleh Widarto (1990) bahwa daun sirih yang
mengandung minyak atsiri bersifat menghambat pertumbuhan parasit dan pada
penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2003) membuktikan bahwa atsiri daun sirih
dapat menghambat pertumbuhan parasit protozoa pada ikan botia. Namun dalam
penerapannya harus memperhatikan ketahanan ikan terhadap air rebusan daun sirih
tersebut. Konsentrasi yang terlalu tinggi dapat berpengaruh negatif tidak hanya
terhadap parasit tetapi juga pada ikan.
Hasil penelitian Herawati (2003) menunjukkan pengobatan dengan cara
perendaman menggunakan bahan alami daun sirih dapat menghambat
perkembangbiakan parasit Ichthyophthirius multifiliis. Pada konsentrasi 8,3 ppt daun
sirih, tingkat mortalitas parasit Ich mencapai 99,4 %. Sedangkan konsentrasi terbaik
perendaman dengan daun sirih yang aman untuk ikan dan efektif untuk
menanggulangi parasit Ich adalah pada 6,7 ppt dengan tingkat mortalitas Ich sebesar
86,28 % selama 12 jam perendaman.
Hasil pengamatan terhadap gejala klinis dari ikan botia sebelum dan sesudah
perendaman dengan daun sirih menunjukkan perbedaan yang nyata.
Sebelum perendaman, ikan yang terserang parasit Ich menunjukkan gejala
terdapat bintik-bintik putih kecil berwarna putih pada kulit, sirip dan insang. Sering
juga tampak selaput putih abu-abu pada lensa mata ikan botia. Ikan yang telah
terinfeksi berat oleh parasit ini tampak lemah, sering menyendiri dan menggosokkan
badannya pada dasar kolam. Selanjutnya ikan akan mengapung atau berada pada
permukaan bilamana insang sudah penuh kiste parasit Ichthyophthirius multifiliis.
Parasit Ich yang menyerang insang mengakibatkan insang berwarna merah kehitaman,
lamella insang berwarna pucat dan hilangnya fungsi insang.
Setelah perendaman, ikan yang terserang parasit Ich menunjukkan perubahan
seperti warna pada tubuh kembali cerah dimana bintik putih yang ada pada kulit sudah
hilang, juga pada sirip ekor, punggung, dada dan perut. Kondisi mata kembali seperti
pada saat ikan masih sehat yaitu kehitaman pada lensa mata tampak bening. Gerakan
dari ikan berangsur-angsur kembali normal yaitu berenang lincah dan tampak ciri
khas dari ikan botia yaitu bergerombol dan berenang dengan lincah. Warna insang
ikan juga perlahan-lahan kembali normal yaitu kemerah-merahan dan lamella insang
kembali normal sehingga ikan dapat berenang dengan lincah karena fungsi insang
kembali normal.
Hal serupa juga telah dibuktikan oleh Rizqi Akuarium Farm yang biasa
menggunakan air rebusan daun sirih untuk mengobati penyakit ikan akibat parasit
protozoa. Untuk pengobatan, Rizqi Akuarium Farm menggunakan aquarium dengan
volume air 60 L, rebusan daun sirih 5 ppt (sebelum memasukkan 5 ppt (150
mL/6000mL = 5 ppt) rebusan daun sirih, air dalam aquarium dikurangi terlebih
dahulu sebanyak 150 mL) rebusan daun sirih dibuat untuk larutan stock sebanyak 3 L
(komposisi 200 g daun sirih yang direbus dengan air 3,35 L) selama 6 jam sampai
ikan kembali sehat, pengobatan dengan cara ini telah dilakukan selama kurang lebih 5
tahun dan terbukti efektif dalam menanggulangi penyakit ikan akibat parasit protozoa.
Metode pengobatan dengan cara tersebut di atas juga telah banyak digunakan oleh
para pemilik farm ikan dan terbukti efektif.
Selain efektif untuk pengendalian parasit Ich, rebusan daun sirih juga efektif
untuk menurunkan intensitas parasit helminths dari kelas Monogenea yang terdapat
pada permukaan tubuh dan insang ikan (Herawati, 2003, komunikasi pribadi).
Menurunnya intensitas parasit helminths diduga disebabkan kandungan bahan-bahan
dalam minyak atsiri pada rebusan daun sirih yang merupakan antiseptik yang kuat
terhadap parasit tersebut. Evans et al. (1984) melaporkan aktivitas minyak atsiri
sebagai anthelmentikum terhadap Caenorhabditis elegans. Senyawa-senyawa
chavicol, alilpirokatekol, kavibetol, kavibetol asetat, dan alilpirokatekoldiasetat,
masing-masing pada kadar 200 ug/ml dapat membunuh sempurna C. elegans.
Penggunaan daun sirih untuk pengendalian parasit helminths pada ikan perlu
melalui uji pendahuluan untuk mengetahui konsentrasi optimal daun sirih yang dapat
menghambat pertumbuhan parasit helminths tetapi aman digunakan untuk ikan.
Selain itu, dalam melakukan pengobatan juga perlu dipertimbangkan cara parasit
melakukan penetrasi ke ikan yang akan menentukan metode pengobatan yang dipilih,
ukuran ikan, dan spesies ikan yang akan diobati. Ukuran dan spesies ikan yang
berbeda akan menghasilkan sensitivitas yang berbeda terhadap tumbuhan obat yang
diaplikasikan.
4.2. Pengendalian penyakit ikan akibat jamur
Pemanfaatan tumbuhan obat tradisional untuk pengobatan penyakit ikan akibat
jamur sudah sering dilakukan di farm-farm budidaya / pemeliharaan ikan milik petani
atau pengusaha ikan, dan terbukti efetif. Namun demikian penggunaan tumbuhan
obat ini belum ada yang membuktikan validitasnya secara ilmiah.
Jenis tumbuhan yang paling sering digunakan dalam pengobatan penyakit ikan
akibat jamur adalah sirih (Piper betle L.). Pengobatannya dilakukan dengan cara
perendaman ikan sakit dalam media air yang mengandung air rebusan daun sirih
dalam konsentrasi tertentu selama beberapa saat. Cara ini terbukti cukup efektif
dalam menghambat pertumbuhan jamur yang ada pada bagian permukaan tubuh ikan.
Untuk jamur yang menyerang organ-organ internal ikan, pengobatan dengan cara
perendaman memberikan hasil yang kurang efektif. Oleh karena itu, pengobatan
terhadap jamur pada organ internal dapat dicoba dengan cara lain yaitu melalui
pemberian pakan ikan yang mengandung ekstrak sirih (Piper betle L.).
Darwis (1991) mengatakan bahwa daun sirih dapat dimanfaatkan sebagai
fungisida. Beberapa peneliti lain (Evans, 1984; Chou, 1984), juga melaporkan bahwa
sirih bersifat anti jamur. Minyak atsiri dan ekstrak daun sirih menunjukkan aktivitas
anti jamur terhadap jamur Aspergillus niger, Curvularea lemata, Fusarium
oxysporum, Phyticum ullimum, Candida albicans, Candida prusei, Candida
parakrusei, Candida tropicalis, dan Candida pseudotropicalis (Sadeli, 1982;
Oehadian, 1987). Chou (1984) melaporkan bahwa serbuk daun sirih lebih aktif
daripada serbuk buahnya terhadap Aspergillus niger dan produksi Aflatoxin. Pada
penggunaan pelarut tunggal ekstrak kloroform dan etanol menunjukkan aktivitas anti
jamur yang lebih kuat daripada ekstrak air. Ekstrak etanol 450 mg/ml dapat
mengeliminasi Aspergillus parasiticus dan produksi Aflatoxin. Sifat anti jamur ini
menunjukkan aktivitas optimal pada pH 4. Evans et al. (1984) melaporkan
komponen-komponen aktif daun sirih terhadap jamur Phytium ultimum. Pemisahan
komponen aktif dilakukan dengan cara kromatografi kolom dan bantuan alat
chromatatron. Komponen aktif anti jamur diidentifikasi sebagai chavicol,
alilpirokatekol, kavibetol, kavibetol asetat, alilpirokatekoldiasetat. Terhadap berbagai
jenis jamur Candida, infus daun sirih aktif mulai pada kadar 3,5 permil (Sadeli, 1982;
Oehadian, 1987).
Berdasarkan uraian di atas, sirih (Piper betle L.) mempunyai prospek untuk
dikembangkan sebagai alternatif obat untuk pengendalian penyakit ikan akibat jamur.
Namun sebelum aplikasi pengobatan dilakukan perlu dilakukan uji toksisitas
tumbuhan obat tersebut terhadap ikan dan jamur target, serta metoda aplikasi yang
paling efektif. Selain itu, juga perlu dilakukan uji sensitivitas tumbuhan obat terhadap
berbagai ukuran / stadia ikan maupun terhadap jenis-jenis spesies ikan yang berbeda,
karena perbedaan ukuran dan spesies ikan akan menghasilkan sensitivitas yang
berbeda.
4.3. Pengendalian penyakit ikan akibat bakteri
Hasil penelitian tentang pemanfaatan tumbuhan obat tradisional yang meliputi
sirih (Piper betle L.), sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) dan daun
jambu biji (Psidium guajava L.) menunjukkan bahwa bahan-bahan tersebut dapat
digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada ikan.
Sirih (Piper betle L.) terbukti efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Aeromonas hydrophila dan penyakit ikan yang disebabkan Aeromonas hydrophila.
Hasil penelitian Sipahutar (2000) menemukan bahwa konsentrasi ekstrak sirih 3,125
mg/ml sudah dapat membunuh bakteri Aeromonas hydrophila secara sempurna.
Demikian pula halnya dengan pemberian ekstrak sirih yang dicampur ke pakan
menunjukkan hasil yang lebih efektif bila dibandingkan dengan pengobatan dengan
ekstrak daun jambu biji dan ekstrak sambiloto dalam mengobati penyakit MAS
(Motile Aeromonad Septicaemia) yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas
hydrophila (Giyarti, 2000). Hal ini ditunjukkan dengan proses penyembuhan tukak
yang lebih cepat (tukak hampir menyembuh dengan sempurna), dan tingkat
kelangsungan hidup yang lebih baik (53,33 %), bila dibandingkan dengan pengobatan
dengan ekstrak daun jambu biji (20,00 %), ekstrak sambiloto (33,33%) maupun
kontrol (20,00 %). Keadaan ini diduga karena sirih mengandung minyak atsiri yang di
dalamnya mengandung bahan-bahan senyawa fenol yang bersifat antibakteri dalam
persentase yang cukup besar di dalam daunnya. Van Denmark dan Batzing (1987)
dalam Astuty (1997) melaporkan bahwa mekanisme kerja senyawa fenolik adalah
mendenaturasikan protein dan merusak membran sel dengan cara melarutkan lemak
yang terdapat pada dinding sel karena senyawa ini mampu melakukan migrasi dari
fase cair ke fase lemak. Menurut Judis (1962) dalam Astuty (1997), senyawasenyawa
fenol membunuh bakteri dengan merusak membran selnya. Hal ini akan
berakibat terjadinya kebocoran sel yang ditandai dengan keluarnya makro molekul
seperti protein dan asam nukleat dari dalam sel.
Menurut Ingram (1981) dalam Widarto (1990), senyawa fenol mampu
memutuskan ikatan silang peptidoglikan dalam usahanya menerobos dinding sel.
Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol menyebabkan kebocoran nutrien sel
dengan merusak ikatan hidrofobik komponen penyusun membran sel seperti protein
dan fosfolipida serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik
yang berakibatnya meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada
membran sel berakibat terhambatnya aktivitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik
yang diperlukan dalam reaksi metabolisme.
Aktivitas anti bakteri dari minyak atsiri dalam ekstrak daun sirih juga
dikemukakan oleh CSIR (1969) dalam Darwis (1991). Beberapa bakteri gram positif
dan gram negatif dihambat pertumbuhannya. Bakteri tersebut meliputi Micrococcus
pyogenes var. albus dan var. aureus, Bacillus subtilis dan B. megaterium, Diplococcus
pneumonial, Streptococcus pyogenes, Escherichia coli, Salmonella typhosa, Vibrio
comma, Shigella dysentriae, Proteus vulgaris, Pseudomonas solanacaerum, Sarcinia
lutea, dan Erwinia carotovora. Aktivitas antiseptik yang dimiliki daun sirih mungkin
disebabkan oleh senyawa chavicol yang dikandungnya. Minyak atsiri pada daun sirih
juga dapat menghambat pertumbuhan Vibrio cholerae pada pengenceran 1 : 4000,
Salmonella typhosa dan Shigella flexgeri dalam 1 : 3000, dan E. coli para a dan m.
pyogenes var. aureus dalam 1 : 2000. Destilat uap daun sirih menunjukkan aktivitas
anti bakteri terhadap M. tuberculosis pada pengenceran 1 : 5000 (CSIR, 1969 dalam
Darwis, 1991).
Melihat aktivitas anti bakteri dari daun sirih baik terhadap bakteri gram positif
maupun negatif seperti diuraikan di atas, maka perlu dilakukan serangkaian uji coba
untuk penerapannya dalam pengendalian penyakit ikan. Selanjutnya, aplikasi sirih
untuk pengobatan penyakit bakterial pada ikan perlu mempertimbangkan tingkat
keamanannya terhadap ikan dan lingkungan, metoda pengobatan, serta ukuran dan
spesies ikan yang diobati.
Selain sirih (Piper betle L.), daun jambu biji (Psidium guajava L.) dan
sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)) juga terbukti dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila.
Berdasarkan hasil penelitian Sipahutar (2000), makin tinggi konsentrasi
ekstrak daun jambu biji yang digunakan menyebabkan peningkatan efek anti bakteri.
Konsentrasi ekstrak daun jambu biji 31,25 mg/ml sudah dapat membunuh bakteri
Aeromonas hydrophila secara sempurna. Hal ini diduga karena daun jambu biji
mengandung beberapa senyawa fenolik yang bersifat anti bakteri seperti minyak atsiri
(eugenol) (Wijayakusuma et al., 1994). Melalui penelitian yang dilakukan oleh
Giyarti (2000) diketahui bahwa pemberian pakan yang mengandung ekstrak daun
jambu biji kepada ikan patin yang telah diinfeksi dengan Aeromonas hydrophila,
menunjukkan proses penyembuhan tukak hingga tukak makin mengecil. Proses
penyembuhan ini berlangsung relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan kontrol.
Hal ini diduga karena daun jambu biji mempunyai khasiat sebagai anti radang (anti
inflamasi) dan dapat menghentikan perdarahan (hemostatik) dan adanya kandungan
minyak atsiri yang bersifat anti bakteri (Wijayakusuma et al., 1994). Sementara itu,
penelitian Direkbusarakom et al. (1997) menemukan bahwa total mortalitas catfish
(Clarias macrocephalus) yang diberi pakan dengan ekstrak daun jambu biji selama 7
hari sebelum infeksi bakteri Aeromonas hydrophila kepadatan 10 ...cfu/ml adalah 0 %
dan kontrol (pakan pelet biasa) 80 %.
Berdasarkan uraian seperti tersebut di atas dapat dikatakan bahwa daun jambu
biji dapat digunakan sebagai alternatif dalam pengobatan penyakit bakterial pada ikan.
Penerapan daun jambu biji untuk pengobatan dapat dilakukan setelah melalui
serangkaian uji coba dengan mempertimbangkan tingkat keamanannya untuk ikan dan
lingkungan, konsentrasi yang efektif untuk berbagai ukuran dan spesies ikan, serta
metoda pengobatannya.
Selanjutnya pada penelitian dengan menggunakan sambiloto, Giyarti (2000)
menemukan terjadinya proses penyembuhan tukak pada ikan patin yang diinfeksi
dengan Aeromonas hydrophila. Proses penyembuhan tukak ikan terjadi cukup cepat
pada pengobatan dengan ekstrak sambiloto jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini
diduga karena sambiloto berkhasiat dapat menghilangkan pembengkakan, anti radang
(Wijayakusuma et al., 1994), bakteriostatik, dan dapat meningkatkan phagocytosis sel
darah putih (Sastrapradja et al., 1978 dalam Giyarti, 2000).
Saroni et al. (1969) dalam Nuratmi et al. (1996) mengatakan bahwa tikus putih
yang diinfus daun sambiloto 51,4 mg/100 gram bobot tubuh, secara oral dapat
meningkatkan efek antiinflamasi. Sementara itu, Gupta (1990) dalam Aldi et al.
(1996) mengatakan bahwa sambiloto bersifat anti bakteri pada bakteri Escherichia
coli.
Selain daun sirih dan daun jambu biji, daun sambiloto juga dapat digunakan
sebagai salah satu alternatif dalam pengobatan penyakit bakterial pada ikan.
Penggunaan bahan ini tentunya harus melalui serangkaian uji coba untuk menentukan
dosis / konsentrasi efektif untuk pengobatan.
Manfaat daun sirih, daun jambu biji, dan daun sambiloto dalam pengendalian
penyakit ikan telah dibuktikan melalui uji coba yang dilakukan oleh tim Stasiun
Karantina Ikan Ngurah Rai (SKI Ngurah Rai) pada tahun 2002. Dalam kegiatan
tersebut, tim menemukan bahwa kombinasi tumbuhan obat sirih (Piper betle L.), daun
jambu biji (Psidium guajava L.) dan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)
Nees) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptomyces sp.
Hasil pengujian yang dilakukan terhadap bakteri Streptomyces sp. dengan
kepadatan 106 cfu/ml yang ditumbuhkan pada media TSA 0,1 ml, diberikan perlakuan
dengan pemberian cakram kertas yang telah dicampurkan dengan larutan ekstrak
kombinasi obat sambiloto, sirih, dan daun jambu biji memperoleh hasil kombinasi
obat dengan konsentrasi 0,4 g/60 ml sirih, 2 g/60 ml daun jambu biji, dan 2 g/ 60 ml
sambiloto mempunyai zona hambatan bakteri Streptomyces sp. lebih besar ( rerata
zona hambatan obat terhadap bakteri Streptomyces sebesar 15,2 mm) dibanding
kombinasi obat lainnya. Kombinasi obat pembanding yang dimaksud meliputi 0,4
g/60 ml sirih dengan 4 g/60 ml daun jambu biji, 4 g/60 ml daun jambu biji dengan 4
g/60 ml sambiloto, serta 0,4 g/60 ml sirih dengan 4 g/60 ml sambiloto. Rerata zona
hambatan obat terhadap Streptomyces masing-masing sebesar 5,3 mm, 6,1 mm, dan
10,4 mm.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketiga jenis obat tersebut saling berinteraksi
membentuk suatu ikatan yang mempunyai fungsi sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri.
Selanjutnya pada uji coba pemberian ketiga tumbuhan obat tradisional tersebut
kepada ikan yang diinfeksi dengan Streptomyces menemukan bahwa pemberian
kombinasi ekstrak sirih 0,4 g, sambiloto 6 g, dan daun jambu biji 0,4 g per 100 g
pakan, efektif dalam mencegah terjadinya serangan bakteri Streptomyces sp. pada
ikan koi.
4.4. Pengendalian penyakit ikan akibat virus
Kegiatan penelitian tentang pengaruh pemberian tumbuhan obat sirih, daun
jambu biji, atau sambiloto dalam pencegahan dan pengobatan penyakit viral pada ikan
belum banyak dilakukan. Direkbusarakom et al. (1997) dalam penelitiannya tentang
efektivitas pemberian daun jambu biji terhadap virus udang, menemukan daun jambu
biji kurang efektif untuk mencegah virus yellow head pada udang.
Pemanfaatan daun jambu biji untuk pengobatan penyakit pada manusia sudah
cukup meluas. Daun jambu biji tua diketahui mengandung berbagai macam
komponen yang berkhasiat mengatasi penyakit demam berdarah dengue (DBD).
Seperti diketahui, DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue.
Berkaitan dengan itu, dari hasil penelitian uji in vitro ekstrak daun jambu biji
ditemukan bahwa ekstrak tersebut terbukti dapat menghambat pertumbuhan virus
dengue. Namun demikian hal tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut dengan uji
klinik untuk membuktikan khasiat dengan evidence based yang lebih kuat agar
dikemudian hari ekstrak daun jambu biji dapat resmi digunakan sebagai obat anti
virus dengue (Kompas, 2005).
Efektivitas daun jambu biji untuk pengendalian penyakit viral pada ikan perlu
diteliti lebih jauh dan mendalam dengan menggunakan berbagai jenis virus ikan, baik
secara uji in vitro maupun in vivo.
kesimpulan dan saran.
5.1. Kesimpulan
1. Jenis-jenis penyebab penyakit ikan yang seringkali menimbulkan masalah
dalam budidaya maupun usaha perikanan terdiri dari agen-agen patogenik
yang termasuk golongan parasit (protozoa, helminth, crustacea), jamur,
bakteri, dan virus.
2. Tumbuhan obat tradisional seperti sirih, daun jambu biji, dan sambiloto, dapat
dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit ikan.
3. Penggunaan tumbuhan obat tradisional dalam pencegahan dan pengobatan
penyakit ikan memiliki kelebihan antara lain mudah diperoleh, murah, efektif
untuk mencegah dan mengobati penyakit ikan, dan relatif aman bagi ikan,
lingkungan, dan manusia yang mengonsumsinya. Selain itu, kelebihan lainnya
adalah tidak menimbulkan resistensi dari agen patogenik penyebab penyakit.
5.2. Saran
Perlu dilakukan serangkaian penelitian tentang efektivitas tumbuhan obat
tradisional sirih, daun jambu klutuk, dan sambiloto dalam pencegahan dan pengobatan
penyakit ikan baik yang disebabkan oleh agen patogenik yang berasal dari golongan
parasit, jamur, bakteri, dan virus.
D A F T A R P U S T A K A
Aldi, Y., N.C. Sugiarso, A.S. Andreanus dan A.S. Ranti. 1996. Uji efek
antihistaminergik dari tanaman Andrographis paniculata Nees. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 3 No. 1. p: 17 – 19.
Anonim. 2005. Tanaman obat. Harapan bagi masalah kesehatan manusia modern.
Kompas hal. 39, 23 Juni 2005.
Astuty, T., 1997. Pengaruh konsentrasi bubuk daun sirih kering terhadap
pertumbuhan beberapa jenis bakteri dan aplikasinya pada daging segar. Skripsi.
Fateta-IPB, Bogor.
Austin, B and D.A. Austin. 1993. Bacterial Fish Pathogens. Disease in Farmed and
Wild Fish. Second Edition. Ellis Horwood. New York.
Bullock, G.L. 1971. The identification of fish pathogenic bacteria in S.F. Snieszko
and H.R. Axelrod (eds). Diseases of fishes book 2 B TFH Publications.
Neptune. New Jersey.
Christianti, I., 1992. Pengaruh penyimpanan beberapa varietas jambu biji (Psidium
guajava) dengan teknik ”Modified Atmosphere Storage”. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian IPB. Bogor. 112 hlm.
Chou, C.C. and R.C. Yu. 1984. Proc. Natl. Sci. Counc. ROC (B) 8, 30.
Dalimartha, S., 1996. Ramuan tradisional untuk pengobatan. Lembaga Biologi
Nasional LIPI, Jakarta.
Dana, D. Dan S.L. Angka. 1990. Masalah penyakit parasit dan bakteri pada ikan air
tawar serta cara penanggulangannya. Hal.: 10 – 23. Prosiding Seminar
Nasional II Penyakit Ikan dan Udang. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar,
Bogor. 227 hal.
Darwis. 1992. Potensi sirih (Piper betle Linn.) sebagai tanaman obat. Di dalam
Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol. 1 (1) : 9 – 11.
Direkbusarakom, S. A. Herunsalee, M. Yoshimizu, Y. Ezura and T.Kimura. 1997.
Efficacy of Guava (Psidium guajava) extract against some fish and shrimp
patogenic agents. In T.W. Flegel and 1.11. MacRae (eds). Diseases in Asian
Aquaculture III. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila.
Dwiyanti, R. R. 1996. Mempelajari ketahanan panas ekstrak antioksida daun sirih
(Piper betle Linn.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. 78 hal.
36
Giyarti, D., 2000. Efektivitas ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) sambiloto
(Andrographis paniculata (Burm. f.) Nees) dan sirih (Piper betle L.) terhadap
infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan patin (Pangasius
hypophthalmus). Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.
Herawati, V. E., 2003. Efektifitas penggunaan daun sirih (Piper betle) untuk
menanggulangi parasit Ichthyophthirius multifiliis pada ikan botia. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Hidayat, H. M. 1999. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif ekstrak air batang
sambiloto (Andrographis paniculata Ness). Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam IPB. Bogor. 19 hal.
Inglis, V., R.J. Roberts and N.R. Bromage. 1993. Bacterial Diseases of Fish.
Blackwell Scientific Publications. London. P: 143-152.
Mangunwiryo, H., D. Dana, A. Rukyani. 1995. Deskripsi Hama dan Penyakit Ikan
Karantina Golongan Virus. Pusat Karantina Pertanian. Jakarta.
Nitimulyo, K.H., I.Y.B. Lelono, dan A. Sarono. 1993. Deskripsi Hama dan Penyakit
Ikan Karantina Golongan Bakteri Buku 2. Pusat Karantina Pertanian. Jakarta.
Nuratmi, B., Adjiri dan D.I. Paramita. 1996. Beberapa penelitian farmakologis
sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Kumpulan abstrak). Warna
Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 3, No.1. Hal : 1-24; 33-34.
Oehadian, H. 1987. Daya hambat rebusan daun sirih (Piper betle L.) terhadap jamur
Candida albicans. Laporan penelitian. Fakultas Kedokteran UNPAD.
Sadeli, R., 1982. Usaha pemeriksaan daya antimikotik dari ekstrak daun sirih (Piper
betle L.) terhadap beberapa species Candida. Laporan Penelitian, Fakultas
Kedokteran UNPAD.
Sastrapradja, S., M. Asyari, E. Djajasukma, E. Kasim, I. Lubis, S. Harti dan A. Lubis.
1978. Tanaman obat yang digunakan. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.
p : 90 -92.
Stasiun Karantina Ikan Ngurah Rai. 2002. Penggunaan tanaman obat tradisional
terhadap pencegahan serangan bakteri Streptomyces sp. Yang menginfeksi ikan
koi (Cyprinus carpio)
Sastroamidjojo, S., 1997. Obat asli Indonesia. Dian Rakyat. Jakarta.
Sipahutar, H. S., 2000. Potensi antibakteri ekstrak kunyit (Curcuma domestica), daun
jambu biji (Psidium guajava L.), sirih (Piper betle L.) dan sambiloto
(Andrographis paniculata (Burn.f.)Nees) terhadap bakteri Aeromonas
hydrophila. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, IPB. Bogor.
Sukadi, F., 2004. Kebijakan pengendalian hama dan penyakit ikan dalam mendukung
akselerasi pengembangan perikanan budidaya. Disampaikan pada Seminar
Nasional Penyakit Ikan dan Udang IV di Univ. Jenderal Soedirman,
Purwokerto, 18 – 19 Mei 2004.
Widarto, H. 1990. Pengaruh minyak atsiri daun sirih (Piper betle L.) terhadap
pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Skripsi.
Fateta-IPB, Bogor.
Wijayakusuma, H. M., S. Dalimartha, dan A.S. Wirian. 1992. Tanaman berkhasiat
obat di Indonesia jilid I. Pustaka Kartini. Jakarta.
Wijayakusuma, H. M., S. Dalimartha, dan A.S. Wirian. 1994. Tanaman berkhasiat
obat di Indonesia jilid II. Pustaka Kartini. Jakarta.