Sekali lagi Khaerudin, wartawanKompas, menurunkan ulasan yang tajam dan menarik tentang skandal Hambalang ("Pembelaan Adik untuk Kakak", 11 Januari 2013, halaman 5).
Pada hemat saya, arah ulasan ini sudah benar. Khaerudin sudah mulai menyinggung locus korupsi besar yang sesungguhnya, berikut tokoh dan perusahaan yang terkait, sebagaimana yang dijelaskan dalam Audit Investigasi BPK, satu-satunya dokumen tentang kasus Hambalang yang relatif lengkap, faktual, serta kaya akan data yang terinci.
Namun demikian, saya perlu memberi tanggapan agar beberapa kekeliruan Khaerudin dapat dikoreksi dan masalah Hambalang bisa dilihat secara lebih utuh.
Gilang
Dalam pembukaan laporannya, Khaerudin memang menjelaskan keberatan saya atas pemblokiran rekening bank Gilang Mallarangeng, 24 tahun, putra sulung Andi Mallarangeng. Sayangnya, Khaerudin tidak menjelaskan alasan keberatan saya yang sesungguhnya.
Gilang adalah tipikal seorang pemuda yang mulai merintis karirnya sendiri. Dua tahun lalu dia bekerja di sebuah perusahaan swasta dengan gaji Rp5,5 juta sebulan. Dia bekerja, menabung, dan jarang merepotkan kedua orang tuanya. Saldo terakhir tabungannya adalah Rp16 juta.
Tabungan inilah yang dibekukan KPK. Sebagaimana yang terlihat di dalamnya, tidak ada satu pun transaksi yang mengindikasikan angka di luar kewajaran. Saldo di dalamnya tidak pernah melampaui Rp50 juta.
Haruskah rekening Gilang dibekukan? Rekening kedua orang tuanya sudah diblokir, dan kita memakluminya sebagai keniscayaan penyidikan. Tapi Gilang? Bukankah dia tidak otomatis terkait dengan perkara ayahnya? Dengan mudah KPK dapat bertanya ke bank tempat Gilang menabung gajinya, atau memeriksa angka-angka di buku tabungan tersebut dan menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada indikasi mencurigakan di dalamnya.
Saya tahu bahwa KPK memiliki kewenangan formal untuk melakukan pemblokiran rekening siapa pun. Tetapi selain aspek formal, kita juga harus mempertimbangkan aspek lainnya. Gilang sudah disudutkan oleh suatu hal yang sebenarnya tidak perlu. Apakah kekuasaan KPK yang begitu besar dalam penyidikan harus diaplikasikan secara membabi buta?
Harta Andi
Dalam laporannya, Khaerudin juga menyinggung harta Andi Mallarangeng. Sudah sering saya menjelaskan persoalan ini, tetapi kesalahan yang sama, entah kenapa, terus berulang di pemberitaan media tertentu, termasuk dalam laporan Khaerudin.
Intinya adalah, semua harta Andi dan Vitri, istrinya, sejumlah kurang lebih Rp15 miliar sudah dilaporkan dalam daftar kekayaan pejabat negara pada saat dia diangkat menjadi menteri. Setelah itu tidak ada pergerakan yang berarti dalam perolehan hartanya. Semua yang dijadikan bahan berita, baik oleh KPK maupun oleh PPATK, seperti pembelian apartemen dan investasi saham di bursa efek, adalah kejadian yang berlangsung jauh sebelumnya, sehingga mustinya tidak terkait sama sekali dengan perkara yang dituduhkan kepadanya.
Seolah tiada ada habisnya, akhir-akhir ini muncul lagi “tuduhan” baru, yang juga bisa dilihat dalam laporan Khaerudin, bahwa Iim Rohimah, sekretaris pribadi Andi, memiliki tabungan sejumlah Rp15 miliar. Jumlah ini fantastis dan, kalau benar, akan mudah menggiring orang pada kesimpulan yang keliru terhadap Andi.
Andi Mallarangeng saat mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Menpora, didampingi para pejabat tinggi Kemenpora.
Apa yang terjadi di sini?
Iim sendiri, dalam penjelasannya kepada Andi dan saya baru-baru ini, menolak semua tuduhan tersebut. Ia juga memperlihatkan tiga buku tabungannya, dengan wajah sedih, yang tidak satu pun memperlihatkan angka lebih dari puluhan juta.
Semua hal tersebut seharusnya menjadi peringatan buat KPK dan PPATK. Bukan salah wartawan jika berspekulasi. Tetapi jika kedua lembaga negara ini merilis temuannya dengan terukur, memberinya konteks, serta menahan info yang masih perlu dicek ulang, maka spekulasi yang berkembang di media, serta pembentukan opini yang terjadi sebagai akibatnya, akan tetap berlangsung dalam batas-batas kewajaran.
Kalau tidak, pasti akan terjadi pembunuhan karakter dan kesewenang-wenangan terhadap seseorang yang belum tentu diputuskan bersalah oleh para hakim kelak.
Saya tahu, sebagaimana yang tersirat di akhir ulasan Khaerudin, ada sejumlah pertanyaan yang wajar terhadap peran Choel Mallarangeng, adik saya, yang kini dalam status dicekal.
Tentang hal ini, saya akan menjelaskannya pada saat yang tepat. Yang pasti, Choel akan bersikap koperatif dengan menceritakan semua yang diketahuinya kepada KPK dalam waktu dekat ini, termasuk kesalahan yang dilakukannya. Saya hanya bisa memohon agar masalah Choel dilihat secara proporsional.
Ironi KPK
Dampak lain dari spekulasi yang tak terkendali adalah beralihnya perhatian publik dari persoalan sesungguhnya dalam skandal Hambalang.
Seperti yang dijelaskan dalam laporan Audit BPK, indikasi kerugian negara Rp126 miliar terjadi dalam hubungan antara kontraktor utama, PT. Adhi Karya, sebuah BUMN konstruksi, dengan subkontraktornya, yaitu PT. Dutasari Citralaras. Di sini terjadi mark-up yang fantastis, mencapai angka ratusan hingga ribuan persen. Inilah indikasi korupsi terbesar yang pernah kita ketahui dalam sejarah Indonesia.
Audit BPK di Lampiran 9 dan 10 membeberkan angka yang terinci menyangkut nama-nama barang yang dinaikkan setinggi langit. Bahkan audit ini juga menjelaskan dengan gamblang bagaimana lima perusahaan konstruksi dan perencanaan, semuanya BUMN, mengatur harga penawaran tender secara bersama-sama dan melanggar hukum, yang memungkinkan mark-up fantastis tersebut di tingkat sub-kontraktor. Dengan canggih mereka mengatur the mechanics of money yang merugikan negara dalam jumlah besar.
Itulah sebenarnya esensi dari skandal Hambalang. Seharusnya, itu pulalah yang menjadi pijakan awal dari investigasi KPK, lewat audit forensik dan semacamnya. Dengan mengurai skandal ini dari locus yang sesungguhnya, KPK kemudian dapat mengaitkannya ke berbagai hal lainnya yang lebih besar, termasuk keanehan yang terjadi dalam pencairan dana Rp1,2 triliun bagi Proyek Hambalang di Departemen Keuangan, serta hubungannya dengan oknum di DPR dan partai politik tertentu.
Hanya dengan itu semua kita dapat mengungkap misteri Hambalang hingga ke akarnya, serta membawa para pelaku skandal tersebut ke meja hijau.
Adalah sebuah ironi besar jika KPK terus bermain dengan angin, seperti dalam pembekuan rekening Gilang Mallarangeng, sementara ikan kakap dan gurita korupsi Hambalang terus bebas tak tersentuh.
* Rizal Mallarangeng adalah Direktur Eksekutif Freedom Institute.