Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dengan suara bulat dalam Kongres Luar Biasa (KLB), Sabtu, 30 Maret 2013. Semua posisi kunci kini dalam genggamannya. Sebelumnya dia telah menjabat Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan Ketua Majelis Tinggi.
Banyaknya jabatan itu, disadarinya tak mungkin dilaksanakan dengan konsentrasi penuh. Sebab, roda pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus berjalan dibawah kendalinya bersama Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.
"Berhubung saya akan tetap konsen, fokus dan prioritas untuk menjalankan roda pemerintahan dan tugas negara, maka saya tidak akan menjalankan tugas sehari-hari Partai Demokrat," kata Yudhoyono dalam pidato perdananya, Sabtu, 30 Maret 2013.
Atas hal itu, Yudhoyono mengaku akan menugaskan Pengurus Harian untuk mengemban tugas dan tanggung jawab Ketua Umum. "Hampir semua tugas Ketua Umum nanti dilakukan Pengurus Harian yang akan diketuai oleh Ketua Harian," katanya.
Sabtu, 31 Maret 2013, Yudhoyono mengumumkannya dalam sebuah keterangan resmi di Hotel Laguna, Nusa Dua, Bali. Ketua Harian DPP Partai Demokrat dipercayakan kepada Syarif Hasan yang kini menjabat Menteri Koperasi dan Usaha Kecil. Ketua Harian Dewan Pembina pada EE Mangindaan.
Marzuki Alie ditunjuknya menjadi Wakil Ketua Majelis Tinggi. Posisi ini sebelumnya dijabat Anas Urbaningrum sebelum berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
"Saudara mengetahui latar belakangnya, meski saya mendapat mandat dan amanat untuk menjadi ketum sementara dalam kurun waktu 1,5-2 tahun mendatang, tugas-tugas kepartaian termasuk manajemen organisasi dan kegiatan sehari-hari telah saya mandatkan dan tugaskan untuk dipimpin dan dikoordinasikan oleh pejabat inti tersebut," katanya.
Diungkapkannya, masih ada pekerjaan rumah baginya menyusun struktur baru kepengurusan. Selain tiga posisi itu akan dibahas lebih lanjut setelah dia kembali bertugas di Jakarta.
"Formatur telah bekerja dan hasil pekerjaan akan diumumkan hari ini, sisanya akan kami lanjutkan dengan pertemuan di Jakarta," ujarnya.
Yudhoyono menekankan, posisi ketua harian merupakan struktur baru hasil KLB tersebut. Dia berharap, mereka bisa segera bekerja sesuai dengan peran dan tugas dan fungsinya.
"Demikian pula, saya akan tetap mengutamakan tugas-tugas saya untuk menjalankan tugas pemerintahan dan kenegaraan."
Ketua Harian DPP Syarif Hasan menyatakan tugasnya adalah menjalankan tugas ketua umum yang seharusnya dijalankan setiap hari. "Dalam arti kata, secara implementatif mengerjakan tugas-tugas yang sudah digariskan oleh ketum," ujarnya.
Menurutnya, posisinya ini tetap strategis. Sebab, fungsinya menjalankan operasional DPP. "Jadi DPP kan ada struktur ada wakil ketum, ada sekjen. Yang penting kita akan bagi tugas."
Ketua Harian Dewan Pembina EE Mangindaan mengaku bisa konsentrasi menjalankan tugasnya meski masih merangkap tugas sebagai menteri. EE Mangindaan kini menjabat sebagai Menteri Perhubungan. "Saya bisa membagi. Tugas itu kan tidak setiap hari," ujarnya.
Menurutnya, tugas Dewan Pembina membuat hal-hal strategis saja kemudian implementasinya kepada pengurus harian. "SBY dengan tugas-tugas kenegaraan, kalau sangat strategis sekali baru kita laporkan. Tapi tidak akan kita bebankan kepada beliau," ujarnya.
Blunder Politik SBY
Pakar Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai hasil KLB itu justru berpotensi menjadi blunder baru bagi Demokrat. Kekuasaan di partai yang sebelumnya terbagi pada banyak orang kini kembali tersentralisasi pada satu patron. Yakni, dengan mendapuk dan mendaulat SBY menjadi ketua umum.
"Ini bukan demokratis, karena demokrasi yang riil itu melalui kontestasi, lobi, kesepakatan, ada equality. Ini buru-buru equality, semua tiarap," ujarnya.
Tampilnya SBY menjadi ketua umum justru bisa menimbulkan persepsi negatif dari publik. Pertama, Demokrat kekurangan kader. Kedua, rangkap jabatan di semua cabang kekuasaan tidak mencerminkan manajemen organisasi besar, tapi organisasi kecil.
"Partai lain sudah meninggalkan patronase kok Demokrat dimundurkan. Kalau itu halnya, jangan heran kalau long term terjadi huru-hara yang lebih besar mencabik-cabik Demokrat sendiri," ujarnya.
Pengamat Politik Hanta Yuda menengarai hasil KLB itu hanya akan efektif jangka pendek. Dalam arti, polemik di tubuh partai tentang ketua umum pengganti Anas Urbaningrum mereda.
Akan tetapi, hal itu berpotensi turbulensi dan gejolak internal di jangka panjang. "KLB memang antiklimaks, tapi jangka panjang, pilihan Pak SBY ini menteri loyalisnya mengambil posisi strategis mengancam partai, terjebak figuritas, bisa dikatakan mengganggu agenda demokratisasi dan kelembagaan partai Demokrat," ujarnya.
Menurutnya, tidak semua faksi di tubuh partai terakomodasi dengan tiga pejabat baru yang diumumkan SBY Minggu pagi ini. "Marzuki Alie diakomodir, tapi saya kira yang harus diantisipasi, kelihatan faksi Anas tidak diakomodasi," ujarnya.
Hanta menilai saat ini SBY memang bisa dijadikan patron pemersatu partai. Akan tetapi, SBY juga tidak mungkin terus menjadi magnet politik. "Pak SBY ini akan anti klimaks, tidak sekuat 2009. Kalau terjerembab dalam patronase ini, jangan-jangan usia partai ini tidak lebih panjang dari usia politik Pak SBY."
Menurut Pengamat Politik Yunarto Wijaya, hasil KLB ini juga menunjukkan pembersihan orang-orang Anas Urbaningrum dari struktur strategis partai. "Ini upaya SBY mengamankan dirinya dengan menarik orang terdekatnya di Partai Demokrat. Bukan kalkulasi rasional membuat partai ini ingin naik elektabilitasnya," ujarnya.
Menurutnya, ini juga menunjukkan paradoks lain SBY. SBY berpidato agar partai jangan tergantung personal, tetapi pengambilan keputusan partai masih harus melaluinya terlebih dahulu.
"Jangka panjang sepanjang partai masih sebatas fans club suatu saat akan menjadi partai kerdil," katanya.
Partai Fans Club
Menurut Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya, rangkap jabatan menunjukkan inkonsistensi SBY dalam berpolitik. Dia merujuk sejumlah pernyataan Presiden SBY minta agar menteri lebih fokus mengurus negara dibanding berpolitik untuk partainya.
"Ini contoh buruk kehidupan bernegara kita, SBY sebagai pejabat publik mengkritik rangkap jabatan. SBY sendiri meletakkan dirinya di titik ekstrim. Ini harus diakui bukan saja paradoks, tapi inkonsistensi," kata yunarto.
Bagi Demokrat, figur SBY memang tepat untuk mempersatukan partai saat ini. Namun jangka menengah dan panjang justru menimbulkan permasalahan baru.
Menurut dia, penunjukan tiga pengurus harian itu menunjukkan orang yang disukai SBY secara pribadi bukan secara profesional orang yang tepat mengisi posisi yang tepat.
"Sayangnya SBY memilih orang yang sama, yaitu orang yang memiliki kesibukan sama sebagai pejabat negara. Ketua DPR, seorang menteri. Saya tidak melihat signifikansinya apa, menurut saya ini hanya menambah tambun struktur di tubuh partai," ujarnya.
Direktur Institut PolTracking Hanta Yuda juga mengkritisi rangkap jabatan di tubuh partai Demokrat itu. Rangkap jabatan itu dinilainya berpotensi mengganggu sistem presidensiil. Ada presiden, menteri, sekaligus ketua DPR yang rangkap jabatan di satu partai.
"Ketika Pak SBY menyampaikan keluhannya agar menteri lebih fokus, ini yang tidak ditradisikan oleh beliau. Justru menambah komplikasi presidensiil. Mengurus kabinet sekaligus partai bisa mengganggu kinerja pemerintahan juga mengganggu soliditas Partai Demokrat," ujarnya.
Siti Zuhro memberikan catatan dinamika menjelang kongres dan hasil kongres menunjukkan inkonsistensi partai itu. Jelang KLB sempat mencuat persyaratan ketua umum harus bisa konsentrasi meningkatkan elektabilitas, tidak rangkap jabatan dan sejenisnya. Hasilnya, bertolak belakang dengan kriteria itu.
"Sekarang jawaban permasalahan krusial adalah memilih manajer partai yang memang 24 jam hidupnya untuk partai. Dengan ketua harian yang ditunjuk adalah menteri, itu sami mawon, sama saja bohong. Jangan-jangan ketua harian memilih orang lagi karena sibuk. Misalnya, ketua harian DPP apa tidak sibuk sebagai menteri koperasi?" katanya.
Menurut Siti, hasil KLB itu juga menunjukkan Demokrat gagal dalam mengelola konflik internal. Permasalahan yang timbul tidak diselesaikan dengan langkah demokratis tetapi pendekatan kekuasaan yang top down.
"Kalaupun tidak muncul agresifitas Pak SBY, jangan lupa apa yang dilakukan sekitarnya itu manuver," kata Profesor Riset Bidang Ilmu Politik ini.
Euforia Demokrat
Wasekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan mengatakan partainya menyikapi positif apapun penilaian publik terhadap partainya saat ini. Menurutnya, terlalu pagi menilai Demokrat mundur ke belakang. "Kami positif saja. Nanti setelah semua bekerja dalam sistem baru yang bakal terbentuk, barulah penilaian dilakukan," ujarnya.
Kekhawatiran publik konsentrasi SBY dalam menjalankan roda pemerintahan terpecah dapat dijawab dengan rekam jejak SBY yang selama ini taat asas. "Tunggulah. Yang pasti, kita semua tahu selama ini Pak SBY taat asas. Menteri-menteri asal PD selalu taat asas, aturan dan etika. Artinya, tak akan ada kegiatan partai dilakukan di saat hari kerja. Pastilah itu harilibur atau malam hari," kata Ramadhan.
Dia menegaskan, saat ini formatur masih punya waktu untuk bekerja. Restrukturisasi yang dilakukan tidak terbatas pada tiga posisi yang diumumkan SBY saja.
"Formatur kan sedang bekerja. Ini melengkapi penunjukan trio Mangindaan-Syarif Hasan-Marzuki Alie di Wanbin, Ketua Harian, dan Majelis Tinggi. Tentu ada reposisi, penguatan, penajaman yang disesuaikan dengan strategi partai ke depan."
Menurutnya, partainya tengah euforia. "Kami ingin melepaskan kelegaan hati KLB lancar, mulus dan sesuai harapan. Tapi tak boleh euforia berkepanjangan apalagi berlebihan, kami ingin partai kembali fokus bekerja," katanya.
Bukan Politik Dinasti
Ketua Fraksi Demokrat DPR, Nurhayati Ali Assegaf, membantah partainya tengah bertransformasi dari partai politik modern menjadi partai keluarga. Dia tidak terima tampilnya SBY sebagai ketua umum dan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas sebagai sekretaris jenderal mencerminkan politik dinasti.
"Jadi bukan dikatakan politik itu adalah dinasti. Tapi itu adalah fakta. Ya beginilah politik sama seperti anak tentara, dididik jadi tentara," kata Nurhayati di Bali, Minggu 31 Maret 2013.
Menurutnya, masyarakat harus diberi pengertian bahwa demokrasi di Indonesia itu baru terbuka. Lembaga politik dinilainya bukan lembaga profesional. "Saya ingin memberi sebuah penekanan bahwa politik itu genetik, turun menurun," ujarnya.
Dicontohkannya, Presiden RI pertama Bung Karno sebagai tokoh politik. Anak cucunya pun terjun ke politik. "Ibu Mega politisi, Guruh di DPR, cucu-cucunya juga, ada putra Pak Guntur dan Mbak Puan. Saya sendiri Bapak saya politisi. Dulu di PNI. Adik saya juga politisi. Lingkungan di mana kita dibesarkan itu mempengaruhi cara berpikir orang."
Nurhayati juga mencontohkan mantan Presiden Amerika Serikat George Bush. "Anaknya George Walker Bush juga jadi Presiden." kata dia.