Minangkabau
berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan
dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada
suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan
melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat
mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan
menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat
menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang
lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu
langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau
besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama
Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau"
(artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat
Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu
menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut.[16] Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau
juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau,
yang terletak di kecamatan Sungayang,
kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam
catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama bertarikh 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa
sebagai salah satu dari negeri Melayu yang
ditaklukannya. Begitu juga dalam Tawarikh Ming tahun 1405,
terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu dari enam kerajaan yang mengirimkan
utusan menghadap kepada Kaisar Yongle
di Nanjing. Di sisi lain, nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah
disebutkan dalam Prasasti Kedukan
Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri
kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari
"Minānga" .... Beberapa ahli yang merujuk dari sumber
prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....)
sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan
dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk
kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri
dan Sungai Kampar Kanan. Namun
pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan"
tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara
juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya.[21] Oleh karena itu kata Minanga
berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
Asal
usul
Dari
tambo yang
diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal
dari keturunan Iskandar Zulkarnain.
Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda
berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi
milik masyarakat banyak.[5] Namun demikian kisah tambo ini
sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan
bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan
Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat
Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang
lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau
Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar
sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman
orang Minangkabau.[23] Beberapa kawasan darek
ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak,
yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri
dari Luhak Limo Puluah,
Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan luhak
tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang
residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau
menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu
menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat
Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau.
Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan.
Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau
di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan
pesisir barat).
Pada
awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun
sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat
Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung
demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.
Agama
Masyarakat
Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam,
jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam (murtad), secara langsung
yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya
disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam
diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari
pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru
dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi
kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan
pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat
manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir,
sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan
penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun
dalam agama Islam,[26] masih tetap digunakan di dataran
tinggi Minangkabau.
Sebelum
Islam diterima secara luas, masyarakat ini
dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa
pemerintahan Adityawarman dan
anaknya Ananggawarman.
Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung
yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau
sampai abad ke-16, Suma Oriental
masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau hanya satu yang telah
memeluk Islam.
Kedatangan
Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam
penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau
pada saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih
terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul
kesadaran bersama bahwa adat berasaskan Al-Qur'an.
.
Adat dan budaya
Menurut
tambo, sistem
adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk
Ketumanggungan dan Datuk
Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat
Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat
Bodi Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal
dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat
Minangkabau.
Dalam
masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan
budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik
mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya
saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat
dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Matrilineal
Matrilineal merupakan salah satu aspek
utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka
menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan
kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu
yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah
mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar)
dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum
perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki
dengan Bundo Kanduang,
memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan
yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman
atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar
tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan
Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh
penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak
perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi
kekuasaan pada komunitasnya.
Bahasa
Bahasa
Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa
Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan
bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu,
ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari
dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di
dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa
mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa
Minangkabau merupakan bahasa Proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa
Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada
daerahnya masing-masing.
Pengaruh
bahasa lain yang diserap ke dalam bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan
Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis
menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam
yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti
dengan Alfabet Latin.
Meskipun
memiliki bahasa sendiri, orang Minang juga menggunakan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas.
Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa
Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu
atau sastra Indonesia
lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa
Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah.[35] Bahasa Melayu yang dipengaruhi
baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk
pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu.
Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau
mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan
juga digunakan di wilayah Johor, Malaysia. Namun kenyataannya bahasa yang
digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh
bahasa Minangkabau.
Guru-guru
dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi.
Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat
pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya bahasa
Melayu Balai Pustaka,
orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian
bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.
Kesenian
Masyarakat
Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian
yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara
tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang
dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat
kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian
dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak
tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela
diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini
Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke
seluruh Kepulauan Melayu
bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur
dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau
disebut juga dengan sijobang, dalam
randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Selain
itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre
seni berkata-kata, yaitu pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat dulang.
Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran,
kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang
diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan
senjata dan kontak fisik.
Olahraga
Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang telah lama ada di
nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh
masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan
yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya
yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain
lomba pacu jawi dan pacu itik. sipak
rago,atau nama lainnya sepak takraw adalah olah raga masyarakat tradisional
minang yang dimainkan sedikitnya lima atau empat orang, bolanya terbuat dari anyaman
rotan, bola ditendang dari setinggi pinggang sampai setinggi kepala oleh
sekelompok orang yang berdiri melingkar, dalam hikayat dan novel serta beberapa
film seperti film sengsara membawa nikmat ada menyinggung masalah olahraga
sipak rago ini.
Rumah adat
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah
Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk
dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah
adat ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka
dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti
bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau
yang biasa disebut gonjong[42] dan dahulunya atap ini berbahan
ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan
Rumah Gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat
penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni Rumah
Gadang tersebut.
Hanya
kaum perempuan bersama suaminya beserta anak-anak yang menjadi penghuni Rumah
Gadang, sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah
istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau
biasanya dibangun tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut, selain
berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki
dewasa namun belum menikah.
Dalam
budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang.
Hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja rumah adat ini boleh ditegakkan. Oleh
karenanya di beberapa daerah rantau Minangkabau seperti Riau, Jambi, Negeri
Sembilan, pesisir barat Sumatera Utara dan Aceh, tidak dijumpai rumah adat
bergonjong.
Perkawinan
Dalam
adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan
salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa
peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru
pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk
masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sementara bagi keluarga
pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka.
Dalam
prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai
beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang
(meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang
(bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan.
Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai
pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian
masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar
panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan,
bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai.
Sementara itu di kawasan Luhak Limopuluah, pemberian gelar ini
tidak berlaku.
Masakan khas
Masyarakat
Minang juga dikenal akan aneka masakannya. Dengan citarasanya yang pedas,
membuat masakan ini populer di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga dapat ditemukan di
hampir seluruh Nusantara. Di Malaysia dan Singapura, masakan ini juga sangat
digemari, begitu pula dengan negara-negara lainnya. Bahkan, seni memasak yang
dimiliki masyarakat Minang juga berkembang di kawasan-kawasan lain seperti Riau,
Jambi, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Salah satu masakan tradisional
Minang yang terkenal adalah Rendang, yang mendapat
pengakuan dari seluruh dunia sebagai hidangan terlezat. Masakan lainnya yang khas antara lain Asam Pedas, Soto Padang, Sate Padang, dan Dendeng Balado. Masakan ini umumnya dimakan
langsung dengan tangan.
Masakan
Minang mengandung bumbu rempah-rempah
yang kaya, seperti cabai, serai,
lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah. Beberapa di antaranya
diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang kuat, sehingga tidak mengherankan
jika ada masakan Minang yang dapat bertahan lama. Pada hari-hari tertentu, masakan yang
dihidangkan banyak yang berbahan utama daging, terutama daging sapi,
daging kambing, dan daging ayam.
Masakan
ini lebih dikenal dengan sebutan Masakan Padang, begitu pula dengan
restoran atau rumah makan yang khusus menyajikannya disebut Restoran Padang. Padahal dalam
masyarakat Minang itu sendiri, memiliki karakteristik berbeda dalam pemilihan
bahan dan proses memasak, bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Sosial kemasyarakatan
Persukuan
Suku
dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial,
sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku
dalam Bahasa Minang
dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian
suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna
apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut.
Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang
sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang
sama.
Selain
sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi.
Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber
pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka
merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka
tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta
pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari
kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa
musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku
terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang
(payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik.
Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah Rumah Gadang secara bersama-sama.
Nagari
Daerah
Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini
merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada
kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda
akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin
oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di
nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat
Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah
sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor
utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya
kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk
mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala kaum akan
berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan
(berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam
pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah
yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi
Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu.
Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari
struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun,
kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari.
Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang
mendomisili kawasan tersebut. Selanjutnya sebagai pusat administrasi
nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus sebagai tempat
pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut.
Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk,
merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk
mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang
terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan
memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat,
untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi
semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam
masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya,
sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap
kaum bernilai sama.
Seiring
dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang
timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini
dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit
jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga
lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah
penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki
penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise
dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu
sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan
berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk
"membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak
penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu
selalu muncul dari keluarga kaya.
Kerajaan
Dalam
laporan De
Stuers kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah
pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat
dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari
kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno. Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan
pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat,
etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan
daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya.
Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan
Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung,
dan Kerajaan Inderapura.
Sistem
kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan
komunitas masyarakat Minang yang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat
Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam Minangkabau untuk menjadi raja
mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang
diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Minangkabau perantauan
Minangkabau
perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung
halamannya.Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan pesan nenek
moyang “karatau madang di hulu babuah babungo balun” (anjuran merantau kepada
laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan
dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo
bangau kembalinya ke kubangan juo”. Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang
agar akan selalu ingat pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses interaksi
masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah
petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk
mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi
merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia
dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau
biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
Para
perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai
pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau,
merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan
kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan
yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah
lingkungan adat.
Dari
pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya
ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan
memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput
sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan
untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang
sawah.
Etos
merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di
Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat
sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada
tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%.
Berdasarkan
sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatera
Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang
berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar
terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80%
perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya
setelah masa kolonial Belanda.
Namun
tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan.
Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para
perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan
Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.
Para
perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan
Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan
menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru, perantau
Minang berjumlah 37,96% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar
di kota tersebut. Jumlah ini telah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.
Gelombang rantau
Merantau pada etnis Minang telah
berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di
mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau
melakukan perdagangan di muara Jambi, dan
terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu. Migrasi
besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang
berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan,
hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang
migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir
barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh
tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus,
Sibolga,
Natal,
Bengkulu, hingga Lampung.[62] Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga
Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan
administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai
cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.[63] Gelombang migrasi berikutnya
terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa
untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Pada
masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada
tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan,
Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa,
pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7
kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7
kali,[64] dan pada tahun 1971 etnis ini
diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari jumlah penduduk Jakarta waktu
itu.[65] Kini Minang perantauan hampir
tersebar di seluruh dunia.
Perantauan intelektual
Pada
akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji
Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air,
mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di
seluruh Minangkabau dan Mandailing.
Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang
dimotori oleh Abdul Karim
Amrullah, Tahir
Jalaluddin, Muhammad Jamil
Jambek, dan Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi.
Selain
ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa.
Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan
negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua
pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi
pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.
Sebab merantau
Faktor budaya
Ada
banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem
kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang
oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain
itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang
tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya,
dan anak-anak.
Para
perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman
merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah
yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa
pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu
diperolok-olok oleh teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang
memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak
hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier
dan melanjutkan pendidikan.
Menurut
Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni
dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan,
egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya
merantau pada masyarakat Minangkabau.[68] Semangat untuk mengubah nasib
dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau
madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno
balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung belum berguna)
mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Faktor ekonomi
Penjelasan
lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber
daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber
utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber
daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi
hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa
keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah
perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang
Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan
pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di
rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk
semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Selain
itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh
kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan
pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki
cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah,
seng,
merkuri, dan besi,
semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka. Sehingga
julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di India
sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang
dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa
masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam
perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di
Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan,
bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan
Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga
kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera,
merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
Dalam
prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah
penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih
menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung.
Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari
laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan
dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan
raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang
emas.
Sementara
itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas
penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai
para pendulang emas.[75] Sampai abad ke-19, legenda akan
kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia
tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung
melalui pesisir barat Sumatera.
Faktor perang
"Orang Minang merupakan masyarakat
yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu
merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik dari Jawa
maupun Eropa".[77]
— Pendapat dari Audrey
R. Kahin.
Beberapa
peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau
terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri, muncul pemberontakan
di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam Perang Belasting menentang belasting
dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927. Setelah kemerdekaan
muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya
eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain. Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini,
memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan.
Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu
mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun
temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.[78] Orang Kubu menyebut bahwa orang dari
Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk
masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman
mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De
Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche
Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di
Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak
minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang
begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada
penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok
tersebut.
Merantau dalam sastra
Fenomena
merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi
bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka,
dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup
perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan
perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau
Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat
adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya
Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau
Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda
perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang
yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam
bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk
membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel
yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial
dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam
bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.
Orang Minangkabau dan kiprahnya
Orang
Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka
menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi
dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis,
dan pedagang.
Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia),
Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.[58] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000
mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang
Minang. 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra
Minangkabau.
Keberhasilan
dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak
dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa,
Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo
mendirikan Kesultanan Sulu
di Filipina selatan.[57] Pada abad ke-14 orang Minang
melakukan migrasi ke Negeri Sembilan,
Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka.
Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, beberapa ulama Minangkabau seperti Tuan Tunggang
Parangan, Dato ri Bandang,
Dato ri Patimang, Dato ri Tiro, dan Dato Karama, menyebarkan Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa
Tenggara.
Kedatangan
reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo
dan Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di
Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri, banyak melahirkan aktivis
yang berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan
Mansur, Siradjuddin Abbas,
dan Djamaluddin Tamin.
Pada
periode 1920–1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah
Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun
1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis
Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh
rakyat Hindia-Belanda.
Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang
paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang
lainnya Mohammad Hatta,
menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang
Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden
(Assaat), seorang sebagai wakil presiden
(Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi
menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang
Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari
dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu
memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di
pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal
parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam
aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Selain
menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah dan Sumatera Barat, orang
Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka
adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad
Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang
dan Moenafri (Sulawesi Tengah),
Adenan Kapau Gani,
Mohammad Isa, dan Rosihan Arsyad (Sumatera Selatan), Eny Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk
Bagindo (Jambi).[82]
Beberapa
partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai
Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta,
Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti
oleh Sulaiman
ar-Rasuli, dan Permi
oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai
politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan
wajib para aktivis pergerakan.
Penulis
Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan
bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus,
Hamka, dan A.A Navis berkarya melalui penulisan novel.
Nur Sutan Iskandar
novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling
produktif. Chairil Anwar
dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan
puisi. Serta Sutan Takdir
Alisjahbana dan Sutan Muhammad Zain,
dua ahli tata bahasa yang melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa
menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami
telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain
melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh
jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Selain Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis
Pers Indonesia, Rohana Kudus
yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik
koran wanita pertama di Indonesia.
Di
samping menjadi politisi dan penulis, kiprah Orang Minang juga cukup menonjol
di bidang intelektualisme.[83] Kebiasaan mereka yang suka
berpikir dan menelaah, telah melahirkan beberapa pakar di dunia kedokteran,
humaniora, hukum, dan ekonomi, yang kesemuanya memberikan sumbangan besar
terhadap bangsa Indonesia. Di antara mereka yang cukup dikenal adalah Ahmad Syafii Maarif,
Hazairin, Syahrir, Taufik Abdullah, dan Azrul Azwar.
Di
Indonesia dan Malaysia, selain orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai
pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan
tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Di
antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik ALatief
Corporation), Basrizal Koto
(pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil
pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri
Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia).
Banyak
pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara,
produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser
film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8
sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Pemeran dan penyanyi Minang
yang terkenal beberapa di antaranya adalah Afgan Syah Reza, Dorce Gamalama, Marshanda, Eva Arnaz, dan Nirina Zubir. Pekerja seni lainnya, ratu
kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan
di Indonesia. Selain mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan
paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada
tahun 1993, Karno's Film perusahaan film milik keluarga Soekarno,
memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia,
Si Doel Anak
Sekolahan.
Di
Malaysia dan Singapura, kontribusi orang Minangkabau juga cukup besar. Pada
tahun 1723, Sultan
Abdul Jalil Rahmad Syah I, duduk sebagai sultan Johor sebelum akhirnya mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau. Di
awal abad ke-18, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil meneruka Pulau Pinang.[85] Tahun 1773, Raja Melewar diutus Pagaruyung
untuk memimpin rantau Negeri Sembilan.
Ia juga menyebarkan Adat Perpatih
dan Adat Tumenggung,
yang sampai saat ini masih berlaku di Semenanjung Malaya. Menjelang masa
kemerdekaan beberapa politisi Minang mendirikan partai politik. Di antaranya
adalah Ahmad Boestamam
yang mendirikan Parti Rakyat Malaysia dan Rashid Maidin yang mengikrarkan Parti Komunis
Malaya. Setelah kemerdekaan Tuanku Abdul Rahman
menjadi Yang Dipertuan
Agung pertama Malaysia, sedangkan Rais Yatim, Amirsham Abdul Aziz,
dan Abdul Samad Idris,
duduk di kursi kabinet. Beberapa nama lainnya yang cukup berjasa adalah Sheikh Muszaphar
Shukor (astronot pertama Malaysia), Muhammad
Saleh Al-Minangkabawi (kadi besar Kerajaan Perak), Tahir
Jalaluddin Al-Azhari (ulama terkemuka), Adnan bin Saidi (pejuang kemerdekaan
Malaysia), dan Abdul Rahim Kajai
(perintis pers Malaysia). Di Singapura, Mohammad Eunos
Abdullah dan Abdul Rahim Ishak
muncul sebagai politisi Singapura terkemuka, Yusof bin Ishak menjadi presiden pertama
Singapura, dan Zubir Said
menciptakan lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura.
Beberapa
tokoh Minang juga memiliki reputasi internasional. Di antaranya, Roestam Effendi yang mewakili Partai
Komunis Belanda, dan menjadi orang Hindia pertama yang duduk sebagai anggota
parlemen Belanda.[86] Di Arab Saudi, Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi, menjadi satu-satunya orang non-Arab yang pernah menjabat imam besar Masjidil Haram, Mekkah. Mohammad Natsir, salah seorang tokoh Islam
terkemuka, pernah menduduki posisi presiden Liga Muslim se-Dunia (World
Moslem Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Sementara itu Azyumardi Azra, menjadi orang pertama di
luar warga negara Persemakmuran
yang mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris.