TUJUH di antaranya berasal Nahdlatul Ulama (NU), dan lima berasal dari luar NU (lengkapnya baca tabel).
Nama-nama itu berdasarkan pendapat sejumlah pengamat politik, pengamat sejarah, dan anggota DPR, yang disampaikan kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Sebelumnya Khatib Majelis Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, KH M Irfan Sholeh (Gus Irfan) mengatakan, penerus Gus Dur akan muncul.
“Seperti Salahudin Al-Ayubi seusai menaklukkan Jerusalem. Sudah (terbuka) tinggal meneruskan. Seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari muncul setelah (Pangeran) Diponegoro,” ungkap Gus Irfan.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Ibramsyah mengatakan, Gus Dur merupakan orang yang komplit, seorang pemikir, ahli agama, politikus, budaya, dan lainnya.
“Sulit untuk menempatkan orang yang selevel dengan Gus Dur,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, pluralisme bukan merupakan barang aneh. Karena dalam Islam sendiri tidak mengenal pengelompokan-pengelompokan. Dalam Islam di kenal toleransi beragama dan menghormati perbedaan. Apa yang dijalankan Gus Dur mencontoh yang dilakukan Rasul.
Sebagai contoh, Gus Dur melindungi karangan minoritas dan memperjuangkan hak-haknya. “Jadi kalau gelarnya pluralisme itu bukan hal aneh. Harusnya beliau diberi gelar yang lain,” katanya
Dikatakan dia yang mempunyai sikap yang sama dengan Gus Dur, yaitu Azyumardi Azra, Din Syamsuddin, Mahfud MD dan Komaruddin Hidayat. “ Mereka selalu mengedepankan nilai-nilai universal dan kerukunan,” katanya.
Sementara peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi mengatakan, Indonesia tidak mempunyai stok tokoh multi talenta dan multi dimensi untuk menggantikan sosok Gus Dur.
Menurutnya, selain sosok diterima semua golongan, Gus Dur juga mempunyai kelebihan lain, yaitu mazhab kiainya. Sebab, keturunan dari tokoh Islam. Kakeknya pendiri NU dan ayahnya bekas Menteri Agama.
Namun, lanjutnya, jika dilihat dari latar belakang intelektual, agama, politisi dan pluralismenya, tentu banyak penggantinya.
Misalnya, dari sisi pluralisme ada Ulil Abshar Abdalla. Tapi biarpun Ulil menantu Mustafa Bisri salah satu kiai yang dihormati, namun dia bukanlah sosok kharismatik.
Dikatakan, tokoh yang mempunyai kesamaan dengan Gus Dur adalah Jusuf Kalla yang dikenal sebagai orang yang konsen dalam menjalankan pluralisme.
Selain itu, lanjutnya, Anis Baswedan dan Komaruddin Hidayat dinilai layak sebagai penerus Gus Dur. Mereka terus mengembangkan pluralisme. “Tapi perlu diakui memang tidak ada tokoh yang bisa menggantikan Gus Dur secara utuh,” tandasnya.
Sedangkan pengamat politik dari Charta Politika Indonesia (CPI), Andi Syafrani mengatakan, Ulil Abshar Abdalla yang paling mendekati untuk menggantikan tokoh pluralisme sekaliber Gus Dur.
“Dari sisi tradisi keilmuan, Ulil sangat komplit dengan khazanah Islam. Ia juga fasih dalam bahasa Arab dan Inggris. Selesaikan pendidikan S2 dan S3 di Amerika. Jadi tradisi barat dan timur sangat tepat menjadi simbol pluralisme,” ungkapnya.
‘’Tidak Bisa Dibandingkan’’
Marwan Ja’far, Ketua Fraksi PKB DPR
Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Ja’far mengatakan, setiap tokoh tidak bisa dibanding-bandingkan. Sebab, tergantung masanya, momentum, dan karakternya.
“Misalnya Gus Dur momentumnya pada saat pergantian Orde Baru ke era reformasi. Setiap tokoh juga mempunyai plus minusnya, jadi tidak bisa dibandingkan,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Marwan yakin, ke depan akan ada pengganti Gus Dur sesuai dengan momentumnya. Namun. yang perlu dipahami adalah dari sisi konteks nilai bukan tekstualnya.
“Sebagai anak ideologisnya Gus Dur tentu kami menjalankan apa yang sudah dirintis Gus Dur, misalnya soal mempertahankan pluralisme di negeri ini,” katanya.
Sementara Wasekjen PKB, Daniel Johan mengatakan, pewaris Gus Dur dalam menjalankan ajaran dan semangatnya tentu kader-kader PKB.
“Pewaris Gus Dur di PKB adalah kita semua. Karena Muhaimin Iskandar adalah Ketua Umum PKB, maka kita akan support full. PKB juga akan tetap meneruskan ajaran dan pemikiran-pemikiran Gus Dur,” katanya.
“Tergantung Sepak Terjang Mereka’’
Alfan Alfian, Pengamat Politik
Masdar F Mas’udi dan Ulil Abshar Abdalla calon pengganti Gus Dur menjadi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Demikian disampaikan pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Alfan Alfian, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Nama-nama itu bisa sebagai pengganti Gus Dur, tapi itu semua tergantung sepak terjang mereka,” ujarnya.
Menurutnya, untuk tokoh di bidang lain, belum terlihat ada kader yang bagus. Namun untuk tokoh sepuh yang bisa menjalankan semangat Gus Dur adalah Kiai Mustofa Bisri.
“Kalau dilihat paling sepuh ya Kiai Mustofa Bisri karena sudah malang melintang di PBNU,” tuturnya.
Dikatakan, generasi muda susah meniru karakter dan semangat Gus Dur. Karena dalam trah, dalam hal humor, dan keanehan tidak dimiliki generasi muda.
“Darah biru Gus Dur kan sangat kuat sekali. Kemudian memiliki integritas dalam berkomunikasi yang ringan dan baik dengan kalangan minoritas. Selain itu menyukai humor dan cerdas,” paparnya.
Menurut Direktur The Akbar Tandjung Institute itu, untuk menggantikan secara persis dengan Gus Dur tidak ada lagi. Akan tetapi dia optimis ajaran pluralisme sudah merasuk sedemikian rupa ke berbagai kalangan, sehingga visinya akan tetap dilanjutkan sampai di luar PBNU.
’’Yang Mirip Memang Ada’’
Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat mengatakan, banyak kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang mendukung gagasan pluralisme dan kebangsaan yang diperjuangkan Gus Dur.
Persoalannya, kata dia, walaupun para kiai itu bergaul dekat dengan Gus Dur. Tapi kalau tidak ada upaya sistematis untuk menjaga dan mewariskan pada dunia pesantren, Komaruddin khawatir semangat ini suatu saat akan mengendor dan berimplikasi lain.
“Banyak kiai dan orang luar yang berpandangan inklusif dan pluralis. Hanya saja persoalannya, tidak ada sevokal Gus Dur,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Perbedaan lainnya, kata dia, Gus Dur melakukan kontekstualiasi teologis ke ranah politik dan budaya, sehingga dampaknya sangat terasa.
Sedangkan para kiai cukup untuk dirinya dan disampaikan dalam lingkaran terbatas. Padahal, kiai-kiai itu sebagian sangat liberal kalau saja digali ilmu dan pandangannya.
Komaruddin yang dipandang punya visi sama dengan Gus Dur ini, menyatakan, ada beberapa orang yang mirip dengan Gus Dur, yakni Gus Mus (Mustofa Bisri), Said Agil Siraj, dan Salahudin Wahid. “Yang mirip memang ada, tapi yang sama belum ada. Kelebihan Gus Dur adalah mengungkapkan pesan Islam dengan menggunakan analisis dan jargon ilmu sosial,” katanya
Sedangkan generasi yang lebih muda, kata dia, ada Masdar Mas’udi dan Ulil Abshar Abdalla.
Ketika ditanya bahwa Komaruddin orang yang identik mewarisi pluralisme Gus Dur, Komaruddin mengatakan, harus dibedakan antara pluralisme budaya dan pluralisme agama. Jika pluralisme agama dipahami bahwa semua agama adalah sama, tidak ada keunikan dan masing-masing tak ada keotentikan, maka dirinya bukan seorang pluralis.
’’Namun, jika pluralisme berarti kita mesti menghargai, menerima dan menjaga keragaman umat yang berbeda keyakinan berdasarkan etika Islam, maka saya setuju,’’ ujarnya.
“Yang kita inginkan adalah masing-masing pemeluknya memberikan kontribusi yg terbaik bagi Indonesia dan kemanusiaan,” tambahnya.
’’Saya Khawatir...’’
Sultan Hamengku Buwono X, Tokoh Reformasi
Sultan Hamengku Buwono X yang dikenal sebagai salah satu tokoh reformasi nasional mengaku khawatir pluralisme di Indonesia akan terancam pascameninggalnya Gus Dur.
Alasannya, melihat perilaku elite politik yang cenderung mengutamakan pendekatan ekonomi ketimbang menggunakan pendekatan kebudayaan dan mengutamakan peradaban.
“Ya, saya khawatir, padahal menggunakan kebudayaan dan mengutamakan peradaban lebih penting daripada sekadar membuat orang sejahtera,” kata Sultan.
Elite politik, kata Sultan, juga cenderung menggunakan pendekatan politik semata, bukan membangun masa depan Indonesia, yang memiliki daya saing dan mengutamakan moralitas.
Di mata Sultan, Gus Dur adalah sosok idealis, bukan hanya demokrasi saja, namun juga penjaga pluralisme di Indonesia. Maka tak mengherankan hingga saat ini belum ada satupun tokoh yang muncul menggantikan posisi Gus Dur.
“Kita kehilangan orang besar yang selama ini mengidealisasikan tidak hanya demokrasi tetapi juga pluralisme,” kata Sultan.
"Harus Berada Di Hati Kita’’
Adhie Massardi, Bekas Jubir Gus Dur
’’Belum ada tokoh yang bisa menggantikan Gus Dur dalam sikap berdemokrasi dan pluralismenya,’’ ujar bekas Juru Bicara (Jubir) Gus Dur saat menjadi Presiden, Adhie Massardi, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Hal yang sama, lanjutnya, terjadi di India. Biarpun banyak tokoh di sana sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikan sosok Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru. Begitu juga di Indonesia, belum ada yang bisa menggantikan ketokohan Soekarno.
“Jika berdasarkan ketokohan dan kemampuan Gus Dur secara menyeluruh, belum ada yang bisa menggantikannya,” katanya.
Namun, kata Adhie, jika sosok dan ketokohan serta jasa Gus Dur dipecah-pecah baru bisa. Misalnya, dari sosok keulamaannya dan pemersatu umat, ada sosok KH Hasyim Muzadi yang dapat menggantikannya.
“Tapi dari segi demokrasi dan pluralisme Gus Dur sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikannya,” paparnya.
Dikatakan, kelebihan dari Gus Dur adalah keberaniannya membela kaum minoritas. Sekarang siapa yang berani melakukan itu. “Ke depan Gus Dur harus berada di hati kita. Sebab, tidak ada yang bisa menggantikannya,” tandasnya.
‘’Sulit Cari Penggantinya’’
JJ Rizal, Pengamat Sejarah
Tokoh sekaliber Gus Dur hanya dilahirkan satu abad sekali. Jadi sulit untuk mencari penggantinya.
Demikian disampaikan pengamat sejarah dari Komunitas Bambu, JJ Rizal, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
‘’Saya kira sulit cari penggantinya. Tidak ada yang sehebat Gus Dur,’’ ujarnya.
Menurutnya, tidak ada sosok yang bisa menggantikan Gus Dur sebagai bapak pluralisme. Sebab, tokoh seperti ini hanya hidup sekali saja. “Buktinya sampai sekarang juga tidak ada yang bisa menggantikan sosok Soekarno,” katanya.
Rizal mengatakan, sekarang bukan saatnya kita mendebatkan siapa pengganti Gus Dur. Tapi yang harus dilakukan adalah bagaimana menjaga dan menjalankan warisannya agar tetap hidup.
Dikatakan, Gus Dur merupakan sosok yang demokrasi dan berhasil merubah Istana Negara menjadi istana rakyat.
“Sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana kita menjaga warisan pluralisme dan anti dikriminasi serta pemikiran-pemikiran Gus Dur,” tandasnya.