Irjen Djoko Susilo akhirnya di tahan. Mantan Kepala Korps Lalu Lintas itu ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Guntur Manggarai, Jakarta Selatan. Djoko ditahan tadi malam. Selasa 4 Desember 2012, wartawan sejumlah media memenuhi pintu gerbang Rutan itu. Tapi mereka tidak diijinkan masuk, sebab dijaga ketat aparat militer.
Kuasa Hukum Djoko Susilo, Juniver Girsang, usai menjenguk ke kamar tahanan menegaskan bahwa kliennya menginginkan agar berkas kasus ini segera dilimpahkan ke pengadilan. "Cepat dilimpahkan ke pengadilan supaya tidak berlama-lama ditahan," kata Juniver Selasa 4 Desember 2012. Dengan mempercepat proses kasus ini, katanya, tidak akan ada lagi opini yang memojokkan kliennya seperti yang selama ini terjadi.
Meski menilai bahwa langkah tegas KPK dan sikap akomodatif Djoko Susilo patut diapresiasi, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan mengapa Djoko ditahan di Rutan Guntur, kawasan yang merupakan domain militer.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Ahmad Yani, misalnya, menilai bahwa menaruh Djoko di Guntur itu sangat berlebihan. Sebab Rutan itu tidak dibawah pengawasan otoritas sipil."Kami di komisi III menyoroti mengapa dia ditahan di Guntur. Karena Guntur itu tidak di bawah pengawasan Kementerian Hukum dan HAM, melainkan di bawah Kementerian Pertahanan," kata Ahmad Yani.
Reformasi, kata Yani, sudah memisahkan sipil dengan militer. Polisi dan TNI. "Mengapa KPK malah mengembalikannya?" Sebaiknya, kata Yani, Djoko ditahan di Rutan Salemba dan Cipinang saja. Komisi III, lanjutnya, sama sekali tidak mempermasalahkan penahanan Djoko. Yang jadi masalah adalah mengapa dia dijebloskan ke domain militer.
Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, menegaskan bahwa sama sekali tidak ada alasan khusus mengapa Djoko dimasukan ke Rutan Guntur itu. "Semata-mata karena Rutan di KPK sedang tidak siap, karena masih ada perbaikan," kata Johan. Dia meminta agar publik mendukung proses ini dan tidak memperkeruh suasana. Sebab, kata Johan, KPK dan kepolisian tengah membangun kembali komunikasi.
Meski ada yang mempertanyakan tempat penahanan itu, sejumlah anggota DPR salut dengan KPK dan Djoko Susilo dalam mengatasi kasus ini. Anggota Komisi III yang lain, Aboe Bakar Alhabsi, menegaskan bahwa apa yang dilakukan KPK dan sikap Djoko Susilo patut diapresiasi. "Irjen DS jelas sangat menghormati dan patuh pada proses hukum. Meskipun masih jenderal aktif, beliau tidak menghambat proses pemeriksaan, patuh terhadap penahanan dan tidak melarikan diri," kata Aboe.
KPK juga patut diapresiasi sebab mereka telah menunjukkan keberanian dan menjunjung tinggi aturan hukum.
Selain salut dengan sikap Djoko Susilo dan KPK, sejumlah kalangan mendesak institusi kepolisian, agar menjadikan kasus ini sebagai pintu masuk dan momentum untuk bersih-bersih di dalam institusi mereka. "Jangan melihat kasus ini sebagai pukulan untuk instituasi polisi," kata Martin Hutabarat, salah seorang anggota Komisi III. Penahanan Djoko Susilo ini, katanya, adalah konsekuensi kesediaan Polri menyerahkan kasus simulator Surat Izin Mengemudi kepada KPK, sesuai dengan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu.
"Kami harapkan sesudah kasus simulator SIM ini tuntas diusut KPK, tidak akan ada lagi gesekan dalam hubungan antara Polri dan KPK," kata Martin.
Anggota DPR Eva Kusuma Sundari, juga salut dengan proses penahanan Djoko Susilo ini. Penahanan ini, katanya, membuktikan bahwa kecemasan akan adanya intervensi dalam kasus ini tidak terbukti, meski yang diadili adalah seorang jenderal aktif. "Saya berharap agar proses hukum segera dituntaskan untuk mengurangi hiruk-pikuk nonteknis atau politis. KPK fokus kepada penuntasan kasus dan tidak yang lain-lain," katanya.
Mabes Polri sendiri menyampaikan bahwa mereka mendukung penuh langkah KPK untuk menanggani kasus ini. Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengaku bahwa kepolisian menghormati langkah hukum yang diambil KPK. "Polri adalah aparat penegak hukum. Jadi kalau ada pelanggaran hukum tentu kami menghormati jika diproses," kata Timur.
Timur pun memastikan bahwa penahanan mantan Kepala Korps Lalu Lintas dan Gubernur Akedemi Polisi ini tidak akan mempengaruhi kinerja aparat kepolisian. Mabes Polri, lanjutnya, tidak akan menarik para penyidik dari KPK karena kasus ini.
Sejumlah kalangan sempat mempertanyakan mengapa saat keluar dari gedung KPK menuju Rutan Guntur di Manggarai, Djoko Susilo tidak mengenakan baju tahanan KPK berwarna putih, sebagaimana sejumlah tahanan selama ini. Tapi pimpinan KPK menegaskan bahwa baju tahanan yang akan dipakai Djoko, sudah dibawa oleh tim penyidik KPK.
Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, menegaskan bahwa pada pemeriksaan berikutnya, tersangka kasus korupsi simulator SIM itu wajib mengenakan baju tahanan KPK. "Oh iya pasti, harus pakai baju tahanan," kata Bambang Widjojanto di Balai Kartini, Jakarta, Selasa 4 Desember 2012.
Bambang berjanji bahwa KPK tidak akan bertindak diskriminatif dalam menerapkan aturan, termasuk mengenakan baju tahanan. "Tidak ada kompromi-kompromi seperti itu. Kalau toh belum dipakaikan, saya mesti cek lagi kenapa. Tapi bisa saja sudah dilakukan, tidak terpasang atau semacamnya," kata Bambang.
Kisah Panjang Kasus Simulator
KPK menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka dalam proyek Simulator SIM pada tanggal 27 Juli 2012. Proyek itu berlangsung tahun 2011. Para penyidik komisi itu menduga bahwa Djoko menyalahgunakan wewenang sehingga menimbulkan kerugian negara hingga Rp100 miliar. Nilai total proyek ini Rp198,6 miliar.
Setelah menetapkan Djoko sebagai tersangka, KPK lantas menggeledah kantor Korlantas Polr. Mabes Polri sempat keberatan dengan langkah penggeledahan itu, sebab dinilai tidak ada koordinasi. Apalagi, Polri saat itu juga sedangmengusut kasus yang sama, meski masih dalam proses penyelidikan. Belakangan Polri kemudian menggugat perdata KPK karena dinilai mengambil barang-barang serta dokumen yang tidak terkait dengan kasus simulator SIM.
Polri juga sempat menaikkan status kasus tersebut ke penyidikan dengan menetapkan lima tersangka sekaligus, yaitu: Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek simulator SIM, Ketua Pengadaan Simulator SIM yakni AKBP Teddy Rusmawan, dan Bendahara Korlantas Polri seorang Kompol berinisial Legimo.
Dua tersangka lainnya adalah pemenang tender yakni, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukotjo S Bambang. KPK sesungguhnya mengusut kasus simulator SIM ini berkat pengaduan Sukotjo.
Selama beberapa waktu, kedua lembaga penegak hukum ini tidak mau mengalah dan saling mengklaim sebagai lembaga yang berwenang mengusut kasus tersebut. Sejumlah pertemuan dua pimpinan KPK dan Polri pun tidak membuahkan hasil. "Perang" pernyataan di media massa sempat meruncing.
Siapa yang menanggani kasus ini baru jelas setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil keputusan. Dalam pidatonya di Istana Negara, SBY menegaskan bahwa
kasus simulator ini lebih baik diusut KPK. Sejak pidato itu, Polri-KPK duduk bersama untuk membahas pelimpahan perkara ini, berikut para tersangkanya.