Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun
kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia
pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih
berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga
istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton
ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian
kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan
berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja
Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini
merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki
balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
Sejarah
Keraton Yogyakarta mulai didirikan
oleh Sultan Hamengku
Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti
pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas
sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja
Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi
keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah
hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I
berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
Secara fisik istana para Sultan
Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung
Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton,
Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta
memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda
kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu
lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah
mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan
Dunia UNESCO.
Tata
ruang dan arsitektur umum
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan
berkebangsaan Belanda, Theodoor
Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai
"arsitek" dari saudara Pakubuwono II Surakarta"[6]. Bangunan pokok dan desain dasar
tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta[7] diselesaikan antara tahun
1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta
berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan
hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku
Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
Tata
ruang
Koridor di Kedhaton dengan latar
belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno
Dahulu bagian utama istana, dari
utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo
di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan
adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan
Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil
Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton;
Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul
(sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan
Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton
dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di
utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks
Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan
menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah
yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang
berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut
antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks
Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula
Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di
dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan
Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan
keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana
Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
Arsitektur
umum
Secara umum tiap kompleks utama
terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan
utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu
dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan
dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu.
Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap
gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono.
Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta
lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu
terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina.
Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau
derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal
sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu
ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag.
Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa
trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya
berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di
sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang
lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan
ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk
bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan
warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen
Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah,
Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di
tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak,
berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi
dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari
batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari
halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih
tinggi .
Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo
Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas
tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya.
Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas
jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan
dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin
sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas
bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan
dari bangunan itu sendiri.
Kompleks
depan
Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam
kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura
Pangurakan yang terletak persis beberapa meter di sebelah
selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis[ . Pada zamannya konon Pangurakan
merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota
bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan
Versi lain mengatakan ada tiga
gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan
Lebet Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora
(Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak
ada Di sebelah selatannya
adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang
pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi
terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari
Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang
juga masih berdiri[19]. Selepas dari Gapura Pangurakan
terdapat Kompleks Alun-alun Ler.
Alun-alun
Lor
Alun-alun Lor adalah sebuah lapangan
berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang
yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi
Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian
selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang
tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.
Di pinggir Alun-alun ditanami
deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan di
tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang
disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang
dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai
Janadaru Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem
yang boleh melewati/berjalan
di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang
dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk
keberatan atas kebijakan pemerintah Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka
untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang
sedang duduk di Siti Hinggil.
Di sela-sela pohon beringin di
pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan
Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah
Mancanegara Kesultanan / Bangunan ini sekarang sudah banyak yang
berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat
bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Lor
digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang
melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten,
acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang
tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan
masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat
penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola
warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.
Mesjid
Gedhe Kasultanan
Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan
(Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat
kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe
Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks
terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug
persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat
pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar
bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin
ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada
zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi
masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat
lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi
dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi
terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang
hendak masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah
halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman
(timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang
agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut masjid
disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara
disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten,
Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK)
Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu.
Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya
yang digunakan dalam upacara Jejak Boto[26] pada upacara Sekaten pada tahun
Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai
Pengulu[27] di sebelah utara masjid dan
pemakaman tua di sebelah barat masjid.
Kompleks
inti
Kompleks
Pagelaran
Bangunan utama adalah Bangsal
Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag Rambat[ . Pada zamannya Pagelaran merupakan
tempat para punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang
sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping
untuk upacara adat keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di
sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh
Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit
terletak tepat di sisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan
para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran
melapor kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom
Jaba. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam
diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal
Pengrawit yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag
Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini
di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah
digunakan oleh Universitas
Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur
Siti
Hinggil Ler
Di selatan kompleks Pagelaran
terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan
untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949
digunakan peresmian Univ. Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari
tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan
selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam
(Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah
jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran yang digunakan
oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro sampai sekitar
tahun 1926. Pacikeran barasal dari kata ciker
yang berarti tangan yang putus. Bangunan Tarub Agung terletak tepat di
ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat
tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam
istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori.
Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa
yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada
Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak di tengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di
dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil Bangunan
ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara
resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini
pula pada 17 Desember 1949
Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik
Indonesia Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan
Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil
ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang
kerajaan atau pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan
Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada
zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur
Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di
sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan
tombak, KK Suro Angun-angun.
Kamandhungan
Lor
Di selatan Siti Hinggil terdapat
lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan
dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo,
sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur
dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka
pada saat acara resmi kerajaan dan pada hari-hari lain selalu dalam keadaan
tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton
sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat kompleks
ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen
dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering
disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia
asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang
berada di tengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini.
Dahulu (kira-kira sampai 1812) bangsal ini
digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati dengan Sultan
sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk
mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal
ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal
Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan
mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut
terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.
Sri
Manganti
Kompleks Sri Manganti terletak di
sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri
Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Di
sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya
digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di
lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan.
Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para
pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain
mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan (?). Tempat ini
digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu dan
meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006
akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses
restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan
ini telah berdiri lagi di tempatnya.
Di sebelah timur bangsal ini
terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB
II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di
sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung
Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan
Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang
dan bangunan lainnya.
Kedhaton
Pintu Gerbang Donopratopo, Kraton
Yogyakarta
Di sisi selatan kompleks Sri
Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks
Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang
dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah
barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah
selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna
Kompleks kedhaton merupakan inti
dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo
kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini
setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian
pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian
selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan
para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian
putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya
terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.
Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal
Kencono (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan
balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk
keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan
ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan
menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso
yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat
dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal
Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia)
lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng
Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah
bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta.
Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan
sampai Sultan HB IX.
Oleh Sultan HB X
tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi.
Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen .
Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di
dalam keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi
Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.
Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal
Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat
perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan
pusaka kerajaan pada bulan Suro .
Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak Bangsal
Mandalasana ,
Gedhong Patehan ,
Gedhong Danartapura ,
Gedhong Siliran Gedhong
Sarangbaya Gedhong
Gangsa[ , dan lain sebagainya. Di tempat
ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir
raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk beribadat
pada zamannya tinggal para puteri
raja yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama
kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya digunakan
sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya
adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong
Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat
penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan
dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.
Kamagangan
Di sisi selatan kompleks Kedhaton
terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan
kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena di dinding penyekat
sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya
Keraton Yogyakarta Di sisi
selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang
menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan
untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan
ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang
terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol
Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi
ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen
berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua
nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli.
Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat
ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara
Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing
merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.
Di sisi selatan halaman besar
terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol
Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang
melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat
dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga
kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung
ke Taman Sari.
Di ujung selatan jalan kecil di
selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang
menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan.
Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat
gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal
Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang
Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan
Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan
Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang
menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks
Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan Pamengkang.
Siti
Hinggil Kidul
Arti dari Siti Hinggil yaitu tanah
yang tinggi, siti : tanah dan hinggil : tinggi. Siti Hinggil Kidul
atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di
sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih
500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar
150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya
. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang
disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap hari.
Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian dipugar
pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil
Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.
Siti Hinggil Kidul digunakan pada
zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang
melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan
macan (rampogan) [?] dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen
Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara
pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul
digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang
kulit, pameran, dan sebagainya.
Kompleks
belakang
Alun-alun
Kidul
Alun-alun Kidul (Selatan) adalah
alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula
disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk
krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan
alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini
dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi
selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura
utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna
memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera
indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae),
dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon
beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan
Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura
sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari
gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung
Nirbaya.
Plengkung
Nirbaya
Plengkung Nirbaya merupakan ujung
selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB I masuk ke Keraton
Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar
Ketawang Gerbang ini
secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman
Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup
bagi Sultan yang sedang bertahta.
Bagian
lain Keraton
Pracimosono
Kompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang diperuntukkan bagi para
prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit keraton
tersebut mempersiapkan diri di tempat ini. Kompleks yang tertutup untuk umum
ini terletak di sebelah barat Pagelaran dan Siti Hinggil Lor.
Roto
Wijayan
Kompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan memelihara
kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana. Sekarang
kompleks Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di kompleks ini
masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai kendaraan
resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy Jimat, KK Garuda Yaksa, dan
Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh wisatawan.
Kawasan
tertutup
Kompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut kompleks
Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-jalan.
Kompleks ini tertutup untuk umum. Kompleks Panepen merupakan sebuah
masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat
melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat Nenepi (sejenis meditasi). Tempat
ini juga dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi keluarga Sultan .
Lokasi ini tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII.
Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi Sultan HB X dan keluarganya. Lokasi ini
tertutup untuk umum.
Taman
Sari
Kompleks Taman Sari
merupakan peninggalan Sultan HB I.
Taman Sari (Fragrant Garden) berarti taman yang indah, yang pada zaman
dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di
kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman
Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi
Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan
bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa
lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat sultan melakukan ibadah.
Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih
banyak lorong bawah tanah yang lain, yang merupakan jalan rahasia, dan
dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat
serangan musuh. Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.
Kadipaten
Kompleks nDalem Mangkubumen merupakan Istana Putra Mahkota atau dikenal dengan nama
Kadipaten (berasal dari gelar Putra Mahkota: "Pangeran Adipati Anom".
Tempat ini terletak di Kampung Kadipaten sebelah barat laut Taman Sari dan
Pasar Ngasem. Sekarang kompleks ini digunakan sebagai kampus Univ Widya
Mataram. Sebelum menempati nDalem Mangkubumen, Istana Putra Mahkota berada
di Sawojajar, sebelah selatan Gerbang Lengkung/Plengkung Tarunasura
(Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain berupa Masjid Selo yang dulu
berada di Sawojajar.
Benteng
Baluwerti
Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta merupakan sebuah dinding yang melingkungi kawasan Keraton
Yogyakarta dan sekitarnya. Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan HB II ketika masih menjadi putra mahkota
pada tahun 1785-1787.
Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar 1809
ketika beliau telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki ketebalan
sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke dalam area benteng
tersedia lima buah pintu gerbang lengkung yang disebut dengan Plengkung,
dua diantaranya hingga kini masih dapat disaksikan. Sebagai pertahanan di
keempat sudutnya didirikan bastion, tiga diantaranya masih dapat dilihat hingga
kini.
Bagian
lain yang terkait
Keraton Yogyakarta juga mempunyai
bangunan-bangunan yang berada di luar lingkungan Keraton itu sendiri.
Bangunan-bangunan tersebut memiliki kaitan yang erat dan boleh jadi merupakan
bagian yang tidak terpisahkan.
Tugu
Golong Gilig
Tugu golong gilig atau tugu pal
putih (white pole) merupakan penanda batas utara kota tua Yogyakarta.
Semula bangunan ini berbentuk seperti tongkat bulat (gilig) dengan sebuah bola
(golong) diatasnya. Bangunan ini mengingatkan pada Washington Monument di
Washington DC. Pada tahun 1867 bangunan ini rusak (patah) karena gempa bumi
yang juga merusakkan situs Taman Sari. Pada masa pemerintahan Sultan HB VII
bangunan ini didirikan kembali. Namun sayangnya dengan bentuk berbeda seperti
yang dapat disaksikan sekarang (Januari 2008).
Ketinggiannya pun dikurangi dan hanya sepertiga tinggi bangunan aslinya.
Lama-kelamaan nama tugu golong gilig dan tugu pal putih semakin dilupakan
seiring penyebutan bangunan ini sebagai Tugu Yogyakarta.
Panggung
Krapyak
Panggung krapyak dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda
cagar budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari
batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya
mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu
di bagian dalam. Atap bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian
tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut.
Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Dahulu tempat ini
digunakan sebagai lokasi berburu menjangan (rusa/kijang) oleh keluarga
kerajaan. Berlokasi dekat Ponpes Krapyak, konon tempat Gus Dur (presiden IV) pernah menimba ilmu,
bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua
Yogyakarta. Namun demikian, bangunan ini lebih mirip dengan gerbang kemenangan,
Triumph d’Arc. Kondisinya sempat memprihatinkan akibat gempa bumi tahun
2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah renovasi bangunan ini diberi pintu
besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk kedalamnya.
Kepatihan
nDalem Kepatihan merupakan tempat
kediaman resmi (Official residence) sekaligus kantor Pepatih Dalem.
Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan kegiatan pemerintahan
sehari-hari kerajaan. Sejak tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan
Yogyakarta ini menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan
PemProv DIY. Selain Pendopo Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat
dilihat pada Gedhong Wilis (kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu
digunakan sebagai gedung pengadilan Bale Mangu, sebuah badan peradilan
Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum), dan Masjid Kepatihan.
Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro.
Pathok
Negoro
Mesjid Pathok Negoro yang berjumlah empat buah menjadi penanda
batas wilayah ibukota (?). Lokasi masjid ini berada di Ploso Kuning (batas
utara), Mlangi (batas barat), Kauman Dongkelan (batas selatan), dan Babadan
(batas timur). Pendirian masjid ini juga memiliki tujuan sebagai pusat
penyiaran agama Islam selain masjid raya kerajaan. Kedudukan masjid ini adalah
setingkat dibawah masjid raya kerajaan. Ini dapat dilihat dari kedudukan para
imam besar/penghulu (jw=Kyai Pengulu) masjid ini menjadi anggota Al-Mahkamah
Al-Kabirah, badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan
peradilan agama Islam, dimana imam besar masjid raya kerajaan (Kangjeng Kyai
Pengulu) menjadi ketua mahkamah.
Bering
Harjo
Pasar Bering Harjo merupakan salah
satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta pada zamannya. Berlokasi di sisi timur
jalan Jend. A Yani, pasar Bering Harjo sampai saat ini menjadi salah satu pasar
induk di Yogyakarta. Sekarang pasar ini jauh berbeda dengan aslinya.
Bangunannya yang megah terdiri dari tiga lantai dan dibagi dalam dua sektor
barat dan timur yang dibatasi oleh jalan kecil. Namun demikian pasar yang
berada tepat di utara benteng Vredeburg ini tetap menjadi sebuah pasar
tradisional yang merakyat.
Warisan
budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan
Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai.
Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka
(heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak Wajik,
Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan
Labuhan. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus
dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari
klaim pihak asing.
Tumplak
Wajik
Upacara tumplak wajik adalah upacara
pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa)
untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara
ini hanya dilakukan untuk membuat pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg
Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di lengkapi
dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum
garebeg juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi),
kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai dilanjutkan
dengan pembuatan pareden.
Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga
kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas
bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal
sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan
sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas
kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem,
berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden Kakung, Pareden
Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat,
serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada
saat Garebeg Mulud tahun Dal.
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah
atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang
panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik,
dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri
berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian
besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan
yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan ini ditempatkan dalam
sebuah kotak pengangkut yang disebut Jodhang.
Gunungan pawohan terdiri dari
buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang dari daun kelapa muda (Janur)
yang berwarna kuning. Gunungan ini juga ditempatkan dalam jodhang dan ditutup
dengan kain biru. Gunungan gepak berbentuk seperti gunungan estri hanya
saja permukaan atasnya datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti
gunungan estri namun memiliki permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan
terakhir tidak ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang
berbentuk lingkaran. Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena
secara terus menerus mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang
dibakar. Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh masyarakat melainkan
dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada Garebeg Sawal Sultan
menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika dua buah maka yang sebuah
diperebutkan di Mesjid Gedhe dan sebuah sisanya diberikan kepada kerabat Puro
Paku Alaman. Pada garebeg Besar Sultan mengeluarkan pareden
kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu
buah. Pada garebeg Mulud/Sekaten Sultan memberi sedekah pareden kakung,
estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila
garebeg Mulud diselenggarakan pada tahun Dal, maka ditambah dengan satu
pareden kakung dan satu pareden kutug.
Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara
kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak
kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran
Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata
Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam,
Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK
Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan
Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari
ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan
(jw: ditabuh) secara bergantian menandai perayaan sekaten.
Pada malam kedelapan Sultan atau
wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi
menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid
Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan
riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg
Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang
(harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu
terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae).
Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar
malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang
sesungguhnya.
Upacara
Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro,
Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan
Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam
rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms)
yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama
adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal
Manis). Upacara di lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh
keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut
turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat
adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan
pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya
dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta
yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian
ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan.
Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini
dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua,
ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua
tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu
benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan
sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung
Merapi (Kabupaten Sleman)
dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008
dijabat oleh Mas Ngabehi Suraksa Harga atau yang lebih dikenal dengan Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang
Kusumo Kabupaten Bantul
dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian
diperebutkan oleh masyarakat. tertutup untuk umum dan hanya
diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut
turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang
dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat,
kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap
tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam
setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan
pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada
di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di
Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan
Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat
menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua
tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu
benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan
sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung
Merapi (Kabupaten Sleman)
dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sebagaimana pernah dijabat Mas Ngabehi
Suraksa Harga atau lebih dikenal dengan nama Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang
Kusumo Kabupaten Bantul
dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian
diperebutkan oleh masyarakat.
Pusaka
kerajaan
Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut
sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki
kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi
awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal
usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam
kejadian bersejarah
Dalam lingkungan Keraton, pusaka
dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu
yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan
fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan
sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri
dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah,
dan pejabat/pegawai kerajaan/istana, Keraton memiliki peraturan mengenai hak
resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan
yang kuat dan orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya.
Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu sendiri
Benda-benda pusaka keraton memiliki
nama tertentu. Sebagai contoh adalah Kyai Permili, sebuah kereta kuda
yang digunakan untuk mengangkut abdi-Dalem Manggung yang membawa Regalia.
Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu, tergantung
jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi
inventaris Sultan (Sultan’s property) dalam jabatannya diberi gelar Kyai
(K) jika bersifat maskulin atau Nyai (Ny) jika bersifat feminin,
misalnya K Danumaya sebuah guci tembikar, yang konon berasal dari Palembang, yang berada di Pemakaman
Raja-raja di Imogiri.
Apabila pusaka tersebut
sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada orang tertentu
karena jabatannya diberi tambahan gelar Kangjeng sehingga selengkapnya
bergelar Kangjeng Kyai (KK) atau Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai
contoh adalah Kangjeng Nyai Jimat, sebuah kereta kuda yang dipergunakan
oleh Sultan HB I
- Sultan HB IV
sebagai kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi
Indonesia 1 sebagai kendaran resmi Presiden Indonesia) dan merupakan kereta terkeramat
dari Keraton Yogyakarta.
Beberapa pusaka yang menempati
kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan paling magis mendapat
tambahan gelar Ageng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai
Ageng (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah KKA Pleret, sebuah
tombak yang konon pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya
Penangsang. Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta
dan mendapat kehormatan setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan
terhadap KKA Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati.
Wujud benda pusaka di Keraton
Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
(1) Senjata tajam; (2) Bendera dan Panji kebesaran; (3) Perlengkapan Kebesaran;
(4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat transportasi; (6) Manuskrip, babad (kronik)
berbagai karya tulis lain; (7) Perlengkapan sehari-hari; dan (8) Lain-lain.
Pusaka dalam bentuk senjata tajam dapat berupa tombak (KK Gadatapan dan KK
Gadawedana, pendamping KKA Pleret); keris (KKA Kopek); Wedhung,
(KK Pengarab-arab, untuk eksekusi mati narapidana dengan pemenggalan
kepala) ataupun pedang (KK Mangunoneng, pedang yang digunakan untuk
memenggal seorang pemberontak, Tumenggung Mangunoneng).
Pusaka dalam bentuk bendera/panji
misalnya KK Pujo dan KK Puji. Pusaka yang digunakan sebagai
perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set regalia kerajaan yang
disebut KK Upocoro dan satu set lambang kebesaran Sultan yang disebut KK
Ampilan serta perlengkapan baju kebesaran (mahkota, sumping [hiasan
telinga], baju kebesaran, akik [cicin dengan mata dari batu mulia] dan
lain sebagainya). Pusaka dalam kelompok alat-alat musik dapat berupa set
gamelan (misal KK Kancil Belik) maupun alat musik tersendiri (misal
cymbal KK Udan Arum dan KK Tundhung Mungsuh).
Pusaka dalam golongan alat-alat
transportasi dapat berupa kereta kuda maupun yang lain (misal tandu yang pernah
digunakan oleh Sultan HB I, KK Tandu Lawak, dan pelana kuda yang disebut
KK Cekathak). Benda pusaka dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah KK
Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB
II semasa beliau masih menjadi putra mahkota, KK Alquran yang
berupa manuskrip kitab suci Alquran, dan KK
Bharatayudha yang berupa ceritera wayang.
Pusaka dalam bentuk perlengkapan
sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah periuk yang hanya digunakan untuk
menanak nasi saat upacara Garebeg Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan tahun
sekali). Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu
(misalnya KK Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh
Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo [tokoh Batara Guru]) maupun tembikar
(misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong (guci tembikar), yang konon
berasal dari Aceh, yang juga terdapat di pemakaman
Imogiri) dan lain sebagainya.
Regalia
Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan
Yogyakarta dalam memimpin negara berikut rakyatnya. Regalia
yang dimiliki oleh terdiri dari berbagai benda yang memiliki makna tersendiri
yang kesemuanya secara bersama-sama disebut KK Upocoro. Macam benda dan
dan maknanya sebagai berikut:
- Banyak (berwujud angsa) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta ketajaman;
- Dhalang (berwujud kijang) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
- Sawung (berwujud ayam jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
- Galing (berwujud burung merak jantan) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan;
- Hardawalika (berwujud raja ular naga) menyimbolkan kekuatan;
- Kutuk (berwujud kotak uang) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
- Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
- Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
- Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses (berwujud kotak rokok), dan Kecohan (berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses membuat keputusan/kebijakan negara.
KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi
kenegaraan (state ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh
sekelompok gadis remaja yang disebut dengan abdi-Dalem Manggung.
Lambang
kebesaran
KK Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda martabat
Sultan. Benda-benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana emas)
berikut Pancadan/Amparan (tempat tumpuan kaki Sultan di muka singgasana)
dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan seperangkat sirih pinang di sebelah
kanan singgasana Sultan); Panah (anak panah); Gendhewa (busur
panah); Pedang; Tameng (perisai); Elar Badhak (kipas dari
bulu merak); KK Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan tangan); Sajadah
(karpet/tikar ibadah); Songsong (payung kebesaran); dan beberapa Tombak.
KK Ampilan ini selalu berada di sekitar Sultan saat upacara resmi kerajaan (royal
ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan KK Upocoro, pusaka KK
Ampilan dibawa oleh sekelompok ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah menopause.
Gamelan
Gamelan merupakan seperangkat
ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro
dan sistem skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set
ansambel gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK
Bremara dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan
memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah
gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti
dan lima belas sisanya berasal dari zaman Kesultanan
Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang
yang bernama KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK
Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang bernama KK Guntur Madu.
Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada
even-even tertentu saja.
Gamelan monggang KK Guntur Laut
konon berasal dari zaman Majapahit. Gamelan
yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel
sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro.
Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat
penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan
Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara
pada malam tanggal 21,23,25, dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan,
upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai
sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat
penyambutan Sri Sultan
Hamengkubuwono I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
KK Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari
zaman Majapahit. Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro.
Gamelan ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti.
Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan
seperti upacara pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di
Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan
putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Besar.
Gamelan sekati KK Guntur Madu
dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan
dan pernikahan Putra Mahkota. Konon gamelan ini berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan
alat musik ini buatan Sultan Agung
saat memerintah kerajaan Mataram.
Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti
sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan Surakarta.
Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya
(jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di
Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari
gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme
digantikan oleh bedug kecil (dianggap mencerminkan Islam).
KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah
tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan. KK Surak
diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon (lagu-lagu tradisional Jawa),
tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang berpasangan secara
khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan KK
Harja Mulya (dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam
skala slendro) dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).[
Kereta
kuda pilihan
Pada zamannya kereta kuda merupakan
alat transportasi penting bagi masyarakat tak terkecuali Keraton Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta memiliki bermacam kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai
dalam acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi oleh
raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat nopol Indonesia
1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil presiden Indonesia).
Kebanyakan kereta kuda adalah buatan Eropa
terutama Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat
di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).
KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB IV. Kereta kuda ini merupakan
pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. KK
Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai HB X (walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan mobil).
Kereta kuda buatan Den Haag tahun 1861
ini terakhir kali digunakan pada tahun 1989,
saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan pemahkotaan raja). KK
Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran Adipati Anom
(Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang digunakan Sultan
untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyo merupakan kereta
jenazah yang hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta ini
baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VIII
dan HB IX.
K Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan,
sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara dan K
Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro.
Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K
Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower
Surabaya, Landower Wisman, Kus Gading, Kus nomor 10,
dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri.
Tanda
jabatan
Beberapa pusaka, khususnya keris,
juga digunakan sebagai penanda/simbol jabatan orang yang memakainya. Sebagai
contoh adalah keris KKA Kopek. Keris utama Keraton Yogyakarta ini
merupakan keris yang hanya diperkenankan untuk dipakai Sultan yang sedang
bertahta yang melambangkan martabatnyanya sebagai pemimpin spiritual sebagaimana
beliau menjadi kepala kerajaan. oleh Sultan sendiri. Keris KK Joko Piturun
merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Pangeran Adipati Anom,
Putra Mahkota Kerajaan, sebagai tanda jabatannya. Keris KK Toyatinaban
merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Gusti Pangeran Harya
Hangabehi, putra tertua Sultan, sebagai lambang kedudukannya selaku Kepala Parentah
Hageng Karaton (Lembaga Istana). Keris KK Purboniyat merupakan keris
yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Kangjeng Pangeran (h)Adipati (h)Aryo
Danurejo, sebagai simbol jabatannya sebagai Pepatih Dalem.
Pemangku
adat Yogyakarta
Pada mulanya Keraton Yogyakarta
merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan
Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet
(harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas
mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam
penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah
Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan
Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas
mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan
Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku
Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara
resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari
Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga
Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah
menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas
pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma
tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta
juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang
mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka
yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai
(abdi-Dalem) keraton.
Namun demikian ada perbedaan antara
Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain.
Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala
Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai
bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto
1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis
diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan
ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah
lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara
1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil
Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan
Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk
diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat
ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X
Filosofi
dan mitologi seputar Keraton
Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa
aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi
para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Karaton artinya tempat
dimana "Ratu" (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja)
bersemayam. Dalam kata lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari
Ke-ratu-an/Ka-ratu-an) merupakan tempat kediaman resmi/Istana para Raja.
Artinya yang sama juga ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton
(bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-an) berasal dari kata "Datu"
yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa,
arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat
dalam[69].
Keraton Yogyakarta tidak didirikan
begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat di seputar dan
sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh
mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat
dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton.
Penataan tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar landscape kota tua
Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap
bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai
filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta
berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak serta diapit oleh
S. Winongo di sisi barat dan S. Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi (dulu
Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend. A. Yani (dulu
Margomulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu menuju Keraton.
Jalan D.I. Panjaitan (dulu Ngadinegaran [?])merupakan sebuah jalan yang lurus
keluar dari Keraton melalui Plengkung Nirboyo menuju Panggung Krapyak.
Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak
berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir segaris (hanya meleset
beberapa derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna "sangkan paraning
dumadi" yaitu asal mula manusia dan tujuan asasi terakhirnya
Dari Panggung Krapyak menuju ke
Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "sangkan" asal mula penciptaan
manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari kampung di
sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal dari
kata "wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan
ditanami pohon asam (Tamarindus indica [?]) dan tanjung (Mimusops
elengi [?]) yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu
menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "paran" tujuan akhir
manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai
Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven step to
heaven)
Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta)
yang menjadi batas utara kota tua menjadi simbol "manunggaling kawulo
gusti" bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig).
Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik
(Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Sri Manganti berarti Raja sedang
menanti atau menanti sang Raja.
Pintu Gerbang Donopratopo berarti
"seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan sukarela
dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung raksasa Dwarapala
yang terdapat di samping gerbang, yang satu, Balabuta, menggambarkan
kejahatan dan yang lain, Cinkarabala, menggambarkan kebaikan. Hal ini
berarti "Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang
jahat".
Beberapa pohon yang ada di halaman
kompleks keraton juga mengandung makna tertentu. Pohon beringin (Ficus
benjamina; famili Moraceae) di Alun-alun utara berjumlah 64 (atau
63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah
Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan
mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan
Dewodaru adalah persatuan antara Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah
lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus
fagiferus; famili Papilionaceae)bermakna "ayem"
(damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (Manilkara
kauki; famili Sapotaceae) bermakna "sarwo becik" (keadaan
serba baik, penuh kebaikan)[71].
Dalam upacara garebeg, sebagian
masyarakat mempercayai apabila mereka mendapatkan bagian dari gunungan yang
diperebutkan mereka akan mendapat tuah tertentu seperti kesuburan tanah dan
panen melimpah bagi para petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian
masyarakat mempercayai jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati
dimainkan/dibunyikan akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan
untuk membersihkan pusaka pun juga dipercaya sebagian masyarakat memiliki tuah.
Mereka rela berdesak-desakan sekadar untuk memperoleh air keramat tersebut.
Benda-benda pusaka keraton juga
dipercaya memiliki daya magis untuk menolak bala/kejahatan. Konon bendera KK
Tunggul Wulung, sebuah bendera yang konon berasal dari kain penutup kabah
di Makkah (kiswah), dipercaya dapat
menghilangkan wabah penyakit yang pernah menjangkiti masyarakat Yogyakarta.
Bendera tersebut dibawa dalam suatu perarakan mengelilingi benteng baluwerti.
Konon peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1947 (?). Dipercayai pula oleh
sebagian masyarakat bahwa Kyai Jegot, roh penunggu hutan Beringan
tempat keraton Yogyakarta didirikan, berdiam di salah satu tiang utama di nDalem
Ageng Prabayaksa. Roh ini dipercaya menjaga ketentraman kerajaan dari
gangguan.