 Perdagangan manusia telah
 menjadi masalah internasional. Ini tidak hanya terjadi di negara-negara
 miskin, namun juga berlangsung di negara maju seperti Amerika Serikat. 
Korbannya adalah mereka yang berasal dari mancanegara, termasuk 
Indonesia.
Perdagangan manusia telah
 menjadi masalah internasional. Ini tidak hanya terjadi di negara-negara
 miskin, namun juga berlangsung di negara maju seperti Amerika Serikat. 
Korbannya adalah mereka yang berasal dari mancanegara, termasuk 
Indonesia. 
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O.
 Blake Jr., mengakui bahwa negaranya mengalami permasalahan pelik 
terkait perdagangan manusia yang masih terjadi di Negeri Paman Sam.
"Isu ini bahkan telah 
menjadi perhatian pemerintah, saat Presiden George W. Bush menjabat 
sebagai orang nomor satu. Dia sudah menerapkan kebijakan tegas untuk 
mencegah para pelaku tindak perdagangan manusia masuk ke AS," kata 
Blake, Senin 3 Februari 2014. 
Pernyataan Dubes yang baru akhir 
Januari lalu bertugas di Jakarta ini terkait dengan kisah seorang 
perempuan Indonesia, Shandra Woworuntu. Dia pernah menjadi korban 
perdagangan manusia saat pertama kali tiba di AS lebih dari sepuluh 
tahun lalu.
Kini, dia giat mendesak 
publik dan pemerintah AS untuk kian serius mengatasi perdagangan manusia
 di negeri yang selama ini menjunjung tinggi hak asasi manusia dan 
persamaan hak bagi semua warga.
Blake mengungkapkan bahwa 
menghadapi kejahatan semacam itu, pemerintahnya tidak bisa bertindak 
sendiri. Maka, sejak beberapa tahun terakhir, AS kerap menjalin 
kemitraan dengan negara lainnya untuk menumpas jejaring tindak kejahatan
 perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. 
"Kami 
memiliki sistem pengecekan dengan berbagai negara di seluruh dunia. 
Setiap tahun, kami rutin mengeluarkan soal tindak perdagangan manusia 
dan berdiskusi mengenai cara menghadapi isu itu," papar Blake.
Pemerintah pun, Blake 
melanjutkan, terus meningkatkan kewaspadaan terhadap kejahatan semacam 
itu dan menekankan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para 
pelaku. 
Perjuangan Shandra dan sesama aktivis mulai membuahkan 
hasil. Rancangan undang-undang anti perdagangan manusia dan penipuan 
perekrutan pekerja asing mulai dibahas di Kongres AS sejak akhir tahun 
lalu. Kalangan media massa di mancanegara, termasuk VIVAnews, 
sejak akhir pekan lalu kembali mengangkat isu perdagangan manusia 
setelah Shandra mengungkapkan pengalamannya yang kelam pada 2001.  
Ingin
 mewujudkan mimpi bekerja di Negeri Paman Sam, Shandra malah terjerat 
dalam jaringan perdagangan manusia. Di laman Survivor of Slavery, 
lembaga di mana Shandra juga menjadi salah satu pegiat dan memuat 
profilnya, dia bahkan sempat terjerembab dalam perbudakan seks (sex slavery). 
Perbudakan
 seks yang dialami Shandra ini juga sempat ditulis di sejumlah media 
massa internasional. Namun, dalam wawancara dengan Voice of America 
siaran Indonesia, Shandra hanya menyebut diri sebagai korban 
penyelundupan manusia, mengingat kejahatan ini merupakan perhatian utama
 yang dia bawa ke permukaan. 
Dia berbicara panjang lebar soal 
kisah kelam saat menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York
 pada 2001 hingga akhirnya lolos secara dramatis.
Kasus yang dihadapi ini 
membawa babak baru bagi Shandra hingga dia memutuskan tetap bertahan di 
AS sambil memperjuangkan upaya memberantas sindikat perdagangan manusia.
 
Lobi Kongres
Maka, menetap di Kota New 
York, Shandra dalam beberapa tahun terakhir sibuk berkampanye di tengah 
masyarakat maupun melobi para pejabat untuk serius memberantas sindikat 
perdagangan manusia.
Kepada VIVAnews lewat surel 
(email), Shandra menyatakan, dia kini terlibat dalam sejumlah lembaga 
yang menentang perdagangan maupun penyelundupan manusia. Beberapa 
lembaga itu aktif menyelenggarakan diskusi, menjalani advokasi dan lobi 
kepada pemerintah untuk memperkuat sistem hukum untuk memberantas 
kejahatan itu.
"Saya selain advokat personal juga menjadi 
pembicara. Aktif di sejumlah lembaga seperti Voices of Hope-Safe Horizon
 (New York), National Survivor Network USA, Global Survivor Network, dan
 salah satu organisator di lembaga Survivor of Slavery serta 
berkoordinasi dengan sejumlah LSM di AS," kata Shandra.
Selain dia, ada satu penyintas (survivor)
 dari Indonesia yang juga aktif sebagai pembicara anti perdagangan 
manusia di AS. Menurut dia, masih banyak yang harus dikerjakan.
"Saya juga bicara di 
tingkat kalangan pemerintah untuk meningkatkan cara kerja mereka. Saya 
terpilih bersama 19 penyintas untuk menjadi konsultan OVC dalam acara 
Human Trafficking Survivor Forum," lanjut Shandra. 
Menurut laman
 Women's Network, dia turut memperjuangkan hukum yang lebih kuat dan 
basis data yang transparan di AS, agar para agen perekrut orang asing 
maupun kontraktor bisa diverifikasi dan dipantau pihak berwenang. Untuk 
itu, selain menghimpun dukungan publik, Shandra tidak segan-segan turut 
melobi langsung para anggota Kongres maupun Senator AS. 
Bersama 
sesama aktivis, dia memperjuangkan agar DPR AS mengesahkan Undang-undang
 Pemberantasan Penipuan dalam Merekrut Pekerja Asing dan Penyelundupan 
Manusia atau FORTE Act 2013 (HR 3344). Menurut laman U.S. Government 
Printing Office (GPO), undang-undang itu telah diusulkan dalam rapat DPR
 pada 28 Oktober 2013.  
"Legislasi ini menyatakan para pekerja 
dari luar negeri harus mendapat informasi akurat, biaya rekrutmen harus 
dicabut, dan baik perekrut maupun kontraktor harus mendaftar ke 
Departemen Tenaga Kerja dan informasi mereka bisa dipantau dalam basis 
data yang transparan," kata Shandra di laman Women's Network.
Dia
 yakin bahwa AS merupakan pemimpin sejati dalam memberantas perdagangan 
manusia maupun perbudakan dan sebenarnya memiliki perangkat yang memadai
 untuk mengatasinya.
Belajar dari pengalaman 
pahitnya ketika melaporkan apa yang dialaminya dulu, Shandra juga 
berharap aparat keamanan dan pihak berwenang --termasuk 
perwakilan-perwakilan negara yang ada di suatu negara-- lebih mendengar 
suara korban. 
Lembaga The Alliance To End Slavery and Trafficking, seperti dikutip The Daily Star,
 memperkirakan bahwa sekitar 14.000 hingga 17.000 pria, wanita, dan 
anak-anak diselundupkan secara ilegal ke AS setiap tahun untuk dijadikan
 pekerja paksa maupun budak seks.
Dalam laporan soal 
penyelundupan manusia pada 2013, Departemen Luar Negeri AS pun mengakui 
bahwa negara mereka merupakan "sumber, transit, dan tujuan bagi pria, 
wanita, dan anak-anak --baik warga AS maupun orang asing-- yang menjadi 
korban kerja paksa, jerat utang, layanan yang tidak sukarela maupun 
perdagangan seks.
Para korban kebanyakan dari Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras, dan Indonesia.
Tanggapan KJRI
Konsulat Jenderal 
Republik Indonesia KJRI di Kota New York membantah  bahwa pihaknya tidak
 memberi bantuan kepada Shandra. KJRI New York mengatakan,  justru staf 
konsulat yang membantu Shandra memperoleh dokumen perjalanan  baru 
setelah yang lama dirampas oleh sindikat tersebut.
Demikian kata Benny YP Siahaan, Koordinator Fungsi Konsuler Sosial Budaya dan Protokol di KJRI New York, dalam wawancara dengan Voice of America
 (VOA), Senin pagi waktu setempat, 3 Februari 2014. Dia membantah jika  
KJRI pada 2001 dinilai tidak membantu Shandra Woworuntu, korban sindikat
  perdagangan manusia yang berhasil melarikan diri dan melaporkan  
kasusnya ke KJRI.
 “Kadang-kadang kami menghadapi kasus WNI yang 
 minta paspor lagi dan harus menelitinya terlebih dahulu. Mungkin staf  
yang ditemui Ibu Shandra ketika tahun 2001 itu agak kaku, tetapi ia  
tidak menyebut bahwa kemudian justru ia ditolong oleh staf KJRI lainnya 
 yang bernama Ferry Kurniadi," ujar Benny.