Tuesday, 4 February 2014

Kisah Shandra dan Perdagangan Manusia di AS

Shandra Woworuntu dalam rapat di Kongres AS untuk memperjuangkan undang-undang anti perdagangan manusiaPerdagangan manusia telah menjadi masalah internasional. Ini tidak hanya terjadi di negara-negara miskin, namun juga berlangsung di negara maju seperti Amerika Serikat. Korbannya adalah mereka yang berasal dari mancanegara, termasuk Indonesia.

Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O. Blake Jr., mengakui bahwa negaranya mengalami permasalahan pelik terkait perdagangan manusia yang masih terjadi di Negeri Paman Sam.

"Isu ini bahkan telah menjadi perhatian pemerintah, saat Presiden George W. Bush menjabat sebagai orang nomor satu. Dia sudah menerapkan kebijakan tegas untuk mencegah para pelaku tindak perdagangan manusia masuk ke AS," kata Blake, Senin 3 Februari 2014.

Pernyataan Dubes yang baru akhir Januari lalu bertugas di Jakarta ini terkait dengan kisah seorang perempuan Indonesia, Shandra Woworuntu. Dia pernah menjadi korban perdagangan manusia saat pertama kali tiba di AS lebih dari sepuluh tahun lalu.
Kini, dia giat mendesak publik dan pemerintah AS untuk kian serius mengatasi perdagangan manusia di negeri yang selama ini menjunjung tinggi hak asasi manusia dan persamaan hak bagi semua warga.

Blake mengungkapkan bahwa menghadapi kejahatan semacam itu, pemerintahnya tidak bisa bertindak sendiri. Maka, sejak beberapa tahun terakhir, AS kerap menjalin kemitraan dengan negara lainnya untuk menumpas jejaring tindak kejahatan perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak.

"Kami memiliki sistem pengecekan dengan berbagai negara di seluruh dunia. Setiap tahun, kami rutin mengeluarkan soal tindak perdagangan manusia dan berdiskusi mengenai cara menghadapi isu itu," papar Blake.
Pemerintah pun, Blake melanjutkan, terus meningkatkan kewaspadaan terhadap kejahatan semacam itu dan menekankan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para pelaku.

Perjuangan Shandra dan sesama aktivis mulai membuahkan hasil. Rancangan undang-undang anti perdagangan manusia dan penipuan perekrutan pekerja asing mulai dibahas di Kongres AS sejak akhir tahun lalu. Kalangan media massa di mancanegara, termasuk VIVAnews, sejak akhir pekan lalu kembali mengangkat isu perdagangan manusia setelah Shandra mengungkapkan pengalamannya yang kelam pada 2001. 

Ingin mewujudkan mimpi bekerja di Negeri Paman Sam, Shandra malah terjerat dalam jaringan perdagangan manusia. Di laman Survivor of Slavery, lembaga di mana Shandra juga menjadi salah satu pegiat dan memuat profilnya, dia bahkan sempat terjerembab dalam perbudakan seks (sex slavery).

Perbudakan seks yang dialami Shandra ini juga sempat ditulis di sejumlah media massa internasional. Namun, dalam wawancara dengan Voice of America siaran Indonesia, Shandra hanya menyebut diri sebagai korban penyelundupan manusia, mengingat kejahatan ini merupakan perhatian utama yang dia bawa ke permukaan.

Dia berbicara panjang lebar soal kisah kelam saat menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001 hingga akhirnya lolos secara dramatis.
Kasus yang dihadapi ini membawa babak baru bagi Shandra hingga dia memutuskan tetap bertahan di AS sambil memperjuangkan upaya memberantas sindikat perdagangan manusia.

Lobi Kongres
Maka, menetap di Kota New York, Shandra dalam beberapa tahun terakhir sibuk berkampanye di tengah masyarakat maupun melobi para pejabat untuk serius memberantas sindikat perdagangan manusia.

Kepada VIVAnews lewat surel (email), Shandra menyatakan, dia kini terlibat dalam sejumlah lembaga yang menentang perdagangan maupun penyelundupan manusia. Beberapa lembaga itu aktif menyelenggarakan diskusi, menjalani advokasi dan lobi kepada pemerintah untuk memperkuat sistem hukum untuk memberantas kejahatan itu.

"Saya selain advokat personal juga menjadi pembicara. Aktif di sejumlah lembaga seperti Voices of Hope-Safe Horizon (New York), National Survivor Network USA, Global Survivor Network, dan salah satu organisator di lembaga Survivor of Slavery serta berkoordinasi dengan sejumlah LSM di AS," kata Shandra.

Selain dia, ada satu penyintas (survivor) dari Indonesia yang juga aktif sebagai pembicara anti perdagangan manusia di AS. Menurut dia, masih banyak yang harus dikerjakan.
"Saya juga bicara di tingkat kalangan pemerintah untuk meningkatkan cara kerja mereka. Saya terpilih bersama 19 penyintas untuk menjadi konsultan OVC dalam acara Human Trafficking Survivor Forum," lanjut Shandra.

Menurut laman Women's Network, dia turut memperjuangkan hukum yang lebih kuat dan basis data yang transparan di AS, agar para agen perekrut orang asing maupun kontraktor bisa diverifikasi dan dipantau pihak berwenang. Untuk itu, selain menghimpun dukungan publik, Shandra tidak segan-segan turut melobi langsung para anggota Kongres maupun Senator AS.

Bersama sesama aktivis, dia memperjuangkan agar DPR AS mengesahkan Undang-undang Pemberantasan Penipuan dalam Merekrut Pekerja Asing dan Penyelundupan Manusia atau FORTE Act 2013 (HR 3344). Menurut laman U.S. Government Printing Office (GPO), undang-undang itu telah diusulkan dalam rapat DPR pada 28 Oktober 2013. 

"Legislasi ini menyatakan para pekerja dari luar negeri harus mendapat informasi akurat, biaya rekrutmen harus dicabut, dan baik perekrut maupun kontraktor harus mendaftar ke Departemen Tenaga Kerja dan informasi mereka bisa dipantau dalam basis data yang transparan," kata Shandra di laman Women's Network.

Dia yakin bahwa AS merupakan pemimpin sejati dalam memberantas perdagangan manusia maupun perbudakan dan sebenarnya memiliki perangkat yang memadai untuk mengatasinya.
Belajar dari pengalaman pahitnya ketika melaporkan apa yang dialaminya dulu, Shandra juga berharap aparat keamanan dan pihak berwenang --termasuk perwakilan-perwakilan negara yang ada di suatu negara-- lebih mendengar suara korban.

Lembaga The Alliance To End Slavery and Trafficking, seperti dikutip The Daily Star, memperkirakan bahwa sekitar 14.000 hingga 17.000 pria, wanita, dan anak-anak diselundupkan secara ilegal ke AS setiap tahun untuk dijadikan pekerja paksa maupun budak seks.

Dalam laporan soal penyelundupan manusia pada 2013, Departemen Luar Negeri AS pun mengakui bahwa negara mereka merupakan "sumber, transit, dan tujuan bagi pria, wanita, dan anak-anak --baik warga AS maupun orang asing-- yang menjadi korban kerja paksa, jerat utang, layanan yang tidak sukarela maupun perdagangan seks.
Para korban kebanyakan dari Meksiko, Thailand, Filipina, Honduras, dan Indonesia.

Tanggapan KJRI
Konsulat Jenderal Republik Indonesia KJRI di Kota New York membantah bahwa pihaknya tidak memberi bantuan kepada Shandra. KJRI New York mengatakan, justru staf konsulat yang membantu Shandra memperoleh dokumen perjalanan baru setelah yang lama dirampas oleh sindikat tersebut.

Demikian kata Benny YP Siahaan, Koordinator Fungsi Konsuler Sosial Budaya dan Protokol di KJRI New York, dalam wawancara dengan Voice of America (VOA), Senin pagi waktu setempat, 3 Februari 2014. Dia membantah jika KJRI pada 2001 dinilai tidak membantu Shandra Woworuntu, korban sindikat perdagangan manusia yang berhasil melarikan diri dan melaporkan kasusnya ke KJRI.

 “Kadang-kadang kami menghadapi kasus WNI yang minta paspor lagi dan harus menelitinya terlebih dahulu. Mungkin staf yang ditemui Ibu Shandra ketika tahun 2001 itu agak kaku, tetapi ia tidak menyebut bahwa kemudian justru ia ditolong oleh staf KJRI lainnya yang bernama Ferry Kurniadi," ujar Benny.

No comments:

Post a Comment