Pemerintah Jepang akan memperkarakan langkah RI ke Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor produk tambang mentah.
Aturan
yang dimaksud yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batu Bara (UU Minerba) yang resmi diberlakukan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sejak 12 Januari 2014 lalu.
Jepang menjadi
salah satu negara yang keberatan dengan kebijakan itu karena selama ini
sudah menikmati membeli bahan tambang mentah dari Indonesia.
Pihak
luar negeri membeli mineral mentah dari pengusaha tambang Tanah Air
kemudian mengolah dan menjual kembali dengan harga yang lebih mahal
dibanding harga belinya.
Dilansir dari kantor berita Reuters,
Rabu 19 Februari 2014, yang mengutip pejabat senior di Kementerian
Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI), mengatakan, pemerintah
Negeri Sakura sedang berupaya untuk berdiskusi dengan RI melalui forum
WTO pada bulan ini. Apabila isu ini tidak juga terselesaikan, sebuah
panel khusus akan dibentuk untuk menangani kasus tersebut.
Kendati
begitu, Direktur METI, Osamu Onodera membantah sudah ada keputusan
untuk membawa kasus ini ke WTO. Dia menyebut itu baru kemungkinan.
"Membawa
isu ini ke forum WTO merupakan salah satu opsi kami. Tetapi kami belum
memutuskan apa pun," ujar Onodera yang menangani sengketa dan pemenuhan
aturan yang ditetapkan WTO.
Jepang merupakan salah satu produsen
baja stainless terbesar di dunia. Para perusahaan asal Negeri Sakura
terpaksa harus menghadapi kenyataan biaya produksi yang lebih besar dan
berjuang untuk mencari pasokan baru untuk nikel.
Akibat UU yang
diberlakukan secara resmi bulan lalu di Indonesia, turut memicu kenaikan
harga nikel global. Padahal, Jepang mengimpor 44 persen biji nikel dari
Indonesia pada 2012.
Menurut prediksi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) pada akhir Januari 2014, produksi nikel akan
merosot hingga 94 persen menjadi 3,5 juta ton.
Sejak
diberlakukannya secara resmi UU Minerba, Pemerintah RI mewajibkan setiap
perusahaan mineral dan tambang untuk mengolah dan memurnikan terlebih
dahulu bahan mentah tambang dengan menggunakan sebuah fasilitas bernama
smelter sebelum diekspor.
Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo,
mengatakan, pemerintah akan bertindak tegas, tidak akan memberikan izin
ekspor bagi perusahaan yang tidak membangun smelter. Sebab, banyak
perusahaan yang mengeluhkan untuk membangun smelter ini membutuhkan
biaya yang tidak sedikit.
Dinilai wajar
Terkait kemungkinan pengaduan kepada badan perdagangan dunia itu, pemerintah Indonesia menilai reaksi Jepang itu wajar.
Menteri
Perdagangan, Muhammad Luthfi, mengatakan jika Jepang ingin
berkonsultasi terkait larangan itu, pemerintah Indonesia akan membuka
diri.
"Ini kan pada dasarnya orang tidak senang. Tetapi, ini kan
suatu komitmen juga karena ini amanat undang-undang," ujar Luthfi, Jumat
21 Februari 2014.
Untuk itu, dia menjelaskan, Kemendag akan
mempelajari bersama, sehingga aturan tersebut dapat berjalan sesuai
amanat undang-undang.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan, Cris Kanter, mengaku heran dengan
rencana pemerintah Jepang tersebut.
"Kalau sebagai pembeli, bukan kewenangan dia (Jepang) untuk menggugat," ujar Cris kepada VIVAnews.
Dengan
adanya UU ini, pengusaha tambang dilarang menjual enam jenis mineral
mentah ke luar negeri yaitu emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga
dan batu bara sebelum diolah.
Pemerintah berharap penerapan
regulasi tersebut akan berdampak baik, yakni bisa memberi nilai tambah
kepada barang tambang itu, sehingga lebih menguntungkan para pengusaha.
Tidak
hanya pihak luar negeri, beberapa perusahaan tambang dalam negeri juga
keberatan dengan UU Minerba. Contohnya PT Freeport dan PT Newmont yang
sempat mengancam adanya PHK besar-besaran. Bahkan dikabarkan mereka akan
membawa masalah tersebut ke arbitrase. Meskipun pada akhirnya kedua
perusahaan itu menyatakan akan membangun smelter.
Duta Besar
Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O. Blake Jr, memahami pemerintah
yang telah memberlakukan UU Minerba. Namun, dia berharap dengan adanya
aturan baru itu, tidak lantas menghentikan kontribusi besar yang
disumbang oleh PT Freeport dan PT Newmont.
Blake mengingatkan
kedua perusahaan itu sudah berkontribusi sebanyak hampir satu persen
terhadap Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia.
"Perusahaan itu
bahkan telah membuka lapangan pekerjaan bagi lebih dari 100 ribu WNI,
khususnya di Papua. Kedua perusahaan itu juga merupakan pembayar pajak
terbesar kepada Indonesia," katanya.