Sunday 15 June 2014

KONTROVERSI ASAL USUL LELUHUR MANUSIA INDONESIA

Situs Gua HarimauPerlu berjalan kaki tiga jam mencapai Gua Harimau di Desa Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Dari dusun terdekat, menanjak ke bukit, melintasi anak sungai sebelum bertemu ratusan anak tangga.
Di akhir anak tangga, persis di depan sebuah gua yang menganga selebar 50 meter, terpancang sebuah plang bertuliskan, “Situs Gua Harimau. Situs ini sedang dalam penelitian Pusat Arkeologi Nasional”.

Hanya tiga meter di belakang plang ini, terdapat dua lubang galian yang dipagari kawat. Lubang galian yang terbesar berbentuk huruf L, dengan panjang lebih dari 5 meter.
Saat dilihat lebih dekat, terdapat beberapa kerangka manusia yang terbujur berjejer. Juga ada beberapa lokasi yang ditutupi dengan kotak-kotak berbungkus terpal plastik. Mereka adalah hasil ekskavasi Tim Peneliti Pusat Arkeologi Nasional sejak 2008 lalu.

Dulu, masyarakat takut mendekati gua ini. Seperti namanya, konon tempat persembunyian harimau. Roli Chandra, juru kunci Gua Harimau, menceritakan, gua ini juga pernah jadi tempat persembunyian warga saat penjajahan Belanda.
"Gua ini bisa menembus ke Gua Putri, dengan melintasi mulut gua sekitar 45 menit sampai ke atas," ujar ayah tiga anak ini. Namun Tim Peneliti Arkenas belum melakukan ekskavasi di Gua Putri.

Sejak tim peneliti berulang kali ke gua ini, masyarakat pun mulai berani mendekat. Warga pun mulai menjadikan lahan sekitar gua untuk bercocok tanam karet dan kopi.
"Dulunya ini hanya hutan lebat. Mau membuka lahan sebagai perkebunan pun warga takut. Baru sekarang warga berani," kata pria berusia 29 tahun itu.

Gua yang terletak 300 kilometer barat daya Ibu Kota Sumatera Selatan, Palembang, ini menjadi sasaran riset arkeologi setelah pada 2008 silam ditemukan lukisan gua. Ini lukisan gua pertama ditemukan di Pulau Sumatera.
Situs Gua Harimau. Motifnya pun unik, seperti songket, kain khas Sumatera Selatan. “Beberapa bulan kemudian, dilakukan penggalian dan ditemukan beberapa fosil,” kata Roli yang ikut mendampingi peneliti sejak saat itu.

Dua Lapis

Dalam 5 tahun penelitian, Arkenas menemukan 76 kerangka manusia kuno terkubur di Gua Harimau itu. Ada dua lapis tanah tempat kerangka ditemukan.
Di lapis pertama, kurang lebih 1 meter, ditemukan 72 kerangka yang terbujur. Ketika digali lebih dalam, sampai ke 1,8 meter, ditemukan empat kerangka dalam keadaan meringkuk, bukan terbujur lurus.

"Rentang usia keduanya itu antara 5.000 sampai 3.000 tahun. Kerangka bagian atas lebih muda dari kerangka yang di bawah," ujar Dyah Pratiningtyas, salah satu peneliti Arkenas, menjelaskan soal penemuan itu.

Arkenas, lanjut Dyah, masih berupaya mengetahui apakah kerangka yang lebih muda dan lebih tua ini berasal dari peradaban atau ras yang sama.
Spekulasi sementara, kerangka yang lebih tua adalah ras Austromelanesoid, sementara yang lebih muda adalah Mongoloid. Arkenas sudah mengirimkan spesimen gen mereka ke Lembaga Eijkman di Jakarta yang bisa mengekstraksi DNA.

Hasil tes DNA atas sampel kerangka itu bisa mengungkap lebih jelas tabir asal-usul kerangka individu itu.  “Saya berpikir hasil DNA itu bisa kita pakai untuk mencari relasi tersebut. Kalau yang dari Eijkman itu berhasil membaca sinyal segala macam, kira-kira mereka dari mana, apakah mereka orang lokal, apakah mereka pendatang baru kita bisa menjawab,” tambah dia.

Arkenas juga menyatakan masih ada kerangka manusia kuno yang lebih tua dari usia kerangka manusia di Gua Harimau ini. Kerangka manusia di gua dekat Gunung Sewu di selatan Yogyakarta berusia kisaran 10 ribu tahun.
Namun temuan kerangka manusia di Gua Harimau ini memiliki keunikan dibanding temuan komunitas manusia di gua-gua Pulau Jawa, yang biasanya hanya beberapa kerangka saja.

“Kita ada yang lebih banyak lagi, seperti di Gilimanuk, Bali sampai 200 individu, tapi dia di pesisir dan terbuka (open site), tidak di dalam gua. Ini (Gua Harimau), saya pikir mungkin lebih dari 100 kalau dibuka semua,” katanya.

Gua Harimau bukan satu-satunya gua di Sumatera tempat ditemukannya kerangka manusia kuno. Di ujung utara Sumatera, tepatnya di Loyang Mendale dan Ujung Karang, Kabayakan, Aceh Tengah, pada 2011 lalu, tim arkeolog Sumatera Utara juga menemukan kerangka manusia kuno.
Usia kerangka mencapai  5.000 tahun, lebih tua dari bukti migrasi manusia kuno di Sulawesi yang dianggap sebagai awal manusia Indonesia. Temuan kerangka di situs Sulawesi berusia lebih muda, diperkirakan 3.580 tahun lalu.

Kerangka di Loyang Mendale ini ditemukan terkubur dengan posisi kaki terlipat. Di dekat kerangka, tim peneliti menemukan sejumlah artefak yang sama dengan yang ditemukan di Thailand.

Ketua Tim Arkeologi Sumatera Utara, I Ketut Wiradiyana, menyatakan, berdasarkan pemeriksaan DNA, kerangka itu diketahui berasal dari ras Mongoloid dengan budaya Austronesia. Ketut menduga adanya perpaduan budaya antara ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang datang dari utara dengan ras Australomelanesoid yang berbudaya Hoabin saat mendatangi kawasan tersebut.

Salah satu bukti kuat perpaduan budaya itu ada pada budaya menguburkan orang mati dengan posisi melipat atau terlihat meringkuk. Kebiasaan melipat itu, kata Ketut merupakan ciri budaya Hoabin yang kerap mendiami daerah dataran rendah, pesisir. Tradisi jenazah dilipat ini masih tampak pada sejumlah suku di Papua.

“Ini semakin menguatkan kemungkinan adanya jalur migrasi lain yang lebih tua dari pada jalur migrasi dari Sulawesi seperti yang kita kenal selama ini,” katanya. Dugaan itu makin kuat dengan temuan sejumlah kapak lonjong dan gerabah poles merah. Kedua benda itu selama ini identik dengan kawasan Indonesia bagian timur, di antaranya Sulawesi, Maluku dan Papua.

Perjalanan Panjang

Temuan itu kembali menghangatkan debat asal muasal manusia Indonesia. Teori yang tak terbantahkan adalah semua manusia (Homo sapiens) di muka bumi bernenek moyang dari Afrika atau dikenal sebagai Teori Out of Africa.

Sebelum Gunung Toba meletus sekitar 74 ribu tahun yang lalu, Homo sapiens telah tiba di Nusantara yang mana saat itu Sumatera, Jawa dan Kalimantan masih merupakan bagian dari anak benua Asia atau dikenal sebagai Sundaland.
Setelah Toba meletus, sebagian besar populasi Homo sapiens punah.

Stephen Oppenheimer, genetikawan dari Inggris, menyebutkan terjadi bottle neck populasi manusia saat itu, tersisa sedikit di Nusantara dan Afrika sendiri. Jumlahnya sekitar 10.000 orang.
Orang-orang yang tersisa di Nusantara ini yang kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, kawin-mawin dengan Homo denisova, hominid yang baru 2011 ini diketahui keberadaannya. Gen Denisova ini menetap antara 4-6 persen di gen orang Melanesia yang kini menetap di Papua, Australia dan kepulauan di Pasifik.

Fakta soal Melanesia sebagai penghuni pertama Nusantara ini tidak ada perdebatan. Perdebatannya adalah, gelombang manusia berikutnya, yang berbahasa rumpun Austronesia di mana Bahasa Melayu merupakan cabang utamanya.

Teori Out of Yunan menyatakan, Austronesia ini berasal dari Yunan di China Selatan. Arkeolog I Ketut Wiradiyana, salah satu pendukung teori ini.
Dia menyatakan besar kemungkinan migrasi manusia berasal dari China bagian Selatan yang turun menuju kawasan Thailand, sebelum akhirnya menetap di sebelah barat Indonesia atau di kawasan Aceh Tengah. “Seperti yang diketahui, ras Mongoloid memang berasal dari daerah Cina bagian Selatan,” katanya.

Sementara teori Out of Taiwan menyebutkan nenek moyang penutur Austronesia ini berasal dari Formosa, nama lain dari Taiwan. Teori ini berlandaskan pada temuan kesamaan bahasa dan budaya.
Di Taiwan terdapat tiga etnik asli yang berbahasa rumpun Austronesia serta memiliki budaya tembikar dan cocok tanam yang sama. Teori ini disokong oleh arkeolog senior dari Australian National University, Peter Bellwood.

Namun peneliti lain mengungkapkan justru manusia Indonesia merupakan moyang manusia kawasan atau regional Asia Tenggara, saat paparan Sunda masih satu anak benua besar. Teori Out of Sundaland ini dipelopori genetikawan asal Inggris, Stephen Oppenheimer  

Oppenheimer menemukan, terjadi penyebaran drastis genetika sekitar 8.000 tahun yang lalu ke sekitar pulau-pulau di Nusantara. Kurun 8.000 tahun yang lalu ini, menurut Oppenheimer, seiring dengan akhir zaman es yang ditandai dengan tenggelamnya Sundaland.

“Bellwood berteori bahwa orang-orang datang dari Taiwan, menyebar di Indonesia dan Filipina dan membunuh semua orang di daerah itu. Saya membantah teori itu.  Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah sebaliknya. Orang-orang Taiwan berasal dari sini,” kata Oppenheimer.

Namun kubu arkeologi belum bisa menerima argumentasi genetika ini. Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerjasama Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Daud Aris Tanudirjo, mengatakan mengatakan dalam konteks persebaran moyang manusia Indonesia, lebih condong dengan skema Out of Taiwan. Leluhur muncul dari Taiwan kemudian menyebar ke Kalimantan, Sulawesi dan kemudian ke Sumatera dan Jawa.

"Tapi kalau dibilang (Sundaland) sebagai lokasi persebaran saya kira kurang begitu tepat,” tuturnya. Sejumlah penemuan kerangka ras Mongoloid pun, kata Daud, belum ada yang setua yang ditemukan di Taiwan.
“Sementara ini yang saya ikuti adalah penemuan terbaru bahwa asal-usul orang Indonesia berasal dari Taiwan. Dan saya kira dengan adanya penemuan terbaru di Liang Domeh, Pulau Matsu Taiwan, semakin menguatkan jika fosil di Taiwan adalah yang tertua,” jelas dia.?

Dyah, peneliti dari Arkenas, menyatakan, untuk membangun sebuah teori arkeologi, tidak hanya butuh satu bukti artefak saja. “Perlu banyak data untuk bentuk suatu hipotesa. Kalau baru satu titik, itu baru asumsi. Belum bisa dikatakan hipotesa, dibutuhkan bukti lain untuk mendukung temuan ini,” jelasnya.

Peta Genetika Indonesia

Namun arkeolog membuka diri pada genetika sebagai jalan menelusuri asal-usul. Deputi Direktur Lembaga Eijkman Jakarta Herawati Sudoyo menyatakan lembaganya bekerjasama dengan Pusat Arkeologi Nasional meneliti gen kerangka manusia kuno yang ditemukan arkeolog di sejumlah tempat di Indonesia.

Peneliti mengambil sampel DNA mitokondria yang merupakan warisan dari ibu kepada anak dan kromosom Y yang diwariskan dari ayah. Menurut Herawati, penelitian menggunakan mitokondria dan kromosom Y ini memiliki kelemahan yakni sulit melihat adanya percampuran gen. Percampuran gen bisa diteliti dengan riset otosom atau riset menyeluruh atas genetika seseorang.

Meski demikian, Herawati mengatakan studi gen dari sisi mitokondria akan membuka informasi mutasi gen saat manusia bermigrasi. Hera menjelaskan perjalanan migrasi, yang berbeda lingkungan dan kehidupan, akan menambah motif gen pada manusia itu.
Jadi tak heran, kata dia, jika ditemukan adanya percampuran atau haplotipe, dari Asia daratan masuk ke Formosa dan dilanjutkan turun ke wilayah Indonesia.

Eijkman, kata Herawati, mengumpulkan hampir seluruh sampel genetika etnis yang ada di Indonesia. Ia mengatakan studi gen tidak akan berhenti sampai proses pemetaan. Tetap akan dilakukan untuk meneliti lebih detail dan lebih khusus tiap suku bangsa.     

Dalam peta gen orang Indonesia yang sudah terpetakan, secara ringkas tampak adanya pola migrasi manusia dari Barat ke Timur bagian Indonesia. Pola ini ditandai dengan warna tertentu. "Dari peta DNA-nya terlihat, misalnya wilayah Papua itu hijau muda, genetika sukunya kelihatan. Totally semua hijau," ujar Hera.

Sementara di belahan barat Indonesia, umumnya hijau tua. Pengecualian di wilayah Sumatera Barat, terdapat pola dua gen berbeda yaitu hijau tua dan hijau muda sekaligus.
Total, Eijkman menemukan 32 klaster genetika manusia Indonesia yang secara umum terbagi atas tiga kelompok besar. Pertama, kelompok genetika Melayu, Minang, Jawa, Kalimantan; kedua, kelompok Makassar, Sumba, Minahasa; dan ketiga, kelompok Papua dan Alor. Kemudian terdapat juga kelompok kecil yang terpisah jauh dan diperkirakan lebih tua dari dua kelompok pertama yakni Nias-Mentawai.

Pembuktian gen manusia Indonesia juga makin menantang setelah ditemukannya gen Homo denisovan, yang kerangkanya ditemukan di Siberia, Rusia, pada gen orang Melanesia yang kini menghuni Papua dan Australia.
Herawati mengakui adanya temuan gen Denosivan itu namun peneliti Eijkman sejauh ini belum menemukan hasil yang signifikan. Sejauh ini, Eijkman sudah mengonfirmasi, ada kawin-mawin Homo sapiens dengan Homo neandertal.
"Perkawinan Homo Neandertal dengan manusia biasa memang ada. Kebetulan kami tengah bekerjasama dengan peneliti yang mengerjakan Neandertal," ujar Herawati.

Pada masa depan, lanjut dia, pemetaan gen bukan saja bermanfaat untuk melacak asal-usul, namun juga untuk mendukung kesehatan masyarakat. Hera mengatakan nantinya gen dapat digunakan untuk alat prediksi kecenderungan penyakit yang berkembang pada berbagai populasi masyarakat di Indonesia.
Dia mencontohkan, penyakit turunan yang umum melanda orang Indonesia yaitu talasemia. Meski tidak menjadi pencegah sepenuhnya bagi penderita Talasemia, namun setidaknya peta gen itu bisa menjadi panduan untuk pencegahan