Tidak heran bila Australia kini makin serius mempererat hubungan dengan Indonesia. Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr, mengungkapkan contoh pribadi untuk menggambarkan kedekatan hubungan kedua negara yang bertetangga itu.
"Salah satu tindakan pertama saya sebagai Menteri Luar Negeri Australia adalah bertukar nomor telepon seluler dengan Menlu RI Marty Natalegawa dalam peresmian Dialog 2+2 di tingkat Menteri Luar Negeri dan Pertahanan kedua negara di Canberra pada Maret tahun lalu," kata Carr saat membuka Dialog Australia-Indonesia 2013 di Kota Sydney 3-4 Maret 2013.
Seperti yang dia ungkapkan dalam akunnya di Twitter, Carr juga mengingatkan kepada para peserta Dialog bahwa yang "dia hubungi pertama lewat telepon setelah ditunjuk sebagai Menlu baru Australia adalah Marty Natalegawa."
Kepada wartawan VIVAnews Renne Kawilarang, dalam sebuah wawancara khusus saat VIVAnews berkunjung ke Australia, Menlu Carr mengungkapkan hubungan kedua negara kini mencapai titik tertinggi. Di tengah jadwal yang padat, politisi senior Partai Buruh itu bersedia menjawab beberapa pertanyaan soal perkembangan hubungan kedua negara dan beberapa isu yang menjadi tantangan bersama bagi Indonesia dan Australia. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan hubungan kedua negara saat ini?
Hubungan kedua negara kini mencapai titik tertinggi. Jumlah kunjungan antarmenteri dalam lima tahun terakhir lebih dari 120 kali. Bagi saya ini memastikan bahwa Indonesia dan Australia telah membangun kebiasaan berkonsultasi satu sama lain.
Selain kunjungan antarmenteri juga ada pertemuan tahunan tingkat pemimpin, pertemuan tingkat menteri 2+2, pertemuan tahunan tingkat menteri pertahanan dan lain-lain. Kebiasaan berkonsultasi ini untuk membahas tantangan-tantangan yang sedang dihadapi sehingga ini merupakan tugas yang tidak pernah selesai.
"Salah satu tindakan pertama saya sebagai Menteri Luar Negeri Australia adalah bertukar nomor telepon seluler dengan Menlu RI Marty Natalegawa dalam peresmian Dialog 2+2 di tingkat Menteri Luar Negeri dan Pertahanan kedua negara di Canberra pada Maret tahun lalu," kata Carr saat membuka Dialog Australia-Indonesia 2013 di Kota Sydney 3-4 Maret 2013.
Seperti yang dia ungkapkan dalam akunnya di Twitter, Carr juga mengingatkan kepada para peserta Dialog bahwa yang "dia hubungi pertama lewat telepon setelah ditunjuk sebagai Menlu baru Australia adalah Marty Natalegawa."
Kepada wartawan VIVAnews Renne Kawilarang, dalam sebuah wawancara khusus saat VIVAnews berkunjung ke Australia, Menlu Carr mengungkapkan hubungan kedua negara kini mencapai titik tertinggi. Di tengah jadwal yang padat, politisi senior Partai Buruh itu bersedia menjawab beberapa pertanyaan soal perkembangan hubungan kedua negara dan beberapa isu yang menjadi tantangan bersama bagi Indonesia dan Australia. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan hubungan kedua negara saat ini?
Hubungan kedua negara kini mencapai titik tertinggi. Jumlah kunjungan antarmenteri dalam lima tahun terakhir lebih dari 120 kali. Bagi saya ini memastikan bahwa Indonesia dan Australia telah membangun kebiasaan berkonsultasi satu sama lain.
Selain kunjungan antarmenteri juga ada pertemuan tahunan tingkat pemimpin, pertemuan tingkat menteri 2+2, pertemuan tahunan tingkat menteri pertahanan dan lain-lain. Kebiasaan berkonsultasi ini untuk membahas tantangan-tantangan yang sedang dihadapi sehingga ini merupakan tugas yang tidak pernah selesai.
Apa inisiatif atau program yang sedang ditekankan pemerintah Indonesia dan Australia tahun ini?
Kami berkomitmen untuk menambah program visa kerja khusus untuk turis (working holiday visa) dari seratus menjadi seribu orang setiap tahun. Ini tentunya program yang bagus untuk memperbanyak warga Australia yang berlibur sambil bekerja di Indonesia. Begitu juga makin banyak warga Indonesia yang memperoleh pengalaman bekerja sambil berlibur di Australia.
Kami mempersiapkan program saling kunjung di bidang seni, budaya, sains, dan teknologi kedua negara pada 2014. Di Australia, Kota Perth disiapkan menjadi lokasi pertama program pelatihan kejuruan untuk peserta dari Indonesia.
Kami juga terus melibatkan lebih banyak lagi peserta program pertukaran sekolah lanjutan.
Kami berkomitmen untuk menambah program visa kerja khusus untuk turis (working holiday visa) dari seratus menjadi seribu orang setiap tahun. Ini tentunya program yang bagus untuk memperbanyak warga Australia yang berlibur sambil bekerja di Indonesia. Begitu juga makin banyak warga Indonesia yang memperoleh pengalaman bekerja sambil berlibur di Australia.
Kami mempersiapkan program saling kunjung di bidang seni, budaya, sains, dan teknologi kedua negara pada 2014. Di Australia, Kota Perth disiapkan menjadi lokasi pertama program pelatihan kejuruan untuk peserta dari Indonesia.
Kami juga terus melibatkan lebih banyak lagi peserta program pertukaran sekolah lanjutan.
(Dalam pidato pembukaan Dialog Australia-Indonesia, Carr mengungkapkan program pertukaran kunjungan sekolah bernama BRIDGE. Dalam kunjungan proyek BRIDGE di Bali November 2012, Carr mengaku terkesan atas interaksi Sekolah Kristen Tasmania dengan Sekolah Islam setempat dengan saling mengenalkan bahasa dan budaya masing-masing)
Kedua negara pun sedang mempersiapkan Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif (yang ditargetkan bisa selesai pada 2014). Dengan demikian kami berupaya untuk menambah lagi fundamental hubungan kedua negara.
Bagaimana dengan hubungan antarwarga (people-to-people), apakah turut andil dalam penguatan hubungan kedua negara?
Saya menyukai fakta bahwa, ketika berkunjung ke Indonesia, saya bertemu banyak orang di sana yang pernah menimba ilmu di Australia atau yang menyekolahkan anak mereka di sana. Lalu beberapa peristiwa besar, seperti Bom Bali dan Bencana Tsunami, telah mempererat hubungan antarwarga dari kedua negara.
Selain itu pemerintah kami punya komitmen besar untuk turut membangun Indonesia. Pemerintah federal menganggarkan $1 miliar untuk memenuhi komitmen itu. Lalu kini mulai rutin digelar dialog yang mempertemukan kalangan pebisnis, cendekiawan, tokoh masyarakat, dan media dari Indonesia dan Australia.
Apa menurut Anda peran Diaspora Indonesia di Australia bagi penguatan hubungan kedua negara?
Peran mereka sudah terlihat nyata. Saya telah bertemu dengan sebagian dari mereka dan mereka secara kuat melobi pemerintah untuk terus memperluas hubungan dengan Indonesia.
Ada sekitar 50.000 warga Indonesia di Australia menurut data per 2011 dan sebanyak 18.000 dari mereka adalah pelajar. Mereka adalah para duta besar yang berperan bagi Indonesia dalam budaya dan bahasa.
Lalu bagaimana Anda melihat peran Diaspora Indonesia dalam mengubur stigma-stigma negatif sebagian warga Australia atas Indonesia maupun sebaliknya?
Berdialog secara langsung dan rutin antara warga Indonesia dengan warga lokal di tempat mereka berdomisili di Australia. Ini merupakan salah satu cara yang efektif dalam mempertahankan hubungan kedua bangsa.
Bagaimana Australia mendukung program pertukaran pelajar dari kedua negara?
Ada perbedaan besar dari skema yang terdahulu dengan yang diterapkan pemerintah saat ini. Dulu, melalui The Old Colombo Plan, ditawarkan 570 tempat untuk belajar di Australia per tahun. Namun pada skema saat ini, yang kami sebut sebagai The Australia Awards, menawarkan 5.000 tempat untuk belajar di Australia setiap tahun. Jumlah itu 10 kali lipat lebih besar dari skema Colombo Plan.
Di sisi lain, kami juga memiliki skema The Asia-Bound Program yang diluncurkan pada Oktober tahun lalu yang menawarkan 10.000 warga Australia untuk belajar di Asia. Pemerintah kami mengalokasikan $37 juta. Artinya, ada hibah dari pemerintah sebesar $5.000 per orang untuk belajar di luar negeri.
Saya menyukai fakta bahwa, ketika berkunjung ke Indonesia, saya bertemu banyak orang di sana yang pernah menimba ilmu di Australia atau yang menyekolahkan anak mereka di sana. Lalu beberapa peristiwa besar, seperti Bom Bali dan Bencana Tsunami, telah mempererat hubungan antarwarga dari kedua negara.
Selain itu pemerintah kami punya komitmen besar untuk turut membangun Indonesia. Pemerintah federal menganggarkan $1 miliar untuk memenuhi komitmen itu. Lalu kini mulai rutin digelar dialog yang mempertemukan kalangan pebisnis, cendekiawan, tokoh masyarakat, dan media dari Indonesia dan Australia.
Apa menurut Anda peran Diaspora Indonesia di Australia bagi penguatan hubungan kedua negara?
Peran mereka sudah terlihat nyata. Saya telah bertemu dengan sebagian dari mereka dan mereka secara kuat melobi pemerintah untuk terus memperluas hubungan dengan Indonesia.
Ada sekitar 50.000 warga Indonesia di Australia menurut data per 2011 dan sebanyak 18.000 dari mereka adalah pelajar. Mereka adalah para duta besar yang berperan bagi Indonesia dalam budaya dan bahasa.
Lalu bagaimana Anda melihat peran Diaspora Indonesia dalam mengubur stigma-stigma negatif sebagian warga Australia atas Indonesia maupun sebaliknya?
Berdialog secara langsung dan rutin antara warga Indonesia dengan warga lokal di tempat mereka berdomisili di Australia. Ini merupakan salah satu cara yang efektif dalam mempertahankan hubungan kedua bangsa.
Bagaimana Australia mendukung program pertukaran pelajar dari kedua negara?
Ada perbedaan besar dari skema yang terdahulu dengan yang diterapkan pemerintah saat ini. Dulu, melalui The Old Colombo Plan, ditawarkan 570 tempat untuk belajar di Australia per tahun. Namun pada skema saat ini, yang kami sebut sebagai The Australia Awards, menawarkan 5.000 tempat untuk belajar di Australia setiap tahun. Jumlah itu 10 kali lipat lebih besar dari skema Colombo Plan.
Di sisi lain, kami juga memiliki skema The Asia-Bound Program yang diluncurkan pada Oktober tahun lalu yang menawarkan 10.000 warga Australia untuk belajar di Asia. Pemerintah kami mengalokasikan $37 juta. Artinya, ada hibah dari pemerintah sebesar $5.000 per orang untuk belajar di luar negeri.
Apa tantangan-tantangan besar yang saat ini tengah dihadapi oleh kedua negara?
Menurut saya ada kebijakan-kebijakan kompleks yang menjadi tantangan bagi kedua negara, yaitu terkait penyelundupan manusia, kontra terorisme, perubahan iklim, perlindungan maritim, dan dialog antarkeyakinan.
Menurut saya ada kebijakan-kebijakan kompleks yang menjadi tantangan bagi kedua negara, yaitu terkait penyelundupan manusia, kontra terorisme, perubahan iklim, perlindungan maritim, dan dialog antarkeyakinan.
Menlu Bob Carr (tengah) dalam Dialog Australia-Indonesia di Sydney 3-4 Maret 2013
Mengenai isu penyelundupan manusia, bagaimana perkembangan upaya kedua pemerintah dalam menanganinya?
Indonesia selama ini dijadikan sebagai tempat singgah orang-orang yang ingin masuk ke Australia secara tidak sah. Maka kedua pemerintah berkesempatan untuk bekerja sama untuk menanggulanginya.
Kedua negara sama-sama punya kepentingan untuk memperbaiki masalah itu pada asalnya dan saya pikir kami bisa melakukannya. Itulah sebabnya kami terus-menerus membicarakannya dengan Indonesia untuk mencari solusi yang ampuh melalui mekanisme yang disebut "Bali Process."
Beberapa pekan lalu, 23 warga Indonesia berencana untuk menggugat pemerintah Australia setelah karena ditahan di penjara dewasa padahal masih berstatus anak-anak dalam kasus penyelundupan manusia. Bagaimana tanggapan Anda?
Di Australia, kami punya sistem yudisial yang independen. Mereka berhak untuk mengajukan klaim di sistem pengadilan Australia dan kami siap menerima proses hukum yang berlaku. Namun menurut saya, hubungan kedua negara telah cukup kuat sehingga bisa menangani tantangan demikian.
Australia kini telah memasuki masa kampanye untuk menyambut Pemilu pada September mendatang. Apakah Anda melihat masalah penyelundupan manusia merupakan salah satu isu besar yang disorot oleh kedua partai utama (Liberal dan Buruh) yang bersaing?
Menurut saya pihak oposisi (Partai Liberal) akan berupaya membuat masalah itu menjadi isu semasa kampanye. Namun, di sisi lain, pemerintah berupaya menunjukkan kepada publik atas keberhasilan mengurangi datangnya manusia perahu (pendatang ilegal) ke Australia.
Apakah perkembangan hubungan yang sedang berlangsung antara Indonesia dan Australia bisa menjadi modal bagi Partai Buruh yang sedang memerintah dalam berkampanye?
Semasa kampanye Pemilu, sulit rasanya mengedepankan isu hubungan luar negeri untuk memikat para calon pemilih. Situasi ini juga berlaku di semua negara di penjuru dunia. Bahkan di Amerika Serikat, yang berstatus sebagai kekuatan global, isu-isu domestik menjadi penentu bagi Pemilu.
Di era media sosial ini, apakah Anda melihat Facebook, Twitter, YouTube dan situs-situs lain telah menjadi instrumen baru diplomasi dan bagaimana Anda menggunakannya untuk melaksanakan politik luar negeri Australia?
Kedutaan Besar kami di Jakarta merupakan pengguna aktif Facebook. Saat ini ada 33.000 akun yang menyukai (likes) fan page Kedubes Australia di Jakarta. Duta Besar Greg Moriarty juga punya akun di Twitter dengan 2.500 pengikut (follower).
Menurut saya, itu merupakan cara untuk memelihara hubungan dengan orang-orang Indonesia yang punya ketertarikan dengan Australia. Jadi media sosial sudah punya tempat dalam diplomasi modern dan merupakan perlengkapan tambahan bagi kami untuk berkomunikasi.
Banyak pihak menilai bahwa media sosial belakangan ini juga memiliki dampak yang dahsyat yang tidak terduga sebelumnya, seperti pergolakan "Arab Spring," skandal WikiLeaks, dan kontroversi pemuatan cuplikan film anti Islam di YouTube beberapa waktu lampau. Apakah Anda turut mendukung pengendalian yang lebih ketat atas media-media sosial?
Menurut saya kita tidak bisa mengendalikan secara ketat atas media-media sosial di Internet. Di alam demokrasi seperti ini kita tidak bisa menerapkan tindakan seperti itu.
Indonesia selama ini dijadikan sebagai tempat singgah orang-orang yang ingin masuk ke Australia secara tidak sah. Maka kedua pemerintah berkesempatan untuk bekerja sama untuk menanggulanginya.
Kedua negara sama-sama punya kepentingan untuk memperbaiki masalah itu pada asalnya dan saya pikir kami bisa melakukannya. Itulah sebabnya kami terus-menerus membicarakannya dengan Indonesia untuk mencari solusi yang ampuh melalui mekanisme yang disebut "Bali Process."
Beberapa pekan lalu, 23 warga Indonesia berencana untuk menggugat pemerintah Australia setelah karena ditahan di penjara dewasa padahal masih berstatus anak-anak dalam kasus penyelundupan manusia. Bagaimana tanggapan Anda?
Di Australia, kami punya sistem yudisial yang independen. Mereka berhak untuk mengajukan klaim di sistem pengadilan Australia dan kami siap menerima proses hukum yang berlaku. Namun menurut saya, hubungan kedua negara telah cukup kuat sehingga bisa menangani tantangan demikian.
Australia kini telah memasuki masa kampanye untuk menyambut Pemilu pada September mendatang. Apakah Anda melihat masalah penyelundupan manusia merupakan salah satu isu besar yang disorot oleh kedua partai utama (Liberal dan Buruh) yang bersaing?
Menurut saya pihak oposisi (Partai Liberal) akan berupaya membuat masalah itu menjadi isu semasa kampanye. Namun, di sisi lain, pemerintah berupaya menunjukkan kepada publik atas keberhasilan mengurangi datangnya manusia perahu (pendatang ilegal) ke Australia.
Apakah perkembangan hubungan yang sedang berlangsung antara Indonesia dan Australia bisa menjadi modal bagi Partai Buruh yang sedang memerintah dalam berkampanye?
Semasa kampanye Pemilu, sulit rasanya mengedepankan isu hubungan luar negeri untuk memikat para calon pemilih. Situasi ini juga berlaku di semua negara di penjuru dunia. Bahkan di Amerika Serikat, yang berstatus sebagai kekuatan global, isu-isu domestik menjadi penentu bagi Pemilu.
Di era media sosial ini, apakah Anda melihat Facebook, Twitter, YouTube dan situs-situs lain telah menjadi instrumen baru diplomasi dan bagaimana Anda menggunakannya untuk melaksanakan politik luar negeri Australia?
Kedutaan Besar kami di Jakarta merupakan pengguna aktif Facebook. Saat ini ada 33.000 akun yang menyukai (likes) fan page Kedubes Australia di Jakarta. Duta Besar Greg Moriarty juga punya akun di Twitter dengan 2.500 pengikut (follower).
Menurut saya, itu merupakan cara untuk memelihara hubungan dengan orang-orang Indonesia yang punya ketertarikan dengan Australia. Jadi media sosial sudah punya tempat dalam diplomasi modern dan merupakan perlengkapan tambahan bagi kami untuk berkomunikasi.
Banyak pihak menilai bahwa media sosial belakangan ini juga memiliki dampak yang dahsyat yang tidak terduga sebelumnya, seperti pergolakan "Arab Spring," skandal WikiLeaks, dan kontroversi pemuatan cuplikan film anti Islam di YouTube beberapa waktu lampau. Apakah Anda turut mendukung pengendalian yang lebih ketat atas media-media sosial?
Menurut saya kita tidak bisa mengendalikan secara ketat atas media-media sosial di Internet. Di alam demokrasi seperti ini kita tidak bisa menerapkan tindakan seperti itu.