Monday, 11 March 2013

MENLU AUSTRALIA : Kami Punya Komitmen Besar untuk Turut Membangun Indonesia

Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr, dalam wawancara dengan VIVAnews di Sydney
Tidak heran bila Australia kini makin serius mempererat hubungan dengan Indonesia. Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr, mengungkapkan contoh pribadi untuk menggambarkan kedekatan hubungan kedua negara yang bertetangga itu.

"Salah satu tindakan pertama saya sebagai Menteri Luar Negeri Australia adalah bertukar nomor telepon seluler dengan Menlu RI Marty Natalegawa dalam peresmian Dialog 2+2 di tingkat Menteri Luar Negeri dan Pertahanan kedua negara di Canberra pada Maret tahun lalu," kata Carr saat membuka Dialog Australia-Indonesia 2013 di Kota Sydney 3-4 Maret 2013.

Seperti yang dia ungkapkan dalam akunnya di Twitter, Carr juga mengingatkan kepada para peserta Dialog bahwa yang "dia hubungi pertama lewat telepon setelah ditunjuk sebagai Menlu baru Australia adalah Marty Natalegawa."

Kepada wartawan VIVAnews Renne Kawilarang, dalam sebuah wawancara khusus saat VIVAnews berkunjung ke Australia, Menlu Carr  mengungkapkan hubungan kedua negara kini mencapai titik tertinggi. Di tengah jadwal yang padat, politisi senior Partai Buruh itu bersedia menjawab beberapa pertanyaan soal perkembangan hubungan kedua negara dan beberapa isu yang menjadi tantangan bersama bagi Indonesia dan Australia. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan hubungan kedua negara saat ini?

Hubungan kedua negara kini mencapai titik tertinggi. Jumlah kunjungan antarmenteri dalam lima tahun terakhir lebih dari 120 kali. Bagi saya ini memastikan bahwa Indonesia dan Australia telah membangun kebiasaan berkonsultasi satu sama lain.

Selain kunjungan antarmenteri juga ada pertemuan tahunan tingkat pemimpin, pertemuan tingkat menteri 2+2, pertemuan tahunan tingkat menteri pertahanan dan lain-lain. Kebiasaan berkonsultasi ini untuk membahas tantangan-tantangan yang sedang dihadapi sehingga ini merupakan tugas yang tidak pernah selesai.
Apa inisiatif atau program yang sedang ditekankan pemerintah Indonesia dan Australia tahun ini?

Kami berkomitmen untuk menambah program visa kerja khusus untuk turis (working holiday visa) dari seratus menjadi seribu orang setiap tahun. Ini tentunya program yang bagus untuk memperbanyak warga Australia yang berlibur sambil bekerja di Indonesia. Begitu juga makin banyak warga Indonesia yang memperoleh pengalaman bekerja sambil berlibur di Australia.

Kami mempersiapkan program saling kunjung di bidang seni, budaya, sains, dan teknologi kedua negara pada 2014. Di Australia, Kota Perth disiapkan menjadi lokasi pertama program pelatihan kejuruan untuk peserta dari Indonesia.

Kami juga terus melibatkan lebih banyak lagi peserta program pertukaran sekolah lanjutan.
(Dalam pidato pembukaan Dialog Australia-Indonesia, Carr mengungkapkan program pertukaran kunjungan sekolah bernama BRIDGE. Dalam kunjungan proyek BRIDGE di Bali November 2012, Carr mengaku terkesan atas interaksi Sekolah Kristen Tasmania dengan Sekolah Islam setempat dengan saling mengenalkan bahasa dan budaya masing-masing)
Kedua negara pun sedang mempersiapkan Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif (yang ditargetkan bisa selesai pada 2014). Dengan demikian kami berupaya untuk menambah lagi fundamental hubungan kedua negara.
Bagaimana dengan hubungan antarwarga (people-to-people), apakah turut andil dalam penguatan hubungan kedua negara?

Saya menyukai fakta bahwa, ketika berkunjung ke Indonesia, saya bertemu banyak orang di sana yang pernah menimba ilmu di Australia atau yang menyekolahkan anak mereka di sana. Lalu beberapa peristiwa besar, seperti Bom Bali dan Bencana Tsunami, telah mempererat hubungan antarwarga dari kedua negara.

Selain itu pemerintah kami punya komitmen besar untuk turut membangun Indonesia. Pemerintah federal menganggarkan $1 miliar untuk memenuhi komitmen itu. Lalu kini mulai rutin digelar dialog yang mempertemukan kalangan pebisnis, cendekiawan, tokoh masyarakat, dan media dari Indonesia dan Australia.

Apa menurut Anda peran Diaspora Indonesia di Australia bagi penguatan hubungan kedua negara?

Peran mereka sudah terlihat nyata. Saya telah bertemu dengan sebagian dari mereka dan mereka secara kuat melobi pemerintah untuk terus memperluas hubungan dengan Indonesia.

Ada sekitar 50.000 warga Indonesia di Australia menurut data per 2011 dan sebanyak 18.000 dari mereka adalah pelajar. Mereka adalah para duta besar yang berperan bagi Indonesia dalam budaya dan bahasa.

Lalu bagaimana Anda melihat peran Diaspora Indonesia dalam mengubur stigma-stigma negatif sebagian warga Australia atas Indonesia maupun sebaliknya? 

Berdialog secara langsung dan rutin antara warga Indonesia dengan warga lokal di tempat mereka berdomisili di Australia. Ini merupakan salah satu cara yang efektif dalam mempertahankan hubungan kedua bangsa.

Bagaimana Australia mendukung program pertukaran pelajar dari kedua negara?

Ada perbedaan besar dari skema yang terdahulu dengan yang diterapkan pemerintah saat ini. Dulu, melalui The Old Colombo Plan, ditawarkan 570 tempat untuk belajar di Australia per tahun. Namun pada skema saat ini, yang kami sebut sebagai The Australia Awards, menawarkan 5.000 tempat untuk belajar di Australia setiap tahun. Jumlah itu 10 kali lipat lebih besar dari skema Colombo Plan.

Di sisi lain, kami juga memiliki skema The Asia-Bound Program yang diluncurkan pada Oktober tahun lalu yang menawarkan 10.000 warga Australia untuk belajar di Asia. Pemerintah kami mengalokasikan $37 juta. Artinya, ada hibah dari pemerintah sebesar $5.000 per orang untuk belajar di luar negeri.   
Apa tantangan-tantangan besar yang saat ini tengah dihadapi oleh kedua negara?

Menurut saya ada kebijakan-kebijakan kompleks yang menjadi tantangan bagi kedua negara, yaitu terkait penyelundupan manusia, kontra terorisme, perubahan iklim, perlindungan maritim, dan dialog antarkeyakinan.
Menlu Bob Carr (tengah) dalam Dialog Australia-Indonesia di Sydney
Menlu Bob Carr (tengah) dalam Dialog Australia-Indonesia di Sydney 3-4 Maret 2013
Mengenai isu penyelundupan manusia, bagaimana perkembangan upaya kedua pemerintah dalam menanganinya? 

Indonesia selama ini dijadikan sebagai tempat singgah orang-orang yang ingin masuk ke Australia secara tidak sah. Maka kedua pemerintah berkesempatan untuk bekerja sama untuk menanggulanginya.

Kedua negara sama-sama punya kepentingan untuk memperbaiki masalah itu pada asalnya dan saya pikir kami bisa melakukannya. Itulah sebabnya kami terus-menerus membicarakannya dengan Indonesia untuk mencari solusi yang ampuh melalui mekanisme yang disebut "Bali Process."

Beberapa pekan lalu, 23 warga Indonesia berencana untuk menggugat pemerintah Australia setelah karena ditahan di penjara dewasa padahal masih berstatus anak-anak dalam kasus penyelundupan manusia. Bagaimana tanggapan Anda?

Di Australia, kami punya sistem yudisial yang independen. Mereka berhak untuk mengajukan klaim di sistem pengadilan Australia dan kami siap menerima proses hukum yang berlaku. Namun menurut saya, hubungan kedua negara telah cukup kuat sehingga bisa menangani tantangan demikian.

Australia kini telah memasuki masa kampanye untuk menyambut Pemilu pada September mendatang. Apakah Anda melihat masalah penyelundupan manusia merupakan salah satu isu besar yang disorot oleh kedua partai utama (Liberal dan Buruh) yang bersaing?

Menurut saya pihak oposisi (Partai Liberal) akan berupaya membuat masalah itu menjadi isu semasa kampanye. Namun, di sisi lain, pemerintah berupaya menunjukkan kepada publik atas keberhasilan mengurangi datangnya manusia perahu (pendatang ilegal) ke Australia.

Apakah perkembangan hubungan yang sedang berlangsung antara Indonesia dan Australia bisa menjadi modal bagi Partai Buruh yang sedang memerintah dalam berkampanye? 

Semasa kampanye Pemilu, sulit rasanya mengedepankan isu hubungan luar negeri untuk memikat para calon pemilih. Situasi ini juga berlaku di semua negara di penjuru dunia. Bahkan di Amerika Serikat, yang berstatus sebagai kekuatan global, isu-isu domestik menjadi penentu bagi Pemilu.

Di era media sosial ini, apakah Anda melihat Facebook, Twitter, YouTube dan situs-situs lain telah menjadi instrumen baru diplomasi dan bagaimana Anda menggunakannya untuk melaksanakan politik luar negeri Australia?

Kedutaan Besar kami di Jakarta merupakan pengguna aktif Facebook. Saat ini ada 33.000 akun yang menyukai (likes) fan page Kedubes Australia di Jakarta. Duta Besar Greg Moriarty juga punya akun di Twitter dengan 2.500 pengikut (follower).

Menurut saya, itu merupakan cara untuk memelihara hubungan dengan orang-orang Indonesia yang punya ketertarikan dengan Australia. Jadi media sosial sudah punya tempat dalam diplomasi modern dan merupakan perlengkapan tambahan bagi kami untuk berkomunikasi.

Banyak pihak menilai bahwa media sosial belakangan ini juga memiliki dampak yang dahsyat yang tidak terduga sebelumnya, seperti pergolakan "Arab Spring," skandal WikiLeaks, dan kontroversi pemuatan cuplikan film anti Islam di YouTube beberapa waktu lampau. Apakah Anda turut mendukung pengendalian yang lebih ketat atas media-media sosial?

Menurut saya kita tidak bisa mengendalikan secara ketat atas media-media sosial di Internet. Di alam demokrasi seperti ini kita tidak bisa menerapkan tindakan seperti itu.

Pasien Meninggal, Kartu Jakarta Sehat Tidak Siap?

Kartu Jakarta Sehat salah satu program unggulan Gubenur DKI Jakarta, Joko Widodo.
Royatih harus menelan pil pahit karena Kartu Jakarta Sehat (KJS), tidak dapat menyelamatkan anaknya, Ana Mudrika (14) yang ditolak empat rumah sakit di Ibukota. Ana diduga keracunan makanan dan telat ditangani secara medis.

Royatih menceritakan, bagaimana ia berjuang agar anaknya bisa sehat. Selasa 5 Maret 2013, Ana pulang dari sekolah mengeluh sakit perut. "Dia muntah-muntah," kata Royatih saat ditemui VIVAnews di kediamannya di Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu 9 Maret 2013.

Awalnya Royatih hanya merawat anaknya di rumah. Dia memberi anaknya obat, namun Ana masih tetap muntah. Akhirnya dibawa ke bidan. Pukul 20.30 malam itu, Ana akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Firdaus dengan bermodalkan KJS.

Ana masuk ke ruang IGD RS Firdaus, dan langsung diinfus. Saat bertanya apakah RS tersebut menerima KJS, sang peawat hanya menjawab "Di sini yang terima KJS cuma pasien dengan penyakit paru-paru,"

Royatih akhirnya tetap memasukkan anaknya di RS itu. Ana langsung diinfus. Besoknya, perut Ana mulai kembung. Perawat lalu memasukkan alat dari hidung yang menurut Royatih untuk membuang kotoran. "Katanya ada infeksi di perut, karena makanan kotor," ujar Royatih.

Tak kunjung sembuh, Royatih lalu keliling RS di Jakarta Utara karena RS Firdaus tidak memiliki peralatan yang memadai untuk melakukan operasi. Ana harus dirawat di ruang Itensive Care Unit (ICU).

Royatih mendatangi RS Islam Sukapura, RS Koja  RS Mulia Sari dan Rumah Sakit Tugu di Pelabuhan. Jawabannya yang ia dapat sama, ruangan ICU penuh dan tak ada kamar kelas III yang kosong untuk pasien KJS. Akhirnya, Royatih kembali ke RS Firdaus.

Setelah mengadu ke sejumlah pihak termasuk istri Ketua RT yang kemudian melapor ke anggota DPRD Jakarta, RS Islam di Sukapura akhirnya menerima Ana di ICU mereka dengan kondisi yang sudah memburuk. Tim dokter memutuskan untuk mengoperasi Ana karena ada infeksi di pencernaan. 

Namun, saat akan dioperasi pada Jumat lalu kondisi Ana melemah. Sabtu pagi, 9 Maret, Ana berpulang. "Anak saya nafasnya sudah tersengal-sengal. Semua alat-alat dipasang, dikasih alat bantu, tetap dipompa, tapi tetap tidak tertolong," kata Royatih.

Seperti diketahui Program Kartu Jakarta Sehat memberikan kesempatan bagi warga miskin maupun yang kaya untuk berobat secara gratis. Akibatnya, pasien di berbagai rumah sakit di Jakarta membludak.

Ini bukan pertama kalinya pasien KJS meninggal. Beberapa waktu lalu, Kisah tragis bayi Dera Nur Anggraini, yang meninggal akibat tidak tertampung di rumah sakit karena ruang  intensif khusus bayi atau Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di rumah sakit-rumah sakit DKI Jakarta penuh. Tidak hanya ruang NICU yang penuh, ruang perawatan Intensive Care Unit (ICU) juga ikut penuh.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengaku kewalahan dengan lonjakan pasien di rumah sakit dan puskesmas setelah diberlakukannya Kartu Jakarta Sehat (KJS). Para dokter pun khawatir pelayanan terhadap pasien menjadi tidak maksimal dengan lonjakan tersebut.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Zainal Abidin, mengatakan idealnya seorang dokter memberikan pelayanan kesehatan selama 15 menit untuk seorang pasien. Namun setelah KJS diterapkan, seorang dokter hanya bisa memeriksa pasiennya selama 5 menit. 

Jakarta butuh rumah sakit pemerintah baru?


Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan kejadian yang sudah beberapa kali terulang tersebut merupakan masalah yang harus terus dibenahi secara bertahap. Ia berjanji KJS akan terus disempurnakan karena manfaatnya telah dirasakan oleh masyarakat Jakarta.

"Tidak usah menutup mata, memang ada fakta realita seperti itu. Kalau tidak ada KJS, ribuan orang yang akan menjadi seperti itu," ujarnya.

Jokowi mengatakan salah satu usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah memotong fasilitas kamar kelas II di RSUD rujukan KJS menjadi kelas III. Usaha tersebut diharapkan bisa menurunkan lonjakan pasien pemegang KJS.

"Kelas II sudah dipotong 75 persen jadi kelas tiga, kita harapkan lonjakan seperti ini akan turun," kata mantan Walikota Solo ini. Jokowi juga akan membuat Puskesmas beroperasi 24 jam agar dapat menampung pasien KJS yang ditolak RS karena penuh.

Jokowi menjelaskan layanan call center 119 yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga akan terus diperluas sehingga warga dapat mengecek langsung layanan rumah sakit dan ketersediaan kamar.

Saat ini, layanan call center 119 baru menggandeng sembilan rumah sakit, yaitu Cipto Mangunkusumo, RS Jantung Harapan Kita, RS Anak Bunda Harapan, RSUP Fatmawati, RSUP Persahabatan, RSUD Tarakan, RSUD Cengkareng, RSUD Koja, dan RSPAD Gatot Subroto. "Nanti diperluas terus," ujarnya.

Jokowi tak segan akan mengancam rumah sakit rujukan KJS yang tidak bisa diajak kerjasama untuk menerima masyarakat untuk berobat. Salah satu ancamannya adalah pemda DKI Jakarta tidak akan memberikan surat penambahan ruangan RS yang tidak bisa diajak kerjasama menyukseskan program KJS.

"Kami pemerintah punya power yang digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat," ujarJokowi.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai Pemprov DKI Jakarta tidak siap dalam menjalankan sistem KJS karena ia telah memprediksi begitu program ini dilakukan maka akan ada lonjakan pasien. Ledakan pasien ini, katanya, tidak diimbangi oleh tenaga medis.

"Saya bukan membela rumah sakit, tapi memang ruangan rumah sakit penuh sedangkan tenaga medis tidak ada. Jika dibiarkan saja dirawat asal-asalan maka bisa satu rumah sakit bisa tertular," katanya saat dihubungi VIVAnews.

Solusi Jokowi yang akan mengurangi Kelas II untuk dijadikan Kelas III pun dirasakan tidak cukup. Jakarta, katanya, membutuhkan RS baru milik pemerintah. RS milik pemerintah saat ini sudah tidak cukup lagi menampung warga Jakarta yang semakin banyak.

"Sudah 10 tahun ini tidak ada RS pemerintah yang baru di tengah gagalnya program Keluarga Berencana (KB)," katanya.