Tuesday, 1 June 2010

ISTRI PEJABAT MAJU DALAM PILKADA

Sejak reformasi bergulir terbukalah kesempatan bagi kaum perempuan untuk menduduki posisi penting di lembaga legislatif dan eksekutif, baik nasional maupun lokal. Secara khusus, jika di masa Orde Baru ibu-ibu pejabat hanya aktif menjadi anggota dan/atau pengurus Dharma Pertiwi atau Dharma Wanita, kini mereka pun dapat ikut bertanding untuk menduduki posisi-posisi di eksekutif dan legislatif melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Fenomena politik era reformasi ini menunjukkan adanya kebangkitan kaum perempuan. Mereka bukan lagi sekadar pendamping kaum pria yang menjadi pejabat, melainkan juga dapat menjadi pengganti suaminya jika si suami tidak lagi memenuhi syarat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.

Di satu sisi ini merupakan suatu kemajuan yang amat berarti di negeri ini yang tak lagi mempersoalkan perbedaan gender. Semua orang berkedudukan sama dalam bidang politik. Sekat-sekat yang diciptakan kelompok konservatif (agama dan adat) mengenai posisi perempuan dalam politik juga mulai sirna. Di masa lalu, amatlah tabu bagi perempuan atau istri untuk aktif dalam politik, karena adanya pandangan tempat yang pantas bagi kaum istri adalah di dapur atau menjadi kanca wingking (teman di belakang) yang neraka katut, swarga nunut (terbawa ke neraka atau ikut ke surga oleh sang suami). Karena itu, kepandaian atau kemampuan kaum perempuan dipandang kurang berarti dibanding posisinya sebagai seorang ibu rumah tangga biasa. Pandangan liberal dan moderat kini semakin menunjukkan kemenangan mereka yang mendukung berperan aktifnya perempuan dalam politik.

Tempat perempuan bukan hanya di belakang rumah atau hanya menjadi pendamping dan pendukung karier politik suaminya, melainkan dapat memiliki jabatan atau karier politik sendiri. Di sisi lain, bertandingnya kaum perempuan, terlebih lagi istri pejabat atau mantan pejabat negara maupun pemerintahan lokal, untuk menduduki jabatan-jabatan publik juga menimbulkan pertanyaan, apakah politik dinasti atau dinasti politik sedang tumbuh bak jamur di musim hujan di negeri ini? Pertanyaan itu tidak akan muncul jika partai-partai politik telah memainkan peranan dalam komunikasi politik, pendidikan politik, rekrutmen politik, agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan rakyat banyak.

Para istri pejabat negara atau pemerintahan lokal dapat saja bertanding dalam pilkada jika mereka benar-benar memiliki kapabilitas akademik dan pengalaman politik yang baik untuk menduduki jabatan-jabatan publik tersebut. Pendidikan memang bukan segala-galanya dalam menentukan kiprah politik seseorang. Seorang doktor dapat saja memiliki otoritas akademik di bidangnya, namun mungkin saja tidak memiliki kapabilitas dalam berhubungan dengan rakyat. Sebaliknya, seorang yang hanya lulusan sekolah menengah atas dapat saja memiliki kapabilitas dan pengalaman politik yang baik untuk menjadi seorang pemimpin, walau tidak pernah duduk di perguruan tinggi.

Paling ideal adalah jika seseorang sekaligus memiliki otoritas akademik dan pengalaman serta rasa empati terhadap rakyat yang akan dipimpinnya. Ibu pejabat yang suka dilayani dan tidak memiliki empati terhadap rakyat tentu bukanlah tipe calon pemimpin yang baik. Sepintar atau sepengalaman apa pun seorang istri pejabat, jika tidak mendapatkan tempat di hati rakyatnya tentunya sulit untuk terpilih menjadi pejabat publik di daerah, apalagi pada tingkat nasional.

Problem Politik

Ada beberapa faktor penyebab munculnya fenomena adanya istri-istri bupati yang maju untuk memperebutkan jabatan publik di daerah. Pertama, para bupati yang masih menjabat dianggap berhasil oleh masyarakat setempat, seperti dalam kasus di Kabupaten Bantul atau di Kediri, namun kedua bupati tersebut tidak dapat ikut pilkada karena masa jabatannya sudah dua kali. Karena itu, masyarakat menginginkan agar istri bupati maju dalam pilkada dengan asumsi bila istri mantan bupati menang, berarti mantan bupati akan berada di belakang istrinya sebagai “sang penuntun”.

Jika masa bakti lima tahun istrinya selesai, mantan bupati pun akan maju lagi karena tidak dilarang oleh undang-undang. Kedua, istri pertama dan istri kedua bupati sama-sama maju untuk membuktikan siapa dari keduanya yang memiliki legitimasi di mata rakyat di daerahnya. Motif politiknya bisa adu popularitas atau jago siapa yang dapat memenangi pertarungan tersebut. Ketiga, pembentukan dinasti politik baru di daerah. Pada tahap awal suami yang maju, tahap kedua istrinya, dan tahap ketiga adalah salah seorang anak dari pasangan tersebut. Bangunan dinasti politik ini akan kokoh jika masyarakat setempat menilai secara jujur bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kaya dan berpendidikan yang memang ingin membangun daerahnya. Persoalan akan muncul jika ternyata bangunan dinasti politik itu amat dipaksakan karena kepala daerah biasanya juga pimpinan daerah dari partai politik yang kuat di daerah tersebut.

Di sini menunjukkan bahwa organisasi partai politik dikelola ibarat partai milik keluarga. Pengurus atau anggota partai lain tidak memiliki kemampuan atau keberanian untuk menantang sang pimpinan partai yang adalah kepala daerah setempat. Persolannya semakin rumit jika di dalam pilkada tersebut bupati atau wali kota menggunakan aparat pemerintah daerah untuk memobilisasi massa bagi pemenangan pemilu untuk istrinya. Lebih pelik lagi jika ternyata anggota KPU dan badan pengawas pemilu di daerah tersebut tidak independen dan cenderung berpihak pada bupati atau wali kota yang sedang berkuasa. Politik kekuasaan dan politik uang dapat saja bermain di dalam pilkada, sehingga incumbent atau istri bupati/wali kota akan diuntungkan di dalam pilkada.

Problema politik ini kecil kemungkinannya akan terjadi di masyarakat yang kelompok menengah atau masyarakat sipilnya sudah amat sadar politik dan tak mudah tergiur oleh politik uang. Dinasti politik atau politik dinasti bukan suatu yang diharamkan di dalam demokrasi, walau tidak disarankan untuk terus berlangsung. Dinasti politik yang terbangun, asalkan didasari oleh niat baik untuk membangun daerah atau negara, ditambah lagi oleh kapasitas keturunan di keluarga tersebut untuk menjadi pemimpin, dapat diterima tapi tetap bukan sesuatu yang lazim di dalam sistem demokrasi.

Semakin banyaknya istri atau anak mantan bupati/wali kota yang maju di dalam pilkada menunjukkan betapa sosialisasi politik dan kaderisasi politik tidak berjalan baik di partai-partai politik. Jika ini terus berlanjut, bukan mustahil rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di republik ini akan merasa jenuh dengan demokrasi yang hanya menghasilkan pemimpin yang lebih mengutamakan keluarga dan kelompoknya ketimbang masa depan daerah, bangsa, dan negara. Ini merupakan problem kita bersama, bagaimana demokrasi dapat menciptakan kestabilan politik dan kemaslahatan bagi warga negara secara keseluruhan dan bukan hanya dikuasai oleh keluarga-keluarga kaya pemilik kekuasaan seperti yang hingga kini masih terjadi di Filipina.

Sri Mulyani dan Yahudi Bisa Batalkan Kunjungan Obama ke Indonesia (Lagi)

Dibandingkan bulan Maret lalu, gegap gempita menyambut kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama ke Indonesia yang dijadwalkan pertengahan bulan Juni ini tidak atau belum begitu terasa.

Bulan Maret lalu, saat pertama kali Obama direncanakan akan mengunjungi Jakarta dan Bali, berbagai kegiatan untuk menyambut Obama sudah mulai dilakukan jauh-jauh hari. Baik persiapan yang dilakukan pihak pemerintah Indonesia maupun berbagai kelompok masyarakat sipil Indonesia. Pemerintah telah merencanakan state dinner. Bahkan ada menteri yang berjanji akan mengusulkan kepada Presiden SBY untuk memberikan penghargaan kepada Ibunda Obama, Ann Dunham-Soetoro, yang melakukan penelitian mengenai ekonomi kerakyatan di Jogjakarta. Sejumlah tukang baso dan nasi goreng juga sudah diorganisir untuk menyambut kehadiran Obama yang disebutkan menyukai dua jenis makanan ini.

Tetapi apa daya, kunjungan Obama ke Indonesia di bulan Maret itu terpaksa dibatalkan. Alasan resmi yang disampaikan pihak Gedung Putih menyebutkan bahwa Obama harus berkonsentrasi mengikuti pemungutan suara mengenai RUU Jaminan Kesehatan di Kongres AS. Namun alasan lain yang juga dibicarakan banyak kalangan berkaitan dengan faktor keamanan. Mulai dari ancaman terorisme sampai kekhawatiran bertemunya dua gelombang demonstrasi besar di Jakarta ketika Obama tiba. Gelombang demonstrasi pertama digerakkan oleh “kelompok tradisional” yang anti pada sikap double standard Amerika Serikat dalam banyak isu internasional, sementara gelombang demonstrasi kedua dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil Indonesia yang kecewa dengan sikap pemerintah dalam menghadapi skandal dana talangan Bank Century senilai Rp 6,7 triliun.

Ketika itu, awal Maret, DPR telah menyatakan bahwa dana talangan yang diberikan kepada Bank Century itu pada 2008 melanggar berbagai aturan hukum dan sejumlah pihak, antara lain mantan Gubernur BI Boediono dan mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani harus bertanggung jawab. Tetapi Presiden SBY terkesan menentang penilaian DPR yang dihasilkan lewat proses penyelidikan Pansus Centurygate itu. Sikap Presiden SBY ini telah membangkitkan gelombang kekecewaan yang begitu luas dan merata di banyak tempat di Indonesia.

Kini, menurut jadwal, dua pekan lagi Obama akan tiba di Indonesia.

Adalah Maria Otero, pejabat Kemenlu AS yang membidangi demokrasi dan masalah global, yang menyampaikan secara resmi rencana kunjungan Obama dalam jumpa pers di Washington D.C. tanggal 26 Mei lalu. Menurut Mario Otero, untuk mempersiapkan kunjungan Obama, ia seecara khusus mengunjungi Indonesia antara tanggal 17 hingga 21 Mei untuk bertemu dengan pejabat Indonesia dan tokoh masyarakat sipil dan berdiskusi tentang berbagai isu internasional dimana kedua negara dapat membangun partnership.

Tetapi, serangan yang dilakukan pasukan Israel terhadap armada Fredom Flotilla yang terdiri dari enam kapal yang mengangkut bantuan kemanusiaan untuk penduduk Gaza, Palestina, yang telah dikurung Israel sejak awal Januari tahun lalu, kelihatannya sedikit banyak akan mempengaruhi rencana kunjungan Obama. Kapal Mavi Marmara milik Turki yang ikut dalam armada Freedom Flotilla dihujani tembakan oleh pesawat tempur dan helikopter Israel di Laut Tengah. Setidaknya, 19 orang dikabarkan tewas dan ratusan lainnya menderita luka-luka. Sampai sejauh ini kabar 12 WNI, termasuk seorang jurnalis TVOne, yang ikut dalam misi kemanusiaan itu pun belum jelas.

Serangan terhadap misi kemanusiaan ini menambah daftar panjang prilaku biadab pemerintahan negara Yahudi itu. Perdana Menteri Benyamin Netanyahu dalam keterangannya kemarin memperlihatkan rasa tidak bersalah. Dia menyesal korban jiwa yang jatuh dalam serangan itu. Tetapi, sambungnya seperti dikutip media Israel Hareetz, tentara Israel juga memiliki hak untuk membela diri dari serangan yang dilakukan pihak lain.

Persoalannya, yang datang ke mendekati Gaza bukanlah armada perang, tetapi misi kemanusiaan yang tidak mempersenjatai diri.

Amerika Serikat, sekutu utama Israel di muka bumi ini, mau tidak mau ikut memanen kecaman. Di Jakarta, hari ini sejumlah kelompok, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menggelar demonstrasi di depan Kedubes AS di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Mereka mengecam dukungan yang diberikan AS kepada Israel yang kerap bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan tanah Palestina.

Sikap Presiden Obama terhadap isu Timur Tengah sejak awal sudah mengecewakan kelompok Muslim di tanah air. Sejak Gaza diblokade oleh tentara Israel awal Januari 2009 lalu, Obama yang ketika itu tengah menunggu pelantikan dirinya sebagai presiden ke-44 AS, memilih berdiam diri.

Banyak yang mengaitkan sikap diam Obama itu dengan janjinya mempertahankan dan membela Israel dari serangan musuh-musuh negeri Zionis itu. Janji itu disampaikan Obama saat ia mengunjungi Israel pertengahan 2008 lalu, di tengah masa kampanye pemilihan presiden AS. Saat itu, Obama mengatakan bahwa Israel memiliki hak untuk melindungi diri dari setiap serangan. Obama sama sekali menutup mata dengan kenyataan bahwa apa yang disebut sebagai serangan terhadap Israel itu sebenarnya adalah reaksi balasan dari penjajahan yang dilakukan Israel terhadap wilayah Palestina.

Apa boleh buat, untuk urusan Israel, Obama dianggap tidak memiliki kebijakan yang berbeda dengan pendahulunya. Ia tetap pro pada penjajahan Israel atas tanah Palestina, dan lebih jauh, membiarkan (dan memperbolehkan) Israel melakukan serangan militer terhadap apapun yang oleh Israel diartikan sebagai serangan terhadap negara itu.

Hal lain yang ikut mempengaruhi rencana kunjungan Presiden Obama ke Indonesia adalah keputusan World Bank mengangkat Sri Mulyani Indrawati sebagai salah seorang managing director. Dalam hal ini, World Bank Group dianggap telah mengintervensi proses hukum yang tengah dilakukan berbagai lembaga penegak hukum di Indonesia untuk mengusut skandal dana talangan Bank Century.

Sri Mulyani adalah satu dari sekian pejabat Indonesia yang dinilai oleh DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ikut bertanggung jawab dalam kebijakan yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp 6,7 triliun itu. Skandal dana talangan Bank Century adalah kasus korupsi.

Keputusan World Bank ini seperti mengulangi kasus Paul Wolfowit yang mengundurkan diri dari kursi Presiden World Bank karena dinilai melanggar etika dan memberikan fasilitas yang tidak pada tempatnya kepada teman wanitanya, Sha Ali Riza.

Kunjungan Obama ke Indonesia akan dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk membawa kasus pengangkatan Sri Mulyani sebagai managing director World Bank Group ini ke level internasional. Sebagai pemimpin negara yang memiliki hak eksklusif untuk menempatkan orangnya di posisi presiden Bank Dunia, Obama akan diminta untuk mengkoreksi keputusan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick yang memberikan kursi managing director itu dan selanjutnya, untuk sementara, menyelamatkan Sri Mulyani.

Obama harus diberitahu bahwa skandal dana talangan Bank Century bukan satu-satunya kasus berbau korupsi yang melilit Sri Mulyani selama yang bersangkutan menjadi Menteri Keuangan di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan II. Ada beberapa kasus pajak yang melibatkan Sri Mulyani yang telah sering disampaikan.

Kini pilihan ada di tangan Obama. Ia akan kerepotan bila mengabaikan kedua agenda besar yang sedang berkembang di Indonesia ini.

Tetapi, di sisi lain, Obama akan disambut sebagai pahlawan bila ternyata ia berani mengambil langkah yang tegas untuk memperbaiki keadaan:

Pertama, mengecam Israel dan menghentikan dukungan AS untuk Israel sampai Israel menghentikan blokade Gaza dan meminta maaf atas semua kekerasan yang mereka lakukan.

Dan, kedua, mengkoreksi keputusan Presiden Bank Dunia Robert Zoellick yang mengangkat Sri Mulyani sebagai managing director World Bank Group. Serta menyatakan dukungannya pada proses hukum di Indonesia dan pemberantasan praktik korupsi, termasuk yang dilakukan pejabat negara untuk memperkaya pihak lain, sampai ke akar-akar