Sejak reformasi bergulir terbukalah kesempatan bagi kaum perempuan untuk menduduki posisi penting di lembaga legislatif dan eksekutif, baik nasional maupun lokal. Secara khusus, jika di masa Orde Baru ibu-ibu pejabat hanya aktif menjadi anggota dan/atau pengurus Dharma Pertiwi atau Dharma Wanita, kini mereka pun dapat ikut bertanding untuk menduduki posisi-posisi di eksekutif dan legislatif melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Fenomena politik era reformasi ini menunjukkan adanya kebangkitan kaum perempuan. Mereka bukan lagi sekadar pendamping kaum pria yang menjadi pejabat, melainkan juga dapat menjadi pengganti suaminya jika si suami tidak lagi memenuhi syarat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
Di satu sisi ini merupakan suatu kemajuan yang amat berarti di negeri ini yang tak lagi mempersoalkan perbedaan gender. Semua orang berkedudukan sama dalam bidang politik. Sekat-sekat yang diciptakan kelompok konservatif (agama dan adat) mengenai posisi perempuan dalam politik juga mulai sirna. Di masa lalu, amatlah tabu bagi perempuan atau istri untuk aktif dalam politik, karena adanya pandangan tempat yang pantas bagi kaum istri adalah di dapur atau menjadi kanca wingking (teman di belakang) yang neraka katut, swarga nunut (terbawa ke neraka atau ikut ke surga oleh sang suami). Karena itu, kepandaian atau kemampuan kaum perempuan dipandang kurang berarti dibanding posisinya sebagai seorang ibu rumah tangga biasa. Pandangan liberal dan moderat kini semakin menunjukkan kemenangan mereka yang mendukung berperan aktifnya perempuan dalam politik.
Tempat perempuan bukan hanya di belakang rumah atau hanya menjadi pendamping dan pendukung karier politik suaminya, melainkan dapat memiliki jabatan atau karier politik sendiri. Di sisi lain, bertandingnya kaum perempuan, terlebih lagi istri pejabat atau mantan pejabat negara maupun pemerintahan lokal, untuk menduduki jabatan-jabatan publik juga menimbulkan pertanyaan, apakah politik dinasti atau dinasti politik sedang tumbuh bak jamur di musim hujan di negeri ini? Pertanyaan itu tidak akan muncul jika partai-partai politik telah memainkan peranan dalam komunikasi politik, pendidikan politik, rekrutmen politik, agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan rakyat banyak.
Para istri pejabat negara atau pemerintahan lokal dapat saja bertanding dalam pilkada jika mereka benar-benar memiliki kapabilitas akademik dan pengalaman politik yang baik untuk menduduki jabatan-jabatan publik tersebut. Pendidikan memang bukan segala-galanya dalam menentukan kiprah politik seseorang. Seorang doktor dapat saja memiliki otoritas akademik di bidangnya, namun mungkin saja tidak memiliki kapabilitas dalam berhubungan dengan rakyat. Sebaliknya, seorang yang hanya lulusan sekolah menengah atas dapat saja memiliki kapabilitas dan pengalaman politik yang baik untuk menjadi seorang pemimpin, walau tidak pernah duduk di perguruan tinggi.
Paling ideal adalah jika seseorang sekaligus memiliki otoritas akademik dan pengalaman serta rasa empati terhadap rakyat yang akan dipimpinnya. Ibu pejabat yang suka dilayani dan tidak memiliki empati terhadap rakyat tentu bukanlah tipe calon pemimpin yang baik. Sepintar atau sepengalaman apa pun seorang istri pejabat, jika tidak mendapatkan tempat di hati rakyatnya tentunya sulit untuk terpilih menjadi pejabat publik di daerah, apalagi pada tingkat nasional.
Problem Politik
Ada beberapa faktor penyebab munculnya fenomena adanya istri-istri bupati yang maju untuk memperebutkan jabatan publik di daerah. Pertama, para bupati yang masih menjabat dianggap berhasil oleh masyarakat setempat, seperti dalam kasus di Kabupaten Bantul atau di Kediri, namun kedua bupati tersebut tidak dapat ikut pilkada karena masa jabatannya sudah dua kali. Karena itu, masyarakat menginginkan agar istri bupati maju dalam pilkada dengan asumsi bila istri mantan bupati menang, berarti mantan bupati akan berada di belakang istrinya sebagai “sang penuntun”.
Jika masa bakti lima tahun istrinya selesai, mantan bupati pun akan maju lagi karena tidak dilarang oleh undang-undang. Kedua, istri pertama dan istri kedua bupati sama-sama maju untuk membuktikan siapa dari keduanya yang memiliki legitimasi di mata rakyat di daerahnya. Motif politiknya bisa adu popularitas atau jago siapa yang dapat memenangi pertarungan tersebut. Ketiga, pembentukan dinasti politik baru di daerah. Pada tahap awal suami yang maju, tahap kedua istrinya, dan tahap ketiga adalah salah seorang anak dari pasangan tersebut. Bangunan dinasti politik ini akan kokoh jika masyarakat setempat menilai secara jujur bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kaya dan berpendidikan yang memang ingin membangun daerahnya. Persoalan akan muncul jika ternyata bangunan dinasti politik itu amat dipaksakan karena kepala daerah biasanya juga pimpinan daerah dari partai politik yang kuat di daerah tersebut.
Di sini menunjukkan bahwa organisasi partai politik dikelola ibarat partai milik keluarga. Pengurus atau anggota partai lain tidak memiliki kemampuan atau keberanian untuk menantang sang pimpinan partai yang adalah kepala daerah setempat. Persolannya semakin rumit jika di dalam pilkada tersebut bupati atau wali kota menggunakan aparat pemerintah daerah untuk memobilisasi massa bagi pemenangan pemilu untuk istrinya. Lebih pelik lagi jika ternyata anggota KPU dan badan pengawas pemilu di daerah tersebut tidak independen dan cenderung berpihak pada bupati atau wali kota yang sedang berkuasa. Politik kekuasaan dan politik uang dapat saja bermain di dalam pilkada, sehingga incumbent atau istri bupati/wali kota akan diuntungkan di dalam pilkada.
Problema politik ini kecil kemungkinannya akan terjadi di masyarakat yang kelompok menengah atau masyarakat sipilnya sudah amat sadar politik dan tak mudah tergiur oleh politik uang. Dinasti politik atau politik dinasti bukan suatu yang diharamkan di dalam demokrasi, walau tidak disarankan untuk terus berlangsung. Dinasti politik yang terbangun, asalkan didasari oleh niat baik untuk membangun daerah atau negara, ditambah lagi oleh kapasitas keturunan di keluarga tersebut untuk menjadi pemimpin, dapat diterima tapi tetap bukan sesuatu yang lazim di dalam sistem demokrasi.
Semakin banyaknya istri atau anak mantan bupati/wali kota yang maju di dalam pilkada menunjukkan betapa sosialisasi politik dan kaderisasi politik tidak berjalan baik di partai-partai politik. Jika ini terus berlanjut, bukan mustahil rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di republik ini akan merasa jenuh dengan demokrasi yang hanya menghasilkan pemimpin yang lebih mengutamakan keluarga dan kelompoknya ketimbang masa depan daerah, bangsa, dan negara. Ini merupakan problem kita bersama, bagaimana demokrasi dapat menciptakan kestabilan politik dan kemaslahatan bagi warga negara secara keseluruhan dan bukan hanya dikuasai oleh keluarga-keluarga kaya pemilik kekuasaan seperti yang hingga kini masih terjadi di Filipina.
No comments:
Post a Comment