Oleh : Fadjroel Rahman
Kejahatan yang tak terampunkan! Bila ada agama, Tuhan, ideologi, atau kepentingan bangsa, ras, dan golongan yang membenarkan pembunuhan anak-anak, terkutuklah iman dan kepentingan semacam itu.
Pembunuhan brutal 37 anak-anak, kebanyakan balita, di Qana, Lebanon selatan, oleh pengeboman Israel, Minggu (30/7), adalah kejahatan tak terampunkan.
Membunuh itu kejahatan
Ketika enam juta Yahudi dibantai Hitler, solidaritas kemanusiaan kita memuncak. Para korban, Yahudi dan lainnya, adalah manusia yang sama dengan kita, tengkorak yang dibalut darah, daging, air mata, kesedihan, dan kegembiraan.
Namun, ketika Pemerintah Israel mengatasnamakan bangsa Yahudi membunuh manusia tanpa pandang bulu, anak-anak, wanita, dan orang tua di Palestina serta Lebanon—sama brutalnya saat mereka dibantai Hitler di Jerman dan Eropa—kita dihadapkan pertanyaan, mengapa korban sama biadabnya dengan pelaku? "Apakah karena garis pemisah antara baik dan buruk melintas di tengah hati semua manusia?" Tanya Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago.
Israel menjajah serta membantai orang Palestina, dan kini membantai anak-anak di Qana. Hitler, Stalin, Taliban, dan Israel menjalankan terorisme negara, atas nama ras, ideologi, agama, dan nasionalisme.
Tentu tak semua orang Yahudi ingin membantai atau berperang, Sebagian mengutuk kebiadaban Pemerintah Israel. Demikian pula orang Palestina, Arab, Lebanon, ataupun Hezbollah, tidak semuanya ingin berperang meski tetap menuntut hak rakyat Palestina. Ketika sebagian orang Israel dan Hezbollah yang mencintai kekerasan dan kematian (necrophilian), berperang, mereka bersalah karena mencabut nyawa manusia, serta menimbulkan penderitaan pada manusia.
Tak diperlukan ayat suci untuk menyatakan Israel salah karena membunuh orang Palestina dan Lebanon serta mengagresi tanah air mereka. Hezbollah juga tak luput dari kesalahan bila menjadikan penduduk sipil Israel sebagai sasaran peluru kendalinya. Tidak ada keraguan untuk mengatakan, keduanya bersalah karena meniscayakan kematian manusia untuk tujuan masing-masing.
Sebenarnya, tidak ada perang yang niscaya untuk mencabut Israel ataupun Hezbollah dari muka bumi. Tentu yang niscaya adalah dikembalikannya tanah Palestina kepada orang Palestina dan hidup damai berdampingan dengan Israel. Kejahatan yang niscaya adalah terhadap umat manusia bila perang diteruskan kedua pihak. Bila ada yang berniat ikut berperang di pihak Hezbollah atau Israel, tindakan ini termasuk upaya mengabadikan kejahatan terhadap umat manusia. Perang adalah kejahatan, karena membunuh manusia adalah kejahatan!
Di mana solidaritas kemanusiaan dan akal sehat di dunia yang kini saling membunuh? Bisakah kemanusiaan kita merangkak naik mengatasi dilema Yahudi, dilema korban pelaku?
Sembari menegaskan kelirunya gagasan yang membenarkan orang mencabut nyawa manusia, atas nama Meinkampf, Manifesto Komunis, Injil, Al Quran, Zabur, Weda, Zionisme, nasionalisme, sosialisme, demokrasi, atau apa pun juga.
Demokrasi global
Bumi ternyata datar, ketidakseimbangan ekonomi, politik, dan militer global langsung mengarahkan dunia kepada kehancuran bersama. Perang Lebanon, Irak, Afganistan, dan kemandulan PBB tak luput dari ketidakseimbangan ini. Bahkan, cita-cita membangun keadilan, kebebasan, dan kesetaraan melalui gerakan demokrasi global menjadi compang-camping karena dimanipulasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya sebagai panji untuk menyerang Irak, Afganistan, dan negara lain yang tidak mau tunduk di bawah kepentingan ekonomi-politik mereka.
Atas nama demokrasi-manipulatif, jutaan manusia terbunuh dan menderita di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Pelajaran besar dari gejolak politik dunia ini adalah, pertama, revitalisasi demokrasi global, merumuskan kembali cita-cita, institusi, dan program demokrasi global yang substantif, bukan manipulatif di tengah keberagaman kehidupan global. Mendorong sekuatnya kesetaraan ekonomi, sosial, dan keuangan global. Bila negara-negara G-8 tetap menguasai 51 persen output industri global, 49 persen ekspor global, dan 49 persen aset di IMF, maka perang dan kehancuranlah ujung dunia.
Kedua, revitalisasi PBB, menjadikan lembaga ini representasi demokrasi dunia, di mana tiap negara anggota punya hak suara sama. Idealnya, sebuah pemerintahan dunia dengan partisipasi warga dunia. Tidak lagi menjadi sarana negara adidaya mengukuhkan kepentingan, seperti tercermin di Dewan Keamanan.
Ketiga, revitalisasi solidaritas kemanusiaan, mengenali, dan meminimalisir kejahatan kemanusiaan yang bersarang pada gagasan serta keyakinan manusia yang secara ironis membalikkan perilaku biadab pelaku kepada korban. Sehingga, simpati kita kepada pengorbanan Yahudi di masa Hitler menjadi ironi kemanusiaan yang mematikan solidaritas dan kepercayaan (trust) global. Akibat buruknya, Yahudi dianggap musuh agama, Tuhan, dan bangsa-bangsa. Anomali kemanusiaan inilah yang melanda Indonesia kini.
Percayalah, saat manusia dibunuh, entah Yahudi, Lebanon, Palestina, Indonesia, apalagi anak-anak tak berdosa di Qana, diri kita pun ikut terbunuh. Si korban—sang Habil—adalah kita, kemanusiaan kita.
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/03/opini/2855248.htm
M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
No comments:
Post a Comment