Sunday 3 April 2011

SIAPAKAH SEBENARNYA SOSOK DN AIDIT? BENARKAH DIA AKAN MEMBERONTAK? DAN BAGAIMANA JALAN HIDUPNYA?

G30 S dan Peran Aidit

Tempo, 1-7 Oktober 2007

SETIAP kali 30 September melintas, orang sulit melupakan Partai Komunis Indonesia. Bahkan PKI banyak melakukan kesalahan hingga akhirnya tumbang dalam prahara Gerakan 30 September, banyak orang mahfum. Menjelang 1965, ketua umumnya, Dipa Nusantara Aidit, menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan.

Menjadi pimpinan partai sejak Januari 1951, tiga tahun setelah pemberontakan Madiun, Aidit berhasil mengkonsolidasi partai yang sedang jatuh itu dengan kecepatan yang mengundang decak kagum. PKI menduduki posisi keempat dalam Pemilu 1955 dengan 6,1 juta pemilih atau meraih 16,4 persen suara. Dalam pemilu daerah yang dilangsungkan dua tahun kemudian, jumlah suara PKI meningkat hampir 40 persen. Di beberapa daerah mereka bahkan mendapat suara mayoritas. Setelah partai komunis di Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, PKI menjadi partai komunis terbesar di dunia. Anggota partai itu diklaim 3,5 juta orang, berlipat ratusan kali dari semula hanya 4.000 orang.

Tapi mereka tak kunjung bisa mewujudkan revolusi--tahap penting untuk mencapai masyarakat tanpa kelas seperti dicita-citakan Marx dan Lenin. Mengharapkan "revolusi" melalui pemilu seperti menggantang asap, karena Bung Karno dengan Demokrasi Terpimpinnya tak membuka pintu. Selain itu, pemilu bagi sebagian petinggi PKI dianggap bukan ide yang cemerlang, mengingat--kecuali di Cile--partai komunis tak pernah menang. Ide Nasakom yang dijalankan Soekarno untuk menyatukan golongan nasionalis, agama, dan komunis, telah menyandera PKI.

Tapi yang paling mencemaskan D.N. Aidit adalah bahwa PKI tak punya tentara. Padahal kekuasaan, seperti kata Mao Tse Tung, lahir dari ujung bedil. Membentuk sayap militer tak mudah: selain makan waktu, ini sulit dilakukan mengingat tentara pasti menghalangi. Ide Aidit membentuk angkatan kelima dengan mempersenjatai buruh dan tani tak terwujud karena resistensi militer. PKI berkejaran dengan waktu: Bung Karno uzur dan sakit, sementara selalu saja terdengar kabar bahwa militer, yang memiliki senjata, bakal mengambil alih kekuasaan.

Maka dilakukanlah taktik yang tak konvensional itu: infiltrasi ke tubuh ABRI. Aidit percaya, revolusi bisa dimulai dengan kudeta yang didukung sedikitnya 30 persen tentara. Untuk mencapai tujuannya, Aidit menggunakan organ partai bernama Biro Chusus pimpinan Syam Kamaruzzaman.

Di sini muncul blunder lain. Aidit mengambil keputusan-keputusan sepihak bersama Syam tanpa berkonsultasi dengan petinggi partai lainnya. Sudisman menyindir Biro Chusus sebagai PKI ilegal. Sejumlah studi meyakini Aidit sendiri akhirnya ditinggalkan Syam. Selanjutnya, kita tahu: PKI porak poranda dan ratusan ribu rakyat mati akibat perang saudara.

Adakah yang bisa dipetik dari peristiwa sejarah itu? Harus diakui, PKI adalah partai besar. Partai ini berdiri dan dibangun di atas sebuah cita-cita. Harapan itu kemudian diturunkan dalam bentuk "program umum" dan "program khusus", serta dijalankan melalui pelbagai kegiatan yang dikontrol dan diukur. PKI punya teori perjuangan.

Frasa "memperjuangkan kepentingan rakyat," di tangan PKI, tak berhenti sebagai janji kampanye. Program tanah untuk rakyat, misalnya, diperjuangkan untuk memberikan porsi yang lebih besar kepada petani penggarap atas hasil panen--sesuatu yang sebelumnya hanya menguntungkan pemilik tanah.

Sejarah Bolshevik mengajarkan kepada PKI ihwal perlunya model organisasi yang ketat. Ada Central Comite dan Politbiro yang menentukan kebijakan organisasi. Calon anggota diperiksa dan diawasi dalam jangka waktu tertentu hingga akhirnya diterima sebagai kader. Demokrasi pada taraf tertentu diterapkan untuk menghindari fraksinasi. Pendidikan politik dijalankan bahkan hingga ke desa-desa. Buku Mao Tse Tung diterjemahkan ke bahasa daerah agar bisa dipelajari secara luas.

Kantor PKI, seperti disebut dalam sejumlah studi, adalah markas yang hidup dan bergerak. Organisasi tak hanya mengurus program partai tapi juga tetek-bengek seperti anggota yang meninggal atau melahirkan. PKI tak hanya menjadi organisasi politik tapi juga menjadi komunitas. Ketika kantor pusat PKI dibangun di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sebagian besar dananya diperoleh dari sumbangan anggota yang pengelolaannya dilaporkan secara transparan. Koran Harian Rakjat digenjot oplahnya hingga mencapai 60 ribu eksemplar--jumlah yang fantastis untuk zaman itu.

Intinya, PKI memperjuangkan kepentingan kadernya, dan para anggota bekerja untuk partai karena kesamaan cita-cita. Empat puluh dua tahun setelah 1965 dan sembilan tahun setelah "revolusi" 1998, sebuah partai yang hidup mengurus anggotanya sepanjang tahun itulah yang tak kita temukan pada kebanyakan partai zaman sekarang.



Dua Wajah Dipa Nusantara

Tempo, 1-7 Oktober 2007

EMPAT puluh dua tahun berlalu dan kini kita mengenang lelaki itu dengan kebencian dan rasa kagum. Dipa Nusantara Aidit memimpin Partai Komunis Indonesia pada usia belia, 31 tahun. Ia hanya perlu setahun untuk melambungkan PKI ke dalam kategori empat partai besar di Indonesia. PKI mengklaim memiliki 3,5 juta pendukung dan menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Aidit memimpikan revolusi, ia berkhayal tentang Indonesia tanpa kelas. Tapi ia terempas dalam prahara 1965. Setelah itu, ia jadi mitos. Seperti juga peristiwa G-30-S, kisah tentangnya dipenuhi mitos dan pelbagai takhayul. Siapa Aidit ini seben


BERTAHUN-TAHUN orang mengenalnya sebagai "si jahat." Lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok. Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat ini meluncur dari mulutnya: "Djawa adalah kunci ..."; "Djam D kita adalah pukul empat pagi ..."; "Kita tak boleh terlambat ...!"

Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu'bah Asa. Seniman dan wartawan ini memerankan Ketua Umum Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di depan layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat, dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan itu.

Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin 151--ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.

Dia memulai "hidup" sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama Achmad Aidit itu menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31--sarang aktivis pemuda "radikal" kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok--penculikan Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Usianya baru 25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia "muncul" kembali.

Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih partai itu dari komunis tua--Alimin dan Tan Ling Djie--pada 1954, dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia. PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang "jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi." Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).

Tapi semuanya berakhir pada Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.

LAHIR dari keluarga terpandang di Belitung, Sumatera Selatan, 30 Juli 1923, D.N. Aidit adalah anak sulung dari enam bersaudara-dua di antaranya adik tiri.

Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan seorang tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari: sejauh jari menunjuk itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail, pengusaha ikan yang cukup berhasil.

Tak banyak fakta yang menguraikan kehidupannya pada periode Belitung ini kecuali keterangan dari Murad Aidit, anak bungsu Abdullah-Mailan. Meski disebut-sebut bahwa Achmad adalah kakak yang melindungi adik-adiknya, ada pula cerita yang menyebutkan ia sebetulnya tak peduli benar dengan keluarga. Kepada Murad, suatu ketika saat mereka sudah di Jakarta, Aidit pernah mengatakan satu-satunya hal yang mengaitkan mereka berdua adalah mereka berasal dari ibu dan bapak yang sama. Tidak lebih. Dengan kata lain, Achmad tak peduli benar soal "akar."

Di Belitung, ia bergaul dengan banyak orang. Ia menjadi bagian dari anak pribumi, tapi juga bergaul dengan pemuda Tionghoa. Simpatinya kepada kaum buruh dimulai dari persahabatannya dengan seorang pekerja Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, tambang timah di kampung halamannya.

Tapi seorang bekas wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan PKI, menangkap kesan lain tentang Aidit. Katanya, Dipa Nusantara bukan orang yang mudah didekati. Ia tegang, ia tak ramah. "Saya tak pernah merasa nyaman bila bersamanya," kata bekas wartawan itu. Dalam hal ini, potret Arifin C. Noer, sutradara Pengkhianatan G-30-S/PKI, tentang Aidit mungkin tak kelewat salah: Aidit adalah pegiat partai yang dingin--mungkin cenderung kering.

Tak seperti Njoto, ia tak flamboyan. Ia tak main musik. Kisah cintanya jarang terdengar, kecuali dengan Soetanti, dokter yang belakangan menjadi istrinya. Pernah terdengar kabar ia menyukai seorang gadis yang juga dicintai sastrawan kiri, Utuy Tatang Sontani. Tapi tak ada perselisihan yang berarti. Ketika gadis itu menikah dengan lelaki lain, keduanya cuma tersenyum simpul.

Aidit memang menulis puisi, tapi sajak-sajaknya miskin imajinasi. Puisi-puisinya pernah ditolak dimuat di Hsrian Rakjat, koran yang sebetulnya berada di bawah kendalinya. Untuk itu ia murka, ia membanting telepon. Ada dugaan ia menulis sajak karena Mao Tse-Tung menulis sajak. Dikabarkan pernah pula berenang di sepotong sungai di Jakarta karena tahu Ketua Mao pernah menyeberangi Sungai Yang-Tse di Cina.

Tapi, apa pun, ia memimpin partai yang berhasil--setidaknya sampai G-30-S membuatnya porak-poranda. Kini peristiwa itu dikenal dengan pelbagai tafsir dengan Aidit sebagai tokoh yang selalu disebut.

Buku putih pemerintah Orde Baru menyebutkan PKI adalah dalang prahara itu. Tujuannya jelas: menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Hasil studi sejumlah Indonesianis asal Cornell University, Amerika Serikat, menyimpulkan kejadian itu adalah buah konflik internal Angkatan Darat. Studi ini disokong penelitian lain yang dilakukan Coen Holtzappel.

Ada pula yang yakin Amerika Serikat dan CIA yang menjadi dalang. Bekerja sama dengan klik tertentu dalam Angkatan Darat, AS memprovokasi PKI untuk menjatuhkan Soekarno. Penelitian Geoffrey Robinson termasuk yang mempercayai skenario ini.

Yang lain percaya ada skenario Inggris dan CIA yang bertemu untuk menjatuhkan Soekarno yang prokomunis. Ada pula yang berpendapat G-30-S adalah skenario Soekarno untuk melenyapkan oposisi tertentu dalam Angkatan Darat.

D.N. AIDIT sebetulnya punya sejumlah modal untuk melancarkan revolusi--sesuatu yang dipercaya kaum komunis bisa menjadikan masyarakat lebih baik: masyarakat tanpa kelas. Ia dekat dengan Soekarno, ia punya massa. Tapi PKI punya kelemahan: mereka tak punya tentara. Pengalaman partai komunis di banyak negara menunjukkan kekuatan bersenjata di bawah kendali partai adalah esensial karena, seperti kata Mao, kekuasaan lahir dari laras bedil. PKI pernah mengusulkan dibentuknya angkatan kelima--dengan mempersenjatai buruh dan tani--tapi gagasan itu segera ditentang tentara.

Mengatasi keadaan, Aidit datang dengan teorinya sendiri. Sebuah revolusi bisa dimulai dengan kudeta asalkan kup itu disokong 30 persen tentara. Kabarnya, gagasan ini sempat dipersoalkan aktivis partai komunis negara lain karena ide itu tak ada dalam ajaran Marxisme.

Di sinilah muncul spekulasi bahwa Aidit "berjalan sendiri." Inidikasi yang paling sering disebut adalah ketika ia mendirikan Biro Chusus bersama Sjam Kamaruzzaman--tokoh misterius yang bahkan tak banyak dikenal oleh petinggi PKI sendiri. Pendirian Biro Chusus menjadi bahan gunjingan karena dilakukan tanpa konsultasi dengan anggota Comite Central yang lain. Sudisman menyebut ada dua faksi dalam partainya: PKI legal dan PKI ilegal. Yang terakhir ini adalah sindiran Sudisman terhadap Biro Chusus.

Itulah sebabnya, di hadapan seorang wartawan Harian Rakjat, 6 Oktober 1965, Njoto pernah bertanya kepada Lukman tentang apa yang terjadi dengan G-30-S. Lukman menggeleng.

Njoto, dalam wawancaranya dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965--dua pekan sebelum ia dinyatakan "hilang"--menyerang keyakinan Aidit tentang kudeta yang bisa bermutasi menjadi revolusi itu. "Revolusi siapa melawan siapa? Apakah dengan demikian premis Untung (Letnan Kolonel Untung, pemimpin aksi G-30-S--Red.) mengenai adanya Dewan Jenderal itu membenarkan coup d'etat?" tanya Njoto.

Aiditkah dalang tunggal prahara G-30-S? Dalam diskusi internal redaksi Tempo, Ibarruri Putri Alam, anak sulung D.N. Aidit, menyangkalnya. Iba, kini bermukim di Paris, Prancis, meyakini bapaknya pun tak tahu-menahu soal pembunuhan para jenderal. Dari sejumlah studi yang dibacanya, ditemukan bahwa saat dibawa ke Halim, Jakarta Timur, oleh aktivis PKI tak lama setelah pembunuhan terjadi, Aidit bertanya-tanya, "Saya mau dibawa ke mana?"

Di sinilah spekulasi lain: Aidit ditelikung Sjam Kamaruzzaman. Skenario ini bukan tak punya argumentasi. Sebuah studi misalnya mengutip keterangan Mayor Angkatan Udara Soejono yang berbincang dengan Aidit 30 September malam. Kepada Soejono, Aidit membenarkan kabar bahwa informasi-informasi penting yang ditujukan kepadanya harus melalui Sjam.

Persoalannya, menurut Soejono, rapat-rapat Politbiro menjelang G-30-S hanya memerintahkan penangkapan para jenderal--untuk diserahkan kepada Bung Karno--bukan pembunuhan. Ketidaksetujuan terhadap analisis militer Sjam juga telah disampaikan seorang komandan batalion gerakan yang kemudian ditahan di Rumah Tahanan Militer Salemba.

Begitukah? Tak pernah ada jawaban tunggal atas prahara yang menewaskan ratusan ribu orang tersebut. Tidak buku putih Orde Baru, tidak juga keyakinan Ibarruri. Sejarah adalah sebuah proses menafsirkan.

Apa yang disajikan dalam Liputan Khusus Tempo kali ini adalah upaya mengetengahkan versi-versi itu. Juga ikhtiar membongkar mitos tentang D.N. Aidit. Bahwa ia bukan sepenuhnya "si brengsek," sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan.●



Masa Kecil di Belitung
Anak Belantu Jadi Komunis

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Datang dari keluarga terhormat, bibit komunisme tumbuh dalam diri Aidit ketika menyaksikan nasib buruh kecil di perusahaan tambang timah di Belitung.
ACHMAD Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung. Ayahnya Abdullah Aidit dan ibunya Mailan. Abdullah adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup bergengsi di Belitung ketika itu. Mailan lahir dari keluarga ningrat Bangka Belitung.

Ayah Mailan bernama Ki Agus Haji Abdul Rachman. Titel ki pada nama itu mencirikan ia ningrat. Dia juga tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari. Maksudnya, sejauh jari menunjuk, itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang makmur. Mereka memiliki puluhan sero, semacam tempat penangkapan ikan di laut, dan pemasok ikan terbesar ke sejumlah pasar.

Yah, Achmad yang belakangan berganti nama Dipa Nusantara (D.N.) Aidit memang datang dari keluarga terhormat.

Karena datang dari kaum terpandang itulah keluarga ini gampang bergaul dengan polisi di tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda.

Berdiri pada 1825, perusahaan itu hanya dua kilometer dari rumah Aidit. Dinasionalisasi pada era Soekarno, firma ini berubah menjadi PT Pertambangan Timah Balitung, lalu ditutup pada April 1991 setelah stok timah di kawasan itu merosot.

Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan Belanda, anak-anak Abdullah juga gampang masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika itu. Kini bangunan sekolah itu masih tegap berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.

Abdullah punya delapan anak. Semua lelaki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir Achmad, Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan) dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit--nama keluarga, "Namun bukan marga," kata Ibarruri Aidit, putri sulung D.N. Aidit. Dua anak lainnya, Rosiah dan Mohammad Thaib, adalah anak bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.

Walau dididik di sekolah Belanda, anak-anak Abdullah tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Abdullah adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung. Dia pendiri Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam dekat kawasan pecinan di kota itu. Hingga kini sekolah itu masih tegak berdiri.

Sepulang sekolah, Aidit dan adik-adiknya belajar mengaji. Guru mereka Abdurracham, adik ipar Abdullah. Setelah mengaji, Achmad dan adik-adiknya meluncur ke sungai mengambil air. Sebagai kakak tertua, Achmad biasanya membawa jeriken paling besar.

Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan. Seperti di sebagian besar wilayah Indonesia saat itu, Belitung juga belum punya pengeras suara guna mengumandangkan azan. "Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan," kata Murad Aidit.

Dari delapan anak Abdullah, Achmad adalah yang paling mudah bergaul. Rupa-rupa geng remaja di Belitung ia dekati. Setidaknya, ada empat geng di sana: geng kampung, anak benteng, geng Tionghoa, dan geng Sekak.

Geng kampung adalah kumpulan anak pribumi. Achmad dan adik-adiknya masuk kelompok ini. Anak polisi yang datang dari Jawa masuk kelompok anak benteng atau kerap juga disebut anak tangsi--menyebut asrama tempat tinggal polisi.

Kelompok ketiga adalah geng Tionghoa. Orang tua mereka berdagang di pasar dan pelabuhan Belitung. Karena tinggal di pasar, geng itu punya nama lain yakni geng pasar. Kawasan ini cuma 500 meter dari rumah Aidit. Achmad kerap nongkrong bersama anak-anak geng pasar ini. Saat ini kawasan pecinan itu masih berdiri tegak bahkan berbiak. Sejumlah toko dan papan jalan ditulis dengan aksara Cina. Kelompok anak muda yang terakhir adalah geng Sekak. Mereka datang dari keluarga yang kerap berpindah tempat tinggal, semacam kaum gypsy di Eropa.

Antar geng kerap terjadi baku pukul. Situasi yang serba keras itu membuat Aidit membesarkan otot. Dia rajin berlatih tinju dan olahraga angkat besi. Mungkin karena sering angkat besi, tubuh Aidit lebih gempal daripada adik-adiknya.

Aidit menjadi pelindung saudara-saudaranya dari perseruan antar geng. Tapi dia tidak main hajar. Suatu hari Murad baku pukul dengan seorang anak geng tangsi. Si bungsu ini mengadu ke kakak sulungnya itu.

Diam-diam Aidit melacak lawan sang adik. Pulang ke rumah Aidit bilang kepada Murad, "Kau lawan saja sendiri." Dari pelacakan itu, rupanya Aidit tahu bahwa musuh itu masih sebanding dengan adiknya. Aidit rupanya cuma membantu kalau lawannya lebih besar.

Walau pertikaian cukup sengit, Achmad mudah bergaul dengan pelbagai geng. Dia, misalnya, kerap pulang malam karena menonton wayang bersama anak-anak benteng di tangsi. Dia juga kerap nongkrong di pasar bersama anak-anak Tionghoa. Kedekatan dengan geng ini lantaran mereka satu sekolah di HIS.

Aidit juga rajin menelusuri sungai bersama anak-anak Sekak. Mereka kerap berlomba berenang di sungai dekat Gunung Tajam, sekitar 20 kilometer dari Belitung. Suatu hari perlombaan dimulai dengan salto dari sebuah batu besar. Anak-anak gunung melakukannya dengan sempurna. Tapi Achmad menang, "Karena dia bisa melakukan kontra-salto," kata Murad.

Aidit juga kerap melindungi adik-adiknya dari sikap keras sang ayah. Suatu petang Basri pernah bertindak ceroboh. Dia melepas 15 ekor itik dari kandang milik keluarga itu. Abdullah yang mendengar kisruh ini murka besar. Melihat adiknya dalam bahaya, Achmad mengaku dialah penyebab kaburnya itik-itik itu. Tak rela Basri dimarahi, Achmad sejak petang hingga magrib ke sana-kemari mencari kawanan unggas itu.

Pergaulan Achmad memang lebih laju daripada remaja seusianya. Selain gemar berkumpul dengan pelbagai kelompok remaja itu, dia juga bergaul dengan buruh di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton.

Letak perusahaan itu sekitar dua kilometer dari rumah Aidit. Boleh jadi semangat anti-Belanda dan perjuangan anti kelas di kemudian hari bermula dari tambang itu. Saban hari Aidit melihat buruh berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hura-hura.

Perusahaan ini menyediakan societet, gedung khusus tempat petinggi perusahaan dan none-none Belanda menonton film terbaru sembari menenggak minuman keras. Buruh tambang itu cuma bisa menelan ludah dan sesekali mengintip bioskop.

Tertarik mendalami hidup para buruh, Achmad mendekati mereka. Tapi tak mudah karena para buruh cenderung tertutup. Sampai suatu hari Achmad melihat seorang buruh sedang menanam pisang di pekarangan rumah. Achmad menawarkan bantuan. Tertegun sebentar, si buruh itu mengangguk. Aidit lalu mencangkul.

Sejak saat itu Aidit bersahabat dengan buruh itu. Kian hari hubungan mereka kian dekat. Kadang mereka ngobrol sembari menyeruput kopi dan mengudap singkong rebus. Dari ngobrol-ngobrol santai itulah Aidit kemudian tahu kesulitan para buruh, juga soal pesta-pora petinggi tambang.

Pergaulan dengan kaum buruh itu, menurut Murad, yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Achmad setelah di Jakarta. Hingga akhir ia memimpin partai komunis dan tenggelam dalam peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September.●




Rumah Tua Mantri Idit

Tempo, 1-7 Oktober 2007

RUMAH panggung itu tua dan setia. Di sana-sini, kayunya lapuk dan berjamur. Sebagian atap berbahan sirap telah koyak dan diganti seng. Hanya kerangka utama yang menggunakan kayu ulin yang masih kukuh. Selebihnya ringkih dimakan zaman. Itulah rumah Abdullah Aidit, ayah Dipa Nusantara Aidit--Ketua Umum Partai Komunis Indonesia.

Dibangun pada 1921 oleh Haji Ismail, kakek D.N. Aidit dari garis bapak, rumah itu terletak di Jalan Dahlan 12 (dulu Jalan Belantu 3) Dusun Air Berutak, Desa Pangkalalang, Belitung Barat.

Seperti rumah-rumah lain di Belitung, rumah ini punya dua bangunan utama: rumah depan dan rumah belakang. Kini yang tersisa hanya rumah belakang berukuran 8 x 7 meter. Bagian depan dibongkar tak lama setelah Abdullah Aidit meninggal pada 23 November 1965.

Di sana sekarang tinggal Gakdung, 48 tahun, seorang buruh lepas Pelabuhan Tanjung Pandan asal Bugis. Gakdung tinggal seorang diri. "Semula dia sewa. Tapi, karena hidupnya pun susah, biarlah ia cuma-cuma menempatinya," kata Murad Aidit, adik D.N. Aidit.

Ditempati oleh nelayan miskin, rumah itu lusuh tak terawat. Yang tersisa hanya sebuah bilik, ruang tamu, dan dapur. Di dinding kayu menuju dapur terdapat kalender Partai Bulan Bintang bergambar Yusril Ihza Mahendra, bekas ketua umum partai itu.

Rumah Abdullah sempat menjadi asrama pelajar asal Kelapa Kampit, Belitung Timur, sebuah kawasan sekitar 54 kilometer dari Tanjung Pandan. Sekretaris Pemerintah Kabupaten Bangka Barat, Abdul Hadi Adjin, pernah tinggal di sana.

Antara rumah dan Jalan Dahlan yang memanjang di depannya, terdapat kebun dengan beberapa pokok pohon pisang dan pohon jengkol. Sebagian kebun ini adalah bekas rumah depan. Sebagian lagi yang lebih dekat jalan adalah bekas halaman yang kini dipakai untuk lapangan badminton. Di sanalah dulu Achmad Aidit--nama kecil Dipa Nusantara--berlatih tinju, angkat besi, dan senam. Hingga D.N. Aidit hijrah ke Jakarta, halaman rumah ini masih menjadi lapangan olahraga pemuda kampung Pangkalalang.

Sekitar 20 meter dari rumah tua itu terdapat rumah tua lainnya yang lebih terawat dan kukuh. Inilah rumah peninggalan Siti Azahra, istri Abdurrachman, qari di kampung itu. Kepada Abdurrachmanlah dulu Achmad belajar mengaji Quran. Kini rumah ini dimiliki Efendi, kerabat Siti Azahra.

Anak-anak Abdullah Aidit juga belajar mengaji kepada Liman, saudara sepupu Azahra. Rumah Liman tak jauh dari kediaman Siti. Di rumah Liman, Achmad bersama teman seumurannya juga berlatih kesenian hadrah.

Seratus meter dari rumah Abdullah dulu berdiri surau panggung. Di sinilah Achmad kecil kerap didapuk mendendangkan azan saat magrib dan isya. Sekarang surau itu sudah rata tanah dan digantikan Kantor Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan Cabang Belitung.

Rosihan, 54 tahun, cucu Siti Azahra, mengungkapkan bahwa sebagian orang yang lahir sebelum tahun 1970 mengenal rumah ini milik Mantri Aidit. Ini sebutan untuk Abdullah yang pernah menjadi pegawai Boswezen, dinas kehutanan zaman Belanda. Abdullah meninggal pada 1968 dalam keadaan yang mengenaskan. Jasadnya baru ditemukan Marisah, istri kedua Abdullah, tiga hari setelah ia wafat. Pada hari kematian itu, Marisah tengah pergi ke rumah kerabatnya dan baru pulang tiga hari kemudian. Sepeninggal Abdullah, Marisah menempati rumah itu hingga akhirnya Sang Khalik memanggilnya pada 1974.

Adakah orang-orang di kampung Air Berutak menghubungkan rumah tua itu dengan Aidit, tokoh penting Partai Komunis Indonesia? Tidak. "Buat kami, semua biasa-biasa saja," kata Taufan, 52 tahun, cucu Siti Azahra. Semua memang sudah lewat. Yang tersisa hanya gubuk ringkih beratap sirap--rumah panggung yang tua dan setia.●



Merantau Ke Jakarta
Sejak Awal Membaca Risiko

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Aidit muda tertarik pada politik setibanya di Jakarta. Mendirikan Antara dan berganti nama.

"AKU mau ke Batavia," kata Achmad Aidit kepada ayahnya, Abdullah. Waktu itu awal 1936. Achmad berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche School, setingkat sekolah dasar masa itu. Di Belitung, tempat tinggal keluarga Aidit, sekolah "paling tinggi" memang hanya itu. Untuk masuk sekolah menengah--dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)--pemuda-pemuda pulau itu harus merantau ke Medan atau Jakarta.

Meninggalkan Belitung bukan pilihan yang lazim pada masa itu. Pemuda yang merantau sampai tanah Jawa bisa dihitung dengan jari. Tapi Aidit bisa meyakinkan ayahnya. "Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak," kata Murad Aidit, adik kandung Achmad, kepada Tempo, dua pekan lalu. Kalau sudah sampai meminta sesuatu, kata Murad, itu artinya tekad Aidit sudah benar-benar bulat.

Adik Aidit yang lain, Sobron, dalam bukunya Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan, menjelaskan bahwa untuk diizinkan merantau, seorang remaja harus memenuhi empat syarat: bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu sudah dipenuhi Aidit.

Setibanya di Batavia, Achmad Aidit ditampung di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba di Jakarta. Dia harus puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara kawan sebayanya. Di sekolahnya yang baru, Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS.

Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ketika indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta.

Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah Aidit. Gajinya sebagai mantri kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan. Dari jumlah itu, 15-25 gulden dikirimnya ke Batavia. Tentu saja jumlah itu juga pas-pasan untuk dua bersaudara Aidit.

Apalagi ketika masa pendudukan Jepang tiba, pada 1942. Hubungan komunikasi antara Jakarta dan kota sekitarnya terputus total. Saat itu, dari rumah tumpangannya di Tanah tinggi, Aidit menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun menjarah gudang-gudang perkapalan di Pelabuhan Tanjung Priok. Dari pagi sampai sore, aneka jenis barang diangkut massa ke Pasar Senen, mulai dari ban mobil, mesin ketik, sampai gulungan kain bahan baju.

Kiriman uang dari Belitung macet. Untuk bertahan hidup, Achmad dan Murad mau tak mau harus mulai bekerja. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernama Antara. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah. Tatkala abangnya sibuk melayani pelanggan, Murad biasanya berjualan pin dan lencana bergambar wajah pahlawan seperti Kartini, Dr. Soetomo, dan Diponegoro, di dekatnya.

Berdagang memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit. Ketika masih tinggal di Belitung, setiap kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit, Aidit selalu berjualan kerupuk dan nanas. "Untuk ditabung," Sobron berkisah dalam bukunya.

Tak puas dengan perkembangan usahanya, Aidit kemudian mengajak seorang kawan yang tinggal satu indekos dengannya, Mochtar, untuk berkongsi. Mochtar ini seorang penjahit yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Karena lokasi usahanya strategis, toko Mochtar segera menjadi tempat mangkal para aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Otomatis, jaringan relasi Aidit meluas.

Ketika Mochtar menikah dan menyewa rumah sendiri di kawasan Kramat Pulo, Aidit dan Murad ikut pindah ke sana. Kondisi ini menguntungkan Aidit, karena Mochtar sering membiarkan kakak-beradik itu tidak membayar sewa. "Pakai saja untuk keperluan lain," katanya seperti ditirukan Murad. Tapi, kalau Mochtar sedang butuh duit, setoran uang sewa Murad akan dimasukkan ke kantong. Biasanya, kalau begitu, Aidit akan menggerutu. "Kamu sih, terlalu menyodorkan uangnya, makanya dia terima," katanya memarahi Murad.

Namun situasi ekonomi yang terus memburuk membuat Aidit akhirnya angkat tangan. Murad diminta tinggal di sebuah asrama korban perang, sebelum dikirim pulang ke Belitung.

SITUASI politik Ibu Kota yang gegap-gempita sudah menarik minat Aidit sejak awal. Dia pertama-tama bergabung dengan Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Perkumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan Dr. Ahmad Kapau Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum Pertimu.

Di balik karier politiknya yang mulai menjulang, Aidit seperti mencoba mengibaskan bayang-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung. Ketika Murad berkali-kali meminta bantuan finansial, misalnya, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan berujar bahwa persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama. "Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita," katanya.

Sekitar masa-masa itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih nama Dipa Nusantara--biasa disingkat D.N. Menurut adik-adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. "Dia mulai membaca risiko," kata Murad. Sejak namanya berubah itu memang tak banyak orang yang tahu asal-usul Aidit. Dia sering disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N. di depan namanya adalah singkatan "Djafar Nawawi."

Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera menerima gagasan anaknya. Di depan anak-anaknya, Abdullah mengaku tidak bisa menerima rencana pergantian nama itu karena nama Achmad Aidit sudah kadung tercetak di slip gajinya sebagai putra sulung keluarga itu. Akan muncul banyak persoalan jika nama itu mendadak lenyap dari daftar keluarga.

Abdullah dan Aidit bersurat-suratan beberapa kali, sebelum akhirnya Abdullah menyerah. Ayah dan anak itu sepakat, nama D.N. Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan dari notaris dan kantor Burgelijske Stand--atau catatan sipil.




Kisah Cinta
Meminang Lewat Sepucuk Surat

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Gaya orasi dan wawasan Aidit memikat hati seorang calon dokter. Sangat antipoligami.

SUATU siang di awal 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di Jalan Purnosari, Solo, yang biasanya lengang lengau, kedatangan tamu tak diundang. Dua gadis berdiri di depan pintu. Mereka kemudian dijamu dua redaktur, Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit.

Dua gadis itu mengaku mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta. Yang agak gemuk dan berpipi bulat memperkenalkan diri sebagai Soetanti. "Seingat saya, mereka datang untuk silaturahmi saja," kata Hasan, kini 85 tahun, kepada Tempo dua pekan lalu.

Soetanti--yang disapa "Bolletje" (sebuah kata Belanda yang berarti bundar) oleh teman-temannya--datang lagi beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang lebih banyak. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan "kuliah" soal politik dan keorganisasian.

Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit-Soetanti kian akrab. Padahal keduanya punya watak bertolak belakang.

Sebagai seorang ningrat Mangkunegaran (kakeknya seorang Bupati Tuban), Tanti punya banyak teman dari pelbagai golongan. Predikat mahasiswi kedokteran membuatnya kian dihormati dalam organisasi dan dalam kehidupan sehari-hari. Itu disokong sifat dasarnya yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos.

Beda dengan Aidit. Anak seorang mantri kehutanan dari Belitung itu seproang pemuda serius, tak pandai berkelakar, dan suka musik klasik. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memajukan partai. Mengobrol dengannya, seperti dikenang Hasan, tak akan lepas dari soal-soal politik, revolusi, dan patriotisme.

Tapi justru inilah yang membuat Soetanti kesengsem. Dalam ceramahnya, Aidit fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir. Setiap kali Aidit berpidato, so bolle senantiasa menyimak di bangku paling depan.

Meski akrab, Aidit-Tanti tak pernah terlihat berduaan. Hasan Raid, yang kemudian diangkat anak oleh Siti Aminah--ibu Tanti--karena sama-sama dari Minang, tak pernah melihat Aidit ngapel ke asrama atau ke rumah Tanti laiknya orang pacaran. Pertemuan keduanya pun selalu dalam acara organisasi. "Kalau menginap di kantor PKI, Tanti datang beramai-ramai," katanya.

Suatu ketika, seusai pidato, Aidit menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Tanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata surat lamaran. Aidit menyampaikan niat meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju.

Maka, awal 1948, Aidit, 25 tahun, dan Soetanti, 24 tahun, menikah secara Islam tanpa pesta, di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Moedigdo, Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron--dua adik Aidit--yang mewakili keluarga Belitung.

Setelah menikah, aktivitas Aidit di partai dan pergerakan tak surut. Ia bahkan sering meninggalkan Soetanti, yang buka praktek dokter, untuk turne ke kampung-kampung memperkenalkan dan menggalakkan program-program PKI. Ketika pada September 1948 "Peristiwa Madiun" meletus, Aidit ditangkap, lalu "buron" ke Jakarta. Tanti kian sedih karena ayahnya, yang mendukung Amir Syarifuddin, tewas ditembak.

Di Kajarta pun, Aidit jarang ada di rumah. Soetanti hanya ditemani adik-adik Aidit ketika melahirkan Ibarruri Putri Alam, putri sulung mereka, pada 23 November 1949. Suami-istri ini jarang terlihat jalan bareng, kecuali dalam acara-acara resmi partai atau kenegaraan.

Aidit lalu menjadi Ketua Politbiro--eksekutif dalam partai--PKI pada 1951. Ia kian sibuk dengan bepergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasional komunis di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia. "Tak ada mesra-mesraan seperti pasangan muda lain." Itu kesaksian Fransisca Fanggidaej, wartawan Harian Rakjat dan Radio Gelora Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi anggota parlemen PKI pada 1957-1959.

Fransisca, kini 82 tahun dan tinggal di Utrecht, Belanda, adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengan Aidit. Selain di kantor partai, keduanya sering bertemu di parlemen.

Ciri paling menonjol dari keluarga Aidit, kata Fransisca, selain sederhana, juga egaliter. Sementara anak-anak memanggil dengan sebutan borjuis "Papa," Tanti memanggil suaminya cukup dengan "Dit." "Padahal semua orang menyapa Aidit dengan panggilan hormat 'Bung'," katanya. Ketika Fransisca menanyakan ihwal panggilan itu, Tanti menjawab, "Suka-suka saya, dong. Wong dia suami saya. Kalau tidak mau, dia pasti menyampaikan keberatan."

Selama perkawanan itu, tak sekali pun Aidit curhat soal pribadi kepadanya. Apalagi tentang hasrat kepada perempuan lain. Padahal Aidit dikagumi banyak perempuan di partai dan di gedung DPR. "Selain ganteng, berwawasan luas, ia pandai menyenangkan dan menghargai orang," kata Fransisca.

Hanya sekali, pada 1950-an, Aidit dengan guyon menyatakan kagum pada kecantikan seorang perempuan anggota konstituante, Ismiyati, gadis itu, kata Fransisca, menjadi kembang parlemen dan disukai banyak laki-laki. Mendengar guyonan Aidit itu, Utuy Tatang Sontani--sastrawan kiri kondang di zaman itu--menyatakan kekaguman yang sama. Bisik-bisik, keduanya bersaing menggapai hati Ismiyati.

Tapi agaknya "persaingan" itu tak serius. Ketika Ismiyati menikah dengan pemuda lain, Utuy dan Aidit cuma ketawa-ketawa. "Keduanya sebatas mengagumi kecantikan. Tapi tidak tahu kalau Utuy, karena dia suka mengejar perempuan," kata Fransisca, tergelak.

Selain cerita ini, tak pernah terdengar Aidit berhubungan dengan perempuan lain, baik sebelum maupun setelah bertemu dengan Soetanti. Apalagi Aidit orang yang sangat antipoligami. Ia pernah memarahi Njoto, Wakil Ketua II Comite Central PKI, yang akan menikah lagi dengan seorang penerjemah asal Rusia.

Semasa kepemimpinan Aidit, sikap antipoligami dan antiperselingkuhan ini hampir menjadi "garis partai." Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, bercerita, pada masa jayanya banyak anggota PKI yang diskors karena ketahuan memacari istri orang.●



Karir Di PKI
Berakhir Seperti Muso

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Muso mengubah paham revolusioner Dipa Nusantara Aidit menjadi aksi. Keduanya telah mencoba, keduanya gagal.

KEDATANGAN Muso dari Rusia membangkitkan gairah revolusi Dipa Nusantara Aidit. Ia begitu terkesan pada gagasan Muso, "Jalan Baru bagi Republik." Menurut arsitek pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera pada 1926 itu, yang kemudian dilibat Belanda, seluruh kekuatan sosialis komunis harus disatukan. Untuk merebut kekuasaan, PKI tak boleh bergerak sendiri.

Pada pertengahan 1948 itu, Aidit muda ditugasi mengkoordinasi seksi perburuhan partai. Padahal umurnya baru 25 tahun, banyak yang lebih senior dan berpengalaman. Posisi strategis ini merupakan kepercayaan besar bagi lelaki tamatan sekolah dasar itu.

Muso mencela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Menurut dia, revolusi itu justru merupakan kegagalan besar kaum revolusioner. Kepemimpinan nasional jatuh ke tangan individu yang ditudingnya borjuis: Soekarno-Hatta. Bukan ke genggaman kaum proletar, buruh dan tani. Sikap ini diyakini Aidit. Baginya, kehadiran Muso menjanjikan aksi, bukan sekedar angan revolusi.

Hanya sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, tepatnya pada dini hari 18 September 1948, tiga letusan pistol menyalak di kesunyian Kota Madiun, Jawa Timur. Massa yang menyebut dirinya kaum revolusioner bergerak. Puluhan ribu buruh dan tani merangsek mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerah.

Muso mencoba mendirikan apa yang disebut "Soviet Republik Indonesia." Madiun, Magelang, Cepu, Blora, dan sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai PKI. Bendera merah bergambar palu arit ditancapkan di banyak tempat. Soekarno meminta rakyat memilih: dirinya atau Muso, yang dicapnya sebagai pengkhianat Republik. Muso balik menuduh Soekarno-Hatta sebagai kolabolator imperialis.

Ini fase penting sekaligus genting bagi karier politik Aidit. Aksi massa revolusioner di lapangan berujung getir. Mayoritas pimpinan partai tertangkap, lalu dihukum tembak. Menurut Suripno, seorang pentolan partai yang berakhir di ujung bedil, gerakan gagal karena sepi dukungan rakyat. Layu dalam dua pekan.

Pengalaman itu terasa semakin pahit bagi Aidit. Mentor yang digugu, Muso, tewas ditembak tentara. Sempat tertangkap di Yogyakarta, Aidit cukup beruntung lepas karena tak dikenali. Belakangan, setelah jadi Ketua Comite Central PKI, Aidit menyebut peristiwa itu sekedar "permainan anak-anak" (kinderspel). Ia menuduh Mohammad Hatta, perdana menteri saat itu, sebagai pihak yang memprovokasi. Amerika Serikat dicurigai di belakang pemerintah untuk melawan "bahaya merah."


Dari Yogyakarta, Aidit "hijrah" ke Jakarta, dan dikabarkan kabur ke Beijing, Cina. Namun, menurut buku karangan Murad Aidit, sang abang bersembunyi di daerah pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia memakai nama samaran Ganda.

Bergerak dalam senyap, bersama beberapa yang tersisa, Aidit mencoba membangun kembali partai yang terserak. Aidit masih setia pada ide Muso. Lewat penerbitan Bintang Merah, ia menyebarkan lagi paham revolusioner dan anti-imperialis. Ia kerap mencantumkan nama "Alamputra" di bawah tulisannya.

Tiga tahun berlalu, karier politik Aidit makin moncer. Ia "mengkudeta" kelompok PKI tua, Alimin dkk, yang dinilai melakukan banyak kesalahan. Tan Ling Djie, anggota senior politbiro, didepak karena perbedaan pandangan politik. Didukung sejumlah aktivis muda dalam Kongres V PKI, 1951, ia berhasil mencapai posisi Ketua Comite Central PKI.

Aidit terus di puncak kekuasaan itu hingga tak lama setelah Gerakan 30 September 1965. Seperti Muso, Aidit berakhir diterjang peluru.●




Tiga Sekawan
The Three Musketeers

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Aidit, Lukman, dan Njoto bahu-membahu membesarkan partai. Karena perempuan, Njoto tersisih.

REVOLUSI memakan anak sendiri. Sebelas pemimpin teras PKI tewas. Muso, Amir Sjarifuddin, dan Maruto Darusman ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo.

Partai limbung, tercerai-berai. Tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, dan Lukman, bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Ketiganya menghidupkan partai--dan bisa membuat lebih besar. Mereka kemudian dikenal sebagai trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.

Kisah persahabatan--dan konflik--tiga sahabat itu menarik dikenang.

Dipa Nusantara Aidit pertama kali bertemu dengan Mohamad Hakim Lukman pada 1943 di Menteng 31, Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu terkenal sebagai sarang para pemuda aktivis kemerdekaan. Mereka bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga tahun lebih muda daripada Lukman, yang ketika itu baru 23 tahun. Aidit kemudian menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota.

Sejak itu, Aidit dan Lukman menjadi akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup yang sama. Keduanya pada 1944 terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia--kumpulan 100 pejuang paling setia kepada Bung Karno. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara Jastinegara oleh Polisi Militer Jepang karena ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Keduanya juga pernah ditangkap dan ditawan di Pulau Onrust, Jakarta Utara, selama tujuh bulan.

Keduanya bersama memilih jalan komunis dan berguru ke tokoh-tokoh komunis senior. Saat menjadi penghuni Menteng, mereka misalnya menjalin kontak dengan Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta. Widarta adalah kawan akrab Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas. Aidit dan Lukman terkesan pada Wikana.

Sampai-sampai, setelah bebas dari Onrust, mereka mencari Wikana di Yogyakarta. Di Yogya saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru saja memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit dan Lukman kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto saat itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu adalah wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto, dan Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels.

Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi dan propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.

Hingga pecahlah geger Madiun ....

Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. "Rambutnya digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi barang." Njoto dan Lukman, kemudian menyusul Aidit ke Jakarta.

Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto ditempa. "Mereka menggodok orientasi partai," kata Sumaun Utomo, kini 85 tahun, bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang. Terbunuhnya banyak kader dalam Peristiwa Madiun membuat mereka harus mandiri. "Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya," kata Murad Aidit dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.


Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di Comite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme.

Sampai-sampai itu membuat trio Aidit-Lukman-Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu hanya bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. "Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran," tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai Pada Tahun 1950.

Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan kembali Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakjat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto bergabung di redaksi pada Januari 1951.

Dua tahun kemudian, tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi sekretaris jenderal, Lukman wakil sekjen I, dan Njoto wakil sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).

Sebagai ketua, Aidit memelototi politik secara umum. Lukman, yang jago main sepak bola, memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda kini diemban Njoto. Tak cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.

Usaha itu berbuah. Pada Pemilihan Umum 1955, PKI menclok di urutan keempat. Hasil itu membuat Aidit optimis partainya bisa meraih posisi nomor satu sebelum 1975. "Asalkan keadaan berjalan normal," kata Murad mengutip ucapan kakaknya.

Kenyataannya, cita-cita itu terempas. Tragedi 1965 menguak cerita bahwa tiga sekawan itu, meski di luar tampak guyub, ternyata tidak melulu solid.

Aidit dan Njoto, misalnya, amat berbeda pendapat soal teori revolusi. Aidit percaya kup yang didukung sedikitnya 30 persen tentara bisa bermutasi menjadi revolusi. Aidit saat itu, menurut Manai Sophian (almarhum)--dalam sebuah tulisannya--terinspirasi oleh kudeta di Aljazair pada Juni 1965. Saat itu Kolonel Houri Boumedienne mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella.

Sebaliknya, Njoto justru mempertanyakan kesahihan teori itu. Bahkan, dalam wawancaranya dengan koresponden Asahi Shimbun di Jakarta pada 2 Desember 1965--dua pekan sebelum ia dinyatakan "hilang"--ia tak yakin Gerakan 30 September dapat dikategorikan sebagai kudeta yang bisa menjadi revolusi. "Revolusi siapa melawan siapa?" kata Njoto. Ia bahkan menyangsikan premis Letnan Kolonel Untung soal Dewan Jenderal bisa membenarkan kup.

Soetarni, bekas istri Njoto--kini 79 tahun--ingat, sesungguhnya menjelang petaka 1965 suaminya yang pandai main musik dan dandy sudah disingkirkan Aidit. Masalahnya adalah kedekatan Njoto dengan Soekarno. Njoto kerap menulis naskah pidato si Bung. Soekarno pernah menyebut Njoto sebagai Marhaen sejati. Aidit malah melihat Njoto "dipakai" Soekarno. "Di mata Soekarno, Njoto pertama-tama adalah nasionalis, itu baru komunis," kata Aidit saat itu.

Tapi, menurut Sumaun, Njoto tersingkir karena punya pacar orang Rusia. Namanya Rita. Gara-gara itulah seluruh posisi dipreteli oleh Aidit. Tidak etis, menurut Aidit, seorang pentolan partai yang sudah berkeluarga memiliki pacar.

Saat ditanya Tempo bagaimanakah sesungguhnya hubungan Njoto dan Rita, Soetarni tak menyembunyikan hal itu. Ia mengaku semula tidak menaruh curiga pada Rita. Mereka bahkan kerap bertukar suvenir. Rita mengiriminya kosmetik, Soetarni membalasnya dengan batik. Hingga datanglah sepucuk surat dari Rusia. Isinya: perempuan 20-an tahun itu jatuh cinta dan ingin menikahi suaminya.

Soetarni jelas marah. Tapi anak ningrat Solo itu cuma bisa menumpahkannya kepada salah satu pamannya. "Njoto tahu kalau saya marah. Ia kemudian minta maaf," kata Soetarni.

Njoto akhirnya disidang CC. Ia dipecat dari Biro Agitasi dan dari kursi Pimpinan Redaksi Harian Rakjat. "Hal itu dilakukan karena bila dibiarkan akan merusak partai di mata orang lain," kata Sumaun.

"Three Musketeers" retak. Lalu terjadilah tragedi 1964 ....




Gerakan 30 September
Dari Menteng ke Pusaran Kekuasaan

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Sejumlah kesaksian menyebut D.N. Aidit mengetahui rencana Gerakan 30 September. Seberapa jauh dia terlibat?
 
PERISTIWA 42 tahun lalu itu tetap saja masih menjadi tanda tanya keluarga besar Aidit: apa sebenarnya peran Aidit dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu? Peran Aidit dalam "kup" 30 September 1965 memang masih misteri. Sejumlah sejarawan, juga sejumlah kalangan militer, yakin PKI dalang penculikan dan pembunuhan tujuh jendral Angkatan Darat. Karena PKI terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Committee Central, dituding sebagai otaknya.

Murad Aidit, adik kandung Aidit, berkisah. Pada "malam berdarah" itu tak ada tanda-tanda atau kesibukan khusus di rumah Aidit. "Malah saya dipesan mematikan lampu," kata Murad. Menjelang "peristiwa Gerakan 30 September" itu, Murad memang menginap di rumah Aidit di Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Rumah Aidit sepi, "Sampai sekarang saya lebih bisa menerima tragedi itu karena ada pengkhianat dalam tubuh PKI," katanya. Dia tidak yakin abangnya yang memerintahkan pembunuhan para jendral.

Aidit mengawali "karier politiknya" dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal sebagai "sarang pemuda garis keras" pada awal kemerdekaan. Di tempat ini berdiam, antara lain, Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik, Sayuti Melik (pengetik naskah Proklamasi). Para penghuni Menteng 31 sempat menculik Soekarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan Indonesia--sesuatu yang kemudian ditolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda sosialis.

Aidit disebut-sebut juga berperan dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pasca pemberontakan yang gagal itu, ia sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogya. Ketika terjadi agresi Belanda, ia kabur dari penjara dan tinggal di Vietnam Utara. Tentang kepergiannya ke Vietnam ada pendapat lain. Ada yang menyebut bahwa sebenarnya ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan.

Yang pasti, pada pertengahan 1950, Aidit, yang saat itu berusia 27 tahun "muncul" lagi. Bersama M.H. Lukman, 30 tahun, Sudisman, 30 tahun, dan Njoto, 23 tahun, ia memindahkan kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.

Momentum konsolidasi partai terjadi ketika meletus kerusuhan petani di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 6 Juni 1953. Kerusuhan yang digerakkan kader PKI itu menjatuhkan kabinet Wilopo. Kesuksesan ini memompa semangat baru ke tubuh partai tersebut.
Bersama "kelompok muda" partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres PKI 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh partai semacam Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Pada kongres itu, Aidit dikukuhkan menjadi Sekretaris Jenderal PKI. Aidit lantas meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul "Jalan Baru Yang Harus Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi."

Aidit juga membangun aliansi kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang bisa dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka. Puncak kerjasama terjadi pada masa Sidik Djojosukarto memimpin PNI. Saat itu disepakati bahwa PNI tidak akan mengganggu PKI dalam rangka membangun partai.

Menurut Ganis Harsono, seorang diplomat senior Indonesia dalam otobiografinya, Cakrawala Politik Era Soekarno, strategi ini berhasil "menyandera" Bung Karno. Ada kesan bahwa Bung Karno berdiri di depan PKI, sekaligus memberi citra PKI pendukung revolusi Bung Karno dan Pancasila.

Kerja keras Aidit membuahkan hasil. Pada Pemilu 1955, PKI masuk "empat besar" setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.

PKI terus maju. Pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan "Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan." Bentuk pertama, perjuangan gerilya di desa-desa oleh kaum buruh dan petani. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh di bidang transportasi. Ketiga, pembinaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata, yakni TNI.

Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua Committee Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan dan infiltrasi ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam Kamaruzzaman. Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI, khususnya Angkatan Darat.

Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.

Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai pimpinan pelaksana gerakan.

Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia meninjau "kekuatan kita."

Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah). Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya.

Dalam wawancara dengan majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30 September dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. "Kami dengar ada pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan Bersenjata dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa peralatan berat," kata Latief. Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para perwira tersebut, yang mengaku terlibat karena loyal pada Soekarno, memilih menjemput "anggota" Dewan Jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno.

Menurut Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. "Rencananya akan dihadapkan hidup-hidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan Jenderal," katanya. Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Dul Arief, anak buah Untung, akan berangkat menuju rumah para jenderal, tiba-tiba, ujar Latief, Sjam datang. "Bagaimana kalau para jenderal ini membangkang, menolak diajak menghadap Presiden," kata Dul Arief. Sjam menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.

Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa semua telah selesai. "Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul Arief bilang semua jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu rencananya," kata Latief yang mengaku tidak kenal dengan Aidit.

Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya ditembak mati. Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening News.

Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa "30 September." Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang ada. Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan Nyono--semuanya anggota Committee Central--menentang. Alasannya, persiapan belum selesai. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusumah.

Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata secara tidak sah. "Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d'etat," kata Aidit. Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.

Dalam buku Bayang-Bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal dan PKI ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua "hasil" itu dilaporkan Sjam.

Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. Menurut bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI terseret lewat tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong. Waktu itu, kata Soebandrio, Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. Soebandrio dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka sama: Bung Karno cuma masuk angin.

Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam. Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa ditanya: Bung Karno, Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan dirinya sendiri. Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok "bayangan Soeharto" (Ali Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.

Njoto membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, "Hubungan PKI dengan Gerakan 30 September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa pun, sampai-sampai sesudah terjadinya," katanya dalam wawancara dengan Asahi Evening News. Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan anggota Comite Central. "Kami semua tidak tahu apa yang terjadi," kata dia.

Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu Oktober)--demikian istilah Bung Karno--terjadi karena keblingernya pimpinan PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya "oknum yang tidak benar."

Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. "Menurut kami, PKI memang terlibat, tapi terlibat seperti apa?" kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu berlalu, pertanyaan itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan anggota keluarga Aidit yang lain.●




Dan Soeharto pun Tersenyum

 
Tempo, 1-7 Oktober 2007

ADA di mana kamu saat pemberontakan PKI Madiun," tanya Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.

"Saya waktu itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat," jawab Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri. "Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi tiga batalyon komunis di daerah Wonosobo, Pak."

"Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang bereskan itu semua! D.N. Aidit ada di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana," ujar Soeharto memberi perintah.

Percakapan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta, itu dituturkan ulang oleh Yasir dalam Kompas edisi 5 Oktober 1980. Saat itu dia bersama pasukannya baru saja tiba di Tanjung Priok. Brigif IV sebenarnya tengah melakukan operasi di Kisaran, Sumatera Utara. Karena mendengar peristiwa G-30-S, mereka kembali.

Di hari pertemuan itu, 2 Oktober 1965, tentara telah mulai mengejar orang-orang Partai Komunis Indonesia yang dituduh terlibat G-30-S. Tapi Dipa Nusantara Aidit, Ketua Central Committee PKI, menghilang.

Yasir pun memboyong pasukannya ke Solo. Di sana dia bertemu Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di salah satu rumah tahanan. Orang itu dia lepaskan. Hanya dalam beberapa hari Sri Harto melapor: Aidit berada di Kleco dan akan segera pindah ke sebuah rumah di Desa Smbeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November.

Rencana pun disusun. Dan benar, sekitar pukul sebelas siang, Aidit muncul di rumah itu, menumpang vespa Sri Harto. Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brigif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir mengawasinya dari jauh.

Alwi Shahab, wartawan gaek yang kala itu sedang meliput di Solo, menulis di harianRepublika, waktu digerebek Aidit bersembunyi di dalam lemari. Prayitno sendiri yang menemukannya.

"Mau apa kamu?" Aidit membentak anak buah Yasir itu saat ke luar dari lemari. Prayitno keder pada mulanya, tapi segera menguasai keadaan. Setengah membujuk dia membawa Aidit ke markas mereka di Loji Gandrung.

Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, sang Ketua membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya, antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S. Sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar dokumen itu. Entah bagaimana, koresponden Asahi Evening News di Jakarta, Risuke Hayasi, berhasil mendapatkan bocoran pengakuan Aidit untuk korannya.

Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya harus bagaimana. Aidit berkali-kali minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. "Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan menjadi lain," kata Yasir seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.

Akhirnya, pada pagi buta keesokan harinya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju ke arah Barat. Mereka menggunakan tiga buah jip. Aidit yang diborgol berada di jip terakhir bersama Yasir. Saat terang tanah iring-iringan itu tiba di Boyolali.

Tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir membelok masuk ke Markas Batalyon 444. Tekadnya bulat. "Ada sumur?" tanyanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon. Trisno menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.

Ke sana Yasir membawa tahanannya. Di tepi sumur, dia mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, tapi Aidit malah berapi-api pidato. Ini membuat Yasir dan anak buah marah. Maka: dor! Dengan dada berlubang tubuh gempal Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur.

24 November 1965, pukul 3 sore. Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel memberanikan diri bertanya: "Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti sekarang ini, Pak?" Soeharto tersenyum.




Kuburan
Rahasia Sumur Mati

Tempo, 1-7 Oktober 2007

Aidit konon dikuburkan di Boyolali, Jawa Tengah. Anaknya pernah berziarah ke sana.

HAMPARAN tanah berkerikil itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali--sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.

Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Comite Central PKI, dikuburkan pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.

Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam mudal adalah aktivis Gerakan Pemuda Anshor, organisasi yang banyak terlibat dalam "operasi pembersihan." Kepada Tempo dua pekan lalu, dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. "Eksekusinya subuh-subuh," Tamam menirukan Yasir. Seakan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. "Ini arloji Aidit," katanya. Sewaktu didesak menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin."

Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. "Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi," katanya tatkala dihubungi pekan lalu. Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.

Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.

Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam Pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah dua tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.

Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. "Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu," kata Ilham.

Tempo mendatangi lokasi itu dua pekan lalu. Dan seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.

Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. "Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras," katanya. Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.

Tak sampai 100 meter dari sana, ada sebuah lokasi lain yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua yang sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.

"Jadi setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya," kata Ilham kepada Tempo. Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.

Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.

Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya. "Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya," katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak. "Tapi mungkin belum bisa sekarang," katanya pelan. "Kami harus bersabar."

Selasa, 26 Januari 2010

Sedjarah diriku (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA)

DN Aidit: Sedjarah Diriku I

Sedjarah diriku (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA), DISUSUN OLEH DIPA NUSANTARA AIDIT - kiriman Aida Ces. (ejaan tidak diubah - tetap sebagaimana dituliskan)

Saya akan berbagi kisah dengan saudara-saudara tentang pengalaman hidup saya di masa lalu, yang kini memang hanya tinggal sejarah yang bisa saya kenang di masa tua saya, saya tulis cerita dengan ejaan Orde Baru bukan edjaan Suwandi· dimana saya terbiasa menggunakannya, Cerita ini hanya sekedar kenang-kenangan dari seorang tua yang mungkin dapat memberi pelajaran bagi kaum muda agar lebih dapat melihat hidup bukan hanya sekedar di jalani tapi juga di maknai.

Saya dilahirkan di sebuah kota kecil di Pulau belitung bernama Pagar Alang, tahun 1924, ayah saya Abdullah Aidit adalah seorang mantri pengawas hutan, gajinya 60 gulden sebulan. Masyarakat Pulau Belitung mayoritas keturunan Melayu yang notabene memiliki kekentalan dalam menjalani ajaran agama Islam, begitu juga dengan keluarga kami, saya masih ingat bagaimana dulu saya diajari mengeja kata bahasa arab, mengaji, shalat, dan berbagai pembelajaran agama, dan alhamdulillah saat ini ajaran itu berguna sekali buat saya untuk mendekatkan diri pada Allah di masa tua. Seingat saya ayah saya termasuk orang terpandang di kota kami, walaupun hanya menjabat mantri hutan, karena keluwesan bergaul beliau dapat pula beliau mendirikan semacam organisasi Islam, semacam pusat pendidikan namanya Nurul Islam, bahkan pada tahun 1950-an ayah saya diangkat terpilih jadi anggota parlemen dari perwakilan golongan (bukan Masyumi yang selama ini tersebar beritanya).

Mengenang masa kecil saya adalah mengenang sebuah keindahan P. belitung, di pulau itu ada perusahaan Timah besar milik pemerintah Hindia Belanda, disanalah kadang-kadang naluri pembelajaran saya tentang perekonomian kapitalis dan sikap kritis terhadap system kapitalis muncul, kebetulan juga kami sekeluarga sangat membenci orang kaya dan ketidak adilan yang ditimbulkan oleh orang kaya.

Saya banyak berpikir mengapa dunia ini tidak adil, dimana ada orang bekerja keras tetapi tidak mendapat hasil yang memadai, tetapi ada orang yang hanya duduk-duduk namun bisa menikmati hasilnya, yah melalui , pemerasan atau penindasan manusia atas manusia lainnya eksplotation home par home-lah menurut istilah Bung Karno.Pada saat saya awal mempelajari ekonomi, yah seperti adik-adik waktu belajar pelajaran pertama ekonomi tentunya diajari tentang nilai lebih dan nilai manfaat, nah nilai-nilai ini ternyata digunakan untuk menindas manusia agar si pemilik modal dapat berleha-leha sementara yang lainnya hidup dalam kesengsaraan.

Sewaktu di Belitung tentunya konsep perjuangan saya belumlah jelas, saya hanya baru mempelajari dasar-dasarnya saja. Namun jiwa sosial saya tumbuh dengan pesat, saya rasakan itu, ada semacam keinginan saya untuk membantu rakyat kecil, saya merasa girang jiwa saya bila dekat dengan rakyat yang hidup dengan keringatnya sendiri yang menyimpan air matanya dengan senyum tulus, itulah rakyat yang sesungguhnya yang memiliki hati untuk bicara namun di sekap oleh kekuasaan, yang memiliki hak hidup layak namun di bohongi dan uangnya dicuri juga atas nama kekuasaan, dan kekuasaan itu berkedok dalam topeng kapitalisme dan menurut teori Sukarno kapitalisme adalah siklus terakhir dari kolonialisme.

Saya pelajari penderitaan mereka dengan berhari-hari ada di tengah mereka, saya hayati kesengsaraannya, ternyata kesimpulan saya waktu itu adalah bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk maju, mereka dibutakan dengan gagasan-gagasan bohong oleh penguasa, mereka di hancurkan keberaniannya tahap demi tahap sehingga menjadi manusia yang tumpul, bukan manusia yang berani sementara keberanian hanya menjadi hak milik kaum penguasa dan antek-anteknya. Saya pahami betul penderitaan rakyat.

Saya masih inget tentang kejadian lucu di P. Belitung tiap bulan kelahiran Ratu Juliana ada semacem pertandingan sepak bola, nah untuk Bantu-bantu ayah saya dalam hal keuangan saya kerap berjualan kerupuk nah kerupuk Belitung ini namanya Kampelang yang artinya kalau bahasa Jakarta “Tabok” nah, ada seorang yang kalau tidak salah bernama Samsudin, ini sering mengolok-olok saya, dia ciptakan lagu “Amat Kampelang Jurok Amat babelang” masakan pantat saya di bilang berbelang, marahlah saya, pada saat si Sam ini lewat di depan rumah paman saya Busu (paman) Rahman, kebetulan saya sedang ada disitu, bernyanyilah ia, “Amat kampelang jurok amat babelang”, kontan saja saya sergap ia, saya loncat jendela dan saya piting kemudian saya gebuki sampai babak belur, kalau tidak ada busu Rahman memisahkan habislah ia. Sejak saat itu saya terkenal jagoan dan ditakuti oleh pemuda-pemuda Belitung, ha….ha.

Hal indah yang saya juga kenang adalah kegembiraan saya tiap saya khatam Al Qur’an pasti ada pesta kendurian, makan ayam kampung panggang dan kue-kue enak khas Belitung, saya mengenang masa indah saya dulu dengan penuh rasa syukur.

Anak Rantau di Djakarta
DN AIDIT

Tahun 1930-an akhir saya merantau ke Djakarta, beberapa hari saya tinggal di daerah yang tidak djelas, akhirnja saya bertemu dengan uda Ali dan tinggal bersamanya, Ali ini seorang penjahit ia senang menjahit baju satu di jadikan dua celana pendek, diajarilah aku cara menjahit baju model begituan, Ali dan aku tinggal di daerah sekitar Senen, saya tinggal lajaknja gembel, karena saya tinggal di bedeng-bedeng liar yang tidak ada besluit-nja (ijin), dimana sewaktu-waktu bisa dibongkar, tapi pemerintahan kota Batavia (sekarang Djakarta) tidak sekedjam seperti sekarang ini yang senang main gusur dan bakar perkampungan yang akan digusur, dulu pemerintahan Batavia nampaknya mendiamkan saja adanya bedeng-bedeng liar, Di Djakarta inilah saya sekolah di Sekolah Dagang Menengah..

Suatu senja kalau tidak salah di tahun 1943, saya bertemu dengan Pardjono dan A.M Hanafiah, kebetulan A.M Hanafiah -(kelak menteri penerangan pertama dan Duta besar di Kuba pada saat terdjadinja GESTOK)- adalah sekjen GERINDO, A.M Hanafiah menggantikan Wikana yang katanya terlalu kepala batu , Gerindo adalah sebuah gerakan politik yang dipimpin Bapak Adnan Kapau
Gani. A.M Hanafiah, Pardjono dan kawan-kawan seperdjuangannja bermarkas di sebuah rumah di Menteng, no.31, mereka ini merupakan bagian terdepan generasi intelektual muda di Djakarta kelompok mereka sering disebut kelompok menteng 31.

Anak didik Hatta

Setelah saya masuk ke asrama Menteng 31, saya aktif melakukan studi-studi politik, pada saat itu mentor-mentor politiek, adalah orang-orang pergerakan senior seperti: Sukarno, Hatta, Sjahrir,AK Gani dll, tapi yang paling aktif mendidik adalah Hatta, sedangkan Sjahrir lebih asyik bermain di gerakan bawah tanah bersama kelompoknya, kabarnya salah satu loyalis Sjahrir, Djohan Sjahruzah membuka tjabang pendidikan kadernja di jogjakarta, di sebuah daerah bernama Pathuk, kelak kelompok Pathuk ini juga banyak berperanan dalam gerakan kiri Indonesia. Hatta sangat rajin memberikan ilmunya kepada kami.

Ia adalah sardjana, seorang doctorandus economiee, lulusan Belanda, sedjak muda Hatta bersemangat memperdjuangkan kemerdekaan Indonesia, di Belanda ia mendjadi bendahara PI (Perhimpoenan Indonesia), pemikiran Hatta sangat dipengaruhi gaya pikir pemikir-pemikir sosialisme, tapi djelas terlihat Hatta sangat tidak menjukai Kominisme, walaupun bagi saya Hatta adalah pemikir Marxist Indonesia yang paling jago.

Pada suatu pagi yang indah di akhir tahun 1943, saya sedang duduk-duduk di bangku depan asrama, hanya saya seorang tiba-tiba datang Hatta, entah kenapa ia datang jam 6.00 pagi, saya karena shalat subuh selalu bangun lebih awal dibanding kawan-kawan yang senangnya begadang, Hatta menegur saya dan ia langsung duduk, saya ditanya dimana kawan yang lain, dan saya bilang belum pada bangun.

Disinilah hubungan saya dan Hatta mulai dekat. “asal kamu dari mana, Mat?”tanya Hatta, Hatta memanggil saya dengan sapaan Amat, sampai tahun 1960-an saat terakhir saya ketemu dia, dia tetap memanggil saya dengan nama Ahmad “Bangka Belitung, Pak”djawab saya, saya sedjak awal menjapa Hatta itu Pak, djuga pada Bung Karno malah di tahun 1960-an saya menjapa BK itu Paduka, tidak seperti Hanafiah atau Wikana yang menjapa Hatta atau Sukarno itu dengan sapaan Bung.

“Oooh…Bangka yah, timah itu”sahut Hatta, aku membalasnya “iya, Pak” tak lama kemudian keluarlah A.M Hanafiah, rupanya ia belum mandi dan agak kaget melihat Hatta sudah duduk di beranda asrama kami, ia langsung masuk lagi dan mandi, lalu bergegas keluar menemui kami berdua yang sedang asyik ngobrol, disitulah Hatta menguraikan pandangannya tentang ekonomi kalau tidak salah sampai jam makan siang, Hatta pamit pulang. Sedjak kedjadian itu saya sering menemui Hatta, bagi saya Hatta adalah guru utama saya, walaupun kelak kami berseberangan pandangan.

Di Asrama Menteng 31 inilah, saya berganti nama depan bukan Ahmad atau Amat lagi, tapi Dipa Nusantara artinya Banteng-nya Nusantara, alasannya sederhana sadja kawan-kawan meminta saya mengganti nama soalnya banyak sekali kawan yang bernama Ahmad daripada bingung mereka suruh saya ganti nama, setelah menulis surat kepada ayah untuk minta idjin saya mengganti nama, dan ayah mengidjinkan maka nama lengkap saya yang baru adalah Dipa Nusantara Aidit jang disingkat DN Aidit.

Hobby Membatja

Di Djakarta ini juga saya gandrung dengan pemikiran Sukarno, tiap-tiap pemikirannya saya baca di Koran-koran lokal. Namun pengaruh terbesar saya ada pada Musso dan Alimin tokoh tua PKI yang lari akibat pemberontakannya yang gagal tahun 1926.Saya banyak membaca tentang filsafat Eropa, perkenalan saya dengan filsafat Eropa adalah dari seseorang yang saya inget bernama Samingan, dia orang Solo yang lama tinggal di Semarang dan kemudian merantau ke Djakarta, ia tinggal di daerah Kramat Lontar, pekerdjaanja adalah berdagang buku bekas di Senen. Ia memberikan saya lima buku dalam bahasa Belanda dan Jerman kalau tiada salah buku keluaran antara tahun 1900-1915.

Ia memberikan saya buku sebagai hadiah, walaupun Samingan orang yang tidak suka membaca tapi ia sangat menyenangi orang yang gemar membaca dan ia melihat pada diriku. Disitulah saya banyak bergelut dengan positivisme Inggris, tradisi ilmiah Perancis, Historisitas Djerman dan Pragmatisme Amerika Serikat ala John Dewey, kupasan filsafat saya semakin saya asah.

Kemudian Samingan mendjadi penyuplai tetap buku-buku bagi saya, djika ada buku bagus, buku itu di simpan dulu olehnja agar saya batja, saya banjak berhutang budi pada Samingan, terakhir perdjumpaan kami di tahun 1961, saya kebetulan datang ke Solo karena ada keperluan Partai sekalian ke rumah keluarga isteri saya, Samingan tinggal di daerah Kepatihan, rupanya ia aktif mendjadi anggota Muhammadijah, waktu itu akibat provokasi Masjumi, hubungan antara PKI dan Muhammadijah agak renggang, apalagi memang sedjarahnya PKI dan Muhammadijah tidak pernah akur,tapi Samingan menyambutku dengan penuh bangganya, di kenalkannya saya dengan tokoh-tokoh Muhammadijah setempat, kawan-kawan Muhammadijah-nya tentu kaget melihat DN Aidit, ketua PKI, gembongnya-gembong PKI.

Tapi memang orang Solo itu terkenal tidak mau menunjukkan perasaan, mereka menyapaku dengan ramah. Kabarnya akibat Samingan membawaku ke kawan-kawannya, ia dicurigai PKI susupan, dan di tahun 1965 ia sempat ditjiduk tapi berkat lindungan tokoh Muhammadijah Samingan berhasil dibebaskan dari cengkeraman tentara kanan.


Pergulatan mendjelang Proklamasi
BUNG SYAHRIR: BUNG KARNO: BUNG HATTA.

Di Djakarta saya banyak bertemu dengan pemikir-pemikir muda dari beberapa kelompok seperti Soedjatmoko, Sjahruzah, Soedarpo, Adam Malik, Wikana, Suroto, Jusuf Kunto, Soebadio Sastrosatomo, Lukman,AM Hanafiah, Chaerul Saleh dan beberapa tokoh muda dari PETA. Kebetulan saya tinggal di Asrama menteng 31 dimana tempat mangkalnya kelompok-kelompok perlawanan kaum muda. Dari kelompok Sjahrir saya mendengar bahwa Jepang sudah mengalami kekalahan, Sjahrir mendengar beritanya dari radio gelap di gerakan bawah tanah. Kelompok radikal-sosialis pengikut Tan Malaka seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Adam Malik sangat antusias mendengar berita kekalahan Djepang, ada ide dari Chaerul untuk segera memerdekakan Indonesia sebelum Djepang datang, kemudian Sukarni yang kebetulan tinggalnya berdekatan denganku mengajak saya ke tempatnya si Chaerul, di tempat Chaerul ada sekitar 10 orang yang sedang berkumpul diantaranya saya lihat ada Adam Malik dan Buntaran, Chaerul yang Tan Malakais ini berapi-api ingin cepat-cepat melakukakan sebuah revolusi.

Saya tanya sama Chaerul “Rul kalau kamu mau bikin aksi-aksian lalu apa yang melegitimasi gerakan kamu?” Chaerul diam kemudian Sukarni membalas pertanyaan saya “Dit, gimana kalo kita jadikan Sukarno sebagai simbol gerakan kita?” saya terdiam lalu si kecil Adam Malik melompat dari tempat duduknya dan berseru “Setuju” pertemuan pun bubar besoknya tanggal 9 Agustus 1945, Chudancho Singgih dari PETA datang ke tempat kami, ia bersama Chudancho Ali dan Chudancho Latief Hendraningrat, di tempat kami Singgih bercerita bahwa PETA dari seluruh Djawa siap menyambut gerakan kami, apabila kami memerintahkan menyerbu tangsi-tangsi militer Djepang detik itu juga akan mereka serbu, disinilah saya sudah lihat bibit ketaatan militer terhadap sipil.

Kawan saya Jusuf Kunto mencegah pernyataan Singgih ia ingin ada sebuah gerakan sistematis dan menyimbolkan gerakan kemerdekaan negara yang rapi bukan sekedar perang. Tak lama kemudian Sukarni datang ke tempat kami berikut petikan dialog antara kami dan kelompok PETA yang masih saya ingat.

Singgih :

“Seluruh pusat-pusat pelatihan PETA sudah kami adakan semacam
koordinasi rahasia apabila Jepang mengalami kekalahan di perang Pasifik,
Indonesia jangan sampai mengalami kekosongan kekuasaan.Kita siap perang…!!!

Jusuf Kunto :

Sabar…sabar nggih, kamu siap perang lha rakyat apa sudah terkondisikan
akan peperangan yang mungkin saja kejam, nggih….begini Nggih saya ingat pesan
dari Tan Malaka agar jangan dulu mengadakan peperangan sebelum ada kepastian
akan kekuatan kita, dan saya dengar dari Bung Karno, tanpa perangpun kita bisa
menang.

Saya :

Saya setuju dengan Singgih tapi juga tidak menolak pendapat Jusuf Kunto
ada baiknya kita konsultasikan dengan kawan-kawan yang lainnya.

Tak lama kemudian Sukarni datang.

Sukarni :

Tadi Ahmad Subardjo datang menemui saya dia bilang Sukarno tidak setuju
kalau kemerdekaan tanpa persetujuan orang-orang dari PPKI dan ex-BPUPKI.

Wikana :
Kita culik saja Sukarno dan Hatta, biar mereka mau ikut gerakan kita.

Saya :
Lho kok Hatta ikut-ikutan diculik

Wikana :
Ya jangan Sukarno saja yang memimpin musti ada pendamping yang orang
luar Jawa jadi Hatta cocoklah buat dampingin Sukarno.

Adam Malik :
Oke, saya setuju

Sukarni :
Gerakan menculik Sukarno – Hatta langsung di bawah komando saya, kalo kelompok sosialis Sjahrir mencegah mereka harus kita tahan juga, tapi saya rasa sampai saat ini orang-orang Sjahrir tidak setuju dengan kemerdekaan yang cepet, saya denger dia tidak mau memerdekakan Indonesia sebelum ada kesepakatan internasional antara pemenang perang ya…sekutu dengan Belanda secara de jure masih bertjokol di Indonesia.

Saya :
Saya pikir kelompok simpatisan Kominis yang di luar negeri akan mendukung gerakan ini, tapi jangan dilupakan gerakan militer akan memancing sikap anti fasis orang-orang Sjahrir, ini harus diwaspadai, sekarang kita mulai gerak!!!!

Beberapa hari setelah pertemuan di tempat kami, Wikana mengundang seluruh elemen gerakan bawah tanah untuk rapat di laboratorium Bakteriologi, di jalan Pegangsaan deket rumah Bung Karno. Pada saat itu di tengah hingar bingarnya teriakan untuk segera memerdekakan diri, rapat memutuskan untuk mengutus Saya, Jusuf Kunto, Subadio Sastrosatomo dan Suroto untuk menemui Sukarno. Di rumah Bung Karno yang kebetulan ada Hatta, kami mendesak agar mereka berdua mengumumkan kemerdekaan, namun Sukarno menolak bila tidak ada jaminan dari pihak Djepang untuk keamanan. Kami dengan nada marah mengancam Bung Karno jika tidak akan mengumumkan kemerdekaan maka kami akan bertindak tegas terhadap Bung Karno, saya inget Sukarno dengan nada marah menanggapi ancaman kami “Ini leher saya, goroklah leher saya dan seretlah ke pojok itu, jangan menunggu besok”

Bung Karno sangat marah dengan nada sabar Bung Hatta menengahi “kami tidak bisa dipaksa, sudahlah jangan terburu-buru kita lihat keadaannya”, lalu Bung Hatta menantang kami bila kami sanggup, bikin sadja proklamasi sendiri tanpa melibatkan mereka, tentu saja kami tidak akan mampu melaksanakan manapula percaya dan kenal pada kami, selain pada Sukarno dan Hatta….?

Tanggal 16 Agustus 1945, Sukarni, Singgih, Jusuf Kunto dan Moewardi nekat mentjulik Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati dan bayinya Guntur untuk diamankan ke Rengasdengklok, di Rengasdengklok Para pemimpin itu di suruh tinggal di rumah Djiauw Kie Song di bawah pengawasan PETA pimpinan dr.Soetjipto. Mendengar Sukarno diculik marahlah Ahmad Subardjo ia memarahi Wikana dan Chaerul Saleh yang kebetulan di Djakarta,namun yang terpenting tak lama kemudian Laksamana Maeda mengeluarkan statement dan pesan kepada penculik Sukarno dan Hatta, agar mereka membebaskan Sukarno, Maeda menyatakan pihak Djepang tidak akan mengganggu jalannya Proklamasi dan membiarkannya, proses upacara itu.

Malamnya Sukarno, Hatta,Fatmawati dan Guntur pulang ke Djakarta, di rumah Laksamana Maeda konsep proklamasi disusun Sayuti Melik suami Sk.Trimurti yang mengetik draft proklamasi. Paginya proklamasi dibacakan, air mata saya sampai saat ini masih berlinang bila mengingat kejadian itu. 

Sedjarah Diriku II


Revolusi Bersendjata 1945-1949
(Dari Tan Malaka sampai FDR Madiun)

Setelah 17 Agustus 1945, dan penyusunan UUD berhasil diselesaikan, suhu politik semakin panas, saya lihat Sukarno semakin tersudut ke dalam ketidak berdayaan politik, Hatta dan Sjahrir makin pegang peranan berkat pengalaman politik mereka di Luar Negeri, tampaknya Belanda dan pihak USA lebih menyenangi melakukan negosiasi politik dengan Hatta dan Sjahrir yang dinilai moderat, tidak radikal, dan tidak terlalu kental warna Djepangnya apalagi Sjahrir yang bagi sebagian orang Belanda dianggap Pahlawan karena berani melawan Djepang pada saat djaman pendudukan Nippon.

Sjahrir membangun kubu sosialis demokratnja perlahan-lahan sedemikian kuatnya, jaringan di luar negeri hebat betul, sampai-sampai sang legenda tua macam Agus Salim-pun tunduk di bawah Sjahrir, kelompok Sjahrir terdiri orang-orang yang pandai dan berpendidikan luar negeri, ada pula seorang muda yang saya perhatikan bernama Soemitro Djojohadikoesoemo, dia anaknya Margono Djojohadikoesoemo, saya nilai Soemitro adalah pemuda yang sedemikian pandainya, ia lebih senior dari saya. Kelak Mitro ini terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an akhir.

Saya inget setelah Proklamasi 1945, pengikut Sjahrir selama dua minggu menolak pernyataan Sukarno-Hatta terhadap Proklamasi 1945, ia menilai tidak selayaknya Indonesia dipimpin oleh orang yang pernah bekerjasama dengan pemerintahan fasis Djepang,
Sjahrir dan beberapa tokoh pemuda melakukan perjalanan panjang ke seluruh pulau Djawa, ia ingin melihat pendapat rakyat terhadap Proklamasi 1945, ternyata rakyat mendukung penuh Proklamasi Sukarno-Hatta, dan setelah balik ke Djakarta otak Sjahrir berubah, ia berbalik mendukung Sukarno.

Dan sejak 1945 sampai revolusi bersenjata selesai tahun 1949 akhir, Sjahrir adalah orang paling loyal terhadap kepemimpinan Sukarno, tidak demikiannya dengan Tan Malaka, kabarnya Tan Malaka sempat mendatangi Sjahrir dan meminta Sjahrir bergabung ke dalam gerakan Tan Malaka untuk menggulingkan Sukarno-Hatta dan mendirikan sebuah negara sosialis berhaluan kiri-moderat, Sjahrir menolak tawaran Tan Malaka malah ia menganjurkan bila Tan Malaka ingin menyaingi kepopuleran Sukarno Tan Malaka harus banyak melihat kenyataan Objektif bangsa Indonesia dan jiwa bangsa Indonesia, “saat ini” Kata Sjahrir “Rakyat mencintai Bung Karno dengan sepenuh jiwanya”

Tan Malaka tidak menuruti saja kata Sjahrir, ada sebuah kejadian yang menguatkan Tan Malaka mendapat angin yaitu ada semacam isu bahwa Sukarno-Hatta membuat surat wasiat, bahwa bila dalam perjuangan revolusi dua orang ini gugur maka yang menggantikannya adalah : Tan Malaka (Kelompok Sosialis Radikal-Kiri), Sjahrir (Kelompok Sosial-Demokrat), Iwa Koesoemasoemantri (Kelompok Islam), Wongsonegoro (Birokrat dan elite ningrat Djawa), nah Sukarno ini menulis surat wasiat tersebut dan memerintahkan kepada Ahmad Subardjo untuk membagikannya kepada orang yang bersangkutan, kebetulan Ahmad Subardjo tidak membagikan surat itu kepada tiga orang dan hanya Tan Malaka yang menerimanya, kontan sadja ini membuat kelompok Tan Malaka diatas angin ia berkeliling kemana-mana untuk menyebarkan surat wasiat itu ,

hal ini biar seakan-akan rakyat tahu bahwa pengganti sah Sukarno dan Hatta bila terjadi sesuatu adalah Tan Malaka, tentu saja kelompok loyalis Sukarno curiga terhadap perbuatan Tan Malaka, mereka mengira sayap militer Tan Malaka akan membunuh Sukarno dan Hatta, atas pertimbangan itulah Sukarno pindah ke Jogjakarta, jadi selama ini sedjarah melihat bahwa kepindahan Sukarno dan Hatta Ke Jogja sekaligus mendjadikan Jogja sebagai ibukota adalah karena menghindari penangkapan oleh tentara NICA, tetapi saya melihatnya ini agar Sukarno dan Hatta menghindar bahaya dari serangan kelompok Tan Malaka yang memang sudah sangat kuat di Djakarta, Jogja menurut Sukarno merupakan basis pendukungnya, memang pendukung inti Sukarno adalah Djawa yang memiliki basis budaya Mataraman (mulai dari Cirebon sampai Surabaya).


Sedjarah diriku III


SEDJARAH HIDUPKU (DARI BELITUNG SAMPAI BERKELANA TAK HINGGA) DISUSUN OLEH: DIPA NUSANTARA AIDIT

Penculikan dan pembunuhan itu memancing tentara kelompok Jawa Tengah mengambil tindakan dengan membalas ke orang-orang Siliwangi, penyerbuan-penyerbuan ke markas-markas tentara Siliwangi tidak dapat di hindari, kontak senjata sering terjadi di jalan-jalan Kota Solo. Pada saat itu saya berada di Solo, lupalah urusan apa, tapi yang jelas saya bersama Pak AK Gani dan Letnan Kolonel Suharto (kelak orang ini berpangkat mayor Djenderal, ia pelaku utama penghantjuran PKI tahun 1965-1966) dari Jogjakarta.

Mas Harto yang asli Jogja sangat mengerti seluk beluk kota Solo, membawa saya ke temannya yang saya lupa namanya, markasnya ada di dekat Pasar Gede Solo, disana Mas Harto, saya, Pak Gani, dan teman Mas Harto mendengarkan laporan dari orang bernama Letnan Sudarjono, ia mengatakan Kota Solo hampir sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Siliwangi. Tak lama kemudian Suharto kembali ke Jogjakarta dan saya pun kembali ke Djakarta.

Saya ingat pula sebelum ke Solo saya menghadiri konferensi Partai Komunis Indonesia yang mengeluarkan sebuah resolusi bernama “Djalan Baru” resolusi ini menghendaki diselesaikannya dengan cepat demokrasi borjuis, kaum Kominis sadar bahwa tiadalah mampu kominis menyelesaikan revolusi sendirian tanpa bantuan dari pihak-pihak yah….katakanlah Borjuis kanan. Disitu saya diminta oleh kelompok kiri sayap PKI untuk menjadi ketua seksi Buruh walaupun sedari awal saya menolak jabatan itu, tapi saya pikir bolehlah.

Tiba-tiba peristiwa Madiun meletus, saat itu saya ada di Djakarta (tidak benar dikatakan saya berada di Madiun seperti cerita banyak orang), berita gegernya Madiun saya dengar dari Mas Djamin Amiseno dan Pak Djajeng, pak Djajeng yang ex-Digulis mengatakan pada saya kalau Musso sudah bertindak sembrono dan ngawur, Musso menyerang kebijakan dan cara-cara penyelesaian militer kabinet Hatta, tapi yang diserang malah Bung Karno, Musso bahkan berteriak-teriak kalau Sukarno itu antek Djepang.

“lha piye tho mas dit, lha Musso kok ditandingkan dengan Bung Karno, lha kalau di adu ya, djelas kalah, Bung Karno itu punden-nya wong Jawa, lha Musso kok ujug-ujug dari Moskow tarung sama Bung Karno, wis tho ini bakal merugikan PKI” kata Pak Djajeng, saya masih ingat Pak Djajeng mengucapkan itu dengan geram. Kalau tiada salah pagi entah 25 apa 26 September saya didatangi oleh Harjono Maskoem, tokoh pemuda dari FDR tjabang Banten dia bilang FDR Banten menolak gerakan Musso, kontan saya marahi dia, bagi saya kalah atau menang bila kita satu ideology dan cita-cita djangan sekali-kali kita tinggalkan kawan sendirian bertarung.

Sebentar sadja sayap FDR militer menguasai Madiun, lalu mereka dikalahkan oleh pasukan Siliwangi dan pasukan Djawa Tengah yang setia pada Bung Karno, seingat saya FDR sempat menguasai total Madiun, kalau tiada salah Walikota Madiun sedang sakit yang ada wakil walikotanya, gerakan Madiun jelas tidak mendapatkan dukungan rakyat, apalagi Bung Karno berpidato yang isinya memihak kepada kebijakan kabinet Hatta, mengecam Musso dan menuduh gerakan Musso/ FDR merupakan sinyalemen akan dibentuknya negara Sovyet di Indonesia.

Pasukan Siliwangi yang ditugaskan menyerang FDR dengan mudah menaklukkan pasukan yang kurang berpengalaman itu, perlawanan terakhir ada di daerah Maospati, sekitar 1500 tentara FDR bertempur dengan ribuan pasukan Siliwangi, tapi FDR kalah telak. Kekalahan FDR disusul oleh penangkapan gembong-gembong FDR.

Hatta mengambil kebijakan untuk menahan semua pasukan yang terlibat tanpa adanya toleransi pengampunan politik.Banyak tentara-tentara yang memihak FDR di penjara oleh pihak TNI. Penjara militer penuh sesak, bahkan ada kebijakan dari TNI beberapa penjara diledakkan sehingga orang-orang FDR tewas.

Kebijakan ini diambil katanya untuk menghindari pembalasan dendam orang FDR jika Belanda melakukan agresi, maka dipekirakan Belanda akan membebaskan orang-orang FDR, dan TNI tentu akan bertarung lagi dengan orang-orang FDR. Sukarno sendiri sudah memberi pengampunan politik bagi kelompok pemberontak FDR namun tampaknya Hatta enggan untuk membebaskan orang-orang FDR. Gubernur Milter Kolonel Gatot Subroto, orang yang ditunjuk Sukarno mendjadi orang yang bertanggung djawab terhadap keamanan Djawa dengan senang hati mendjalankan keinginan Hatta itu.

Nasib Pak Musso

Pak Musso, tokoh PKI pedjuang pergerakan di tahun 20-an jang bernasib buruk itu, kabur dari markasnja setelah pasukan Siliwangi pimpinan Letnan Kolonel Sadikin masuk kota Madiun, Pak Musso kabur ditemani Mas Djumino dan Agil Atjo, mereka lari ke arah kota Ponorogo, disitu ia bertemu dengan Remang, seorang warok yang paling ditakuti di kota Ponorogo, Remang yang mendukung gerakan FDR menolak memberikan bantuan kepada Pak Musso karena keluarganya sendiri akan terancam oleh pihak TNI yang memang sudah mengawasinya,

akhirnya Remang menyarankan untuk bertemu dengan Hasjim Geplak seorang kusir delman di Ponorogo, Hasjim ini walaupun rakjat ketjil namun sangat berani, ia memberikan tempat kepada tiga orang pelarian dari Madiun tempat tinggal di belakang rumahnya dan memberikan sebuah delman tua, akhirnja Pak
Musso menjamar sebagai kusir delman, sementara Mas Djumino dan Agil Atjo diperintahkan Musso menudju Djakarta untuk menemui saya dan Lukman. Tapi sayang di daerah Tegal Mas Djumino dan Agil Atjo tertangkap oleh pasukan Siliwangi, tjelakanja si Agil Atjo membawa-bawa bendera PKI dan beberapa dokumen FDR, Agil Atjo ditembak mati dan kabar Mas Djumino sampai sekarang masih sangat gelap.

Pak Musso jang masih tinggal di Ponorogo dan menjamar djadi kusir Delman mangkal di pasar Ponorogo, tapi pada suatu saat ada seorang anggota GRR (Gerakan Ravolusi Rakjat) bernama Amin, jang mengenali wajah Pak Musso, diam-diam Amin menjelidiki keberadaan Pak Musso setelah djelas rutinitas Pak Musso, Amin akhirnja melapor ke Letnan Dul Masduki, tapi untung Letnan Dul Masduki ada di pihak Pak Musso, Letnan Dul Masduki rupanja simpatisan FDR, laporan Amin didiamkan sadja.

Beberapa hari kemudian datanglah pasukan Kapten Jusuf Idham dari Siliwangi ke Madiun tujuannya adalah menangkapi para warok jang terlibat peristiwa Madiun. Si Amin ini kemudian bertjerita bahwa ia melihat orang jang persis sekali dengan wadjah Pak Musso, akhirnja laporan ini di tindak landjuti oleh Kapten Jusuf, tak lama kemudian pada tanggal 30 Oktober 1948 Pak Musso ditangkap dan ditembak mati.


Penangkapan besar-besaran kelompok FDR

Kabar Belanda akan melantjarkan agresinja ternyata benar-benar terdjadi, di tengah situasi darurat kabinet Hatta bersidang membahas kemungkinan yang terdjadi bila Belanda menyerang Indonesia, salah satu pembahasan yang paling utama adalah menyangkut berita bekas pasukan FDR baik yang lolos ataupun yang ditawan akan melakukan tindakan balas dendam, informasi ini di dapat dari Kolonel Gatot Subroto yang disampaikan kepada Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX,

unsur Masjumi dalam kabinet Hatta mendesak agar semua tawanan yang berpotensi memimpin
perlawanan terhadap pemerintahan yang sah tidak usah dibebaskan bahkan di tembak mati sadja, tapi unsur PNI menolak termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX, bahkan Sultan berkeyakinan FDR merupakan kader potensial yang masih dapat dibina, akhirnya Hatta mengambil keputusan untuk melakukan voting terhadap nasib tawanan FDR. Voting di hadiri 12 Menteri, 4 Menteri menyetujui tawanan FDR di tembak mati, 4 Menteri menolak tawanan FDR di tembak mati dan setuju untuk di bebaskan dan 4 lainnya lagi dalam posisi abstain. Mendengar adanya jalan buntu terhadap nasib
tawanan FDR, Sukarno mem-veto kebijakan kabinet Hatta, ia menolak usul di tembak matinya tawanan FDR, tapi tetap di tawan dulu.

Geram atas Sukarno yang lembek terhadap FDR, diam-diam Kolonel Gatot Subroto mengambil tindakan sepihak untuk menembak mati tokoh-tokoh penting FDR, saya tidak tahu apakah Hatta terlibat dalam hal ini. Yang jelas Kolonel Gatot Subroto membawa tawanan ke desa Ngaliyan, Kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, Karesidenan Surakarta. Disana Kolonel berbadan tambun, berjenggot dan berkumis tebal itu memerintahkan penduduk desa membuat lubang besar, dan akan digunakan sebagai liang lahat para tawanan FDR.

Tokoh-tokoh FDR yang dibawa adalah: Amir Sjarifoeddin (mantan Perdana Menteri/Ketua Partai Sosialis), Maroeto Daroesman(ex-Digulis/Mantan ketua pemuda PKI tahun 1924), Soeripno (anggota PKI), Oei Gee Hwat (mantan redaktur Harian Sin Tit Po/guru Sekolah PTI), Sardjono, Sukarno, Djoko Sujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku. Amir Sjarifoeddien terus mendekap injil,dan sebelum di tembak mati ia sempat berpidato kemudian regu tembak meng-eksekusinya, sedangkan semua tawanan lain langsung ditembak mati, mereka di kuburkan dalam satu liang lahat.Berita yang saya terima selain di tembak matinya pimpinan-pimpinan FDR, ada sekitar 8.000 orang tewas akibat penangkapan dan penyiksaan, 14.000 lainnya sempat di tawan, saya pikir peristiwa FDR sungguh merugikan gerakan PKI ke depan.


Sikap saya terhadap Peristiwa Madiun[1]

Peristiwa Madiun bagi saja merupakan ketjelakaan politik PKI jang akibatnja sangat luar biasa. Berikut pokok pemikiran saya terhadap peristiwa Madiun berikut pendjelasan saya setjara detil, yang saya rangkum dari dokumentasi milik Agitrop PKI djuga pidato saya di bulan februari 1958 (pada lampiran kedua):

Lampiran Satu

Pada tanggal 27 Juni 1947 Kabinet Sjahrir jatuh. Sebagal ganti kabinet Sjahrir, pada tanggal 3 Juli 1947 terbentuk kabinet Amir Sjarifudin yang terdiri dari 11 orang Sayap Kiri, 7 orang dari PNI dan 8 orang dan PSII. Masyumi yang semula ikut duduk dalama kabinet Sjahrir, dalam kabinet Amir ini Masyumi menolak untuk ikut duduk. Tetapi PSII sebagai anggota Masyumi telah mengambil keputusan sendiri untuk ikut duduk dalam kabinet bersama dengan PM dan Sayap Kiri. Juga tak seorangpun dari grup Sjahrir dalam Partai Sosialis yang ikut duduk dalam kabinet

Kabinet Amir melanjutkan perundingan dengan Belanda, yang telah dirintis oleh kabinet Syahrir, dengan tetap mempertahankan kehadiran negara RI, tetap mempertahanakan pengakuan berbagal negara terhadap RI dan tetap menolak gendarmeri bersama RI-Belanda. Hal-hal ini yang menjadikan perundingan antara RI-Belanda tidak lancar dan hambatan utamanya yalah masalah gendameri bersama.

Tanggal 15 Juli van Mook mengultimatum supaya RI me narik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. RI menolak ultimatum Belanda ini. Tanggal 21 Juli 1947 dilancarkan agresi militer terhadap Republik dengan maksud samasekali menghancurkan Republik. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Belanda mengakhiri agresinya.

Belanda berhasil merebut daerah ekonomi yang sangat pen ting dari Republik, seperti: minyak, perkebunan, tambang, kota pelabuhan. Tak kebetulan bahwa agresi Belanda ini menggunakan kode "Operatie Product".

Setelah gencatan senjata dipulihkan kembali perundingan RI- Belanda di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara yang terdiri dan Australia, Belgia dan Amerika. Dari fihak Republik, PM Amir bertindak sebagai ketua delegasi. Sementara itu van Mook, pada tanggal 29 Agustus 1947, secara sefihak telah menggeser garis demarkasi yang sangat menguntungkan fihak Belanda dari segi perluasan daerah. Beberapa bulan kemudian (11 November 1947) akhirya Masyumi mau masuk kabinet dengan mendapat
empat buah kursi.

Dari perundingan RI-Belanda, di atas kapal Amerika yang bernama Renville, pada tanggal 17 Januari 1948 telah ditandatangani Persetujuan Renville. Dalam Persetujuan Renville tercantum antara lain fasal yang menyatakan, bahwa RI harus menarik semua pasukan yang berasa di kantong-kantong yang terdapat di belakang garis demarkasi hasll ‘ciptaan’ van Mook dan harus dimasukkan ke daaerah Republik.

PNI dan Masyumi yang semula ikut mendukung perundingan Renville dan ikut berunding sebagai anggota delegasi, menjelang penandatanganan perun- dingan menyatakan menarik diri dari delegasi dan kabinet, dan setelah penandatanganan PNI menarik dukungan terhadap persetujuan Renville. Dengan demikian kabinet Amir kehilangan dukungan dua partai besar dan pada tanggal 23
Januari 1948 kabinet Amir mengundurkan diri. Mengenai tindakan Masyumi dan PNI terhadap penandatanganan Renville Sumarsono berpendapat, bahwa oposisi yang dilakukan kedua partai itu adalah hanya suatu cara untuk mengeluarkan Sayap Kiri dan pemerintahan.

Pada tanggal 29 Januari 1948 Hatta naik panggung kekuasaan dimana ikut duduk PNI dan Masyumi, dengan Hatta sebagai PM merangkap menteri pertahanan dan Sukiman sebagai menteri dalam negeri. Program kabinet Hatta antara lain yalah: berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville dan rasionalisasi.

Sampai saat diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi (re-ra) oleh PM Hatta, di antara laskar-laskar perjuangan yang ada, maka Pesindo merupakan laskar bersenjata yang terkuat Jumlah pasukannya terbesar, disiplinnya yang paling baik dan persenjataannya terlengkap. Kesatuannya tersebar di setiap kabupaten JaTim dan JaTeng, beberapa kabupaten di JaBar dan malahan sampai ke SumUt. Kekuatan laskar bersenjata Pesindo, kalau tidak dapat dikatakan melebihi, maka paling sedikit sama dengan TRI, tentara Pemerintah.

Pada tanggal 3 Juli 1946, Tan malaka beserta orang-orangnya melakukan kup terhadap pemerintahan Sjalrrir. Kup ini dilancar kan oleh Divisi III/Sudarsono, yang berteritorium Yogyakarta. Letnan Kolonel Suharto, komandan resimen Yogyakarta (Wehrkreise X), diperintahkan oleh Presiden Sukarno, gagal. Malah Sjahrir diculik oleh golongan kup. Karena Suharto gagal dalam menangkap Tan Malaka, maka bergeraklah pasukan dari kesatuan- kesatuan Pesindo JaTim dan berhasil membebaskan Sjahrir. Dengan berhasilnya kesataan Pesindo menggagalkan kup Tan Malaka ini maka prestise Pesindo menjadi sangat tinggi di kalangan laskar bersenjata.

Dari kesatuan-kesatuan Pesindo yang ada maka kesatuan ‘Divisi Surabaya’ (JaTim) adalah yang terkuat. Perbandingan antara bedil dan orang adalah satu banding empat (di dalam divisi Nasution/JaBar, pada waktu itu, hanya terdapat seratus pucuk senjata). Dengan demikian kekuatan tempur riel (artinya; satu orang dengan satil bedil) adalah kurang lebih satu resimen (=3 batal yon = 3×800 orang) denagan Overste (letKoI) Sidik Arselan sebagai komandan. Setelah re-ra, kesatuan mi menjadi Be (Brigade) 29 dengan Overste Moliammad (Aldimad) Dablan sebagai komandan, yang belakangan menjadi tulangpunggung dalam Perlawanan Madiun.

Untuk menentukan garis barunya, Sayap Kiri pada tanggal 26 Februari 1948 mengadakan
kongres di Solo. Kongres memu tuskan untuk membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Setelah kongres cabang-cabang FDR segera terbentuk di kota-kota kabupaten seluruh daerah Republik, terutama di JaTim dan Jateng. FDR beranggotakan, pada pokoknya, sama dengan keanggotaan Sayap Kiri.

Setelah terbentuknya FDR ini, dalam pidato-pidato pimpinan FDR (Amir, Maruto Darusman, Setiadjid dan yang lain-lain) di berbagai tempat, sasaran serangan hanya ditujukan kepada Masyumi, terutama terhadap Sukirnan sebagai menteri dalam negeri. Sedangkan masalah yang diangkat adalah soal berbagai macam pajak. FDR mengandalkan kekuatannya pertama, pada kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI dan ini memang cukup besar jumlahnya dan kedua, pada kekuatan bersenjata yang
dimilikinya.

Kekuatan bersenjata yang diandalkan ini terutama laskar bersenjata Pesindo dan di samping itu FDR masih dapat memperhitungkan simpati-simpati sejumlah besar perwira yang mempunyai kedudukan kunci di dalam TNI (tentara resmi Pemerintah) dan TNI-Masyarakat terhadap FDR.

Dengan terbentuknya Sekretariat yang baru dari FDR maka tenaga Sekretariat kebanyakan diisi oleh tenaga muda, antara lain seperti Sudisman, Aidit, Njoto dan Lukman yang belakangan dipindah ke majalah Bintang Merah. Sebagai ilustrasi, dapat dikatakan di sini, bahwa kesatuan empat serangkai Aidit-Lukman- Njoto-Sudisman telah terbentuk sejak masa Sekretariat FDR ini. Belakangan, mereka berempat
beserta sejumlah orang muda yang lain menyebut dirinya "kekuatan baru" atau "generasi baru".

Sejak Republik baru berdiri grup Tan Malaka selalu bertindak sebagai fihak oposisi terhadap Pemerintah, di samping sebagai grup anti-Komunis. Dalam menghadapi kabinet Hatta, grup Tan Malaka bersikap mendukung pemerintah Hatta dan bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang didirikan pada tanggal 6 Juni 1948. Karena grup Tan Malaka mendukung kabinet Hatta, maka sebagal ‘hadiah’ semua tahanan kup 3 Juli, yang semuanya adalah pendukung Tan Malaka, termasuk Tan Malaka sendiri, dibebaskan oleh Hatta dengan alasan pengadilan tiada bukti.

Banyak anggota FDR yang merasa kecewa terhadap persetu juan Renville, penarikan TNI dari kantong-kantong dan di atas semuanya adalah pengunduran diri Kabinet Amir, yang dipandan merupakan Iangkah yang salah. Tetapi karena, di muka mata angggota maupun pimpinan FDR, otoritas Amir Sjanfudin sangat tinggi maka semua kesalahan bukan ditimpakan kepada Amir. Kesalahan ditimpakan kepada ‘policy maker’, yaitu lingkaran dalam Amir dari Dewan-Partai Partai Sosialis yang sebagian anggotanya berasal dari Politbiro CCPKI-ilegal yang dipimpin oleh Tan Ling Djie.

Dalam situasi Sayap Kiri, dan selanjutnya FDR, sedang diselimuti oleh pertentangan intern yang menyangkut masalah pokok revoIusi yang belum dapat terselesaikan dan sebagian anggota maupun pimpinan FDR terkena kekecewaan, maka pada tanggal 11 Agustus datanglah Muso.

Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok berhasil terus meng giring pasukan Chiang Kai-shek menuju ke selatan. Pasukan Vietminh, di bawah pimpinan Partai Bur Vietnam, telah setahun berhasil mempertahankan perjuangan bersenjatanya melawan agresor Perancis. Kaum gerilya Hukbalahap di Filipina, yang berpusat di Luzon Tengah, telah memperluas operasinya. Di Malaya, di samping kaum buruh melakukan pemogokan besar- besaran, pada bulan Juni 1948 Partai Komunis Malaya melancarkan pemberontakan bersenjata melawan penjajah Inggris.

PK Birma yang dipimpin oleh Thakin Than Tim, menolak persetujuan perjajian Inggris-Birma yang ditandatangani oleh U Nu pada bulan Januari 1948; oleh Thakin Than Tim bersama Partainya, pemerintah U Nu disebut sebagai "alat imperialis Ingrris" dan diserukan untuk menggulingkannya; pada bulan Maret Thakin memimpin Partai melancarkan perjuangan bersenjata.

Pada bulan Februari di Kalkuta diadakan "Konferensi Pemuda Mahasiswa Asia yang beijuang untuk Kebebasan dan Kemerdekaan". Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil antara lain dan Tiongkok, Birma, Malaya, Indonesia.

Seiring dengan perkembangan gerakan revolusioner di ber bagai negeri itu, Amerika Serikat berusaha mencari tumpuan di mana-mana, termasuk di negeri-negeri Asia yang berbatasan dengan Lautan Teduh. Indonesia yang mempunyai letak strategis dan kaya alamnya dipandang oleh Amerika sebagai tempat yang masih ‘kosong’. Sejak 17 Agustus 1945 Amerika melihat suatu kenyataan bahwa di Indonesia telah lahir sebuah Republik yang didukung oleh seluruh rakyat.

Bukan karena kebaikan hati Amerika bilamana Amerika cenderung "merestui" lahirnya Republik
ini. Sebab bilamana penjajah Belanda sampai kembali menguasai Indonesia maka, menurut Amerika, keadaan di indonesia takkan pernah tenteram. Situasi Indonesia yang demikian takkan menguntungkan "strategi sedunia" Amerika. Maka bagi Amerika akan lebih menguntungkan bilamana Indonesia menjadi negeri yang merdeka, tetapi dikuasai oleh orang yang dapat dikendalikan oleh Amerika. Beruntunglah Amerika, karena di Indonesia muncul orang yang dikehendakinya, yaitu Mohamad Hatta.

Setelab FDR berdiri dan mulai aktif, usaha pertama yalah mengadakan turne, penjelasan keliling ke daerah-daerah. Penjelasan keliling ini antara lain dilakukan oleh: Amir Sjarifiidin (Partai Sosialis), Luat Siregar (PKI), Setiajid (PBI) dan Krissubanu (Pesindo). Dalam rapat-rapat umum yang diadakan waktu penjelasan keliling ini wakil-wakil FDR menjelaskan kepada rakyat tentang politik FDR; sikap clan pembelejetan terhadap pemerintah Hatta, khususnya masalah re-ra dalam Angkatan Perang; menjawab fitnahan-fitnahan kaum reaksioner, khususnya Murba; yang memalsu dokumen FDR; dan tuntutan berdirinya Front Nasional.

Di samping penjelasan keliling sebagai kegiatan FDR, kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI juga mengadakaan aksi, a.l. tuntutan kenaikan jaminan sosial oleh anggota Sarbupri/Sobsi Delanggu/Solo.

Pada tanggal 2 Juli 1948, jam 8 malam, Sutarto, Komandan Divisi Pertempuran Panembahan Senopati (DPPS), secara pengecut ditembak dari belakang. Penembakan terhadap Sutarto dengan cara demikian ada yang menyebut "rasionalisasi dengan cara lain".

Pada bulan Mei 1948, berdasar peraturan rasionalisasi, Sutarto yang divisinya kompak dan persenjataannya cukup baik, dinayatakan non-aktif dan pasukannya diperintahkan melapor kepada Markas Besar di Yogya. Sutarto bersama komando bawahannya menentang perintah Markas Besar ini.

Sikap Sutarto beserta perwiranya ini didukung oleh kekuatan Kiri di Solo beserta laskar- laskar yang
menentang re-ra. Untuk menyatakan dukungannya, pada tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, di Solo terjadi demonstrasi protes yang besar menentang re-ra pemerintah Hatta. Demonstrasi ini juga diikuti oleh parade, sekaligus protes, oleh beberapa batalyon bersenjata lengkap dan berat dari Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dalam parade dan demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap kelanjutan Sutarto sebagai komandan divisi dan tuntutan agar Pemerintah membatalkan re-ranya.

Pada bulan Juli di dalam Divisi IV diadakan ‘reorganisasi sendiri’. Divisi IV berubah nama menjadi ‘Divisi Pertempuran Panembahan Senopati’ (DPPS). ‘Reorganisasi sendiri’ yang diadakan oleh Panembahan Senopati ini jauh dari keinginan, apalagi melegakan, Hatta dan Nasution di Yogya. Sebab: jumlah anak buah, personalia dan kedudukan komandan dan pembagian senjata di dalam DPPS adalah
sama dengan di dalam Divisi Panembahan Senopati yang semula.

Setelah Sutarto tertembak, komandan DPPS dipegang oleh LeKol Suadi.

Mengenai rasionalisasi di kalangan Angkatan Bersenjata, pa- da tanggal 2 September 1948, Hatta di muka sidang BP-KNIP menyatakan antara lain bahwa: "Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata…; "… berpedoman kepada cita-cita "satu tentara, satu komando"; "… dalam bentuk dan susunan yang efektif’; "… mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil". Fikiran Hatta ini tidak jatuh dari langit. Beberapa peristiwa yang dapat dicatat adalan sebagai berikut.

Pada Het Corps Algemene Politie te Batavia laporan yang sangat rahasia bertanggal 1 April 1948 dan berbunyi antara lain sebagai berikut: "Sementara itu telah diadakan pertemuan rahasia antara Graham, Sukarno dan Sukiman. Graham menyatakan, bahwa Indonesia dianggap layak untuk dimasukkan dalam pelaksanaan bantuan rencana Marshall (Marshall-plan) untuk Asia Tenggara dan agar supaya
pemerintah membendung semua kegiatan Sayap Kiri".

Untuk pelaksanaan rasionalisasi di kalangan angkatan bersenjata pada tanggal 8 Mei 1948 telah diadakan rapat Dewan Siasat Militer yang dihadiri oleh Hatta bersama pimpinan Angkatan Bersenjata: Sudirman, Nasution, Latif, Subijakto dan Surjadarma.

Dalam rapat ini dibicarakan dua hal. Pertama, yang disetujui oleh semua yang hadir, TNI-Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. Mengenai soal ini Nasution berpendapat, bahwa TNI- Masyarakat pada prinsipnya telah dibubarkan. Kedua, Hatta bersedia memberikan basis militer kepada Amerika, yang ditukar dengan senjata. RI yang belum berumur tiga tahun ini oleh Hatta telah dijual kepada Amenika.

Seiring dengan peristiwa itu John Coast, G. Hopkins dan 5 orang "diplomat" Amerika Iainnya dipindalikan dari Bangkok dan New Delhi ke ibukota RI. Pemindahan mereka ini bukan kebetulan.

Pada tanggal 21 Juli 1948 secara rahasia telah diadakan pertemuan di hotel "Huisje Hansje" Sarangan (Madiun). Pertemuan itu dihadiri oleh: Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (wakil baru Amerika, pengganti Graham, dalam Komisi Jasa-jasa Baik), Sukarno, Hatta, Sukiman (ketua Masyumi dan menteri dalam negeri), Mokhamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto (menurut: Roger Vailland dalam buku "Borobudur"). Dalam pertemuan ini tidak hadir orang dari PNI.

Dalam pertemuan Sarangan ini, yang belakangan terkenal dengan sebutan "Perundingan Sarangan", dihasilkan "Red Drive Proposals" atau usul-usul Pembasmian Kaum Merah" Setelah pertemuan Sarangan ini, atas laporan Cochran, State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) berpendapat bahwa
posisi Hatta harus cepat diperkuat agar supaya dapat menahan perkembanaan Komunisme.

Setelah pertemuan Sarangan ini pula Kepala Polisi Sukanto dikirim ke Amerika untuk mengurus bantuan. Temyata tidak tanggung-tangggng bantuan yang diterima oleh Hatta: 56 juta dollar AS dari State Department Amerika. Uang ini oleh Hatta antara lain untuk memperlengkapi pasukanan dalam Pemerintah, divisi Siliwangi. Jadi kalau Hatta di depan BP-KNIP mengajukan masalah: "Mestikah kita bangsa Indonesia, yang mem perjuangkan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Arnerika?”,. maka jawabnya yalah peristiwa- peristiwa di atas.

Dalam bulan Agustus, tanpa kehadiran Panglima Sudirman, pimpinan angkatan darat mengadakan sidang. Sidang itu mensinyalir adanya "ancaman" PKI terhadap jalan perundingan dengan Belanda, keamanan dalam negeri dan rasionalisasi. Dalam sidang itu Nasution menyatakan kesediaannya menggunakan divisi Siliwangi untuk menghancurkan pengaruh Komunis.

Dalam pidato di muka BP-KNlP mengenai rasionalisasi Hatta juga menyatakan, bahwa:"… di sinilah terdapat pemakaian tenaga yang tidak lagi produktif.."; "…angkatan perang yang jumlahnya 463.000 orang tidak dapat dibelanjai oleh negara… Rasionalisasi yang kita tuju yalah penyempurnaan dan pembangunan yang meringankan beban masyarakat beserta mengurangkan penderitaan rakyat". Alasan yang nampaknya logis dan menarik ini sebenarnya hanya dalih. Sasaran tombak reorganisasi dan rasionalisasi Hatta tetap pada pasukan yang berbau "Kiri".

Ide Hatta-Nasution mengenai re-ra dan pembentukan "tentara yang efektif" sebenarnya bertolak dari persekutaan, yang dimulai sejak berdirinya kabinet Hatta pada Januari 1948, antara politisi yang pro Amerika yang dipelopori oleh Hatta dan Masyumi di satu fihak dan para perwira "profesional" yang
dipelopori oleh Nasution dan Simatupang di fihak lain.

Tujuan bersama persekutuan itu yalah melaksanakan ide: mendemobiliser laskar "yang sedikit banyak dipengaruhi oleh organisasi Komunis"; menyingkirkan perwira-perwira yang "tidak dapat dipercaya"; posisi pimpinan hanya diberikan kepada "perwira-perwira profesional" dan tipe tentara mendatang yang dikehendaki yalah tipe tentara Divisi Siliwangi (yang notabene dipimpin oleh Nasution) dan Corps Polisi Militer (yang dipimpin oleh Gatot Subroto).

(dokumen resmi DN Aidit, jang disimpan dalam perpustakaan pribadi dan resmi milik seksi Agitasi dan Propaganda/Agitrop PKI, keluaran tahun 1962)

[1] Untuk lebih jelasnya sikap saya, saya akan lampirkan pidato saya pada saat sidang parlemen di tahun 1958, dimana saya mengkritik kebijaksanaan Hatta terhadap peristiwa Madiun, isi pidato itu saya lampirkan setelah dokumen peristiwa Madiun.