Haji Agus Miftach dilahirkan di Desa Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah pada tanggal 15 Mei 1956 dari pasangan Kyai Haji Achmad Riffa’i dan Hajjah Istiqomah (almarhumah), dengan nama lengkap Agus Miftach Santoso Achmad. Terlahir sebagai putra kelima dari keenam bersaudara yang selain Agus Miftach kesemuanya perempuan.
Dibesarkan dilingkungan dengan tradisi Islam yang kental di desa yang didirikan oleh Sunan Bonang awal abad 16, dan menjadi domisili Sunan Bonang sewaktu beliau berada di Demak mendampingi Sultan Bintoro Demak bersama Wali Songo. Di kampungnya Agus Miftach kecil yang memiliki nama panggilan Santo yang terkenal dengan kenakalannya, mulai belajar agama pada Kyai Sofwan dan belajar membaca Al-Qur’an kepada Haji Fauzan, disamping Sekolah Dasar di desanya. Setelah itu Agus Miftach belajar agama di Pondok Pesantren Al-Fatah di kota Demak yang diasuh Kyai Cholil sambil melanjutkan sekolah umum. Agus Miftach kemudian ke Situbondo, melanjutkan belajar agama kepada Kyai As’ad Syamsul Arifin dan belajar tata-bahasa Arab kepada Ustadz Anwar. Meskipun tak lupa melanjutkan pendidikan umum, Agus Miftach agak skeptis dengan jenis pendidikan umum formal yang dinilainya tidak banyak berguna. Dalam petualangan remajanya itu Agus Miftach sempat mempelajari Agama Nasrani dari Pendeta Gereja Bethel Chr.Mgr. Chandra Buana di kota Situbondo. Bahkan Agus Miftach tinggal di gereja itu selama kurang lebih 2 tahun.
Masjid Agung Demak—Salah satu tempat belajar agama
Pada th. 1975 Agus Miftach meninggalkan Situbondo ke kota Yogyakarta. Di kota kebudayaan itu Agus Miftach belajar musik di Akademi Musik, tapi kemudian lebih dekat dengan sosok maestro Kusbini (almarhum) yang mendirikan Sanggar Olah Seni Indonesia (SOSI). Pada masa itu Agus Miftach mulai terlibat dalam berbagai kegiatan pemuda dan mahasiswa di Yogyakarta yang bersifat anti-eshtablishment.
Th. 1976 Agus Miftach meninggalkan Yogyakarta menuju kota kecil Ungaran, dan dari kota inilah karier politik Agus Miftach dimulai. Ia terpilih sebagai Sekretaris MWC NU Kecamatan Ungaran, selanjutnya menduduki jabatan Sekretaris Korcam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) Kec. Ungaran dan Ketua Dewan Pemuda PPP Cabang Kabupaten Semarang. Memasuki pemilu 1977 Agus Miftach terpilih sebagai Ketua DPC PPP Kabupaten Semarang, terlepas dari DPC PPP Kodya Salatiga yang diketuai Mathori Abdul Djalil. Menjelang hari pencoblosan Agus Miftach ditangkap oleh konspirasi anasir Komunis dalam PPP dengan Dan Dim Salatiga Letkol Agus Sutrisno yang memiliki hubungan khusus dengan Mathori Abdul Djalil, dengan tuduhan mengadakan kampanye tanpa ijin yang isinya dianggap menentang pemerintah Orde Baru.
Setelah dibebaskan dari tahanan politik oleh Panglaksusda Jateng & DIY Mayjend Soekotjo, Agus Miftach kembali berkiprah di PPP dengan dukungan kader-kader muda, a.l. Koentiyo Edi Soetjipto (almarhum) dan Ahmad Turmudzi.
Th. 1978 Agus Miftach ditunjuk empat parpol Islam yang berfusi kedalam PPP sebagai Ketua Panitya Reshuffle DPW PPP Jawa Tengah. Pada tahun yang sama (1978) Agus Miftach menentang kepemimpinan PWNU Jawa Tengah dibawah pimpinan Imam Sofwan-Karmani karena kedekatan mereka dengan kelompok kiri. Sebagai catatan Karmani adalah adik kandung Mayor Kartawi Komandan Revolusi G.30.S/PKI Jawa Tengah. Agus Miftach bersama para ulama dan dukungan Cabang-cabang kemudian membentuk PWNU Jawa Tengah yang baru dan terpilih sebagai Ketua Tanfidhiyah. Sebagai Ro’is Syuriyah dipilih K.H. Maesur Djufri Abdul Djalil.
Th. 1979 Agus Miftach terpilih oleh eks partai-partai Islam yang befusi kedalam PPP menjadi Ketua DPW PPP (Partai Persatuan Pembangunan) Jawa Tengah, menyingkirkan Imam Sofwan dan Karmani yang juga mendominasi PPP Jawa Tengah waktu itu. Pada tahun yang sama (1979) Agus Miftach dipilih oleh eks parpol-parpol Islam yang berfusi kedalam PPP tingkat pusat untuk menjabat Sekretaris Jenderal Komite Pembaharuan Pusat PPP di Jakarta.
Th. 1980 Agus Miftach dalam usia 24 tahun terpilih sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan menggantikan Mintareja SH. Agus Miftach mendapat dukungan kuat kalangan muda NU, Syarikat Islam, Perti, Al-Ittihadiyah, Al-Washliyah dan berbagai kalangan ormas Islam yang kecewa dengan kepemimpinan kalangan tua di PPP waktu itu. Agus Miftach secara resmi menemui Wakil Presiden Adam Malik dan Sekjen Depdagri R. Soeprapto untuk memberitahukan pergantian kepemimpinan PPP. Tetapi menjelang Pemilu 1982, Presiden Soeharto menyatakan tidak mengakui kepemimpinan Agus Miftach dan mengangkat John Naro sebagai Ketua Umum PPP yang baru. Segera setelah pelantikan Naro oleh pemerintah Orde Baru, dua kader muda PPP Syarifuddin Harahap dan BT. Achda menentang kepemimpinan John Naro dan menyulut pergolakan politik internal PPP. Wakil Sekretaris FPP DPR RI Bachtiar Soetijono dari Jawa Timur dan sejumlah anggota DPR dari PPP menyokong pembangkangan Syarifuddin-Achda yang belakangan menyatu dengan gerakan pembaruan Agus Miftach. Betapapun John Naro yang pernah menjadi pengacara PKI dalam kasus Bandar-Betsy yang menewaskan Peltu Sujono itu tetap ditolak dalam PPP. Tapi inilah strategi penguasa-Orde Baru untuk mengecilkan PPP dan membuatnya tetap terkontrol dan bergantung pada belas kasihan penguasa. Dengan modus yang berbeda hal serupa dialami pula oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan rakayasa politik semacam itu penguasa Orde Baru ingin terus-menerus memelihara mayoritas tunggal Golongan Karya sebagai instrumen politik kekuasaan.
Th. 1983, kecewa terhadap kepemimpinan NU yang dianggap plin-plan, Agus Miftach menemui Kyai As’ad Syamsul Arifin di Asembagus, Situbondo. Atas dukungan Kyai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kyai Machrus Ali (Kediri), Kyai Ali Ma’shum (Yogyakarta), Kyai Mustamid Abas (Cirebon) dan Kyai Masykur (Jakarta), Agus Miftach mendirikan Lajnah Pusat Nahdlatul ‘Ulama dan memecat KH. Idham Chalid dari Ketua Umum PBNU, menyusul terjadinya pergolakan internal NU yang terpolarisasi menjadi kubu Cipete (Idham Chalid) vs kubu Situbondo (Kyai As’ad) yang berakhir dengan kekalahan kubu Cipete di Munas ‘Ulama’ NU 1983 dan Muktamar NU 1984 di Situbondo yang menunjuk KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Ketua Umum PBNU dengan dukungan Jenderal LB Moerdani orang kuat dalam pemerintahan waktu itu. Gus Dur bersahabat dengan Agus Miftach sejak th. 1978 hingga sekarang. Meskipun sering berjauhan dalam peran politik masing-masing, tetapi hubungan pribadi mereka senantiasa hangat.
Pada th. 1985 tiga ratus DPC PPP dari berbagai daerah tiba di Jakarta. Diantara mereka adalah utusan Jawa Barat yang disertai massa pendukung. Dibawah pimpinan dua kader muda Hotma Tarapul (Wkl. Ketua FPP DPRD I Jabar) dan Nu’man Abdul Hakim (kemudian Wagub Jabar) mereka menduduki gedung DPP PPP di Jl. Diponegoro 60, Jakarta, yang dipertahankan oleh para pendukung DPP lama atas nama asas legalitas yang waktu itu dianggap dimiliki John Naro berdasarkan pengakuan pemerintah. Para delegasi DPC PPP itu kemudian mengadakan Muktamar di Bogor, memecat John Naro ketua umum dukungan penguasa Orde Baru, dan memilih H. Nuddin Lubis serta Sudardji menjadi Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum PPP, sementara Haji Agus Miftach dipilih sebagai Ketua Harian PPP. Tetapi menjelang Pemilu 1987 kembali Presiden Soeharto menyatakan bahwa pemerintah Orde Baru hanya mengakui PPP pimpinan John Naro. Bukan hanya itu, atas perintah Pangab/Ketua Bakorstanas Jenderal LB Moerdani, Agus Miftach ditangkap bersama anggota DPR RI dari Syarikat Islam, Djohan Burhanuddin yang memang selalu menyokong gerakan Agus Miftach. Dalam periode 1976 hingga 1987 Agus Miftach memang tercatat beberapa kali ditangkap oleh penguasa Orde Baru.
Th. 1988, Presiden Soeharto melantik Haji Agus Miftach sebagai Ketua Umum Bina Lingkungan Hidup Indonesia, dalam suatu upacara Pekan Penghijauan Nasional di Blitar yang dihadiri Pangab, semua menteri, pejabat negara dan semua gubernur propinsi dari seluruh Indonesia. Posisi ini membawa Agus Miftach sangat dekat dengan Soedjarwo, salah satu tokoh kunci kekuasaan Soeharto. Setelah itu Agus Miftach tenggelam dalam organisasi lingkungan hidup dan kehutanan ini. Tetapi sebagai politisi sesungguhnya ia tidak pernah padam. Hal itu tampak dalam tulisan-tulisannya di berbagai media massa.
Desember 1994 Agus Miftach terang-terangan mendukung Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) di Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya-Jawa Barat, menghadapi operasi Naga Hijau penguasa Orde Baru yang dijalankan KASAD Jenderal Hartono pada waktu itu dan Siti Hardiyanti Hastuti (mbak Tutut-putri sulung Presiden Soeharto) yang bertujuan menyingkirkan Gus Dur dari NU. Tetapi Muktamar NU tetap memilihnya dan Januari 1995 Gus Dur dilantik Muktamirin sebagai Ketua Umum PBNU, dalam keadaan nyaris terguling oleh orang dukungan penguasa, Abu Hasan. Betapapun ini suatu kemenangan Nahdliyin.
Pada th. 1996 Haji Agus Miftach bersama Ridwan Saidi membuat tindakan yang menggemparkan dengan mendirikan Masyumi Baru sebagai gerakan politik, sementara Partai Masyumi berstatus terlarang. Nuansa politik dalam tindakan ini adalah perlawanan terhadap rejim dictarorial Soeharto yang melarang partai politik selain tiga parpol yang diundangkan penguasa, yaitu PPP, PDI dan Golkar.
Tgl. 14 Mei 1998 ditengah kerusuhan dan gejolak politik yang melanda Jakarta, Agus Miftach memimpin delegasi LSM menemui Pimpinan FKP DPR RI yang diwakili oleh Syamsul Muarif, Mahadi Sinambela dan sejumlah pimpinan fraksi di gedung DPR RI dalam suasana yang mencekam. Dalam pertemuan itu intinya Agus Miftach menegaskan bahwa Rakyat Indonesia menginginkan agar Presiden Soeharto segera mundur. Setelah pertemuan itu ternyata Agus Miftach dkk ditahan pihak keamanan DPR yang tampak dikendalikan oleh petugas-petugas paspampres. Tetapi beberapa jam kemudian rombongan Agus Miftach dilepas.
Th. 1998 bersama Prof. Soebroto, Haryadi Darmawan, Sri Edi Swasono dan YB. Mangunwijaya dll, Haji Agus Miftach mendirikan Gerakan Reformasi Nasional dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal pertama organisasi itu. Pada masa gejolak politik untuk menjatuhkan Presiden Soeharto itu, Haji Agus Miftach bersama GRN berada di garda depan dengan mengerahkan massa mahasiswa, pemuda dan LSM ke gedung MPR/DPR pada 16-18 Mei yang berakhir dengan mundurnya Presiden Soeharto, 21 Mei 1998.
Soeharto mundur, 21 Mei 1998
Pada bulan Nopember 1998 terjadi gejolak politik menentang SI MPR 1998 yang di gelar rejim Habibie untuk melegitimasi posisinya sebagai Presiden pengganti Soeharto. Agus Miftach memimpin massa diseputar Semanggi yang waktu itu telah dipadati puluhan ribu massa mahasiswa, pemuda dan rakyat yang bercampur baur kacau. Tujuan gerakan itu ialah menduduki gedung MPR, membatalkan SI MPR, membubarkan pemerintah Habibie yang dianggap tidak legitimated dan mengangkat sebuah Presidium pemerintahan baru. Agus Miftach meski tidak yakin dengan tujuan itu, untuk menghindari bentrokan telah meminta Pangdam Jaya waktu itu Mayjend Djaja Suparman dan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nugroho Jayusman agar membuka blokade Semanggi. Tetapi dengan tegas Mayjend Djaja Suparman menolak permintaan itu dengan alasan mencegah bentrok yang lebih besar antar massa dan agar konstitusi dapat berjalan. Sebagaimana diketahui atas provokasi berbagai pihak, peristiwa ini kemudian berakhir dengan kerusuhan disertai korban jiwa diantaranya para mahasiswa (Peristiwa Semanggi I). Sementara SI MPR terus berjalan, menghasilkan sejumlah TAP MPR menjadi dasar reformasi politik. Diantara TAP MPR itu adalah percepatan Pemilihan Umum th. 1999 (seharusnya 2002) yang KPU-nya ternyata kemudian dipimpin Haji Agus Miftach dkk.
Kerusuhan Semanggi, Nopember 1998
Pada tahun yang sama (1998) Agus Miftach bersama Rozy Munir, Achmad Bagdja dan Sa’id Agil Siradj menyusun rencana pendirian Partai Politik bagi warga NU yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Rencana itu diajukan kepada Gus Dur, waktu itu Ketua Umum PBNU. Gus Dur menyambut baik dengan catatan ketua umum-nya harus Mathori Abdul Djalil. Ini mengakibatkan Tim-4 orang itu bubar. Alasan Gus Dur memilih Mathori sangat misterius. Belakangan Gus Dur mengungkapkan bahwa ia merasa iba atas nasib yang menimpa seseorang yang ayahnya tewas dibunuh massa NU karena terlibat PKI. Untuk menebus keterlanjuran massa NU tsb, Gus Dur mengangkat orang tersebut menjadi pimpinan PKB. Tetapi Gus Dur kecewa karena orang itu kemudian berkhianat.
Pada tahun itu juga (1998) Agus Miftach mendirikan Partai Lingkungan Hidup Indonesia kemudian berubah menjadi Partai Rakyat Indonesia (PARI) dimana ia menjabat sebagai Ketua Umum, didampingi dua orang bekas tokoh senior PPP, KH. Ali Imran Kadir sebagai Ketua dan KH. Djamaluddin Tarigan sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat.
Masih dalam 1998 Agus Miftach bersama Ketua Umum Partai Perempuan La Rose dan Ketua Umum Partai Islam Demokrat (PID) Andi Rasyid Djalil menyelenggarakan Kongres Nasional Partai-partai Politik (KNPP) yang menghasilkan Dewan Nasional Partai-partai Politik (DNPP) dan memilih Agus Miftach menjadi Ketua Umum-nya. DNPP merupakan kubu politik yang cukup kuat dan besar kontribusinya dalam tahap awal proses reformasi demokrasi.
Ketua Harian KPU/Ketua PPL KH. Agus Miftach (ketiga dari kiri) tengah memimpin Rapat Pleno KPU yang dihadiri Kaster TNI Letjen Agus Wijoyo (kedua dari kiri), dengan didamping Wakil Ketua PPL Beny Fatah Akbar (paling kiri) dan Sekretaris PPL Bambang Mintoko (paling kanan), sekitar September 1999, di Ruang Rapat Utama Gedung KPU.
Pada tgl. 11 Maret 1999 Haji Agus Miftach dilantik Presiden BJ. Habibie di Istana Negara mewakili partainya (PARI) duduk sebagai anggota KPU bersama 47 wakil parpol peserta pemilu dan 5 wakil pemerintah, dan kemudian menjabat sebagai Ketua Harian KPU (Komisi Pemilihan Umum) merangkap Ketua Panitya Pemilu Lokal KPU. Sebagai Ketua KPU (kemudian non-aktif) adalah Jenderal (Purn) Rudini. Keanggotaan KPU waktu itu terdiri perwakilan 48 parpol peserta pemilu, diantaranya Rudini dari Partai MKGR, Edwin H. Sukowati dari Partai Nasional Demokrat (PND), Sri Bintang Pamungkas dari Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), Beny Fatah Akbar dari Partai Pekerja Nasional (PPN), Hadijoyo Nitimhardjo dari Partai Murba, Henry Kuok dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), Askodar dari PPII Masyumi, Abdurrahman Saleh dari Partai Bulan Bintang, Hasballah M Saad dari Partai Amanat Nasional (PAN), Mahadi Sinambela dari Partai Golkar, Jacob Tobing dari PDIP, Yahya Staquf dari PKB, Bambang Sulistomo dari PADI dll serta 5 wakil pemerintah, yaitu Adnan Buyung Nasution, Affan Gaffar, Adi Andoyo, Oka Mahendra dan Andi Malarangreng.
Logo Komisi Pemilihan Umum 1999
KPU telah sukses menyelenggarakan Pemilu 1999 dengan manajemen yang bersih. Berbeda dengan semua Pemilu Indonesia yang lain, maka Pemilu multipartai pertama reformasi yang monumental ini dibiayai sepenuhnya oleh UNDP (United Nation Development Program) suatu badan bantuan PBB untuk program pembangunan. Bahkan pada akhir tugasnya yang dipaksakan pada th. 2000, KPU masih menyetor kepada APBN sebesar Rp. 400 milyar sebagai sisa anggaran Pemilu. Sekretaris Umum KPU pada waktu itu ialah Amur Muchasim. Tidak jelas apa alasannya, SU MPR Desember 1999 pimpinan Amien Rais dkk merubah susunan KPU menjadi non-parpol. Ini berakibat pembubaran KPU Agus Miftach dkk pada tgl. 7 Juni 2000, yang seharusnya memiliki masa jabatan sampai th. 2003. Dibentuk KPU baru yang bersifat non-parpol, terdiri para professor dan intelektual dari beberapa perguruan tinggi dengan Ketua Prof. Nazaruddin Syamsudin, yang ternyata justru merupakan hambatan terbesar dalam proses demokrasi, terutama moral demokrasi. Terjadi skandal korupsi besar-besaran yang melibatkan Ketua, anggota, Sekretaris Umum dan para staf KPU. Mereka kemudian ditangkap dan diadili serta dijatuhi hukuman sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Th. 2003, Haji Agus Miftach mendirikan Partai Persatuan Indonesia yang kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Rakyat Indonesia (PPRI) dimana ia bertindak sebagai Ketua Umum. Konspirasi politik dalam pemerintahan yang dipelopori seorang anak PKI yang menjadi menteri dari Partai Islam telah menggagalkan PPRI menjadi parpol perserta Pemilu 2004. Agus Miftach kemudian menghimpun parpol-parpol yang gagal atau digagalkan sebagai parpol peserta pemilu 2004 dan parpol-parpol peserta pemilu 1999 yang tidak mencapai electoral treshold, sejumlah ormas dan LSM, jumlahnya mencapai 50 organisasi lebih, pada th. 2003 bergabung menjadi satu ormas besar dengan nama FRONT PERSATUAN NASIONAL dimana Haji Agus Miftach menjabat sebagai Ketua Umum dan Yani Wahid (alm) Ketua Umum Partai Republik sebagai Sekjen. Dalam posisi sebagai Ketua Umum FPN itulah Haji Agus Miftach sejak th. 2004 menyelenggarakan program Pengajian Tauhid Wahdaltul Ummah yang berlangsung rutin setiap Jum’at malam, diikuti aneka ragam tokoh dari berbagai kalangan, aliran sosial dan politik, lintas budaya dan agama, termasuk tokoh-tokoh yang tadinya berseberangan dalam arena politik, menjadikannya forum paling dinamik dan kaya pemikiran, seperti obor penerang di zaman gelap. Dari forum ini lahir pemikiran-pemikiran dan gerakan tajdid (pembaruan) yang menerobos kebuntuan ortodoksi yang membelenggu umat menuju pembebasan pemikiran dan dinamika peradaban baru.
Sejak 18 Januari 2007 diluncurkan produk baru dari FPN berupa serial Dialog Kebangsaan yang diikuti hampir semua aliran sosial politik, dan sudah berlangsung empat kali, yaitu 18 Januari, 5 April dan 10 Mei dan 26 September 2007 sebagai upaya pencerahan kehidupan bangsa yang kusut, serta untuk membangun daya pemikiran bagi harapan-harapan baru kedepan. Sejumlah tokoh-tokoh nasional yang pernah hadir dalam Dialog Kebangsaan a.l. KH. Abdurrahman Wahid, Agum Gumelar, Akbar Tanjung, Marwah Daud, Hadi Utomo, Jumhur Hidayat, dan masih banyak lagi.
Dimutakhirkan di Jakarta, Desember 2007. Dihimpun dari berbagai sumber oleh: Sekretariat Jenderal Badan Pekerja Pusat Front Persatuan Nasional.
Tim Penyusun,
MATSANI-JULIANI-ARIEF