Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Abdil Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Al-Khadr bin Muhammad bin Al-Khadr bin Ali bin Abdillah bin Taimiyah An-Namiri Al-Harrani Ad-Dimasyqi. Lahir di kota Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awal 661 Hijriyah. Kakeknya yang bernama Abu Al-Barakat Majduddin Abdissalam bin Abdillah adalah seorang ahli fiqh dan ahli hadits. Ayahnya yang bernama Syihabuddin Abu Al-Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam belajar fiqh kepada bapaknya sampai menguasainya kemudian mengajar, memberi fatwa dan mengarang sehingga menjadi syaikh didaerahnya. Orang yang mempelajari biografi Ibnu Taimiyah akan mengetahui bahwa ia tidak menikah. Ia telah meninggalkan sunnah besar ini meskipun ia adalah orang yang paling menjaga sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam. Hal in disebabkan ia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menikah dalam hidupnya. Ia terus berada dalam suatu peperangan menuju peperangan lainnya, dari suatu penjara ke penjara lainnya dan dari suatu perdebatan ke perdebatan lainnya. Ibnu Taimiyah merupakan ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu yang memiliki kecerdasan luar biasa dan termasuk ulama terkemuka yang mengamalkan ilmunya, berdakwah dan berjihad.
Perkembangan Hidup dan Upayanya dalam Mencari Ilmu
Syaikh Al-Islam mulai belajar agama saat ia masih kecil. Ia belajar kepada lebih dari dua ratus guru. Allah telah memberikan kepadanya akal yang sangat jenius dan hati yang bersih. Beliau berkembang dalam penjagaan yang sempurna dan sederhana dalam pakaian dan makanan. Ia terus melakukan demikian sampai akhir hayatnya. Guru Ibnu Taimiyah yang mengajarkannya Al-Qur’an menceritakan bahwa ayah Ibnu Taimiyah berkata kepadanya –saat itu Ibnu Taimiyah masih kecil-, “Aku ingin agar Anda menasehatinya dan menjanjikan kepadanya, jika ia terus belajar dan membaca Al-Qur’an maka ia akan diberi uang sebanyak empat puluh dirham setiap bulan.” Kemudian gurunya mengatakan kepada Ibnu Taimiyah yang masih kecil itu, “Kamu berhak mendapatkan uang sebanyak empat puluh dirham setiap bulan.” Namun Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wahai tuanku, sungguh aku berjanji kepada Allah untuk tidak mengambil upah dari Al-Qur’an.” Ibnu Taimiyah tidak pernah mengambil upah atas nama Al-Qur’an dalam hidupnya. Al-Barrar mengatakan, “Siapakah diantara para ulama yang qanaah dalam dunia seperti qanaahnya Ibnu Taimiyah? Tidak pernah terdengar bahwa dia ingin menikah dengan wanita atau budak perempuan yang cantik jelita, menginginkan rumah yang megah, taman-taman dan tanah yang luas.
Sejak kecil, ia bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Ia tidak seperti teman-temannya yang suka bermain-main, layaknya anak-anak kecil. Ia tidak rela meninggalkan kelezatan belajar dan hanya menggunakan waktunya untuk ilmu. Alkisah, suatu hari, keluarganya mengajaknya pergi berlibur untuk bertamasya dan bersenang-senang. Namun, ia lari bersembunyi dari mereka agar tidak ikut. Setelah mereka kembali pada sore hari, mereka mencelanya karena ia tidak ikut bertamasya. Maka, ia mengatakan kepada mereka, “Kalian tidak mendapatkan apa-apa, sementara aku ketika kalian pergi telah menghafal satu jilid kitab.” Pada zamannya, Ibnu Taimiyah adalah orang yang paling tinggi ilmu, zuhud, berani dan dermanya. Ia unggul dalam bidang tafsir, ushul, dan semua ilmu-ilmu Islam, kecuali qira’at ilmu (ilmu macam-macam bacaan Al-Qur’an). Apabila disebut tafsir, maka ia adalah pemegang benderanya, apabila disebut fuqaha, maka ia adalah sang mujtahid mutlak. Apabila para ahli hadits yang berpredikat Al-Hafizh datang kemudian Ibnu Taimiyah berbicara, maka mereka membisu, merasa kecil hati dan miskin ilmu.
Semua akal yang sehat sepakat bahwa ia adalah termasuk orang pada sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah mengutus atas setiap permulaan seratus tahun orang yang memperbaharui urusan agama umat Islam.” Allah telah menghidupkan syari’at-syari’at agama yang telah dihilangkan melalui Ibnu Taimiyah dan menjadikannya sebagai hujjah atas semua orang yang semasa dengannya.
Ibadah dan Akhlaknya
Ibnu Qayyim mengatakan, “Suatu saat aku melihat Syaikh Ibnu Taimiyah shalat Shubuh kemudian duduk berdzikir sampai waktu hampir mencapai pertengahan siang. Kemudian ia menoleh padaku dan berkata, “Inilah makananku. Jika aku tidak makan-makanan ini, maka kekuatanku akan runtuh.” Pada saat yang lain, ia mengatakan padaku, “Aku tidak meninggalkan dzikir kecuali meniatkan istirahat atau menyegarkan jiwa untuk persiapan dzikir yang lain.” Syaikh Ibnu Taimiyah merupakan seorang yang sangat dermawan,
Imam Al-Bazzar mengatakan, “Suatu hari, Ibnu Taimiyah melewati suatu pemukiman. Lalu, ada seorang fakir yang memanggilnya. Ibnu Taimiyah tahu bahwa orang fakir itu bermaksud meminta shadaqah, sementara ia tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan kepada orang fakir tersebut. Maka ia berinisiatif mengambil pakaian yang dikenakannya dan memberikannya kepada orang fakir tersebut seraya berkata kepadanya, “Juallah sekehendakmu lalu gunakan uang hasil penjualannya.” Ia meminta maaf kepada orang fakir tersebut karena ia tidak membawa sesuatu yang bisa diberikan kepadanya selain pakaian tersebut.” Pada hari yang lain, ada seseorang yang meminta kitab kepada Ibnu Taimiyah. Lalu Ibnu Taimiyah berkata kepadanya, “Ambillah apa yang kamu pilih.” Orang tersebut melihat mushaf diantara kitab-kitab Ibnu Taimiyah dimana mushaf tersebut telah ia beli dengan harga yang mahal. Lelaki itu mengambilnya dan pergi. Lalu, sebagian orang mencela Ibnu Taimiyah atas tindakannya tersebut. Ia berkata kepada mereka, “Apakah pantas aku mencegahnya setelah ia memintanya? Biarkan ia mengambilnya agar ia memanfaatkannya.”
Ujian yang Dihadapinya
Ibnu Taimiyah mengalami ujian dan fitnah yang berulangkali dari orang-orang yang memusuhinya pada zamannya. Hampir setiap saat ia mendapatkan ujian, mengikuti perang, mengalami permusuhan dan perdebatan. Bahkan sampai akhir hidupnya ia berada dalam Benteng Damaskus. Dia dipenjara disitu namun ia tetap sabar dan mengharap pahala dari Allah.
Pada tahun 705 Hijriyah sultan memberikan instruksi melalui surat agar Ibnu Taimiyah dibawa ke Kairo, sementara itu orang-orang keluar dengan menangis dan sedih karena harus berpisah dengan Ibnu Taimiyah. Setalah sampai di Kairo, dibuatlah untuknya suatu majelis di benteng Shalahuddin. Hadir dalam majelis itu para penguasa, pembesar negara, hakim dan ulama fiqh. Mereka tidak memberikan kesempatan berbicara kepada Ibnu Taimiyah. Sementara juru bicara dipegang oleh Zainuddin bin Makhluf, hakim Malikiyah. Ibnu Taimiyah kemudian berbicara dan memuji Allah Ta’ala. Maka dikatakan padanya, “Kamu hanya menjawab, tidak boleh berceramah!” Ibnu Taimiyah jadi mengerti jika majelis tersebut adalah majelis penghakiman bukan perdebatan. Ia bertanya, “Siapakah yang akan menghakimiku?” Ia diberitahu bahwa yang menjadi hakim adalah seorang hakim bermadzhab Maliki tersebut. Ia berkata kepada hakim tersebut, “Bagaimana kamu menghakimiku sementara kamu adalah orang yang memusuhiku?” Singkat cerita, Ibnu Taimiyah dipenjara disuatu menara beberapa hari, lalu pada malam Idul Fitri ia dipindah kesuatu penjara yang dikenal dengan Al-Jubb.
Pada bulan Rabiul Awal 707 Hijriyah Raja Arab, Husamuddin Mahna bin Isa datang ke Mesir. Ia meninjau penjara dan mengeluarkan Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah kemudian tinggal di Kairo sambil mengajarkan kebaikan dan menyebarkan ilmu. Hal ini berlalu sampai akhirnya kelompok sufi mengadukannya kepada hakim. Mereka mengadukan bahwa Ibnu Taimiyah mencerca Ibnu Arabi dan ulama tasawuf lainnya, padahal Ibnu Arabi merupakan orang yang dianggap suci dan tidak boleh dicerca bagi orang sufi. Ibnu Taimiyah masuk penjara pada tahun yang sama saat ia keluar dari penjara. Al-Alusi mengatakan, “Ketika ia masuk dalam penjara, ia menemukan orang-orang yang berada dalam penjara sibuk dengan permainan dan hiburan sementara shalat mereka tidak terurusi. Ibnu Taimiyah mengingkari hal itu dan memerintahkan mereka untuk selalu melaksanakan shalat dan menghadap Allah dengan amal-amal shaleh, tasbih, istighfar dan doa. Ibnu Taimiyah mengajarkan mereka sunnah Rasulullah dan mendorong mereka untuk melakukan kebaikan sehingga penjara tersebut sibuk dengan dunia ilmu dan agama. Bahkan orang-orang yang telah dikeluarkan dari penjara lebih memilih menetap bersama Ibnu Taimiyah. Dalam penjara tersebut banyak orang yang berdatangan kepadanya untuk meminta fatwa dan mendengarkan pembahasan ilmu.”
Pada tahun 709 Hijriyah Sultan Nashir memegang tampuk kekuasaan Mesir. Ia memerintahkan agar Ibnu Taimiyah dikeluarkan dari penjara dan dibawa ke Kairo dengan penuh kehormatan. Ibnu Taimiyah kembali ke Syam dan disana ia kembali mulai mengajar , menulis dan memberikan fatwa.
Pada tanggal 7 Sya’ban 726 Hijriyah keluar perintah dari sultan agar Ibnu Taimiyah dipenjara di benteng Damaskus. Dalam penjara kali ini, Ibnu Taimiyah merasa senang karena ia dapat membaca, menulis suatu karya dan mengirimkannya keluar penjara. Namun hal ini harus berhenti karena ada perintah dari sultan agar kitab, pena dan tinta yang ada bersamanya dikeluarkan dari penjara. Ia dilarang keras membaca. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 9 Jumadil Akhir 728 Hijriyah. Tidak lama kemudian, Ibnu Taimiyah jatuh sakit dalam penjara selama dua puluh hari. Menteri Syamsuddin meminta izin untu menjenguknya dan meminta maaf atas kesalahannya. Ibnu Taimiyah memaafkannya kemudian mengatakan, “Aku telah memaafkan setiap orang yang bersalah terhadapku kecuali orang yang menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya.” Ibnu Taimiyah meninggal pada malam Senin 20 Dzulqa’dah 728 Hiriyah. Setelah kitab-kitabnya dikeluarkan dari penjara, ia terus membaca Al-Qur’an dan mengkhatamkannya setiap sepuluh hari sekali.
Meninggalnya
Ibnu Taimiyah meninggal dunia bertepatan dengan waktu sahur pada malam senin 20 Dzulqa’dah 728 Hijriyah. Informasi mengenai meninggalnya itu disampaikan oleh muadzin masjid benteng Damaskus. Saudaranya, Zainuddin Abdurrahman memberitahukan kepada orang-orang yang hadir bahwa ia dan Ibnu Taimiyah telah mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak delapan puluh kali sejak masuk benteng. Pada bacaan yang kedelapan puluh satu kali, keduanya sampai pada ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (Al-Qamar: 54-55) Lalu, dua syaikh yang shaleh, Abdullah bin Al Muhib dan Abdullah Az Zar’I –Ibnu Taimiyah suka bacaan dua orang ini ketika masih hidup- mulai membaca surat Ar-Rahman sampai akhir Al- Qur’an. Jenazah Ibnu Taimiyah kemudian dimandikan oleh Al-Hafizh Al-Mizzi dan sejumlah orang-orang shaleh dari kalangan orang-orang yang berilmu dan beriman. Manusia yang berada disekitar jenazah tidak dapat diketahui jumlahnya kecuali Allah yang sanggup menghitungnya. Secara umum, hari meninggalnya Ibnu Taimiyah adalah hari yang disaksikan banyak orang.
Murid-muridnya
Murid-murid Ibnu Taimiyah diantaranya yaitu: Jamaluddin Abu Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zakki Abdurrahman bin Yusuf bin Al-Mizzi, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdillah Ad-Dimasyqi Ad-Dzahabi, Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub yang terkenal dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Imaduddin Abu Al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir Al-Bashari Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi dll.
Karya-karya Ilmiahnya
Kitab-kitab karyanya yang mashur diantaranya: Majmu’ Al-Fatawa ( tiga puluh tujuh jilid), Al-Fatawa Al-Kubra (lima jilid), Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql (Sembilan jilid), Minhaj As Sunnah An-Nabawiyah dll.
No comments:
Post a Comment