Saturday, 2 March 2013

AGAR GENAP GANJIL TIDAK GANJIL


Jalanan ibukota yang bebas macet di hari kerja selalu menjadi impian banyak warga di banyak negara. Berbagai upaya pun ditempuh. Di antaranya melalui kebijakan pembatasan kendaraan bermotor di jalan raya, termasuk yang bakal diterapkan Gubernur Jakarta Joko Widodo: skema pelat nomor ganjil-genap.
Sejumlah negara telah mencobanya. Ada yang gagal, ada yang berhasil.

Filipina

Manila, ibukota Filipina, tercatat berulang kali mencoba menerapkan kebijakan itu. Pada 9 Maret 2010, otoritas lalu lintas kota itu menguji coba skema pelat nomor ganjil-genap untuk diterapkan di jalan-jalan arteri. Selain mobil pribadi, angkutan umum seperti jeepney terkena aturan itu. Di hari pertama uji coba, jalanan Manila mendadak bebas macet.

”Pengemudi merespons positif,” kata Kepala Polisi Lalulintas, Engelbert Soriano, seperti diansirSunstar.com, pada hari pertama uji coba.

Jeepney berpelat nomor ganjil dilarang memasuki kawasan bisnis pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Yang genap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Namun, tak ayal masalah langsung muncul. Tidak semua penumpang mengetahui uji coba kebijakan baru ini. Akibatnya, banyak yang terlantar di pinggir jalan karena angkutan kota yang beroperasi berkurang separuhnya.

Toh otoritas kota merasa uji coba itu berhasil. Maka, jangkauan wilayah dan jenis kendaraan yang diatur diperluas. Pada November 2010, kebijakan ini diberlakukan di sepanjang Epifanio de los Santos Avenue (EDSA).

Epifanio de los Santos Avenue, biasa disingkat EDSA, merupakan jalan arteri dan jalan tol yang penting di negara ini. Jalurnya melewati 6 dari 17 permukiman yang tersebar di kota Caloocan, Quezon, Mandaluyong, San Juan, Makati dan Pasay. Ini adalah jalan terpanjang dan terpadat yang berfungsi sebagai koridor utama utara-selatan di Manila Metropolitan. Otoritas setempat memperkirakan EDSA dilalui rata-rata 2,34 juta kendaraan setiap hari. Kecepatan rata-rata kendaraan di sini sekitar 10-20 kilometer per jam.

Kepadatan inilah yang mendasari Metropolitan Manila Development Authority (MMDA) menerapkan kebijakan ganjil-genap; yang bahkan di jalan-jalan tertentu digabungkan dengan sistem pengkodean warna. Skema ganjil-genap diimplementasikan pada 07.00-19.00. Pengkodean warna diterapkan pada jam-jam sibuk, antara 07.00–10.00 dan 17.00–19.00.

Dalam skema ganjil-genap, kendaraan pribadi maupun umum dengan nomor pelat yang berakhir dengan 1, 3, 5, 7 dan 9 dilarang melintas pada hari Senin, Rabu dan Jumat, sementara yang 2, 4, 6, 8 dan 0 pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu.

Pemilik mobil pribadi ramai-ramai menentang kebijakan ini. Kebanyakan dari mereka adalah kaum profesional yang bekerja di kawasan bisnis kota itu. ”Ini tidak fair. Pemilik kendaraan yang membayar pajak untuk membangun jalan dibatasi menggunakan jalan,” kata Elvira Medina, Presiden The National Council for Commuters Protection (NCCP), seperti dilansir abs-cbnnews.com.

Protes NCCP didasari keluhan para pelaku usaha kecil menengah dan ibu-ibu rumah tangga yang setiap hari mengantar jemput anak ke sekolah. Para pengendara sepeda motor pun protes karena harus mengeluarkan uang lebih besar untuk ongkos naik angkutan umum. Awak bus ketinggalan. Sebanyak 3.000 awak bus mogok dan berunjuk rasa besar-besaran melawan kebijakan itu.

Sebagaimana dilansir Philippine Daily Inquirer, total ada 13 ribu bus yang terkena aturan itu. Sebanyak 1.000 kendaraan pribadi dilarang melaju di jalanan setiap harinya. Belakangan, untuk bus, skema ganjil-genap dimodifikasi. Larangan beroperasi hanya diberlakukan sehari dalam seminggu. Bus dengan pelat nomor berakhiran 1 atau 2 pada Senin, 3 atau 4 pada Selasa, 5 atau 6 pada Rabu, 7 atau 8 pada Kamis, dan 9 atau 0 pada hari Jumat.

Selain yang kontra, kebijakan ini punya pendukung juga. Kalangan ini mengungkapkan kebijakan ini berhasil mengurangi volume kendaraan hingga 50 persen. Dengan begitu, kecepatan perjalanan meningkat dari rata-rata 10-20 km/jam menjadi 50 km/jam.

Namun, argumen ini langsung termentahkan. Pada kenyataannya, banyak yang malah menambah jumlah kendaraan mereka. Orang-orang kaya di negeri itu membeli mobil baru untuk memastikan mereka punya mobil bernomor polisi ganjil sekaligus genap.

Skema ganjil-genap punya sejarah panjang di Filipina. Kebijakan ini diterapkan pertama kali pada 1995 untuk mengurangi kemacetan akibat proyek pembangunan rel di sejumlah wilayah di Metro Manila. Pengecualian diberlakukan untuk angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, mobil polisi dan militer, bus sekolah, serta kendaraan diplomat dan pejabat.

Dipandang berhasil, penerapannya diperpanjang. Pada tahun 1996, MMDA menerbitkan Peraturan Modifikasi Skema Ganjil-Genap yang diterapkan untuk kendaraan umum seperti taksi, bus, dan jeepney. Kebijakan ini mengalami pasang surut: diterapkan, dicabut, dimodifikasi, diterapkan lagi. Namun, sampai hari ini Manila masih saja dibelit kemacetan.

China

Beijing, China, memberlakukan skema ganjil-genap saat menjadi tuan rumah Olimpiade. Kebijakan ini diterapkan hanya selama dua bulan, mulai tanggal 20 Juli 2008. Tujuannya untuk mengurangi kemacetan dan polusi selama Olimpiade dan Paralimpiade digelar.

Otoritas setempat menargetkan mengurangi 45 persen dari 3,29 juta mobil yang rata-rata melintas setiap harinya, dan mengurangi emisi kendaraan sebesar 63 persen.

“Lalu lintas yang lancar dan udara yang baik merupakan faktor penting untuk mensukseskan Olimpiade. Ini juga janji Beijing terhadap Komite Olimpiade Internasional,” kata Juru Bicara Departemen Transportasi Zhou Zhengyu ketika itu, seperti dilansir Reuters.

Yang menarik, para pemilik mobil yang terkena larangan ini diberi kompensasi. Mereka dibebaskan membayar pajak jalan atau kendaraan selama tiga bulan.

Namun, tak cuma membatasi, pemerintah Beijing menyediakan alternatif. Mereka menyiapkan jaringan transportasi umum, didukung tiga jalur kereta bawah tanah yang baru yang sanggup mengangkut empat juta penumpang tambahan setiap hari.

Dampak kebijakan ini dinilai positif. Selama diberlakukan, volume lalu lintas berkurang, emisi kendaraan bermotor menurun, dan laju rata-rata kendaraan meningkat.

Olimpiade usai, program itu pun berakhir. Namun, kebijakan anti macet tetap diperlukan China.

Menurut Organization for Economic Cooperation and Development, lebih dari 300 juta dari total 1,4 miliar warga China akan berpindah dari desa ke kota pada 2030. Selain itu, polusi udara di negeri Tirai Bambu juga semakin tinggi. "Urbanisasi di China sangat cepat, pengembangan transportasi perkotaan menghadapi tantangan baru,” demikian pernyataan resmi pemerintah pusat China.

Menurut data Biro Statistik Nasional China, pada akhir 2011 terdapat 62,4 juta kendaraan pribadi di China. Jumlah itu naik tujuh kali lipat dari angka 2003 yang baru 8,45 juta. Kementerian Transportasi China memperkirakan, tujuh tahun mendatang jumlahnya bakal melampaui 200 juta unit.

Karena itulah berbagai kebijakan pembatasan diluncurkan, bahkan lebih ketat dari sebelumnya. Ini mulai dari pembatasan Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) hingga pengetatan penerbitan pelat nomor kendaraan roda empat baru. Namun, selain itu pemerintah China pun menggenjot pengembangan sistem angkutan umum massal dan terus memperbaiki sistem transportasi perkotaan mereka.

Meksiko

Sistem ganjil-genap juga diterapkan Meksiko. Pemerintah “Negeri Sombrero” melarang penggunaan mobil di seluruh wilayah federal dengan pelat nomor berakhiran 1 dan 5 pada hari Senin, 2 dan 6 pada Selasa, dan seterusnya untuk lima hari kerja dalam seminggu.

Awalnya, aturan ini efektif mengurangi volume kendaraan. Namun, seiring waktu berjalan banyak keluarga kaya membeli mobil kedua berpelat nomor ganjil dan genap. Kebijakan ini pun mentah.

Terjadi lonjakan jumlah kendaraan pribadi. Polusi semakin tinggi. Jalanan kembali macet. Dan kebijakan itu pun dianulir.

Indonesia?

Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan menilai skema ganjil-genap dapat diterapkan di Indonesia. Menurut dia, kebijakan ini bisa menjadi pintu masuk bagi pembatasan yang lebih ketat, yaitu sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP).

”Kalau Pemprov mau terapkan, saya setuju. Jakarta sudah membutuhkan langkah emergensi cepat untuk mengatasi masalah kemacetan,” katanya kepada VIVAnews.

Menurutnya, kebijakan ini bakal efektif mengurangi pengguna mobil pribadi. ”Skema ini sudah biasa diterapkan di bidang transportasi. Di beberapa negara, seperti di Athena, Yunani; cukup efektif pada tahun 1979 untuk mengatasi krisis BBM,” ujarnya.

Dia mengakui memang ada negara yang gagal menerapkannya, antara lain Manila, Filipina. Namun, hasil bagus ditunjukkan Beijing, China.

”Dipelajari saja di mana kegagalannya. Memang harus diterapkan di jalan-jalan utama, jangan cuma di kawasan 3 in 1 seperti Sudirman, Thamrin, Gatot Subroto, Rasuna Said, dan Harmoni. Saya rasa masyarakat sudah siap,” ujarnya, sembari buru-buru menambahkan, “Oh ya, dan harus  mempersiapkan angkutan umum juga.”

Pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengingatkan kebijakan ganjil-genap harus matang dipersiapkan. Armada bus harus cepat ditambah, karena kemungkinan warga akan beralih ke angkutan umum. Sekarang ini sulit bagi pengguna kendaraan pribadi untuk langsung pindah ke angkutan umum mengingat pelayanannya yang buruk dan armadanya yang begitu terbatas. “Itu syarat minimal yang harus dipersiapkan,” Yayat mengingatkan.

Yang juga perlu diantisipasi adalah jaringan jalan alternatif. Saat skema ganjil-genap diberlakukan, sebagian pengguna kendaraan pribadi bakal memilih jalur alternatif. Untuk itu, harus ada skenario ruang dan jalan untuk mengantisipasi dampaknya.

“Juga, bagaimana pengaturan petugas di lapangan?” dia mempertanyakan.

Yayat juga mengingatkan dampak negatifnya bagi usaha sebagian warga. Arus konsumen ke pusat perbelanjaan atau perdagangan bisa anjlok dibuatnya.

Menurut dia, skema serupa yang sudah diterapkan di sejumlah negara terbukti selalu memiliki nilai plus minus. “Ukuran sukses sangat relatif. Seperti di Meksiko, saya sulit mengatakan itu berhasil. Memang tidak sempurna, ada kekurangannya. Ada masalah dengan pengubahan kebiasaan masyarakat. Kegagalan dari negara-negara lain bisa jadi contoh untuk diperbaiki. Jadi, jangan sekadar bikin peraturan,” dia mewanti-wanti

BAIK BURUKNYA ATU PLUS MINUSNYA PENERAPAN GANJIL GENAP DI JAKARTA


Begitu parahnya kemacetan di Jakarta. Cobalah bertandang ke kota ini pada jam kerja, semua jalan utama seperti terkunci. Ribuan motor meraung mencari celah di antara barisan padat ribuan mobil. Asap knalpot pekat meruap. Waktu seperti bergerak lambat. Semua kendaraan itu tampak lumpuh.
Para sopir taksi di Jakarta pasti menyerah kalau ditanya di mana jalur lancar pada jam kerja yang sibuk. “Karena semua jalan macet, kita cuma punya satu pilihan: mau macet di mana?”, begitu ujar seorang sopir taksi berseloroh. Nadanya terdengar setengah frustasi.
Kemacetan Jakarta bahkan menggerus tali silaturahmi. Pertemuan dengan kolega, kerabat, atau bahkan antar warga, kerap batal. Ada cerita dari ratusan anak jalanan di Jakarta, yang kecewa berat pada Jumat, 22 Februari lalu.
Pada hari itu, para bocah yang kerap mengais rezeki di jalanan berkumpul di Kampung Pedongkelan, Pulogadung, Jakarta Timur.  Mereka berjubel duduk di bawah tenda biru. Ada banyak hiburan rupanya di acara bertajuk "Ngobrol Bareng Bersama Anak Jalanan dan Orang tua" itu.
Mereka menunggu seorang tamu penting, yang belum tiba meski hari sudah beranjak petang. Tiba-tiba, ada satu sedan hitam merapat dekat tenda, dengan didahului oleh voorijder. Serempak anak-anak jalanan itu bangkit, dan berteriak,  "JokowiJokowiJokowi!".  Gubernur DKI itu memang sedang ditunggu di sana.
Rupanya yang keluar dari dalam mobil bukan sang gubernur. Dia adalah Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, yang juga tamu acara itu. "Bukan. Itu bukan Jokowi," ujar anak-anak jalanan itu. Mereka lalu kembali ke tenda, dan masih sabar menunggu tokoh idola. Tapi sampai menjelang malam, Jokowi tak juga tiba.
Wali Kota Jakarta Timur, HR Krisdianto,  akhirnya naik ke panggung. Dia mengabarkan sang gubernur tak bisa hadir.  "Mobilnya tidak bisa bergerak di jalan karena macet. Jadi lain waktu saja bertemu lagi. PakJokowi menyampaikan salam untuk anak-anakku semua," kata HR Krisdianto. Anak-anak kecewa. Acara pun bubar.
Apa yang dialami oleh Gubernur Jokowi, adalah peristiwa rutin bagi banyak warga Jakarta. Tak terhitung kerugian materi ditimbulkan oleh macet.
Celakanya, dari hari ke hari, macet kian parah. Ribuan polisi yang dikerahkan pun tak banyak menolong. Sementara jumlah kendaraan bermotor makin hari makin membengkak.
Simak data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Sejak Januari sampai April 2012 ada sekitar 13.346.802 kendaraan yang membebani jalanan Jakarta.  Jika tak ada pembenahan sistem transportasi, berdasarkan riset di Kementerian Pekerjaan Umum, lalu lintas Jakarta akan total terkunci pada 2014.  Kendaraan warga bakal tersendat sejak ke luar dari rumah.
Soalnya, panjang jalan yang ada tak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan bermotor. Di Jakarta,  jalan tersedia hanya sekitar 7,2 ribu kilometer, sedangkan kebutuhan hingga 2012 adalah 12 ribu kilometer. "Itu berarti baru memenuhi 60 persen kebutuhan masyarakat atas jalan," kata Setiabudi Albamar,  staf ahli Bidang Ekonomi dan Investasi Kementerian Pekerjaan Umum.
Meski penguasa Jakarta datang silih berganti, soal macet ini masih saja menjadi problem besar tak terpecahkan. Beragam solusi ditawarkan, termasuk dengan baliho yang memberikan harapan: “Macet pasti akan terurai”. Faktanya, macet tambah menggila.
Formula ganjil genap
Itu sebabnya, Gubernur Jokowi yang baru memerintah Ibukota, mencari formula yang tepat. Dia memilih solusi pembatasan kendaraan lewat nomor polisi ganjil dan genap. Sebetulnya, ini bukan wacana baru. Sistem itu sudah dibicarakan sejak awal 2011 lalu. Pada perhelatan SEA Games pada November 2011, mestinya sistem ganjil genap ini akan dicoba. Tapi entah mengapa batal.
Ide itu kini muncul lagi, dan menjadi prioritas di era Gubernur Jokowi. Semula sistem ganjil genap dijadwalkan berlaku Maret 2013. Tapi diundur sampai akhir Juni tahun ini. Alasan Jokowi, persiapan belum maksimal.  Ada hal yang masih dikaji, perubahan kebiasaan warga dari membawa mobil pribadi, menjadi naik angkutan umum.  "Itu yang harus dihitung, dan belum saya dapatkan," ujar Jokowi, Kamis, 28 Februari 2013.
Sistem ini memang harus dihitung masak-masak.  Syaratnya harus ada transportasi publik yang memadai. Angkutan pengganti harus terintegrasi. Pelayanan Transjakarta juga harus diperbaiki. Misalnya, kata Jokowi, akan ada penambahan 600 bus Transjakarta sebagai penunjang. Tentu, agar rapi, harus ada koordinasi ketat dengan Polda Metro Jaya.
Kalau sistem ini berjalan, dia akan menjadi batu loncatan ke sistem lebih canggih,  yakni jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Setelah itu barulah solusi lain dipertimbangkan: transportasi massal MRT, dan monorail. Jokowi sadar, di negara lain sistem ini selalu gagal.  Tapi dia toh mengembalikan hal itu ke warga. "Tergantung masyarakat. Kita mau macet atau tidak macet. Itu saja menurut saya," ucap Jokowi.
Soal rute yang akan diujicoba awal, kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono, adalah jalur eks 3 in 1, yaitu Jalan Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Gatot Subroto dan Rasuna Said. Juga kawasan lingkar dalam kota yang dilalui jalur bus Transjakarta.
Sistem itu akan diterapkan pada hari kerja, mulai pukul 6 pagi hingga 8 malam. Kebijakan itu tak berlaku di hari Sabtu, Minggu dan hari libur nasional. Bagi kendaraan dari luar Jakarta, seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor, tetap harus patuh pada aturan. " Harus menyesuaikan diri, karena mereka tamu," ujar Udar.
Sistem ganjil genap itu akan bekerja dengan tanda stiker. Setiap mobil pribadi, kecuali mobil barang, akan ditempel stiker. Tanda itu dipasang di kaca depan mobil bagian atas. Untuk pelat mobil berangka ganjil, stikernya warna hijau. Angka genap, warnanya merah. Stiker itu juga berguna menghindari pemalsuan pelat nomor. Untuk menyediakan stiker bagi 2,5 juta mobil, Pemprov DKI merogoh dana Rp12,5 miliar.
Mobil yang boleh melintas di jalur ganjil genap disesuaikan tanggal pada saat itu. Kata dia, mobil berpelat ganjil akan melintas pada tanggal ganjil. Pelat genap boleh lewat di tanggal genap. Kajian soal sistem ini masih dilakukan oleh Dinas Perhubungan, dan Polda Metro Jaya. Terutama soal pengawasan sistem itu, apakah manual atau elektronik.
Pengawasan elektronik
Soal pengawasan ini memang tak mudah.  Tenaga yang ada terbatas. Maka, kata Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Wahyono, yang paling mungkin adalah cara elektronik. Cara itu juga efektif memantau kepadatan kendaraan yang luar biasa.
Untuk itu, persiapan data digital yang akurat pun dilakukan. Polda Metro Jaya, misalnya,  kini menyiapkan electronic registration and identification (ERI), berupa data digital kendaraan dan pengemudinya. Proyek pemindahan data manual ke elektronik itu baru tuntas sekitar 50-60 persen. Itu sebabnya, kebijakan ganjil genap belum bisa segera diterapkan.
ERI adalah data yang akan disimpan di Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya. Dengan begitu, kendaraan pelanggar aturan ini akan mudah diidentifikasi petugas TMC.
Proses digitalisasi data ini, kata Wahyono, memang makan waktu. Ada ratusan ribu lembar kertas milik kepolisian dari dulu hingga sekarang. Setelah proses ERI kelar, polisi akan berkoordinasi denganstakeholder. "Kami tak mau buru-buru, karena ERI ini kan data base. Kalau salah bisa fatal," ujarnya.
Data digital itu juga bisa digunakan untuk hal lain. Misalnya oleh e-banking, atau membayar ERP, dan parkir on street. Untuk e-banking, Polda akan bekerjasama dengan beberapa bank swasta dan pemerintah. Dengan ERI, orang tidak perlu lagi repot membayar pajak ke kantor polisi. Cukup lewat e-banking saja.
ERI juga bisa mengantisipasi pelat palsu. Kendaraan berpelat palsu akan mudah diiketahui bila pengendara melanggar aturan lalulintas.
Bila data digital itu beres, maka akan dipasang kamera di sepanjang jalur ganjil genap. Ini bagian darielectronic traffic law enforcement (ETLE), atau tilang elektronik. Para pelanggar akan terekam kamera yang terhubung dengan TMC. Mau ngebut agar terhindar kamera juga percuma. Kamera itu bisa merekam kendaraan dengan kecepatan hingga 200 Km/jam.
Para pelanggar juga tak akan ditilang polisi di tengah jalan. Surat tilang akan dikirim ke rumah pemilik kendaraan melalui pos. “Ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dilakukan petugas," ucapnya.
Kurangi macet 40 persen
Apakah ini solusi manjur bagi macet Jakarta? Belum pasti. Tapi Dinas Perhubungan DKI percaya aturan ini bisa mengurai kemacetan di Jakarta hingga 40 persen. Terutama di jalan-jalan protokol. Sesuai data Dinas Perhubungan, kini kendaraan yang melintas mencapai 262.313.31 unit per jam. Bila sistem ini berjalan, diprediksi jumlahnya akan berkurang menjadi 121.567.28 unit.
Dengan begitu, setiap satu jam jumlah kendaraan pribadi yang beredar berkurang 140.746.02 unit. Tentu, jalanan jadi lebih lega. Pristono memperkirakan, dengan kondisi itu, mobil atau motor bisa melaju sampai 41,2 km per jam. "Sebelumnya hanya 20,8 km per jam. Kemacetan pun akan terurai," ujarnya.
Keuntungan lain, ongkos operasional bisa dihemat. Total, warga DKI akan menghemat biaya transportasi Rp8,85 triliun per tahun. Pemakaian BBM juga akan berkurang hingga 345 ribu kilo liter per tahun. Artinya, bakal hemat 19,7 persen dari kuota BBM bersubsidi di wilayah DKI.
Tapi, tentu sistem ini ada kelemahannya. Menurut Polda Jaya, aturan ini tak bisa berlaku sepanjang tahun. Sebab, kalau untuk jangka waktu lama, ia akan mendorong orang menambah mobil.
Gejala itu pun sudah mulai terlihat. Meski ganjil genap belum diterapkan, banyak warga berniat membeli mobil baru. Mereka juga memesan pelat nomor yang diinginkan kepada dealer. Direktur Marketing After Sales Service PT Honda Prospect Motor (HPM), Jonfis Fandy, mengatakan ada dealer Honda yang meminta biaya tambahan untuk menyesuaikan nomor ganjil atau genap.
Tentang gejala warga beli mobil baru, Pristono mengatakan tak bisa mengendalikannya. "Kalau harus beli tetap akan dipakai satu. Tak mungkin keduanya dipakai pada saat bersamaan," katanya. Lalu, bagaimana bila warga belum siap ikut aturan ini?
Untuk soal ini, Dinas Perhubungan menyiapkan empat alternatif.  Warga bisa menghindari aturan ganjil genap dengan memakai Bus Rapid Transit (BRT). Cara lain mengubah rute perjalanan, atau waktu perjalanan. Bisa juga memakai sistem car pooling.  Atau pilihan akhir: berangkat sebelum pukul 6 pagi, dan pulang setelah pukul 10 malam.

Sabah Diduduki, Kesabaran Malaysia Akhirnya Habis

 Pasukan Malaysia mengepung desa di Sabah yang dikuasai Kesultanan Sulu
Beberapa waktu lalu, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dengan tegas mengatakan bahwa kesabaran mereka ada batasnya. Pernyataan keras ini disampaikan terkait pendudukan Lahad Datu di Sabah oleh hampir 200 orang dari Kesultanan Sulu.

"Jangan menguji kesabaran kami, kesabaran kami telah mencapai batasnya," kata Razak, seperti dikutip dari Bernama.

Kesabaran Malaysia benar-benar diuji. Dua kali tenggat yang mereka berikan pada kelompok itu untuk segera hengkang diabaikan. Dua hari setelah batas waktu terakhir lewat, pasukan Malaysia akhirnya menggempur mereka di Desa Tanduo.

Raja Muda Agbimuddin Kiram, pemimpin pasukan Sulu yang menduduki desa itu dan adik Sultan Sulu, mengatakan pada sebuah wawancara dengan Radio dzBB di Filipina, Jumat pagi, 1 Maret 2013, bahwa pasukan Malaysia tengah mendekat--dari sebelumnya berada di jarak 500 meter kini berada di 300 meter.

"Mereka tiba-tiba menyerang, kami harus mempertahankan diri kami," kata Agbimuddin sebagaimana dilansir GMA News. Ditanya kapan pasukan Malaysia masuk dan menyerang, dia mengatakan, "Saat ini."

Dalam wawancara langsung di radio tersebut, sayup-sayup terdengar suara tembakan. Wawancara pertama terputus. Pada wawancara kedua, Agbimuddin mengatakan mendapat laporan beberapa orangnya terluka. Namun, dia kukuh mengatakan tidak akan mundur dan bakal tetap melawan.

Menurut saksi mata, baku tembak hebat berlangsung selama satu jam di wilayah tersebut. Usai itu senyap.

Sebuah stasiun sasiun radio gelombang pendek di Kota Kinabalu mengabarkan bahwa sepasukan keamanan Malaysia dengan perangkat tempur lengkap tengah menuju Tanduo.

Tak lama kemudian, saksi mata di dekat lokasi mengatakan bahwa pasukan Malaysia mulai mengevakuasi tentara mereka yang terluka dalam pertempuran tadi.

Menurut juru bicara Kesultanan Sulu, Abraham Idjirani, 10 orang dari pihak mereka tewas dalam penyerangan tersebut. Empat lainnya terluka. Namun, dia menegaskan bahwa Agbimuddin masih bertahan di lokasi dan akan terus berjuang.

Simpang siurInformasi dari pemerintah Malaysia soal insiden ini masih simpang siur, bahkan bertentangan satu sama lain.

Di akun Twitter-nya, Menteri Dalam Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein sebagaimana dilansir Inquirer mengatakan tidak ada apa yang disebut sebagai "serangan oleh pasukan Malaysia" itu. Yang ada, kata dia, pasukan Malaysia lah yang diserang orang-orang Sulu.

"Saya konfirmasikan bahwa pasukan kami tidak menembak sama sekali, bahkan kami yang ditembaki pada pukul 10 pagi ini." kata Hishammuddin.

Komentarnya ini diamini oleh pemerintah Filipina yang mengatakan bahwa Malaysia hanya melepaskan tembakan peringatan. "Ada tembakan peringatan, bukan baku tembak. Tidak ada korban tewas," kata juru bicara Presiden Benigno Aquino, Abigail Valte.

Namun kemudian muncul pernyataan Duta Besar Malaysia untuk Filipina, Zamri Kassim, yang bertentangan. Kepada Menteri Luar Negeri Filipina, Albert del Rosario, Kassim mengatakan ada tiga orang yang tewas. Dua di antaranya polisi Malaysia. Seorang lagi adalah pemilik rumah tempat komplotan Agbimuddin tinggal.

Dia juga mengatakan bahwa pasukan Malaysia berhasil mengusir kelompok Sulu itu ke laut. Dari antara mereka, 10 orang ditangkap. Nasib Agbimuddin tidak jelas.

Saling berbantahan pun dimulai.
Idjirani dari Kesultanan Sulu mengatakan bahwa pasukan mereka masih bertahan di Sabah. Dia bahkan mengatakan telah berbicara dengan Kiram. "Saya tanya padanya, berapa orang yang mati syahid. Dia mengatakan 10. Saya tanya berapa yang terluka, dia bilang empat. Mereka tidak akan pergi. Pertempuran akan terus berlanjut," kata Idjirani.
Klaim nenek moyangRatusan orang Kesultanan Sulu datang melalui laut ke wilayah Lahad Datu dan menduduki Desa Tanduo lebih dari dua pekan lalu.

Mereka yang datang adalah kelompok yang merasa dirugikan oleh kesepakatan damai antara pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Kepulauan Mindanao. Dalam kesepakatan tersebut, Filipina menyebut daerah itu sebagai wilayah otonomi Bangsa Moro dan memberikan sebagian besar wilayah untuk dikelola secara independen.

Kesultanan pimpinan Jamalul Kiram sebelumnya menguasai wilayah Sulu di Mindanao. Namun, menurut perjanjian antara MILF dan pemerintah, Sulu diberikan kepada pemerintahan yang baru. Mereka tidak mendapat jatah lahan. Akhirnya, kesultanan ini berniat merebut "wilayah mereka" di tempat yang lain, yaitu di Sabah, Malaysia.

Didasarkan atas sejarah dan dokumen-dokumen yang ada, mereka meyakini bahkan pemerintah Malaysia membayar sewa pada mereka.

Pekan lalu Idjirani menunjukkan beberapa dokumen yang menunjukkan klaim Sulu atas Sabah. Dia juga menyertakan selembar cek senilai 69.700 peso atau hanya sekitar Rp16,6 juta, sebagai pembayaran sewa Sabah dari Malaysia.

Wilayah Sabah dulu dikuasai oleh Kesultanan Sulu setelah diberikan oleh Sultan Brunei sebagai balas jasa atas bantuan Sulu mengatasi pemberontak. Pada tahun 1878, Sulu menyewakan wilayah Sabah pada perusahaan British North Company milik Inggris yang saat itu menjajah Malaysia.

Saat Malaysia merdeka tahun 1963, sewa Sabah dialihkan dari pemerintah Inggris ke Malaysia. Pada tahun 1962, Kesultanan Sulu memberikan mandat pada Presiden Filipina Diosdado Macapagal untuk melakukan negosiasi terkait wilayah Sabah.

Sejak saat itu disepakati, Kuala Lumpur harus membayar sewa tahunan sebesar 5.300 ringgit atau setara 69.700 peso kepada pewaris tahta Kesultanan Sulu.

Namun, kata Idjirani, pada tahun 1989 peran Filipina untuk bernegosiasi atas nama Sulu dicabut oleh Sultan Jamalul Kiram III. Dia mengatakan, pemerintah Malaysia tidak ingin isu ini dibesar-besarkan, karena "yang diberikan kepada Malaysia bukanlah status berdaulat".

Dia juga menunjukkan dokumen pembayaran senilai 73,040.77 peso (Rp17,4 juta) kepada Kiram pada 16 April 2003 sebagai pembayaran sewa pada pewaris Kesultanan Sulu untuk tahun 2002.

Bantahan FilipinaBelum ada pernyataan Malaysia soal klaim Sulu tersebut. Sementara itu, pemerintah Filipina membentuk tim khusus untuk menyelidiki akar permasalahan ini.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, nasab Sultan Sulu saat ini, Jamalul Kiram III, diragukan. Hal ini dipaparkan oleh Presiden Filipina Benigno Aquino, Kamis kemarin. Menurut dia, pemimpin Sulu saat ini bukanlah keturunan langsung Sultan Sulu yang diakui Filipina pada 1974, yaitu Esmail Kiram I. Jamalul Kiram III memiliki garis keturunan yang jauh dari tahta kesultanan.
"Inilah pertanyaan yang pertama kali muncul, siapa yang seharusnya mewakili Kesultanan Sulu?" kata Aquino.

Pemerintah Filipina juga tengah mempelajari dua dokumen mengenai sewa Sabah dari Kesultanan Sulu oleh perusahaan British North Borneo Co. pada tahun 1878 yang kemudian diambil alih Malaysia di tahun 1960an.

Dalam insiden sekarang ini, Filipina mendukung posisi Malaysia, mendesak orang Sulu untuk hengkang dari Sabah dan memulai negosiasi damai. Bahkan, Aquino mengancam akan menyeret kelompok itu ke pengadilan dengan ancaman penjara 12 tahun jika tidak segera pulang.

Sultan Jamalul Kiram III tak ayal geram atas sikap sang Presiden Filipina. "Seharusnya dia membantu, bukannya malah menggugat kami," katanya, naik pitam