Saturday, 22 February 2014

Kala Jepang Keberatan RI Larang Ekspor Produk Tambang Mentah

Kegiatan pengolahan bijih emasPemerintah Jepang akan memperkarakan langkah RI ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor produk tambang mentah.

Aturan yang dimaksud yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang resmi diberlakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 12 Januari 2014 lalu.

Jepang menjadi salah satu negara yang keberatan dengan kebijakan itu karena selama ini sudah menikmati membeli bahan tambang mentah dari Indonesia.

Pihak luar negeri membeli mineral mentah dari pengusaha tambang Tanah Air kemudian mengolah dan menjual kembali dengan harga yang lebih mahal dibanding harga belinya.

Dilansir dari kantor berita Reuters, Rabu 19 Februari 2014, yang mengutip pejabat senior di Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI), mengatakan, pemerintah Negeri Sakura sedang berupaya untuk berdiskusi dengan RI melalui forum WTO pada bulan ini. Apabila isu ini tidak juga terselesaikan, sebuah panel khusus akan dibentuk untuk menangani kasus tersebut.

Kendati begitu, Direktur METI, Osamu Onodera membantah sudah ada keputusan untuk membawa kasus ini ke WTO. Dia menyebut itu baru kemungkinan.

"Membawa isu ini ke forum WTO merupakan salah satu opsi kami. Tetapi kami belum memutuskan apa pun," ujar Onodera yang menangani sengketa dan pemenuhan aturan yang ditetapkan WTO.

Jepang merupakan salah satu produsen baja stainless terbesar di dunia. Para perusahaan asal Negeri Sakura terpaksa harus menghadapi kenyataan biaya produksi yang lebih besar dan berjuang untuk mencari pasokan baru untuk nikel.

Akibat UU yang diberlakukan secara resmi bulan lalu di Indonesia, turut memicu kenaikan harga nikel global. Padahal, Jepang mengimpor 44 persen biji nikel dari Indonesia pada 2012.

Menurut prediksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada akhir Januari 2014, produksi nikel akan merosot hingga 94 persen menjadi 3,5 juta ton.

Sejak diberlakukannya secara resmi UU Minerba, Pemerintah RI mewajibkan setiap perusahaan mineral dan tambang untuk mengolah dan memurnikan terlebih dahulu bahan mentah tambang dengan menggunakan sebuah fasilitas bernama smelter sebelum diekspor.

Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo, mengatakan, pemerintah akan bertindak tegas, tidak akan memberikan izin ekspor bagi perusahaan yang tidak membangun smelter. Sebab, banyak perusahaan yang mengeluhkan untuk membangun smelter ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dinilai wajar

Terkait kemungkinan pengaduan kepada badan perdagangan dunia itu, pemerintah Indonesia menilai reaksi Jepang itu wajar.

Menteri Perdagangan, Muhammad Luthfi, mengatakan jika Jepang ingin berkonsultasi terkait larangan itu, pemerintah Indonesia akan membuka diri.

"Ini kan pada dasarnya orang tidak senang. Tetapi, ini kan suatu komitmen juga karena ini amanat undang-undang," ujar Luthfi, Jumat 21 Februari 2014.

Untuk itu, dia menjelaskan, Kemendag akan mempelajari bersama, sehingga aturan tersebut dapat berjalan sesuai amanat undang-undang.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan, Cris Kanter, mengaku heran dengan rencana pemerintah Jepang tersebut.

"Kalau sebagai pembeli, bukan kewenangan dia (Jepang) untuk menggugat," ujar Cris kepada VIVAnews

Dengan adanya UU ini, pengusaha tambang dilarang menjual enam jenis mineral mentah ke luar negeri yaitu emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga dan batu bara sebelum diolah.

Pemerintah berharap penerapan regulasi tersebut akan berdampak baik, yakni bisa memberi nilai tambah kepada barang tambang itu, sehingga lebih menguntungkan para pengusaha.

Tidak hanya pihak luar negeri, beberapa perusahaan tambang dalam negeri juga keberatan dengan UU Minerba. Contohnya PT Freeport dan PT Newmont yang sempat mengancam adanya PHK besar-besaran. Bahkan dikabarkan mereka akan membawa masalah tersebut ke arbitrase. Meskipun pada akhirnya kedua perusahaan itu menyatakan akan membangun smelter.

Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O. Blake Jr, memahami pemerintah yang telah memberlakukan UU Minerba. Namun, dia berharap dengan adanya aturan baru itu, tidak lantas menghentikan kontribusi besar yang disumbang oleh PT Freeport dan PT Newmont.

Blake mengingatkan kedua perusahaan itu sudah berkontribusi sebanyak hampir satu persen terhadap Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia.

"Perusahaan itu bahkan telah membuka lapangan pekerjaan bagi lebih dari 100 ribu WNI, khususnya di Papua. Kedua perusahaan itu juga merupakan pembayar pajak terbesar kepada Indonesia," katanya.

1 comment:

  1. Bener pak seharusnya indonesia membuat produk sendiri...

    ReplyDelete