Lorong itu hanya selebar satu setengah meter, menjadi celah bagi siapa saja yang hendak masuk ke Gang Beringin III, Kampung Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di kiri-kanan, rumah-rumah bata ringan tegak berdiri, berdesakan saling menghimpit. Di tiap atap rumah, tali-tali jemuran bersilangan. Tak ada halaman, apalagi pagar tinggi.
Di tengah pemukiman padat itu, sebuah rumah berdinding polos tegak
berdiri. Rumah itu berlantai dua, dan beberapa pekan terakhir kerap
disorot publik. Inilah rumah Eyang Subur, lelaki gaek yang namanya
mencuat setelah berseteru dengan Adi Bing Slamet, bekas artis cilik yang
kini masih berkecimpung di dunia hiburan.
Adi menuding Subur telah menipunya, dengan kerugian miliaran
rupiah. Subur juga dituduh berlaku sebagai dukun. Tudingan itu sempat
membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) bergerak, dan menelisik kehidupan
Eyang Subur. Kesimpulannya: kata MUI, Subur terbukti berpraktek
perdukunan
Subur dan pengacaranya melawan tuduhan itu. Dia tak mau disebut sebagai dukun. Kepada VIVAnews, yang melawat seharian ke rumahnya pekan lalu, setelah ribut-ribut di media itu, sang Eyang mengungkapkan kisahnya.
Pekarangan rumah berlantai dua itu tak besar. Untuk masuk ke dalam,
ada satu pintu yang palang atasnya rendah. Setiap orang harus menunduk
kalau lewat di sana. “Ini lantainya ditinggikan, agar tak masuk air
kalau banjir,” ujar Eyang Subur menjelaskan mengapa pintu itu lebih
rendah dari ukuran biasa.
Sambil menghisap sebatang rokok di ruang tamu rumahnya, lelaki
asal Jombang itu membeberkan asal mula ia dianggap "sakti" oleh sejumlah
orang.
Suatu hari di tahun 1990, terjadi kebakaran hebat di lorong tempat
tinggalnya. Api menjilat-jilat, dan menyambar setiap bangunan di
pemukiman padat itu. Seluruh warga lari menyelamatkan diri, karena api
menjalar begitu cepat. Tapi tidak bagi Eyang Subur. Dia bertahan di
dalam rumah.
Di saat genting itu, dia mengaku mendapatkan bisikan: “Diam saja di
sini karena kau tak akan kenapa-kenapa,” ujar Subur menirukan kembali
bisikan itu. Subur pun mengikuti bisikan hatinya. Dia tetap di rumah,
sementara api makin hebat melalap semua bangunan sekitar.
Ajaibnya, api itu seperti “tersirep” dan berhenti tepat di dinding
rumah Subur. Rumahnya sama sekali tak terbakar, padahal seluruh rumah
tetangganya ludes jadi arang.
Sejak itu, Subur dianggap sebagai orang sakti.
“Eyang nggak pernah mengaku sakti,” ujar lelaki yang kerap
menyebut dirinya dengan “Eyang” itu. Hari itu, seperti biasa, dia
memakai sarung, dan jas blazer .
Seorang warga di Gang Beringin III membenarkan kisah itu. Tetangga
Eyang Subur yang enggan disebutkan namanya mengatakan di pemukiman
mereka pernah terjadi kebakaran sekitar tahun 1990-an. Saat itu, Subur
disebut-sebut tak mempan dibakar api.
Di mata para tetangganya, Subur memang dikenal sebagai sosok misterius.
Dia misalnya, jarang bergaul. Kehidupan pribadinya seperti ditutup
tirai gelap. Tak ada yang tahu, misalnya, di rumah berlantai dua itu
Subur hidup dengan tujuh orang istri.
Tapi ada satu tabiat aneh Eyang Subur yang diingat para
tetangganya. Dulu, setiap kali pulang melewati lorong itu, Subur suka
mengambil duit dari sakunya. Dia lalu melemparkan lembaran uang kertas
itu ke udara. Uang pun bertaburan. Para warga, baik anak-anak maupun
orang tua, berebut mengutip lembaran uang yang berceceran itu.
Sementara Subur tetap melangkah, dan menghilang masuk ke rumahnya.
“Tapi itu tidak terjadi setiap saat. Dengan adanya kasus ini Eyang dan keluarga semakin tertutup untuk hal apapun,” ucapnya.
Meski menolak disebut dukun, dan tak pernah mengaku sakti, tapi
rumah di tengah lorong itu kerap disambangi tamu. Mereka bukan orang
biasa. Ada artis, pejabat, hingga jenderal. Para tamu ini biasanya
berkonsultasi, atau bercerita santai dengan Subur di lantai dua. Di
lantai itu pula Subur menyimpan koleksi guci dan kristal pemberian para
tamunya.
Tak mudah bertemu langsung dengan Eyang Subur. Mereka yang
berkunjung diharuskan mengisi buku tamu. Setelah mendapat izin dari
Subur, tamu lantas naik ke lantai dua.
Jika tak mendapat izin, mereka harus rela menunggu di lantai satu. Seperti dua wanita paruh baya yang ditemui VIVAnews hari itu. Kedua perempuan itu mengaku datang karena penasaran dengan kondisi rumah Eyang Subur.
“Tadi mau ketemu istri-istrinya, tapi nggak diperbolehkan,” kata seorang perempuan paruh baya, yang dibenarkan temannya. Keduanya meminta namanya tak ditulis.
Para istri Eyang
Di rumah berlantai dua itu ada 20 kamar tidur. Subur hidup bersama tujuh istri, dan 18 anak-anak mereka.
Tiap istri punya kamar sendiri, kecuali mereka yang belum memiliki anak. Di setiap kamar dilengkapi air conditioner
(AC) dan toilet. Selain itu, ada televisi layar datar 75 inci dan dua
laptop. Setiap kamar tidur juga disediakan kulkas serta kompor listrik.
“Saya hobi main laptop, browsing, download lagu, main games
dan olahraga,” ujar salah seorang istri Subur, Noni. Mungkin itu
sebabnya, para istrinya betah tinggal di sana. Mereka “tersirep” dengan
kenyamanan yang diberikan Subur.
“Kalau saya olahraga, mengurus rumah, menonton televisi. Karena
saya belum punya anak ya kegiatannya mengurus diri sendiri saja dan
menonton drama Korea,” ucap istri Subur lainnya, Nita.
Tak hanya itu, Subur melengkapi rumahnya dengan home theater di ruang tengah, serta beberapa peralatan olahraga, seperti treadmill. Ia juga punya ruangan khusus untuk menyimpan 300 lebih koleksi blazernya.
Pada pagi hari, biasanya istri tertua, Heri, mengasuh anak Subur
yang paling kecil. Sementara istri-istri Subur lainnya mengurus
persiapan sekolah anak mereka masing-masing. Adapun istri-istri yang
belum memiliki buah hati ikut membantu membuat sarapan untuk anak-anak.
“Nanti habis sarapan, mandi, terus mengobrol santai di ruang
tengah,” ujar Aning, seorang kerabat, yang menjadi semacam “juru bicara”
istri-istri Eyang Subur.
Istri-istri Eyang Subur kembali berkumpul pada saat makan siang.
Kemudian sekitar jam 2, mereka akan mengobrol santai di ruang tengah
sambil menikmati secangkir teh.
Terkadang, ada istri Subur yang sengaja membuat kue, atau camilan untuk disantap saat sore hari.
“Kadang saya masak. Ngomelin anak itu pekerjaan saya
setiap hari. Eyang sendiri tipe bapak yang tidak tega memarahi
anak-anaknya yang masih kecil. Tapi beda lagi kalau marahin anaknya yang besar. Eyang punya caranya sendiri,” ujar Nita.
Saat anak-anak pulang sekolah, para istri Eyang Subur membantu
menemani mereka belajar. Namun, ketika maghrib, istri-istri sudah
berada di kamar masing-masing. Jika tidak ada tamu, Subur beserta istri
dan anak-anaknya akan makan malam bersama.
“Tapi kalau Eyang ada tamu, biasanya mereka makan di kamar masing-masing,” kata Aning.
Pada pukul sembilan malam, sebagian istri-istri Subur sudah tidur,
kecuali Heri. Biasanya istri pertama Subur itu akan menemani sang suami
saat ada tamu. Heri jugalah yang bertanggung jawab menyiapkan kopi dan
rokok untuk Subur. “Pokoknya kebutuhan suami,” ujar Heri.
Malam itu, di meja Subur terhidang segelas besar kopi yang
sepertinya dijaga terus isinya agar tetap penuh. Setiap kali isinya
berkurang, Heri segera menambahkan lagi dengan kopi. Di dekat gelas itu,
ada beberapa pak kotak rokok.
Tujuh istri Subur tampak selalu kompak. Mereka bahkan memakai
busana sama setiap muncul di depan publik. Ada tukang jahit yang khusus
dipesan untuk membuat “seragam” itu. Meski begitu, menurut pengakuan
salah seorang istri Subur, mereka tak melulu mengenakan pakaian sama
setiap hari.
“Kalau ada momen-momen khusus saja seragam. Kalau untuk belanja ya nggak lah,” ujar Heri.
Selain itu istri-istri Subur juga selalu mengenakan perhiasan
dengan model dan ukuran sama. Ketujuh wanita itu mengaku, Subur sendiri
yang memilih perhisasan buat mereka. “Kalau kami pakai sama begini,
enak dipandang orang. Dan kelihatan Eyang adil sama istri-istrinya,"
katanya.
Tak mau cerai
Tapi kekompakan itu kini mendapat sorotan.
Di tengah tudingan praktik perdukunan, Eyang Subur kini harus
melaksanakan perintah MUI. Oleh lembaga yang mewadahi ulama, zu'ama, dan
cendikiawan Islam itu, Subur diminta menceraikan istri ke-5 dan
seterusnya. Sesuai syariat Islam, seorang lelaki ditoleransi hanya boleh
empat istri. Itupun dengan syarat berat. Tujuh istri Subur adalah Heri,
Noni, Nita, Ati, Dike, Herny dan Ani.
Perintah MUI ini pun ditentang para istri Subur. Menurut kuasa
hukum para istri Subur, Made Rahman Marasabessy, istri ketujuh Subur,
Ani tak mau diceraikan. "Ini murni cinta," kata Made.
Ani, kata Made, mengatakan Subur telah menyelamatkan hidupnya. Ani
tidak ingin rumah tangganya dengan Subur diacak-acak orang tuanya.
Karena menurut Ani selama ini justru kakek itulah yang telah memberikan
perlindungan untuknya.
Sang “juru bicara” Aning menambahkan, keluarga tengah berembuk
siapa-siapa saja istri yang akan diceraikan Subur. Namun, tak satupun
istri-istri Subur bersedia diceraikan. Alasannya, mereka sudah nyaman,
dan enggan kembali ke kampung halaman.
“Jadi eyang semakin pusing,” ucap Aning.
Tak jelas apa keputusan Eyang Subur nanti terhadap para istrinya itu. Dia masih tampak sibuk.
Meski di tengah sengkarut masalah, para tamu toh tetap berdatangan.
Malam itu seorang artis yang kondang di tahun 80an datang menggandeng
seorang yang akan maju sebagai calon legislatif. Tak jelas nasehat apa
yang dicari mereka dari lelaki gaek itu.
“Silakan naik ke lantai dua,” ujar Parno, seorang pembantu Eyang
Subur yang senantiasa siaga di lantai satu menyambut dua lelaki yang
menjadi tamu malam itu.
Menjelang tengah malam, lorong sempit dengan rumah berjejal itu
agak sunyi. Sayup-sayup terdengar obrolan para tamu dengan Subur, di
sebuah rumah yang pernah selamat dilalap api itu. (np)
No comments:
Post a Comment