Sunday 21 July 2013

MIMPI BURUK IKHWANUL MUSLIMIN


Di terik kemarau yang menyengat, jutaan orang di dekat masjid Rabiah al-Adawiyah, Nasr City, tetap bergeming. Semangat mereka masih menyala-nyala, meski Ramadan kali ini puasa di Mesir berlangsung 14 jam sehari. 

Sembari beribadah –mengaji, shalat dan berdoa- lautan simpatisan Ikhwanul Muslimin membuat lokasi itu persis seperti Mekkah saat musim haji, ketimbang aksi demonstrasi. Berbagai lapisan dan usia berkumpul.  Anak-anak bawa bendera. Orang tua membagikan makanan berbuka.

Mereka tegas mengatakan, tak akan beranjak sampai tuntutan dipenuhi: kembalikan Mohammad Mursi ke tampuk pemimpin. "Allah menolong kami, baik puasa atau sedang tidak puasa, karena kami punya tujuan, dan tujuan kami benar," kata Ahmad Khalil, seorang guru. Tugasnya jadi penjaga keamanan pada demonstrasi itu. Di tengah suhu lebih dari 32 derajat celcius, dia tetap semangat.

Inilah krisis paling serius yang dihadapi Ikhwanul Muslim (IM) dalam 85 tahun umurnya. Ini jugalah yang mungkin menjadi impian sekaligus mimpi buruk Hassan Al-Banna, pendiri gerakan itu. Impian terwujud karena akhirnya IM bisa berkuasa. Mimpi buruk karena kekuasaannya itu hanya seumur jagung.

Didirikan di Ismailiyah, Mesir,  tahun 1928,  Ikhwanul Muslimin telah menjadi organisasi Islam terbesar dengan jutaan pengikut di seluruh dunia. Gerakan itu adalah organisasi politik Islam pertama di era kolonial. IM menerapkan teori pemikir Islam Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh pada awal abad ke-20. Afghani dan Abduh percaya, Islam lemah menghadapi dominasi Eropa karena umatnya menyimpang dari ajaran sejati.

Berbagai organisasi baik politik praktis, maupun radikal banyak terilhami oleh organisasi ini. Gerakan yang dicerahkan oleh visi Ikhwanul Muslimin yang berupaya memperoleh kekuatan politik di Aljazair, Tunisia, Yordania, Sudan, Palestina, termasuk juga Indonesia 

Adalah Hassan al-Banna, guru agama lulusan Darul Ulum yang mendirikan IM. Usia Al Banna masih muda waktu itu, baru 22 tahun. Dia ingin menandingi kekuasaan asing di Mesir, sekaligus menegakkan syariat Islam di negara itu. Mengutip dari jurnal Military Review, dengan slogan “Islam adalah Solusi Semua Hal”, pria kelahiran tahun 1906 di Mahmudiya ini menegaskan syariah harus berdiri jika rakyat Mesir ingin bermartabat dan terhindar dari kemiskinan.

Gerakannya pun tumbuh. Sepuluh tahun pertama, IM berhasil membangun cabang di seluruh Mesir.  Sasarannya masyarakat akar-rumput yang jengah pada ketimpangan. IM masuk melalui kampus dan serikat pekerja, mengincar juga keluarga-keluarga Muslim.  IM bahkan berhasil meluaskan jaringannya hingga ke Suriah, tepatnya ke Aleppo.

Mereka berpedoman pada Al-Quran dan hadits, serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Gerakan itu juga menganjurkan membersihkan hati, kebugaran jasmani, memperluas pemahaman soal Islam, membentuk pemerintahan Islam, mengembangkan infrastruktur ekonomi syariah, dan mempererat hubungan antara Ikhwan –sebutan pengikut IM- dan dunia Islam.

Tahun 1938, Banna menyurati pemerintah Mesir dan pemimpin dunia Arab. Dia menyerukan penegakan hukum Islam, melarang perjudian, prostitusi, riba, monopoli, buku-buku, lagu-lagu, dan pemahaman yang merusak keislaman.

Awal berdiri, IM berkecimpung di bidang politik, pendidikan dan sosial. Pada Perang Dunia II, barulah IM mendirikan  sayap militan dan pengadilan semi yudisial untuk mengeluarkan fatwa, dan mengadili mereka yang mengkhianati negara dan agama. IM bahkan menerbitkan medianya sendiri yang terbit berkala.

Pada awal 1940an, IM mendirikan kamp latihan gerilyawan di Bukti Mukatam, Kairo. Sayap militan ini sangat terorganisir, sampai mampu mengumpulkan banyak senjata saat Perang Arab-Israel tahun 1948. Pada akhir Perang Dunia II, anggota IM di Mesir saja sudah dua juta orang, dari 2.000 cabang.

Friksi muncul. Apakah mereka harus tetap berada dalam sistem, atau keluar, dan membentuk militansi sendiri. Dari sini nantinya tercipta sempalan-sempalan militan, Jemaah Islamiyah yang berdiri 1979, dan Tanzim al-Jihad yang diberangus oleh Presiden Anwar Sadat.

Al-Banna terbunuh

Tahun 1948, sayap militan IM diduga berada di balik pengeboman kompleks perbelanjaan Circurrel, pembunuhan Hakim Ahmed Al-Khizindaar, dan Perdana Menteri Mahmoud al-Nuqrashi Pasha. Pemerintah Mesir berang.

Hassan Al-Banna dibunuh pada 12 Februari 1949, oleh orang tak dikenal di pasar Kairo. Pelakunya diduga anggota pasukan khusus suruhan Raja Farouk. Hingga kini, tidak ada yang ditahan atas pembunuhan tersebut 

Sebelum terbunuh, Gamal Abdel Nasser pernah mendekati Banna  pada tahun 1946 untuk membantunya menggulingkan monarki Mesir. Nasser membujuk Banna untuk menggabungkan kekuatan IM dengan pasukan Opsir Bebas yang dipimpinnya.

Akhirnya tahun 1952 Raja Farouk terguling, Nasser berkuasa. Dalam pemerintahannya, para Ikhwan menanggung kecewa. Ikhwan hanya diberi posisi di kementerian agama. Hubungan kedua kubu kian renggang saat Nasser menafikan visi negara Islam Al-Banna, dan merangkul masyarakat Kristen Koptik serta sekuler di Mesir.

Terjadi percobaan pembunuhan atas Nasser tahun 1954. Ikhwan disalahkan. Akibatnya, gerakan IM kembali dilarang. Ribuan anggotanya dipenjara dan disiksa. Salah satunya adalah Sayyid Quthb yang tewas di tiang gantungan Penjara Tura pada 1966. Kendati begitu, gerakan ini masih terus berkembang di bawah tanah.

Dalam penjara, tahun 1964, Quthb menghasilkan buku berjudul Ma'alim fi al-Tariq (batu pijakan).  Dalam buku itu, dikatakan pemimpin dipilih bukan hanya karena dia Muslim. Tapi harus di pilih oleh ummat, pemimpin juga harus bebas korupsi, dan bukan diktator.

Oleh para kelompok radikal, buku ini ditafsirkan sebagai pembenaran melawan pemerintah dengan kekerasan. Beberapa yang terinspirasi adalah  Islamic Jihad dan al-Qaeda.  Salah satu pentolan al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri, dan Mohammed Atef diketahui adalah mantan anggota IM.  Tidak heran, media massa dan peneliti barat menjuluki Quthb “guru para teroris”.

Puncaknya adalah pembunuhan Presiden Anwar Sadat tahun 1981 oleh kelompok jihad yang oleh beberapa kalangan disebut dengan nama “Quthbis”. Buku ini juga jadi bukti radikalisme IM yang dihadirkan di pengadilan melawan Quthb.

Kendati diberangus oleh setiap kepemimpinan Mesir, IM masih aktif berpolitik. IM bergabung dengan aliansi yang dibentuk Partai Wafd tahun 1984. Tahun 1987, IM bergabung dengan Partai Pekerja dan Liberal, berhasil jadi kelompok oposisi utama di Mesir.

Kemajuan pesat terus terjadi hingga pada 2000, Ikhwan dapat 17 kursi di majelis rendah Dewan Rakyat. Lima tahun kemudian, kelompok ini mendapatkan suara yang mencengangkan. Kandidat independen simpatisan IM mendapatkan 20 persen kursi. Membuktikan kecintaan masyarakat yang besar pada organisasi bentukan Banna ini.

Presiden Husni Mubarak tidak bisa terima. Dia takut kekuasaan IM akan meluas dan mengancam pemerintahannya. Akhirnya Mubarak memerintahkan penangkapan ratusan Ikhwan, dan mengamandemen konstitusi.

Dalam konstitusi yang baru dikatakan, “setiap aktivitas dan partai politik tak boleh didasarkan atas pondasi agama, kandidat independen tak boleh mencalonkan jadi presiden”. Mubarak juga membentuk undang-undang terorisme yang memungkinkan aparat menahan tersangka teror dan melarang perkumpulan publik.

Arab Spring

Tahun 2010, Revolusi Arab, atau Arab Spring pecah dari Tunisia. Negara-negara Timur Tengah dan Afrika tertular, tak ketinggalan Mesir. Ikhwan diam-diam ikut dalam demonstrasi menentang pemerintahan Mubarak.

Presiden yang telah berkuasa tiga dekade itu tumbang pada Februari 2011. IM langsung menggalang kekuatan dengan mendirikan partai Kebebasan dan Keadilan (FJP). Partai ini berhasil memenangkan hampir setengah jumlah kursi di Dewan Rakyat, membuktikan dukungan pada IM masih sangat besar.

Partai bernafas Islam, Nour, jadi pemenang kedua, menjadikan kelompok Islam memegang kendali 70 persen kursi di majelis rendah. Hal sama terjadi di majelis tinggi atau Dewan Syuro. Berarti, Ikhwan dan sekutunya bisa menentukan 100 anggota dewan konstituen yang bertugas merancang konstitusi baru Mesir.

Kelompok liberal dan sekuler panik. Menurut mereka komposisi parlemen tak merefleksikan keberagaman masyarakat di Mesir.  Ketakutan kian menjadi saat pada tahun 2012, Ketua FJP Mohammed Mursi jadi presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis.

Mursi memenangkan 51 persen suara, melawan mantan komandan angkatan udara Ahmed Shafiq. Mursi diangkat pada 30 Juni 2013. Pada pidatonya dia menekankan bahwa pemerintahannya menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, sipil dan modernitas, sekaligus menghargai kebebasan beragama, dan hak-hak menyampaikan aspirasi.

Tapi langkah berikut dari Mursi yang membuat oposisi makin gerah.

Al-Arabiya memberitakan, dalam beberapa bulan setelah terpilih, Mursi menunjuk para Ikhwan di berbagai posisi pemerintahan. Lima di berbagai kementerian, delapan di kantor presiden, tujuh gubernur, 12 asisten pemerintahan, 13 dewan pemerintahan, 12 walikota, semuanya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Mereka bertugas mengatur 40 juta rakyat Mesir. Oposisi berpikir, Mursi hendak meng-Ikhwanul-Muslimin-kan Mesir.

Dia memberhentikan jaksa penuntut yang menentangnya. Keputusan ini dianggap inkonstitusional oleh banyak pihak. Mursi juga memecat Jenderal Mohammed Tantawy, mantan menteri pertahanan era Mubarak. Padahal Tantawy adalah salah satu jenderal yang mendorong Mubarak lengser. Kepercayaan militer pada Mursi pun goyah.

Di bidang ekonomi, Mursi dianggap gagal meningkatkan pendapatan dan taraf hidup. Langkahnya mengamandemen undang-undang pajak malah justru memicu kenaikan harga. Permintaan pinjaman US$4,8 miliar juga belum disetujui IMF.

Desember 2012, rancangan konstitusi disetujui, termasuk di dalamnya adalah meningkatkan peran Islam dalam pemerintahan. Publik menyetujui konstitusi ini melalui referendum nasional Desember tahun lalu.

Saat itu, Mursi mengeluarkan dekrit yang memerintahkan militer melindungi institusi nasional dan tempat referendum. Oposisi menganggapi Mursi menyalahgunakan kekuatan militer. Oposan semakin naik pitam.

Dalam setahun di Mesir, ada 558 demonstrasi, 514 mogok kerja, dan 500 aksi duduk. Militer pada akhir Januari lalu memperingatkan, krisis politik ini bisa membahayakan negara.

Tamarod

Akhir April 2013, oposisi membentuk gerakan “Tamarod” atau pemberontak. Mereka mengumpulkan petisi keluhan soal kegagalan Mursi memperbaiki keamanan dan ekonomi Mesir. Mursi juga dituduh mendahulukan kepentingan Ikhwanul Muslimin ketimbang negara dan rakyat.

Peringatan setahun kekuasaan Mursi pada 30 Juni lalu ditandai demonstrasi jutaan massa Tamarod, menuntutnya mundur. Lalu kisahnya berkembang menjadi semacam “mimpi buruk” bagi gerakan yang telah mengakar di Mesir itu.

Bentrokan terjadi, korban terluka dan tewas berjatuhan. Militer pada 1 Juli memberikan Mursi 48 jam untuk membenahi Mesir dan menggelar referendum. Mursi tampik ancaman militer.

Akhirnya pada 3 Juli, Jenderal Abdel-Fattah al-Sisi menyatakan Mursi bukan lagi presiden. Militer mengangkat ketua mahkamah konstitusi Adly Mansour sebagai presiden sementara. Kabinet yang dibentuk Mansour terdiri dari berbagai lapisan di Mesir, kecuali, tentu saja, Ikhwan.

Mursi ditahan di tempat rahasia, Ikhwan kembali mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Militer keluarkan perintah tangkap pada 300 anggota Ikhwan, termasuk pemimpinnya Mohammed Badie. Aset-aset Ikhwan dibekukan. Mereka diselidiki atas tuduhan pemicu kekerasan.

Massa IM bangkit. Marah atas kudeta militer yang menurut mereka mencederai demokrasi. Betapa tidak, Mursi terpilih secara demokratis dan baru setahun memimpin.

Bentrokan terjadi saat puluhan ribu massa IM demonstrasi di depan markas Garda Revolusi, tempat Mursi diduga ditahan. Sedikitnya 54 orang tewas, ratusan lainnya terluka. Lebih dari 400 orang ditahan. Tentara dituduh menghujani massa demonstran dengan peluru. Padahal sebelumnya militer mengklaim membolehkan demonstrasi damai.

“Mereka membunuh para martir ketika sedang shalat! Jika mereka menghadapi kami dengan peluru, maka kami akan berdiri di depan tank!” kata Soraya Naguib Ahmed, wanita bercadar, menggambarkan peristiwa 8 Juli itu kepada Gulf Times.

Sekitaran masjid Rabiah Al-Adawiyah, Nasr City, bagian utara Kairo, jadi lautan Ikhwan. Ratusan ribu orang datang berbondong-bondong menggunakan bus dari seantero Mesir. Ayah terlihat menggendong anak balitanya. Beberapa wanita berniqab mengenakan payung. Satu suara, mereka menuntut Mursi kembali memimpin.

“Jiwa kami, darah kami, untuk Islam,” teriak mereka serentak. Siap mati.

“Kami tetap di sini dan tidak akan pergi. Kami datang membawa anak-anak kami untuk mendukung demokrasi dan presiden kami, yang pertama kali terpilih secara demokratis di dunia Arab,” kata Amer Ali, mantan anggota parlemen yang pernah dipenjara 13 tahun pada pemerintahan Mubarak.

Ali Jauh-jauh datang dari Assiut  ke Lembah Nil. Putranya yang berusia dua tahun, Mahmoud, duduk di atap mobil mengibarkan bendera Mesir kecil. Istrinya di dalam, merekam menggunakan tablet, putrinya yang masih menyusu tertidur di sampingnya.

Ali, satu dari jutaan Ikhwan di tempat itu. Ini minggu kelima mereka bercokol di Nasr City. Mendirikan tenda. Berbaur. Berdoa. Berjuang. “Saya yakin Mursi akan kembali ke posisinya. Semua ketidakadilan ini akan berakhir,” ujar Ibrahim Mohamed, mahasiswa dari Delta Nil. (np)

No comments:

Post a Comment